Anda di halaman 1dari 27

PROPOSAL

STUDI KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


GANGGUAN PENCERNAAN : APPENDICITIS
DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan tugas akhir pada Prodi DIII
Keperawatan

Oleh

Lia Yuliani
NIM : 30140112014

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS PADALARANG

2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat karunia-Nya, maka peneliti

dapat menyelesaikan proposal yang berjudul Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan

Gangguan Pencernaan : Appendicitis ini tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Sr. Sofie Gusnia Saragih.,CB.,BSN.,M.Kep selaku Ketua STIKes Santo Borromeus.

2. Dr. Widjajanti MM, selaku Direktur Rumah Sakit Sekarkamulyan Cigugur Kuningan yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmunya.

3. Dr. Suryanto selaku Direktur Rumah Sakit Santo Borromeus yang memberikan ijin dalam

pengambilan kasus di Rumah Sakit Borromeus.

4. Ns. Maria Yunita Indriarini, M.Kep.,Sp.Kep.MB, selaku Kepala Program Studi DIII

Keperawatan STIKes Santo Borromeus.

5. Ns. Susanti Niman, Sp.Kep.J selaku Koordinator Mata Ajaran Pengantar Riset Keperawatan.

6. Seluruh staff kependidikan khususnya bagian perpustakaan yang telah memberikan pinjaman

buku-buku kepada penulis sebagai referensi dari penyusunan penelitian ini.

7. Suami, anak anak, orang tua dan adik yang selalu memberikan dukungan dan semangat

serta doa selama penulis menjalani pendidikan di STIKes Santo Borromeus Bandung.

8. Teman-teman Dionisius Class atas kerjasama dan dukungan selama menyelesaikan proposal

ini.

9. Bagi semua pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah

i
memberi dukungan dan membantu dalam penyelesaian proposal ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan Proposal Studi Kasus ini masih banyak kekurangan.

Karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna

kesempurnaan dalam penulisan Proposal.

Penulis berharap Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang

membacanya. Akhir kata, peneliti mengucapkan selamat membaca.

Bandung, januari 2015

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Kata Pengantar............................................................................................i

Daftar Isi ....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...............................................................................................1

B. Rumusan Masalah ..........................................................................................3

C. Tinjauan Penelitian

Tujuan Umum ................................................................................................3

Tujuan Khusus ...............................................................................................3

D. Manfaat Penelitian

Teoritis ...........................................................................................................4

Praktis ............................................................................................................4

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Konsep Medis Appendicitis..5

A. Pengertian .....................................................................................................6

B. Anatomi Fisiologi ..........................................................................................6

C. Klasifikasi .....................................................................................................7

D. Etiologi...7

E. Patofisiologi8

F. Patoflow Diagram..9
G. Tanda dan Gejala11

H. Tes laboratorium 12

I. Komplikasi..12

J. Pengobatan 13

Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian .14

B. Diagnose Keperawatan..15

C. Intervensi Keperawatan..16

BAB III KERANGKA TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN GANGGUAN PENCERNAAN : APPENDICITIS..21

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau
ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis
maupun sosio budaya. UU No.36 tahun 2014 tentang Kesehatan menyatakan bahwa:
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus
dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial
dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan. (Depkes RI).
Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Tenaga Kesehatan adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan
atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Sarana Kesehatan adalah
tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh
fekalith (batu feces), hiperplasia jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen
merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi
karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius
vermikularis (Ovedolf, 2006).
Appendisitis dapat terjadi pada setiap usia, perbandingan antara pria dan wanita
mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita penyakit ini. Namun penyakit ini
paling sering dijumpai pada dewasa muda antar umur 10 - 30 tahun (Smeltzer, 2002).
Satu dari 15 orang pernah menderita apendisitis dalam hidupnya. Insiden tertinggi
terdapat pada laki-laki usia 10-14 tahun dan wanita yang berusia 15-19 tahun. Laki-laki
lebih banyak menderita apendisitis dari pada wanita pada usia pubertas dan pada usia 25
tahun. Apendisitis jarang terjadi pada bayi dan anak-anak dibawah 2 tahun (Smeltzer,
2002). Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi abses, peritonitis bahkan shock dan perforasi. Insiden perforasi
adalah 10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi terjadi
secara umum 24 jam pertama setelah awitan nyeri.
Angka kematian yang timbul akibat terjadinya perforasi adalah 10-15% dari kasus
yang ada, sedangkan angka kematian pasien apendisitis akut adalah 0,2% - 0,8%. yang
berhubungan dengan komplikasi penyakitnya daripada akibatintervensi tindakan
(Sjamsuhidayat, 2005).
Pengobatan apendisitis dapat melalui dua cara yaitu operasi dan non operasi pada
kasus ringan apendisitis bisa sembuh hanya dengan pengobatan tetapi untuk apendisitis
yang sudah luas infeksinya maka harus segera dilakukan operasi apendiktomi.
Appendiktomi adalah pembedahan untuk mengangkat appendiks yang meradang
(Smeltzer, 2002). Pembedahan segera dilakukan untuk mencegah rupture, terbentuknya
abses atau peradangan pada selaput rongga parut ( peritonitis ) (Smeltzer,2002).
Peradangan pada apendiks selain mendapat intervensi farmakologik juga
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi dan memberikan
implikasi pada perawat dalam bentuk asuhan keperawatan
Hasil akhir operasi pun berbeda tergantung dari tingkatan keparahan,komplikasi
setelah operasi antara lain perdarahan, perlengketan organ dalam,atau infeksi pada daerah
operasi.Melihat komplikasi tersebut penulis tertarik untuk membahas tentang perawatan
pada klien pre dan post operasi apendiktomi dan dapat mengaplikasikannya dalam
memberikan asuhan keperawatan pada klien post operasi apendiktomi.
Perawat berperan penting dalam merawat pasien dengan masalah pencernaan
terutama dengan apendiktomi. Apendiktomi adalah pengangkatan apendiks terinflamasi
dapat dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan pendekatan endoskopi. (D
Pengkajian ini memungkinkan perawat mempunyai kesempatan untuk mendapatkan
informasi dasar dan memberikan kerangka kerja untuk mendeteksi beberapa intervensi
yang dapat menunjukkan perubahan/perbaikan status system pencernaan. Riwayat pasien
harus dimulai dengan informasi tentang adanya penyakit sering kali, bila pasien sangat
lemah, maka informasi lebih banyak diperoleh dari saudara atau teman dekat. Penyakit
pada sistem pencernaan : apendiktomi sering disertai nyeri pasca operasi.
Intervensi secara umum terhadap pasien Pada kasus klasik apendiksitis akut, gejala-
gejala permulaan adalah sakit atau perasaan tidak enak sekitar umbilicus diikuti oleh
anoreksia, nausea, dan muntah. Gejala-gejala ini umumnya berlangsung lebih dari 1 atau
2 hari.dalam beberapa jam rasa sakit bergeser kekuadran kanan bawah dan mungkin
terdapat spasme otot dan nyeri lepas. Biasanya ditemukan demam ringan dan leukositosis
moderat.bila rupture apendiks terjadi, sering ditemukan hilangnya rasa sakit secara
dramatic untuk sementara.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan
pada pasien dengan apendisitis dengan pendekatan proses keperawatan.

C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Memahami asuhan keperawatan pada pasien pre dan post apendiktomi dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan yang utuh dan komprehensif.
2. Tujuan Khusus
Peneliti diharapkan mampu
a. Menjelaskan dan memahami pengertian appendicitis
b. Menjelaskan dan Memahami Anatomi Fisiologi dari pencernaan
c. Menjelaskan dan memahami etiologi appendicitis
d. Menjelaskan dan memahami manifestasi klinis dari appendicitis
e. Menjelaskan dan memahami patofisiologi dari appendicitis
f. Menjelaskan dan memahami insidensi dan komplikasi appendicitis
g. Menjelaskan dan memahami Test Diagnostik dari appendicitis
h. Memahami dan melakukan Pengkajian pada pasien appendicitis
i. Memahami dan melakukan DiagnosaKeperawatan pada pasien appendicitis
j. Memahami dan melakukan Intervensi pada pasien appendicitis
k. Memahami dan melakukan Evaluasi pada pasien appendicitis.
D. MANFAAT PENULISAN
Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis mengharapkan dapat memberikan
manfaat, yaitu:
1. Bagi Penulis
Menambah ilmu pengetahuan dan wawasan serta pengalaman belajar dibidang ilmu
keperawatan.
2. Bagi Rumah Sakit
Hasil Karya Tulis Ilmiah ini dapat digunakan sebagai tambahan refrensi yang
bertujuan untuk mengembangkan ilmu kesehatan khususnya bidang keperawatan
untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan pada klien dengan apendisitis
3. Bagi Institusi Pendidikan
a. Menambah refrensi dibidang ilmu kesehatan mengenai asuhan keperawatan pada
klien dengan apendisitis
b. Dapat digunakan sebagai bahan acuan masukan bagi pihak-pihak yang
berkepentingan langsung dalam Karya Tulis Ilmiah untuk tenaga kesehatan
khususnya perawat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

KONSEP MEDIS
A. DEFINISI
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94 inci),
melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi makanan dan
mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif
dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi.
(Brunner dan Sudarth, 2002).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki
maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30
tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu
feces), hiperplasia jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan
penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena
parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis
(Ovedolf, 2006).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang terpuntir,
appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi
(Chang, 2010)
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab yang
jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau
pembuluh darahya (Corwin, 2009).
Kesimpulan appendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis yang dapat timbul
tanpa sebab yang jelas dan merupakan penyebab akut yang paling sering terjadi pada
kuadran kanan bawah rongga abdomen.
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
ANATOMI
Saluran pencernaan (traktus digestivus) pada dasarnya adalah suatu saluran (tabung)
dengan panjang sekitar 30 kaki (9m). yang berjalan melalui bagian tengah tubuh dari
mulut sampai ke anus (sembilan meter adalah panjang saluran pencernaan pada mayat;
panjangnya pada manusia hidup sekitar separuhnya karena kontraksi terus menerus
dinding otot saluran). Saluran pencernaan mencakup organ_organ berikut: mulut; faring;
esophagus; lambung; usus halus; (terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum); usus besar
(terdiri dari sekum, apendiks, kolon dan rectum); dan anus (Lauralee Sherwood, 2001).
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15
cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit pada ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya,
apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens,
atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak
apendiks. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
n.torakalis X. oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar
umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri in tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami gangren(Wim De Jong,2004).

FISIOLOGI
Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam
lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks
tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis(Wim De Jong,2004).
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks , ialah IgA. Imunoglobulin
itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
apendik tidak memengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limf di sini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh(Wim
De Jong,2004).

C. KLASIFIKASI
Klasifikasi dari apendisitis terbagi atas dua, yaitu :
1. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah
sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah
bertumpuk nanah.
2. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh
akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring,
biasanya ditemukan pada usia tua(Defa Arisandi, 2008).

D. ETIOLOGI
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai factor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai factor
pencetus disamping hyperplasia jaringan limf, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris
dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab yang lain yang diduga dapat menyebabkan
apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Namun
menurut E. Oswari, kuman yang sering ditemukan dalam apendiks yang meradang adalah
Escherichia coli dan Streptococcus (E. Oswari, 2000). Para ahli menduga timbulnya
apendisitis ada hubungannya dengan gaya hidup seseorang, kebiasaan makan dan pola
hidup ayang tidak teratur dengan badaniah yang bekerja keras. Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi
terhadap timbulnya apendisitis. konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.
E. PATOFISIOLOGI
Apendisitis akut pada dasarnya adalah suatu proses obstuksi (hyperplasia
Lnn.submucosa, fecolith, benda asing, strieture, tumor). Kemudian disusul dengan proses
infeksi sehingga gejalanya adalah mula-mula suatu obstruksi ileus ringan yakni : Kolik,
mual, muntah, anoreksia dan sebagainya yang kemudian mereda karena sudah jadi
paralitik ileus. Kemudian disusul oleh gejala keradangan yakni : nyeri tekan, defans
muscular, subfebril dan sebagainya. Faktor obstruksi pada anak-anak terutama
hyperplasia dari kelenjar lymphe submucosal. Pada orang tua adalah fecolith, dan sedikit
corpus alineum, strictura dan tumor. Tumor pada orang muda adalah cacinoid dan pada
orang tua adalah Ca caecum. Fecolith diduga terbentuk bila ada serabut sayuran
terperangkap masuk ke dalam apendiks, sehingga keluar mucous berlebihan.
Cairan mucous ini mengandung banyak calcium sehingga bahan tersebut mengeras dan
dapat menimbulkan obstruksi,dan peregangan lumen apendiks, hambatan venous return
dana aliran lymphe yang berakibat oedema apendiks dimulai dengan diapedesis dan
gambaran ulcus mukosa. Hal ini merupakan tahap dari akut fokal apendisitis. karena
apendiks dan usus halus mempunyai tekanan intra luminal dengan akibat obstruksi vena
dan thrombosis sehingga terjadi oedema dan ischemi apendiks. Invasi bakteri malalui
dinding apendiks. Phase ini disebut akut supurative apendisitis. lapisan serosa apendiks
berhubungan dengan peritoneum parictalis.
Nyeri somatis timbul dari peritoneum karena terjadi kontak dengan apendiks yang
meradang, dan ini tampak sebagai perubahan yang klasik dalam bentuk nyeri yang
terlokalisir di kwadrant kanan bawah perut. Seterusnya proses patologis mungkin
mengenal sistim arterial apendiks. Apendiks dengan vaskularisasi yang sangat kurang
akan mengalami gangrene dan terlihat. Sekresi yang terus menerus dari mukosa apendiks
yang masih baik serta peningkatan intra luminal berakibat perforasi melalui gangrenous
infark. Timbul perforated apendisitis. Jika apendisitis tidak terjadi secara progressive,
terbentuk perlekatan pada lubang usus, peritoneum dan omentum yang mengelilingi
apendiks. Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tentunya tergantung pada : virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang
lain, peritoneum parietale bahkan organ lain seperti buli-buli, uterus, tuba, mencoba
membatasi dan melokalisir proses keradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum dan
sudah terjadi perforasi maka timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah
selesai tetapi belum cukup kuat menahan tarikan/tegangan dalam cavum abdominalis,
karena itu pasien harus benar-benar bedrest.
Kadang-kadang apendisitis akut terjadi tanpa adanya obstruksi, ia terjadi karena adanya
penyebaran infeksi dari organ lain secara hematogen ke apendiks. Terjadi abscess
multiple kecil pada apendiks dan pembesaran lnn.mesentrica regional. Karena terjadi
tanpa obstruksi maka gambaran klinis tentunya berbeda dengan gejala obstruksi tersebut
diatas.
F. Patoflow diagram

Fekalit, cacing askaris, makanan asing, , konstipasi bakteri E. Histolytica

Obstruki lumen Kontak lumen apendiks

Apendiks terinflamasi
DK: hipertermi

Suhu >37,50C
Stimulus mediator kimia Tubuh teraba
panas
Leukosit
>10000
USG abdomen

Stimulus ujung saraf terminal

Dibawa melalui jalur spinotalamus

DK: nyeri

Cortex cerebri
Nyeri abdomen
kuadran kanan
bawah
Nyeri tekan titik
Mc.burney
Nyeri dipersepsikan
Stimulus saraf Stimulus saraf Pembengkakan, ulcerasi dan infeksi

Simpatis parasimpatis

HCl Peristaltic merangsang N.Vagus Peningkatan tekanan intraluminal

mual Konstipasi peristaltik meningkat Limfe terbendung

Diare Oklusi arteria terminalis apendikularis

Perfusi menurun
DK: Resti nutrisi DK: gangguan pola
kurang dari
eliminasi BAB
kebutuhan

Iskemik

Nekrosis

DK: resiko syok


hipovolemik
Gangrene

Suhu meningkat

Abdomen tegang perforasi

Gelisah

Kesadaran
menrun
peritonitis
G. Gejala-gejala

1. Rasa sakit di daerah epigastrium, daerah periumbilikus, di seluruh abdomen atau di


kuadran kanan bawah. Ini merupakan gejala-gejala pertama. Rasa sakit ini samar-
samar, ringan samapai moderat, dan kadang-kadang berupa kejang. Sesudah 4 jam
biasaya rasa nyeri itu sedikit demi sedikit menghilangkemudian beralih ke kuadran
bawah kanan dan disini rasa nyeri itu menetap dan secara progresif bertambah hebat,
dan semakin hebat apabila pasien bergerak.

2. Anoreksia, mual dan muntah yang timbul selang beberapa jam sesudahnya
merupakan kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan.

3. Gejala-gejala lain adalah demam tidak tinggi dan konstipasi.

4. Bayi yang mengalami apendisitis gelisah, mengantuk dan anoreksia.

5. Mereka yang sudah lanjut usia gejala-gejalanya tidak senyata mereka yang lebih
muda.

Tanda-tanda khas pada appendicitis

1. Nyeri tekan di daerah kuadran kanan bawah pada titik Mc. Burney (Tanda Rovsing).

2. Nyeri lepas di daerah kuadran kanan bawah pada titik Mc. Burney (Tanda Blumberg).

3. Untuk mengkaji tanda tahanan (defence muscular), maka dilakukan hiperekstensi


pada ektremitas kanan, bila didapatkan nyeri maka disebut tanda psoas positif.

4. Nyeri pada saat fleksi ekstremitas dan rotasi internal hip kanan (Tanda Obturator).

H. Tes laboratorium
1. Jumlah leukosit berkisar antara 10.000 dan 16.000/mm Tetapi beberapa pasien
dengan apendisitis memiliki jumlah leukosit yang normal. Pada urinalisis tampak
sejumlah kecil eritrosit atau leukosit.
2. Foto sinar-X Tak tampak kelainan spesifik pada foto polos abdomen. Barium enema
mungkin dapat untuk diagnosis tetapi tundakan ini dicadangkan untuk kasus yang
meragukan(Theodore R. Schorock, MD).
3. Appendikogram
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4 serbuk halus yang
diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum sebelum
pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa,
hasil apendikogram diexpertise oleh dokter spesialis radiologi.
4. Test rektal.
Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri
pada daerah prolitotomi.
5. Pemeriksaan USG
USG dilakukan untuk menilai inflamasi dan apendisitis
6. CT Scan pada abdomen
CT Scan untuk mendeteksi apendisitis dan adanya kemungkinan perforasi

I. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah perforasi apendisitis. Perforasi usus buntu dapat
mengakibatkan periappendiceal abses (pengumpulan nanah yang terinfeksi) atau
peritonitis difus (infeksi selaput perut dan panggul). Alasan utama untuk perforasi
appendiceal adalah keterlambatan dalam diagnosis dan perawatan. Secara umum,
semakin lama waktu tunda antara diagnosis dan operasi, semakin besar kemungkinan
perforasi. Risiko perforasi 36 jam setelah onset gejala setidaknya 15%. Oleh karena itu,
setelah didiagnosa radang usus buntu, operasi harus dilakukan tanpa menunda-nunda.
Komplikasi jarang terjadi pada apendisitis adalah penyumbatan usus. Penyumbatan
terjadi ketika peradangan usus buntu sekitarnya menyebabkan otot usus untuk berhenti
bekerja, dan ini mencegah isi usus yang lewat. Jika penyumbatan usus di atas mulai
mengisi dengan cairan dan gas, distensi perut, mual dan muntah dapat terjadi. Kemudian
mungkin perlu untuk mengeluarkan isi usus melalui pipa melewati hidung dan
kerongkongan dan ke dalam perut dan usus.
Sebuah komplikasi apendisitis ditakuti adalah sepsis, suatu kondisi dimana bakteri
menginfeksi masuk ke darah dan perjalanan ke bagian tubuh lainnya.
Kebanyakan komplikasi setelah apendektomi adalah (Hugh A.F. Dudley, 1992):
1. Infeksi luka
2. Abses residual
3. Sumbatan usus akut
4. Ileus paralitik
5. Fistula tinja eksternal

J. Pengobatan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak
diperlukan pemberian antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis
perforate. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan
abses atau perforasi (Wim De Jong, 2004).
Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara laparskopi. Bila
apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada
penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih
terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostic pada kasus
meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Wim De Jong,
2004)
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor register.
2. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Kesehatan saat ini : keluhan nyeri pada luka post operasi apendektomi,
mual muntah, peningkatan suhu tubuh, peningkatan leukosit.
b. Riwayat Kesehatan masa lalu
3. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem kardiovaskuler : Untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya distensi
vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung.
b. Sistem hematologi : Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan, mimisan splenomegali.
c. Sistem urogenital : Ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit
pinggang.
d. Sistem muskuloskeletal : Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan dalam
pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak.
e. Sistem kekebalan tubuh : Untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran kelenjar
getah bening.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi.
b. Pemeriksaan foto abdomen : untuk mengetahui adanya komplikasi pasca
pembedahan.
B. Diagnosa Keperawatan

Pre Operasi :

1. Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal oleh inflamasi.


2. Kecemasan b.d. rencana pembedahan.
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurang
informasi.

Post Operasi :

1. Gangguan rasa nyaman: nyeri luka operasi b.d. terputusnya kontinuitas jaringan.
2. Resiko infeksi b.d. prosedur invasif
3. Keterbatasan aktifitas b.d. nyeri pasca operasi, penurunan kekuatan dan ketahanan
sekunder akibat efek susunan saraf pusat dari anestesi.

4. Kurang pengetahuan b.d. kurangnya informasi perawatan post operasi


5. Resiko terhadap kekurangan cairan b.d. masukan cairan tidak adekuat akibat mual,
status puasa, depresi susunan saraf pusat atau kurangnya akses cairan.
C. Intervensi

Pre Operasi

1. Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal oleh inflamasi.


Tujuan : persepsi subyektif pasien tentang ketidaknyamanan menurun, klien tidak
menunjukkan indikator-indikator nyeri non verbal, respon verbal seperti menangis
atau meringis tidak ada.

Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik 1. Indiaktor secara dini untuk dapat
nyeri. memberikan tindakan selanjutnya.
2. Informasi yang tepat dapat
2. Jelaskan pada pasien tentang penyebab
menurunkan tingkat kecemasan pasien
nyeri.
dan menambah pengetahuan pasien
tentang nyeri.
3. Napas dalam dapat menghirup O2
3. Ajarkan tehnik untuk pernafasan
secara adequate sehingga otot-otot
diafragmatik lambat / napas dalam.
menjadi relaksasi sehingga dapat
mengurangi rasa nyeri.

4. Berikan aktivitas hiburan (ngobrol dengan 4. Meningkatkan relaksasi dan dapat


anggota keluarga) meningkatkan kemampuan koping.

5. Observasi tanda-tanda vital.


5. Deteksi dini terhadap perkembangan
6. Kolaborasi dengan tim medis dalam kesehatan pasien.
pemberian analgetik 6. Mengurangi rasa nyeri

2. Kecemasan berhubungan dengan prosedur pelaksanaan operasi.

Tujuan Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan kecemasa klien berkurang

Intervensi Rasional
1. Evaluasi tingkat ansietas, catat verbal dan 1. Ketakutan dapat terjadi karena nyeri
non verbal pasien. hebat, penting pada prosedur
diagnostik dan pembedahan.
2. Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan 2. Meringankan ansietas terutama ketika
prosedur sebelum dilakukan. pemeriksaan tersebut melibatkan
pembedahan.
3. Jadwalkan istirahat adekuat dan periode 3. Membatasi kelemahan, menghemat
menghentikan tidur. energi dan meningkatkan kemampuan
koping.
4. Anjurkan keluarga untuk menemani 4. Mengurangi kecemasan klien
disamping klien

Post Operasi :

1. Gangguan rasa nyaman : nyeri luka operasi b.d. terputusnya kontinuitas jaringan.
Tujuan : persepsi subyektif pasien tentang ketidaknyamanan menurun, klien tidak
menunjukkan indikator-indikator nyeri non verbal, respon verbal seperti menangis atau
meringis tidak ada.
Intervensi :
Intervensi Rasional
7. Kaji dan dokumentasikan kualitas, 7. Berguna dalam pengawasan
lokasi, dan durasi nyeri keefek-tifan obat, kemajuan
penyembuhan, perubahan pada
karakteristik nyeri menunjukkan
terjadinya abses/ peritonitis,
memerlukan evaluasi medik dan
intervensi
8. Ajarkan tehnik untuk pernafasan 8. Menurunkan stress dan membantu
diafragma lambat relaks otot yang tegang
9. Bantu posisi klien untuk 9. Gravitasi melokalisasi eksudasi
kenyamanan yang optimal: posisi inflamasi dalam abdomen bawah
semi fowler, beberapa pasien atau pelvis. Menghilangkan
menemukan kenyamanan pada ketegangan otot abdomen yang
posisi miring dengan lutut ditekuk, bertambah dengan posisi
sedangkan yang lain merasa hilang terlentang
dengan posisi terlentang dengan
bantal di bawah lutut.
10. Ajarkan klien untuk memberi 10. Tahanan ringan mengurangi
tahanan ringan dengan tangan atau ketegangan otot abdomen saat
bantal pada luka operasi saat batuk serangan batuk
11. Berikan therapi obat analgesik 11. Analgesik menghilangkan nyeri,
sesuai kebutuhan klien mempermudah kerjasama dengan
intervensi terapi lain seperti:
ambulasi, batuk

2. Resiko infeksi b.d. prosedur invasif


Tujuan : klien bebas dari infeksi dengan kriteria normotemia, berorientasi terhadap waktu
dan tempat, tidak ada eritema, insisi yang hangat atau drainase dari sisi insisi
Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Observasi tanda-tanda Vital 1. Dugaan adanya infeksi /
terjadinya sepsis, abses, dan
peritonitis dapat meningkatakan
metabolisme dan tanda-tanda vital
2. Evaluasi luka operasi terhadap 2. Sebagai deteksi dini terhadap
bukti infeksi: eritema, hangat, adanya infeksi
bengkak, drainage purulent,
penyembuhan lambat
3. Perhatikan warna, karakter dan 3. Cairan drainage yang busuk atau
bau drainage, laporkan bila abnormal mengindikasikan
drainage ball busuk atau abnormal adanya proses infeksi
4. Ganti balutan sesuai program 4. Mencegah resiko penyebaran
dengan menggunakan tehnik steril, infeksi
cegah kontaminasi silang dari luka
pada klien
5. Cegah transmisi agen infeksi 5. Mencuci tangan dengan baik
dengan mencuci tangan dengan menurunkan resiko penyebaran
baik sebelum dan sesudah infeksi
merawat klien
6. Beli makanan yang berkualitas: 6. Karbohidrat dan protein penting
asupan karbohidrat, protein, dalam proses penyembuhan luka
dukung klien untuk makan secara
bertahap
7. Berikan therapi antibiotik sesuai 7. Menurunkan jumlah organisme
indikasi (pada infeksi yang sudah ada
sebelumnya) untuk, menurunkan
penyebaran dan pertumbuhannya
pada rongga abdomen

3. Keterbatasan aktifitas b.d. nyeri pasca operasi, penurunan kekuatan dan ketahanan
sekunder akibat efek susunan saraf pusat dari anestesi.
Tujuan : Klien dapat mobilisasi secara optimal dengan kriteria kemampuan untuk
bergerak di tempat tidur, berpindah dan ambulasi secara mandiri atau dengan bantuan
minimal.
Intervensi :
Intervensi Rasional
5. Kaji mobilitas fisik pra operasi 5. Nyeri pasca operasi dan efek
dengan mengevaluasi koordi-nasi anestesi menurunkan ketahanan
dan kekuatan otot, kontrol dan otot
masa
6. Bantu klien untuk ambulasi segera 6. Ambulasi dini penting dalam
mungkin setelah pembedahan peningkatkan normalisasi fungsi
sesuai indikasi organ
7. Bantu klien dalam memenuhi 7. Mengurangi resiko mobilisasi
kebutuhan ADL yang tidak diperlukan
8. Dekatkan alat-alat yang 8. Meminimalkan aktifitas klien
dibutuhkan oleh klien
9. Jelaskan pentingnya gerakan 9. Penjelasan dapat membantu agar
ditempat tidur dan ambulasi pada klien kooperatif dengan intervensi
penurunan komplikasi pada pasca perawat
operasi
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marylinn E. (2000), Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Penerbit


Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.

Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Price, SA. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC

Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran,
EGC. Jakarta.

Smeltzer, Suzanne C, (2001), Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 2, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta

Brunner & Suddarth.(2005), Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.

Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA
Intervention Project, Mosby.

Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.

NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.

Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddarth. Edisi 8.
Volume 2. Jakarta, EGC

Nursalam.2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktik.Jakarta: Salemba


Medika

Potter & Perry.2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep Proses dan Praktik. Jakarta:
EGC

Prasetyo, Nian Sigit.2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Jakarta: Graha Ilmu

Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004.Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai