Anda di halaman 1dari 17

Penanganan Awal pada Pasien Trauma

J. Michael Ray, Ramon F. Cestero

KATA KUNCI
Trauma. Penanganan awal. Advanced trauma life support.

POIN UTAMA
Trauma merupakan penyebab utama kematian di Amerika Serikat pada individu yang
berusia hingga 45 tahun, dan merupakan penyebab terbanyak urutan ke-3 untuk
semua usia.
Standar pelayanan yang sudah diterima secara luas untuk penanganan dan
pengobatan awal pada korban kecelakaan terdapat dalam program Advanced Trauma
Life Support (ATLS).
Terlepas dari cedera yang dialami atau kemampuan fasilitas kesehatan, prinsip yang
dijelaskan dalam ATLS dapat memandu untuk penanganan awal, resusitasi, dan
pengobatan pada pasien dengan cedera multipel.
Survei primer dan sekunder harus selalu dilakukan untuk mengidentifikasi kelainan
pada pasien dan untuk menentukan intervensi yang tepat.
Menggunakan pendekatan berdasarkan prioritas dan sistematis dalam penanganan
awal pasien trauma dapat memastikan pelayanan optimal dan hasil terbaik yang
mungkin didapatkan.

PENDAHULUAN
Trauma merupakan penyebab utama kematian di Amerika Serikat pada individu
yang berusia hingga 45 tahun, dan merupakan penyebab terbanyak urutan ke-3 untuk
semua usia.1 Di seluruh dunia, trauma terlibat dalam kejadian lebih dari 3 juta kematian
dan 300 juta cedera per tahun,2 sehingga menjadikan trauma sebagai masalah kesehatan
global yang signifikan namun dapat dicegah.
Standar pelayanan yang sudah diterima secara luas untuk penanganan dan
pengobatan awal pada korban kecelakaan terdapat dalam program Advanced Trauma
Life Support (ATLS),3 yang dikembangkan oleh American College of Surgeons.
Program ini menekankan prioritas pada diagnosis dan tatalaksana cedera yang paling
mengancam nyawa, menggunakan mnemonik ABCDE sebagai berikut: Airway with C-
spine protection (Jalan napas dengan proteksi tulang servikal), Breathing and
ventilation (pernapasan dan ventilasi), Circulation with hemorrhage control (sirkulasi
dan kontrol perdarahan), Disability-neurologic status (disabilitas-status neurologis), dan
Exposure and environmental control (paparan dan kontrol lingkungan).
Artikel ini difokuskan pada evaluasi awal pada pasien trauma, menggabungkan
beberapa perubahan pada tatalaksana, dan ditujukan untuk cedera yang sering terjadi
yang dapat dievaluasi oleh ahli bedah mulut dan maksilofasial.

JALAN NAPAS DAN PROTEKSI TULANG SERVIKAL


Penilaian Jalan Napas
Verifikasi keutuhan jalan napas merupakan hal terpenting dalam evaluasi awal
pada pasien trauma, karena seluruh usaha resusitasi akan sia-sia tanpa oksigenasi dan
ventilasi yang adekuat. Seluruh pasien harus mendapatkan oksigen aliran tinggi pada
saat sampai di rumah sakit, dan tulang servikal harus diimobilisasi dengan
menggunakan hard collar atau diatas permukaan keras, menggunakan kantung pasir
yang direkatkan dengan plester.
Penilaian jalan napas biasanya dimulai dengan meminta pasien untuk berbicara,
umumnya dengan bertanya siapa nama Anda? hal ini tidak hanya membantu evaluasi
keadaan jalan napas, namun juga membantu menilai secara cepat keadaan mental pasien
jika pasien dapat menjawab dengan logis. Tanda-tanda adanya obstruksi jalan napas
yang dapat dinilai cepat yaitu stridor, gurgling, agitasi, dan serak. Selain itu, dokter
dapat mengevaluasi kemungkinan fraktur fasial, mandibula, atau trakea, yang dapat
mengganggu jalan napas dan kemudian menyebabkan obstruksi. Adanya darah,
muntahan, gigi yang patah, atau debris lain pada rongga mulut dapat menunjukkan
kemungkinan gangguan jalan napas dan harus dipantau dengan ketat.

Trauma Leher
Semua pasien dengan trauma tembus pada leher harus diperiksa apakah ada
gangguan jalan napas, karena kemungkinan cedera vaskuler dapat menyebabkan
perdarahan signifikan yang berakibat pada pendorongan dan obstruksi jalan napas.
Tanda cedera langsung pada jalan napas meliputi sesak napas dan hemoptisis, serta
hematom besar di leher dengan deviasi trakea yang membutuhkan intubasi segera
sebelum tertutupnya jalan napas.

Trauma Maksilofasial
Trauma pada daerah maksilofasial dapat menyebabkan gangguan jalan napas
akibat perdarahan, pembengkakan jaringan, dan fraktur yang mengakibatkan hilangnya
arsitektur wajah. Cedera pada bagian tengah wajah dapat mempengaruhi nasofaring dan
orofaring akibat fraktur dan dislokasi. Fraktur mandibula kominutif atau bilateral yang
berat dapat menyebabkan obstruksi jalan napas akibat kolaps struktur glotis pada faring
posterior. Fraktur dentoalveolar, selain sering terkait dengan perdarahan, juga dapat
menimbulkan masalah apabila gigi lepas karena dapat diaspirasi dengan mudah.
Sehingga, seluruh gigi harus dihitung untuk memastikan tidak ada yang diaspirasi.

Pengelolaan Jalan Napas


Indikasi untuk tindakan intubasi pada pasien trauma meliputi obstruksi jalan
napas; syok; perubahan status mental (Glasgow Coma Scale [GCS] 8); dan terkadang
adanya perlawanan membutuhkan sedasi untuk melakukan evaluasi. Penanganan awal
pada pasien dengan gangguan jalan napas yang membutuhkan intubasi terdiri dari
manuver chin-lift atau jaw-thrust, yang harus dipertahankan hingga intubasi selesai.
Oropharingeal airway (Guedel) dapat memberikan bantuan, namun tidak dapat
digunakan pada pasien sadar karena menyebabkan refleks muntah, mual, dan aspirasi.
Nasopharingeal airway lebih dapat ditoleransi pada pasien sadar dan dapat membantu
mempertahankan jalan napas untuk sementara.
Ketika sebuah keputusan telah diambil untuk menginisiasi jalan napas definitif,
umumnya dilakukan intubasi orotracheal, meskipun hal ini sulit dilakukan pada
keadaan perdarahan atau muntah karena sulitnya visualisasi pita suara. Semua peralatan
intubasi harus sudah tersedia selama pemeriksaan awal karena kebutuhan terhadap jalan
napas darurat dapat muncul dengan cepat selama evaluasi awal. Pada kondisi mendesak
dimana intubasi orotracheal gagal dilakukan, direkomendasikan transisi segera
penanganan jalan napas secara pembedahan (cricothyroidotomy).

PERNAPASAN DAN VENTILASI


Penilaian pernapasan dan ventilasi yang dilakukan yaitu inspeksi, palpasi, dan
auskultasi pada leher, regio toraks, dan abdomen serta punggung bagian atas. Cedera
yang dapat diidentifikasi dari survei primer dan dapat membatasi ventilasi termasuk
tension pneumothorax; flail chest (tiga atau lebih fraktur iga yang berdekatan di dua
tempat) dengan kontusio paru yang mendasari; pneumotoraks terbuka; dan hemotoraks
masif. Pada inspeksi, dapat diidentifikasi kontusio, trauma tembus dan defek jaringan
lunak, flail segment, dan pengembangan paru asimetris saat inspirasi. Palpasi dapat
menunjukkan lokasi nyeri tekan, emfisema subkutis, gerakan dinding dada abnormal,
dan kelainan tulang. Auskultasi, walaupun terkadang sulit dilakukan pada area resusitasi
yang gaduh, dapat mengkonfirmasi adanya suara nafas bilateral dan jika abnormal dapat
mengesankan kemungkinan pneumotoraks atau hemotoraks.
Kemungkinan abnormalitas yang paling kritis untuk ditemukan selama fase ini
adalah tension pneumothorax, yang murni merupakan kegawatdaruratan dengan gejala
hilangnya suara nafas unilateral, deviasi trakea, distensi vena leher, dan hipotensi.
Tension pneumothorax terjadi ketika udara memasuki rongga pleura dari trakea,
bronkus, paru, atau dinding dada. Udara tersebut terperangkap, dan tekanannya
meningkat secara progresif pada sisi paru yang kolaps dan struktur mediastinum
terdorong ke sisi kontralateral. Ketika udara terkumpul dan tekanan intratorakal
meningkat, struktur mediastinum termasuk jantung, vena kava superior dan inferior
menjadi tertekan; venous return berkurang; dan terjadi hipotensi. Penanganan tension
pneumothorax cukup sederhana, yaitu dengan dekompresi jarum diatas iga pada ruang
interkosta di garis midklavikula. Tindakan ini mengurangi tekanan pada rongga pleura,
dan dikonfirmasi dengan keluarnya udara pada daerah penyuktikan. Tube thoracostomy
kemudian dipasang untuk mengelola simple pneumothorax, dan untuk mencegah
reakumulasi udara yang menyebabkan tension pneumothorax lainnya.
Simple pneumothorax disebabkan oleh masuknya udara ke dalam rongga toraks
dari dinding dada, paru, atau trakea, yang menghilangkan tekanan negatif pada pleura
normal yang berguna dalam ekspansi paru dan kemudian menyebabkan paru kolaps.
Temuan klinis pada kondisi ini adalah penurunan suara napas pada sisi yang sakit,
namun temuan pemeriksaan fisik mungkin tidak jelas jika pneumotoraks berukuran
kecil. Pneumotoraks dengan temuan klinis minimal biasanya teridentifikasi dari
radiografi toraks, dan penanganannya menggunakan tube thoracostomy.
Hal yang serupa, hemotoraks (akumulasi darah di rongga pleura), muncul
dengan penurunan suara napas pada sisi yang sakit karena darah yang terkumpul
menghambat ekspansi paru maksimal selama inspirasi. Pada kondisi perdarahan
signifikan diatas 1500 mL, selain suara napas abnormal pasien juga dapat mengalami
hipotensi, dan hal ini didefinisikan sebagai hemotoraks masif. Pasien yang datang
dengan tanda vital yang stabil, diagnosis biasanya dibuat saat evaluasi radiologi, yaitu
radiografi atau CT scan toraks. Pada kedua situasi ini, penanganan yang tepat adalah
penggunaan tube thoracostomy.

SIRKULASI DENGAN KONTROL PERDARAHAN


Syok
Setelah jalan napas diamankan dan ventilasi sudah dinilai, kemudian status
sirkulasi pasien diperhatikan. Syok, didefinisikan sebagai perfusi jaringan yang tidak
adekuat, dapat dikategorikan menjadi 4 jenis: (1) syok perdarahan (atau hipovolemik);
(2) syok kardiogenik; (3) syok septik; dan (4) syok neurogenik. Penyebab syok paling
sering pada pasien trauma adalah perdarahan, meskipun syok neurogenik juga dapat
ditemui pada cedera tulang belakang, dan syok kardiogenik atau syok septik juga
terkadang ditemukan. Mengenali pasien dalam keadaan syok merupakan yang paling
penting, karena diagnosis dan tatalaksana awal sangat krusial selama survei primer.
Gejala klinis dari syok yaitu takikardi; dispneu; kulit dingin dan lembab;
perubahan status mental; penurunan tekanan nadi; dan pada kasus yang lebih berat,
terjadi hipotensi. Perkiraan total kehilangan darah berdasarkan tanda vital telah
disarankan oleh ATLS untuk membantu menentukan strategi resusitasi optimal pada
pasien yang mengalami syok, dan derajat syok telah diklasifikasikan menjadi 4 kelas
(kelas 1-4) (tabel 1). Apabila keparahan syok meningkat, direkomendasikan untuk
mengganti terapi cairan pengganti dari kristaloid menjadi packed red blood cell (PRBC)
dan fresh frozen plasma (FFP).

Identifikasi dan Kontrol Sumber Perdarahan


Pengelolaan sirkulasi dan kontrol perdarahan pada survei primer dipusatkan
pada identifikasi sumber perdarahan, mengontrol perdarahan yang sedang terjadi, dan
mengganti kehilangan cairan (gambar 1). Dua jalur intra vena dengan jarum ukuran
besar dipasang, dan perdarahan dari luka eksternal dikontrol dengan penekanan
langsung. Turniket, sering digunakan pada kondisi militer, merupakan tindakan yang
tepat untuk mengontrol perdarahan berat pada ekstremitas, dan telah menunjukkan hasil
yang efektif.4

Tabel 1. Klasifikasi syok


Kelas Kehilangan Darah Temuan Klinis Cairan Pengganti
I <15% (<750 mL) N < 100, TD normal, TN Kristaloid
normal
II 15-30% (750-1500 mL) N = 100-120, TD normal, Kristaloid
TN menurun
III 30-40% (1500-2000 mL) P = 120-140, TD menurun, Kristaloid dan
TN menurun darah
IV >40% (>2000 mL) P > 140, TD menurun, TN Kristaloid dan
menurun darah
Semakin meningkatnya perdarahan, kelainan tanda vital menjadi semakin jelas.
Perhatikan bahkan pada syok kelas II dengan kehilangan darah 30% tekanan darah
dapat normal dan hanya nadi serta tekanan nadi yang mengalami abnormalitas. Hanya
pada syok kelas III dengan perdarahan hingga sebanyak 2000 mL tekanan darah
menjadi abnormal.
Singkatan: TD, tekanan darah; N, Nadi; TN, tekanan nadi.

Selain dari perdarahan eksternal yang tampak dari luar, sumber perdarahan lain
juga perlu dipertimbangkan selama evaluasi awal pasien syok. Sumber tersebut
termasuk toraks (hemotoraks masif, cedera vaskular, trauma tembus pada jantung);
abdomen (trauma organ padat [hati, limpa, atau ginjal], trauma pembuluh darah besar,
atau perdarahan mesentrium); retroperitoneum (fraktur pelvis); atau fraktur tulang
panjang (contoh: femur). Radiografi toraks merupakan metode diagnostik cepat yang
menyediakan informasi mengenai sumber perdarahan pada toraks, karena hemotoraks
dapat terlihat dengan mudah pada foto polos. Focused abdominal sonography for
trauma (FAST) merupakan prosedur yang sensitif untuk memeriksa adanya cairan pada
rongga abdomen, yang umumnya dianggap sebagai darah sampai terbukti bahwa cairan
tersebut bukanlah darah. Pada pasien dengan hipotensi dan FAST positif, tindakan
laparotomi diindikasikan untuk mengidentifikasi dan mengontrol sumber perdarahan
pada abdomen. Foto polos pelvis dapat mengidentifikasi adanya fraktur pelvis dengan
kemungkinan perdarahan retroperitoneal, serta temuan pemeriksaan fisik atau radiografi
ekstremitas dapat mendeteksi adanya fraktur tulang panjang.
Penggantian Cairan
Terapi untuk penggantian cairan dimulai setelah akses intravena terpasang, dan
umumnya terdiri dari 1-2 liter bolus cairan ringer laktat yang dihangatkan atau cairan
NaCl. Tergantung pada respon pasien, cairan resustasi selanjutnya yang diberikan dapat
berupa kristaloid, PRBC atau FFP. Jumlah cairan atau darah yang dibutuhkan sulit
ditentukan pada evaluasi awal, dan sehingga respon dari fluid challenge menjadi
penentu utama terhadap pemberian infus cairan kristaloid atau darah selanjutnya.
Parameter yang penting untuk observasi setelah pemberian cairan resusitasi termasuk
perbaikan takikardi, normalisasi tekanan darah, perbaikan status mental, perbaikan
output urin, dan bukti peningkatan perfusi organ secara keseluruhan. Jika pasien hanya
menunjukkan respon minimal atau sementara terhadap pemberian cairan, bukti dari
perdarahan yang sedang berlangsung dan strategi resusitasi lanjutan sebaiknya harus
meliputi pemberian produk darah dibandingkan dengan cairan kristaloid.

Gambar 1. Resusitasi pasien dengan trauma tembus toraks. Pasien mendapatkan bantuan
oksigen melalui sungkup wajah dan menjalani pemeriksaan FAST serta dipasang tube
thoracostomy.

Ketika telah ditentukan keputusan untuk memberikan produk darah, darah O-


positif untuk pria dan O-negatif untuk wanita biasanya disediakan untuk transfusi segera
hingga darah yang sudah dilakukan crossmatch tersedia oleh bank darah. Berdasarkan
pengalaman militer selama Operasi Pembebasan Irak, 5 PRBC, plasma, dan trombosit
disediakan dengan perbandingan 1:1:1 (6 unit PRBC : 6 unit FFP : 6 unit trombosit atau
1 unit apheresis platelet) sebagai pengganti komponen yang hilang selama perdarahan
terjadi.
Resusitasi Hemostasis dan Hipotensi Permisif
Resusitasi hemostasis merupakan penggunaan terapi restriksi cairan untuk
mempertahankan tekanan darah yang menghasilkan perfusi organ yang adekuat, namun
tidak meningkatkan tekanan darah secara berlebihan hingga melepaskan bekuan darah
dan menyebabkan perdarahan lebih lanjut sebelum tindakan pembedahan. Panduan
umum menyebutkan sasaran tekanan darah sistolik yang disarankan yaitu 80 sampai
100 mmHg, atau tekanan yang cukup untuk mempertahankan pulsasi arteri radialis.
Hipotensi permisif mencegah penggunaan cairan pengganti bervolume tinggi untuk
mencapai tanda vital normal sampai tindakan pembedahan dilakukan. Setelah sumber
perdarahan dapat diidentifikasi dan dikontrol, tekanan darah akan menjadi normal.
Resusitasi hemostasis dan hipotensi permisif merupakan aspek utama yang dikenal
sebagai damage control resuscitation (DCR), yang akan dijelaskan di bagian berikutnya
pada artikel ini.

Asam Traneksamat
Asam traneksamat (Tranexamic acid , TXA), yang merupakan derivat asam
amino lisin sintetis, adalah agen antifibrinolitik yang umumnya digunakan pada
pembedahan jantung. Berdasarkan hasil penelitian prospektif, random, terbaru yang
mengevaluasi penggunaan TXA pada pasien trauma,6 TXA telah dianjurkan sebagai
intervensi penting yang dapat mengurangi risiko kematian pada pasien yang mengalami
perdarahan secara signifikan. Pada studi CRASH-2, didapatkan peningkatan mortalitas
pada pasien trauma dengan penggunaan TXA (14,5% vs 16%). Namun, pada analisis
CRASH-2 selanjutnya,7 manfaat pada mortalitas hanya muncul jika TXA digunakan
setelah 3 jam (4,4% vs 3,1%). Studi klinis saat ini lebih menggambarkan manfaat TXA,
meskipun kebanyakan pusat trauma saat ini menggunakan TXA segera setelah cedera.

DISABILITAS (STATUS NEUROLOGIS)


Komponen neurologis dari survei primer yaitu menilai dengan cepat tingkat
kesadaran pasien, ukuran dan reaksi pupil, dan tingkatan cedera tulang belakang.
Tingkat kesadaran ditentukan menggunakan GCS, yang terdiri dari tiga kriteria: (1)
mata, (2) verbal, dan (3) penilaian motorik (tabel 2). Skor GCS yang kurang dari
delapan menunjukkan adanya ketidakmampuan potensial dalam melindungi jalan napas,
dan biasanya membutuhkan penggunaan advance airway. Kurangnya pergerakan
motorik sesuai dengan cedera tulang belakang di atas vertebra torakal ke-4 dimana
pasien berisiko mengalami syok neurogenik, dan hal ini dapat mempersulit penilaian
pasien pada kondisi hipotensi jika pasien tersebut juga mengalami syok hemoragik.
Pemeriksaan lebih lanjut terhadap defek neurologis yang tidak terkait dengan cedera
yang mengancam nyawa, seperti defisit nevus kranial, harus ditunda hingga survei
sekunder.

Tabel 2. Glasgow coma scale


Respon membuka Spontan buka mata dengan kedipan normal 4 poin
mata Buka mata dengan perintah verbal, bicara, atau 3 poin
teriakan
Buka mata dengan rangsang nyeri, nyeri tidak 2 poin
dirangsang di wajah
Tidak ada respon 1 poin
Respon verbal Orientasi baik 5 poin
Pembicaraan membingungkan, namun dapat menjawab 4 poin
pertanyaan
Respon tidak sesuai, kata dapat dimengerti 3 poin
Bicara tidak dapat dimengerti 2 poin
Tidak ada respon 1 poin
Respon motorik Bergerak sesuai perintah 6 poin
Bergerak ke arah rangsangan nyeri 5 poin
Menjauhi nyeri 4 poin
Fleksi (spastik) abnormal, postur dekortikasi 3 poin
Ekstensi (rigid), postur deserebrasi 2 poin
Tidak ada respon 1 poin
Skala ini digunakan untuk menilai defisit neurologis pasien secara cepat. Penilaian
kembali dibutuhkan untuk memantau adanya perubahan.
Data dari Teasdale G, Jennett B. Assessment of coma and impaired consciousness. A
practical scale. Lancet 1974;2:81-4.

PAPARAN DAN KONTROL LINGKUNGAN


Pasien harus terbuka seluruh pakaiannya selama survei primer agar dapat
diperiksa dengan lengkap dan diidentifikasi semua cedera yang ada. Namun, apabila
pasien terpapar lama akan meningkatkan risiko hipotermia, sehingga pemeriksaan harus
diselesaikan secepat mungkin dan kemudian pasien diberikan selimut hangat. Selain itu,
seluruh cairan intravena harus diinfus melalui penghangat cairan untuk meminimalkan
penyebab iatrogenik pada hipotermia akibat pemberian cairan yang dingin.

Tambahan terhadap Survei Primer


Berbagai investigasi dan prosedur standar, seperti elektrokardiografi 12-lead,
pulse oximetry, analisis gas darah, pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit,
pemeriksaan koagulasi, radiografi toraks dan pelvis, kateterisasi lambung dan urin,
dapat memberikan informasi diagnostik tambahan. Jika diperlukan, dapat dilakukan foto
polos toraks, abdomen, dan pelvis.

SURVEI SEKUNDER
Setelah survei primer selesai, cedera mengancam nyawa telah diketahui, dan
tanda vital telah distabilkan, pemeriksa dapat memulai survei sekunder, yang terdiri dari
anamnesis dan pemeriksaan lengkap dari kepala hingga ujung kaki.
Anamnesis meliputi mekanisme trauma perlu untuk digali, karena beberapa tipe
trauma (jatuh, tabrakan antar kendaraan bermotor, cedera pejalan kaki vs mobil, luka
tembak, dan seterusnya) umumnya memiliki pola cedera tertentu, yang dapat
menyadarkan pemeriksa terhadap kemungkinan cedera tertentu. Riwayat pengobatan
saat ini sangat penting, terutama pada lansia, karena antikoagulan dapat menjadi
penyebab utama perdarahan tidak terkontrol dan -bloker dapat mengurangi cardiac
output dan menutupi takikardi yang terjadi. Pada pasien yang tidak mampu memberi
respon, sumber informasi bisa didapatkan dari anggota keluarga, paramedis, atau pasien
cedera lainnya. Sebuah mnemonik untuk anamnesis dengan cepat adalah AMPLE,
yang menggali beberapa area penting berikut: Alergi, Medications (obat-obatan), Past
illnesses/pregnancy (Riwayat penyakit dahulu/kehamilan), Last meal (makanan
terakhir), dan Events/environment (Kejadian/lingkungan) terkait peristiwa cedera.
Pemeriksaan fisik secara teliti pada setiap area tubuh untuk identifikasi seluruh
luka secara akurat dan mengurangi kemungkinan cedera yag terlewatkan. Dimulai
dengan kepala dan tengkorak, pemeriksaan sistematis berpindah ke struktur
maksilofasial, leher dan tulang servikal, toraks, abdomen, daerah perineum, pelvis dan
ekstremitas, serta sistem neurologis. Walaupun beberapa sistem tersebut saling
tumpang-tindih, sebuah pendekatan sistematis dan bijaksana harus dilakukan untuk
memastikan kelengkapan pemeriksaan.
Kepala dan tengkorak
Kulit kepala dan tengkorak harus diperiksa apakah terdapat laserasi, depresi,
kontusio, dan fraktur. GCS harus dievaluasi kembali jika ada perubahan yang dapat
menunjukkan cedera otak yang sedang berkembang dan peningkatan tekanan
intrakranial termasuk perubahan status mental dan trias Cushing (hipertensi, bradikardi,
dan pernapasan ireguler). CT scan kepala wajib dilakukan jika terdapat perubahan status
mental, GCS rendah, cedera kepala, dan tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Pemeriksaan nervus kranial pada kondisi ini diperlukan bersamaan dengan
pemeriksaan mata dan telinga. Meskipun edema pada trauma wajah dapat menghalangi
pemeriksaan mata yang komplit, ahli bedah harus menyelesaikan pemeriksaannya.
Temuan abnormal ketika pemeriksaan mata dapat menunjukkan adanya lesi nervus
kranial atau cedera yang lebih parah lagi, seperti cedera otak atau batang otak. Fungsi
pendengaran harus diperiksa pada saat ini.

Daerah Maksilofasial
Trauma maksilofasial umumnya tidak mengancam nyawa, sehingga evaluasi
cedera yang tidak melibatkan obstruksi jalan napas atau perdarahan signifikan dapat
ditunda hingga survei sekunder ini. Dilakukan palpasi pada tulang wajah untuk melihat
adanya kelainan. Telinga dan hidung diperiksa apakah ada rinorrhea atau otorrhea,
yang merupakan indikasi fraktur basis cranii. Pemeriksaan rongga mulut yang lengkap
harus dilakukan pada ssaat itu untuk menilai adanya laserasi, hematom pada dasar
mulut, atau maloklusi, yang dapat menjadi indikator fraktur alveolar, maksila, atau
mandibula. CT scan maksilofasial sangat berguna dalam evaluasi fraktur wajah ketika
edema fasial mempersulit pemeriksaan fisik yang lengkap dan akurat.

Leher dan Tulang Belakang Servikal


Pasien yang merupakan korban trauma tumpul juga harus mengalami evaluasi
dan stabilisasi untuk trauma vertebrae servikal dengan alat imobilisasi seperti sebuah
cervical spine collar. Pergerakan vertebrae servikal harus dibatasi, terutama ketika
pemeriksaan dan penanganan jalan napas pasien, karena hal tersebut dapat
memperparahcederasarafpadakeadaaninstabilitasvertebraeservikal.Fotopolosdan
CT scan vertebrae servikal dapat mengidentifikasi fraktur dan dislokasi, namun
mungkintidakdapatmemperlihatkancederaligamen.

Toraks
Daerah toraks harus diperiksa kembali selama survei sekunder untuk cedera
yang tidak mengancam nyawa. Dinding dada harus diinspeksi dan dipalpasi apakah
terdapat trauma tumpul. Khususnya, pasien harus diperiksa apakah terdapat gejala dan
tanda hernia diafragmatika; kontusio miokardial atau pulmonal; dan disrupsi
trakeobronkial, aorta, atau esofagus. Berbagai cedera serius pada toraks, seperti
sindroma gagal napas akut dan kontusio pulmonal, kemunculan gejala baru terjadi pada
48 sampai 72 jam setelah peristiwa cedera. Maka, pasien harus dipantau terus menerus
untuk kemungkinan terjadinya gagal napas.3

Abdomen
Abdomen diperiksa untuk melihat tanda-tanda trauma tajam dan tumpul. Jika
terdapat luka tembus, pengobatan terbaik yaitu di dalam ruang operasi dengan
laparotomi. Nyeri lepas dan rigiditas abdomen mungkin merupakan indikator adanya
darah di abdomen, yang juga membutuhkan laparotomi. Jika pasien mengalami nyeri
lepas abdomen, meskipun laparotomi tidak diindikasikan, CT scan abdomen
memberikan visualisasi abdomen dan retroperitoneum yang baik. Seperti yang telah
didiskusikan pada survei primer, pemeriksaan FAST membantu pemeriksaan secara
cepat pada daerah abdomen yang dicurigai terdapat akumulasi darah.

Perineum
Genitalia eksternal pada pria maupun wanita harus diperiksa apakah terdapat
laserasi, kontusio, dan perdarahan. Darah pada meatus uretra merupakan indikator
spesifik dari cedera uretra dan harus diperiksa dengan seksama sebelum pemasangan
kateter dilakukan. Pemeriksaan rektum juga perlu dilakukan pada pasien cedera
multisistem. Pemeriksa menilai tonus otot, adanya darah, integritas rektum, dan posisi
prostat. Hilangnya tonus rectal menunjukkan adanya cedera tulang belakang dan harus
diperiksa lebih lanjut. Pemeriksaan bimanual diperlukan pada wanita dengan nyeri atau
adanya tanda cedera pada perut bagian bawah.
Pelvis dan Ekstremitas
Pelvis diperiksa apakah terdapat fraktur dan instabilitas, yang dapat
mengakibatkan perdarahan mengancam nyawa. Kehilangan darah akibat fraktur pelvis
dapat terjadi dalam waktu singkat. Foto polos pelvis dapat membantu diagnosis dan
memandu pengobatan awal.
Ekstremitas diperiksa untuk melihat kelainan bentuk, pembengkakan, laserasi,
kontusio, dan pulsasi masing-masing ekstremitas. Foto polos dilakukan di semua
ekstremitas yang memiliki tanda-tanda cedera untuk menyingkirkan fraktur atau
dislokasi. Pengobatan awal harus terdiri dari pemasangan bidai segera dan imobilisasi
sendi yang cedera.
Pasien yang mengalami fraktur pelvis atau tulang panjang harus dipantau untuk
melihat adanya gagal napas progresif akibat emboli lemak. Emboli lemak dapat terjadi
pada fraktur tulang yang panjang apapun namun lebih sering terjadi pada fraktur femur
atau pelvis. Angka morbiditas dari emboli lemak dan terjadinya sindroma gagal napas
pada dewasa dapat dikurangi dengan tindakan reduksi terbuka dan fiksasi internal,
sehingga memungkinkan mobilisasi dini pada pasien.

Sistemsaraf
Statusneurologispasientraumaharusterusdipantauselamasurveisekunder.
GCS menyediakan cara cepat dan sederhana untuk menilai fungsi korteks serebri
dengan memeriksa aktivitas pupil, pemahaman dan respons verbal, dan koordinasi
motorik. Hasil pemeriksaan ini dapat dipengaruhi oleh penggunaan obatobatan,
intoksikasialkohol,atauobatpenenang,sehinggaperludilakukanpengkajiankembali.
Jika tidak dilakukan saat pemeriksaan kepala dan wajah, pemeriksaan saraf kranial
lengkap harus dilakukan. Secara khusus, mata harus diperiksa secara teliti untuk
reaktivitascahaya,gerakanototekstraokular,danketajamanpenglihatan.
Pasienharustetapberadadiatas longspineboard denganmenggunakan rigid
cervical collar sampai cedera tulang belakang dapat disingkirkan berdasarkan
pemeriksaanklinisdanradiografi.Halinisangatpentingsaatmemindahkanpasien.
Namun, spine board harus dilepas sesegera mungkin untuk mencegah luka akibat
tekanan. Seluruh tulang belakang dipalpasi untuk menilai adanya kelainan bentuk,
pembengkakan,nyeritekan,atauadanyalukatembusapapun.Padapasienyangsadar,
dinilaifungsimotorik.Jikacederatulangbelakangtelahterjadi,pemeriksaanfungsi
motorikdansensorisdilakukandenganhatihatiuntukmenentukantingkatparaplegia
atauquadriplegia.
Ekstremitas diperiksa untuk melihat tonus dan kekuatan otot, refleks, serta
sensasi.Haltersebutharusterusditinjaukembali,dansetiapperubahanyangadaharus
didokumentasikan.

TambahanuntukSurveiSekunder
Pada pasien stabil yang tidak memerlukan intervensi bedah segera, studi
diagnostik lebih lanjut dilakukan setelah survei sekunder. CT scan pada toraks,
abdomen, dan pelvis dengan kontras IV tidak hanya mengidentifikasi cedera yang
signifikan,sepertipneumotoraks,hemothoraks,pneumoperitoneum,cederaorganpadat,
dan fraktur pelvis, namun juga memberikan informasi tentang kemungkinan cedera
vaskular, seperti disrupsi aorta dan perdarahan arteri pada pelvis. Teknik radiologi
intervensipadadasarnyamengubahpengelolaanperdarahanarterialpelvisdariprosedur
pembedahan terbuka dengan kehilangan darah yang signifikan, menjadi intervensi
perkutan, yang secara langsung mengidentifikasi dan menyumbat arteri sumber
pendarahan. Meskipun setiap modalitas berguna dalam situasi tertentu, tidak semua
pasien memerlukan semua studi diagnostik ini, dan oleh karena itu investigasi dan
proseduriniharusdisesuaikandengansituasiindividualpasien.

DamageControlResuscitation(DCR)
DCR merupakan konsep yang baru dikembangkan yang mencakup beberapa
aspekresusitasidanpenanganantraumadibawahsatuparadigmapengobatansecara
keseluruhan. Konsep keseluruhan dapat dibagi menjadi lima area individual: (1)
hipotensipermisif,(2)pencegahandanpengobatanhipotermia,(3)pengobatanasidosis,
(4)resusitasiprodukdarahseimbang,dan(5)damagecontrolsurgery(DCS).
HipotensiPermisif
Hipotensi permisif, atau "resusitasi hipotensi," merupakan sasaran dalam
mempertahankan tekanan darah selama resusitasi yang rendah namun cukup untuk
memungkinkan perfusi organ, namun tidak terlalu tinggi hingga memperberat
perdarahansebelumintervensibedahdanpengendalianperdarahan.Dengancaraini
hemostasis relatif dapat dipertahankan dan pasien tidak akan "memecahkan bekuan
darah" pada pembuluh darah yang cedera akibat tekanan yang berlebihan sebelum
tindakanpengendalianatauperbaikanbedah.
Sayangnya,tidakadarekomendasiberbasisbuktidariorganisasitraumautama
mengenai rentang tekanan darah spesifik yang digunakan dalam protokol hipotensi
permisif.Datamenunjukkanbahwamempertahankantekanandarahsistolikmendekati
90 mmHg dapat mencegah perdarahan ulang dari pembuluh yang barumembentuk
bekuandarah,812namuntekanandibawah80mmHgmungkintidakmencukupiuntuk
kondisicederakepala.13,14Saatini,rekomendasiperawatankorbanmilitermenyarankan
pemeliharaan status mental atau denyut nadi perifer yang teraba sebagai pengganti
pemeriksaantekanandarahdilapangansampaitekanandarahdapatdiperolehsecara
akurat.15Setelahtekanandarahdiperoleh,rekomendasisaatiniadalahuntukmelakukan
resusitasipadatekanandarahsistolik90mmHgatautekananarteriratarata60mmHg
hinggatindakanpembedahandefinitifuntukkontrolperdarahantercapai.16

PencegahandanPenangananHipotermia
Hipotermiamerupakanfaktorrisikoindependenuntukkematian,danhipotermia
berat(<32o C)telahdikaitkandenganangkakematianmendekati100%. 17,18 Berbagai
penyebab bertanggung jawab terhadap kejadian hipotermia pada pasien trauma,
termasuk perdarahan dan paparan lingkungan yang dingin, perubahan termoregulasi
sentral,berkurangnyamenggigil,danpenurunanproduksipanas.19,20Mungkinpenyebab
yangpalingmungkindicegahadalahpemberiancairanresusitasidingin, 21danmakaitu
menghangatkancairanselaludianjurkanselamaresusitasi.
DCR menekankan tidak hanya koreksi agresif dari hipotermia tetapi juga
pencegahannya, dan kedua sasaran dapat dicapai dengan kombinasi metode
menghangatkanpasifdanaktif.Metodepemanasanpasifterdiridaritekniksederhana,
sepertimelepaskanpakaianbasah,memindahkanpasienkelingkunganyanghangat,
dan menyediakan insulasi selama resusitasi. Metode pemanasan aktif termasuk
penggunaan selimut yang dipanaskan, menghangatkan cairan IV, sistem pemanasan
udarapaksa,danpemeliharaanudarahangatdiruangresusitasidankamaroperasi.

PenangananAsidosis
Asidosis berat dikaitkan dengan kelainan fisiologis multipel yang merugikan
termasuk bradikardia, hipotensi, penurunan kontraktilitas jantung, penurunan curah
jantung,dankelainankoagulasi.2224 Asidosismetabolikadalahhasilyangsignifikan
dari syokhemoragik,25 dan beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara
asidosisdengankoagulopatidanhasilyangburukpadapasientrauma.2629
Asidosis metabolik pada trauma disebabkan oleh kehilangan darah dan
hipoperfusi organ akhir yang signifikan, maka koreksi asidosis memerlukan
pengembalian volume intravaskular setelah perdarahan dikendalikan. Pada DCR,
pengembalianperfusiorganpadaakhirnyadilakukandenganresusitasiprodukdarah
seimbang 1: 1: 1 (dibahas selanjutnya). Namun, ini hanya dapat dicapai dengan
memuaskan setelah pendarahan terkontrol, jadi perawatan lain untuk memperbaiki
asidosisditundasampaihemostasisdistabilkan.

ResusitasiProdukDarahSeimbang(1:1:1)
Untuksecaracepatdanefektifmengoreksiperubahanfisiologisyangsignifikan
padapasientraumayangmengalamicederaberat,resusitasicairanpadaDCRterdiri
dari penggunaan PRBC, plasma (FFP atau plasma yang dicairkan), dan trombosit
denganseimbang1:1:1.StudimiliteryangdilakukanselamaperangIrakmenunjukkan
bahwa pasien yang menerima rasio FFP banding PRBCs (1: 1.4) yang lebih tinggi
memiliki tingkat kematian yang lebih rendah (19% vs 65%) dibandingkan dengan
merekayangmenerimarasioyanglebihrendah(1:8).5Hasilserupajugaditemukandi
sektorsipil,dimanaanalisisretrospektifpasienyangmenerimatransfusimasifmemiliki
angkakematianyanglebihrendah(26%vs87,5%)padapasienyangmenerimaFFP:
PRBCdalamrasioyanglebihtinggi(1:1vs1:4).30
DamageControlSurgery(DCS)
Konsep DCS dikembangkan sebagai hasil dari hasil buruk yang didapatkan
selama pendekatan tradisional terhadap perdarahan trauma yang parah, dimana trias
hipotermia, asidosis, dan koagulopati menyebabkan kematian saat dilakukan usaha
untukmelakukanoperasidefinitifyangberkepanjangan.
DCS didefinisikan dalam buku teks US Emergency War Surgery sebagai
"pengendalian awal perdarahan dan kontaminasi secara cepat, penutupan sementara,
resusitasiterhadapfisiologinormaldiICU,daneksplorasiulanglanjutandanperbaikan
definitif."16 Setelahpasiendiresusitasidiunitgawatdaruratdankemudiandibawake
ruangoperasi,sebuahtindakanoperasisingkatdilakukandengantujuanmengendalikan
perdarahan awal dan kemudian membatasi kontaminasi dari gastrointestinal. Pasien
kemudian mengalami penutupan abdomen sementara; dibawa ke unit perawatan
intensif;dankondisihipotermia,asidosis,sertakoagulopatidikoreksidenganpenerapan
prinsipprinsipDCR.Ketikaparameterfisiologisnormaltelahdicapai,biasanyadalam
waktu24sampai36jamsetelahoperasi,pasienmasukkembalikeruangoperasiuntuk
penangananseluruhcederasecaradefinitif.

KESIMPULAN
Terlepasdaricederayangdialamiataukemampuanfasilitaskesehatan,prinsip
prinsipyangdijelaskandalamATLSdapatmemandupenilaianawal,resusitasi,dan
perawatanpasienyangmengalamicederamultipel.3Surveiprimerdansekunderharus
terus dilakukan untuk mengidentifikasi kelainan pada pasien dan untukmenentukan
intervensiyangtepat.Penggunaanpendekatanberdasarkanprioritasdansistematispada
penangananawalpasientraumamemastikanperawatanoptimaldanhasilterbaikdapat
dicapai.

Diterjemahkan dari:
Ray JM, Cestero RF. Initial Management of the Trauma Patient. Atlas Oral
Maxillofacial Surg Clin N Am. 2013; 21: 1-7.

Anda mungkin juga menyukai