KATA KUNCI
Trauma. Penanganan awal. Advanced trauma life support.
POIN UTAMA
Trauma merupakan penyebab utama kematian di Amerika Serikat pada individu yang
berusia hingga 45 tahun, dan merupakan penyebab terbanyak urutan ke-3 untuk
semua usia.
Standar pelayanan yang sudah diterima secara luas untuk penanganan dan
pengobatan awal pada korban kecelakaan terdapat dalam program Advanced Trauma
Life Support (ATLS).
Terlepas dari cedera yang dialami atau kemampuan fasilitas kesehatan, prinsip yang
dijelaskan dalam ATLS dapat memandu untuk penanganan awal, resusitasi, dan
pengobatan pada pasien dengan cedera multipel.
Survei primer dan sekunder harus selalu dilakukan untuk mengidentifikasi kelainan
pada pasien dan untuk menentukan intervensi yang tepat.
Menggunakan pendekatan berdasarkan prioritas dan sistematis dalam penanganan
awal pasien trauma dapat memastikan pelayanan optimal dan hasil terbaik yang
mungkin didapatkan.
PENDAHULUAN
Trauma merupakan penyebab utama kematian di Amerika Serikat pada individu
yang berusia hingga 45 tahun, dan merupakan penyebab terbanyak urutan ke-3 untuk
semua usia.1 Di seluruh dunia, trauma terlibat dalam kejadian lebih dari 3 juta kematian
dan 300 juta cedera per tahun,2 sehingga menjadikan trauma sebagai masalah kesehatan
global yang signifikan namun dapat dicegah.
Standar pelayanan yang sudah diterima secara luas untuk penanganan dan
pengobatan awal pada korban kecelakaan terdapat dalam program Advanced Trauma
Life Support (ATLS),3 yang dikembangkan oleh American College of Surgeons.
Program ini menekankan prioritas pada diagnosis dan tatalaksana cedera yang paling
mengancam nyawa, menggunakan mnemonik ABCDE sebagai berikut: Airway with C-
spine protection (Jalan napas dengan proteksi tulang servikal), Breathing and
ventilation (pernapasan dan ventilasi), Circulation with hemorrhage control (sirkulasi
dan kontrol perdarahan), Disability-neurologic status (disabilitas-status neurologis), dan
Exposure and environmental control (paparan dan kontrol lingkungan).
Artikel ini difokuskan pada evaluasi awal pada pasien trauma, menggabungkan
beberapa perubahan pada tatalaksana, dan ditujukan untuk cedera yang sering terjadi
yang dapat dievaluasi oleh ahli bedah mulut dan maksilofasial.
Trauma Leher
Semua pasien dengan trauma tembus pada leher harus diperiksa apakah ada
gangguan jalan napas, karena kemungkinan cedera vaskuler dapat menyebabkan
perdarahan signifikan yang berakibat pada pendorongan dan obstruksi jalan napas.
Tanda cedera langsung pada jalan napas meliputi sesak napas dan hemoptisis, serta
hematom besar di leher dengan deviasi trakea yang membutuhkan intubasi segera
sebelum tertutupnya jalan napas.
Trauma Maksilofasial
Trauma pada daerah maksilofasial dapat menyebabkan gangguan jalan napas
akibat perdarahan, pembengkakan jaringan, dan fraktur yang mengakibatkan hilangnya
arsitektur wajah. Cedera pada bagian tengah wajah dapat mempengaruhi nasofaring dan
orofaring akibat fraktur dan dislokasi. Fraktur mandibula kominutif atau bilateral yang
berat dapat menyebabkan obstruksi jalan napas akibat kolaps struktur glotis pada faring
posterior. Fraktur dentoalveolar, selain sering terkait dengan perdarahan, juga dapat
menimbulkan masalah apabila gigi lepas karena dapat diaspirasi dengan mudah.
Sehingga, seluruh gigi harus dihitung untuk memastikan tidak ada yang diaspirasi.
Selain dari perdarahan eksternal yang tampak dari luar, sumber perdarahan lain
juga perlu dipertimbangkan selama evaluasi awal pasien syok. Sumber tersebut
termasuk toraks (hemotoraks masif, cedera vaskular, trauma tembus pada jantung);
abdomen (trauma organ padat [hati, limpa, atau ginjal], trauma pembuluh darah besar,
atau perdarahan mesentrium); retroperitoneum (fraktur pelvis); atau fraktur tulang
panjang (contoh: femur). Radiografi toraks merupakan metode diagnostik cepat yang
menyediakan informasi mengenai sumber perdarahan pada toraks, karena hemotoraks
dapat terlihat dengan mudah pada foto polos. Focused abdominal sonography for
trauma (FAST) merupakan prosedur yang sensitif untuk memeriksa adanya cairan pada
rongga abdomen, yang umumnya dianggap sebagai darah sampai terbukti bahwa cairan
tersebut bukanlah darah. Pada pasien dengan hipotensi dan FAST positif, tindakan
laparotomi diindikasikan untuk mengidentifikasi dan mengontrol sumber perdarahan
pada abdomen. Foto polos pelvis dapat mengidentifikasi adanya fraktur pelvis dengan
kemungkinan perdarahan retroperitoneal, serta temuan pemeriksaan fisik atau radiografi
ekstremitas dapat mendeteksi adanya fraktur tulang panjang.
Penggantian Cairan
Terapi untuk penggantian cairan dimulai setelah akses intravena terpasang, dan
umumnya terdiri dari 1-2 liter bolus cairan ringer laktat yang dihangatkan atau cairan
NaCl. Tergantung pada respon pasien, cairan resustasi selanjutnya yang diberikan dapat
berupa kristaloid, PRBC atau FFP. Jumlah cairan atau darah yang dibutuhkan sulit
ditentukan pada evaluasi awal, dan sehingga respon dari fluid challenge menjadi
penentu utama terhadap pemberian infus cairan kristaloid atau darah selanjutnya.
Parameter yang penting untuk observasi setelah pemberian cairan resusitasi termasuk
perbaikan takikardi, normalisasi tekanan darah, perbaikan status mental, perbaikan
output urin, dan bukti peningkatan perfusi organ secara keseluruhan. Jika pasien hanya
menunjukkan respon minimal atau sementara terhadap pemberian cairan, bukti dari
perdarahan yang sedang berlangsung dan strategi resusitasi lanjutan sebaiknya harus
meliputi pemberian produk darah dibandingkan dengan cairan kristaloid.
Gambar 1. Resusitasi pasien dengan trauma tembus toraks. Pasien mendapatkan bantuan
oksigen melalui sungkup wajah dan menjalani pemeriksaan FAST serta dipasang tube
thoracostomy.
Asam Traneksamat
Asam traneksamat (Tranexamic acid , TXA), yang merupakan derivat asam
amino lisin sintetis, adalah agen antifibrinolitik yang umumnya digunakan pada
pembedahan jantung. Berdasarkan hasil penelitian prospektif, random, terbaru yang
mengevaluasi penggunaan TXA pada pasien trauma,6 TXA telah dianjurkan sebagai
intervensi penting yang dapat mengurangi risiko kematian pada pasien yang mengalami
perdarahan secara signifikan. Pada studi CRASH-2, didapatkan peningkatan mortalitas
pada pasien trauma dengan penggunaan TXA (14,5% vs 16%). Namun, pada analisis
CRASH-2 selanjutnya,7 manfaat pada mortalitas hanya muncul jika TXA digunakan
setelah 3 jam (4,4% vs 3,1%). Studi klinis saat ini lebih menggambarkan manfaat TXA,
meskipun kebanyakan pusat trauma saat ini menggunakan TXA segera setelah cedera.
SURVEI SEKUNDER
Setelah survei primer selesai, cedera mengancam nyawa telah diketahui, dan
tanda vital telah distabilkan, pemeriksa dapat memulai survei sekunder, yang terdiri dari
anamnesis dan pemeriksaan lengkap dari kepala hingga ujung kaki.
Anamnesis meliputi mekanisme trauma perlu untuk digali, karena beberapa tipe
trauma (jatuh, tabrakan antar kendaraan bermotor, cedera pejalan kaki vs mobil, luka
tembak, dan seterusnya) umumnya memiliki pola cedera tertentu, yang dapat
menyadarkan pemeriksa terhadap kemungkinan cedera tertentu. Riwayat pengobatan
saat ini sangat penting, terutama pada lansia, karena antikoagulan dapat menjadi
penyebab utama perdarahan tidak terkontrol dan -bloker dapat mengurangi cardiac
output dan menutupi takikardi yang terjadi. Pada pasien yang tidak mampu memberi
respon, sumber informasi bisa didapatkan dari anggota keluarga, paramedis, atau pasien
cedera lainnya. Sebuah mnemonik untuk anamnesis dengan cepat adalah AMPLE,
yang menggali beberapa area penting berikut: Alergi, Medications (obat-obatan), Past
illnesses/pregnancy (Riwayat penyakit dahulu/kehamilan), Last meal (makanan
terakhir), dan Events/environment (Kejadian/lingkungan) terkait peristiwa cedera.
Pemeriksaan fisik secara teliti pada setiap area tubuh untuk identifikasi seluruh
luka secara akurat dan mengurangi kemungkinan cedera yag terlewatkan. Dimulai
dengan kepala dan tengkorak, pemeriksaan sistematis berpindah ke struktur
maksilofasial, leher dan tulang servikal, toraks, abdomen, daerah perineum, pelvis dan
ekstremitas, serta sistem neurologis. Walaupun beberapa sistem tersebut saling
tumpang-tindih, sebuah pendekatan sistematis dan bijaksana harus dilakukan untuk
memastikan kelengkapan pemeriksaan.
Kepala dan tengkorak
Kulit kepala dan tengkorak harus diperiksa apakah terdapat laserasi, depresi,
kontusio, dan fraktur. GCS harus dievaluasi kembali jika ada perubahan yang dapat
menunjukkan cedera otak yang sedang berkembang dan peningkatan tekanan
intrakranial termasuk perubahan status mental dan trias Cushing (hipertensi, bradikardi,
dan pernapasan ireguler). CT scan kepala wajib dilakukan jika terdapat perubahan status
mental, GCS rendah, cedera kepala, dan tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Pemeriksaan nervus kranial pada kondisi ini diperlukan bersamaan dengan
pemeriksaan mata dan telinga. Meskipun edema pada trauma wajah dapat menghalangi
pemeriksaan mata yang komplit, ahli bedah harus menyelesaikan pemeriksaannya.
Temuan abnormal ketika pemeriksaan mata dapat menunjukkan adanya lesi nervus
kranial atau cedera yang lebih parah lagi, seperti cedera otak atau batang otak. Fungsi
pendengaran harus diperiksa pada saat ini.
Daerah Maksilofasial
Trauma maksilofasial umumnya tidak mengancam nyawa, sehingga evaluasi
cedera yang tidak melibatkan obstruksi jalan napas atau perdarahan signifikan dapat
ditunda hingga survei sekunder ini. Dilakukan palpasi pada tulang wajah untuk melihat
adanya kelainan. Telinga dan hidung diperiksa apakah ada rinorrhea atau otorrhea,
yang merupakan indikasi fraktur basis cranii. Pemeriksaan rongga mulut yang lengkap
harus dilakukan pada ssaat itu untuk menilai adanya laserasi, hematom pada dasar
mulut, atau maloklusi, yang dapat menjadi indikator fraktur alveolar, maksila, atau
mandibula. CT scan maksilofasial sangat berguna dalam evaluasi fraktur wajah ketika
edema fasial mempersulit pemeriksaan fisik yang lengkap dan akurat.
Toraks
Daerah toraks harus diperiksa kembali selama survei sekunder untuk cedera
yang tidak mengancam nyawa. Dinding dada harus diinspeksi dan dipalpasi apakah
terdapat trauma tumpul. Khususnya, pasien harus diperiksa apakah terdapat gejala dan
tanda hernia diafragmatika; kontusio miokardial atau pulmonal; dan disrupsi
trakeobronkial, aorta, atau esofagus. Berbagai cedera serius pada toraks, seperti
sindroma gagal napas akut dan kontusio pulmonal, kemunculan gejala baru terjadi pada
48 sampai 72 jam setelah peristiwa cedera. Maka, pasien harus dipantau terus menerus
untuk kemungkinan terjadinya gagal napas.3
Abdomen
Abdomen diperiksa untuk melihat tanda-tanda trauma tajam dan tumpul. Jika
terdapat luka tembus, pengobatan terbaik yaitu di dalam ruang operasi dengan
laparotomi. Nyeri lepas dan rigiditas abdomen mungkin merupakan indikator adanya
darah di abdomen, yang juga membutuhkan laparotomi. Jika pasien mengalami nyeri
lepas abdomen, meskipun laparotomi tidak diindikasikan, CT scan abdomen
memberikan visualisasi abdomen dan retroperitoneum yang baik. Seperti yang telah
didiskusikan pada survei primer, pemeriksaan FAST membantu pemeriksaan secara
cepat pada daerah abdomen yang dicurigai terdapat akumulasi darah.
Perineum
Genitalia eksternal pada pria maupun wanita harus diperiksa apakah terdapat
laserasi, kontusio, dan perdarahan. Darah pada meatus uretra merupakan indikator
spesifik dari cedera uretra dan harus diperiksa dengan seksama sebelum pemasangan
kateter dilakukan. Pemeriksaan rektum juga perlu dilakukan pada pasien cedera
multisistem. Pemeriksa menilai tonus otot, adanya darah, integritas rektum, dan posisi
prostat. Hilangnya tonus rectal menunjukkan adanya cedera tulang belakang dan harus
diperiksa lebih lanjut. Pemeriksaan bimanual diperlukan pada wanita dengan nyeri atau
adanya tanda cedera pada perut bagian bawah.
Pelvis dan Ekstremitas
Pelvis diperiksa apakah terdapat fraktur dan instabilitas, yang dapat
mengakibatkan perdarahan mengancam nyawa. Kehilangan darah akibat fraktur pelvis
dapat terjadi dalam waktu singkat. Foto polos pelvis dapat membantu diagnosis dan
memandu pengobatan awal.
Ekstremitas diperiksa untuk melihat kelainan bentuk, pembengkakan, laserasi,
kontusio, dan pulsasi masing-masing ekstremitas. Foto polos dilakukan di semua
ekstremitas yang memiliki tanda-tanda cedera untuk menyingkirkan fraktur atau
dislokasi. Pengobatan awal harus terdiri dari pemasangan bidai segera dan imobilisasi
sendi yang cedera.
Pasien yang mengalami fraktur pelvis atau tulang panjang harus dipantau untuk
melihat adanya gagal napas progresif akibat emboli lemak. Emboli lemak dapat terjadi
pada fraktur tulang yang panjang apapun namun lebih sering terjadi pada fraktur femur
atau pelvis. Angka morbiditas dari emboli lemak dan terjadinya sindroma gagal napas
pada dewasa dapat dikurangi dengan tindakan reduksi terbuka dan fiksasi internal,
sehingga memungkinkan mobilisasi dini pada pasien.
Sistemsaraf
Statusneurologispasientraumaharusterusdipantauselamasurveisekunder.
GCS menyediakan cara cepat dan sederhana untuk menilai fungsi korteks serebri
dengan memeriksa aktivitas pupil, pemahaman dan respons verbal, dan koordinasi
motorik. Hasil pemeriksaan ini dapat dipengaruhi oleh penggunaan obatobatan,
intoksikasialkohol,atauobatpenenang,sehinggaperludilakukanpengkajiankembali.
Jika tidak dilakukan saat pemeriksaan kepala dan wajah, pemeriksaan saraf kranial
lengkap harus dilakukan. Secara khusus, mata harus diperiksa secara teliti untuk
reaktivitascahaya,gerakanototekstraokular,danketajamanpenglihatan.
Pasienharustetapberadadiatas longspineboard denganmenggunakan rigid
cervical collar sampai cedera tulang belakang dapat disingkirkan berdasarkan
pemeriksaanklinisdanradiografi.Halinisangatpentingsaatmemindahkanpasien.
Namun, spine board harus dilepas sesegera mungkin untuk mencegah luka akibat
tekanan. Seluruh tulang belakang dipalpasi untuk menilai adanya kelainan bentuk,
pembengkakan,nyeritekan,atauadanyalukatembusapapun.Padapasienyangsadar,
dinilaifungsimotorik.Jikacederatulangbelakangtelahterjadi,pemeriksaanfungsi
motorikdansensorisdilakukandenganhatihatiuntukmenentukantingkatparaplegia
atauquadriplegia.
Ekstremitas diperiksa untuk melihat tonus dan kekuatan otot, refleks, serta
sensasi.Haltersebutharusterusditinjaukembali,dansetiapperubahanyangadaharus
didokumentasikan.
TambahanuntukSurveiSekunder
Pada pasien stabil yang tidak memerlukan intervensi bedah segera, studi
diagnostik lebih lanjut dilakukan setelah survei sekunder. CT scan pada toraks,
abdomen, dan pelvis dengan kontras IV tidak hanya mengidentifikasi cedera yang
signifikan,sepertipneumotoraks,hemothoraks,pneumoperitoneum,cederaorganpadat,
dan fraktur pelvis, namun juga memberikan informasi tentang kemungkinan cedera
vaskular, seperti disrupsi aorta dan perdarahan arteri pada pelvis. Teknik radiologi
intervensipadadasarnyamengubahpengelolaanperdarahanarterialpelvisdariprosedur
pembedahan terbuka dengan kehilangan darah yang signifikan, menjadi intervensi
perkutan, yang secara langsung mengidentifikasi dan menyumbat arteri sumber
pendarahan. Meskipun setiap modalitas berguna dalam situasi tertentu, tidak semua
pasien memerlukan semua studi diagnostik ini, dan oleh karena itu investigasi dan
proseduriniharusdisesuaikandengansituasiindividualpasien.
DamageControlResuscitation(DCR)
DCR merupakan konsep yang baru dikembangkan yang mencakup beberapa
aspekresusitasidanpenanganantraumadibawahsatuparadigmapengobatansecara
keseluruhan. Konsep keseluruhan dapat dibagi menjadi lima area individual: (1)
hipotensipermisif,(2)pencegahandanpengobatanhipotermia,(3)pengobatanasidosis,
(4)resusitasiprodukdarahseimbang,dan(5)damagecontrolsurgery(DCS).
HipotensiPermisif
Hipotensi permisif, atau "resusitasi hipotensi," merupakan sasaran dalam
mempertahankan tekanan darah selama resusitasi yang rendah namun cukup untuk
memungkinkan perfusi organ, namun tidak terlalu tinggi hingga memperberat
perdarahansebelumintervensibedahdanpengendalianperdarahan.Dengancaraini
hemostasis relatif dapat dipertahankan dan pasien tidak akan "memecahkan bekuan
darah" pada pembuluh darah yang cedera akibat tekanan yang berlebihan sebelum
tindakanpengendalianatauperbaikanbedah.
Sayangnya,tidakadarekomendasiberbasisbuktidariorganisasitraumautama
mengenai rentang tekanan darah spesifik yang digunakan dalam protokol hipotensi
permisif.Datamenunjukkanbahwamempertahankantekanandarahsistolikmendekati
90 mmHg dapat mencegah perdarahan ulang dari pembuluh yang barumembentuk
bekuandarah,812namuntekanandibawah80mmHgmungkintidakmencukupiuntuk
kondisicederakepala.13,14Saatini,rekomendasiperawatankorbanmilitermenyarankan
pemeliharaan status mental atau denyut nadi perifer yang teraba sebagai pengganti
pemeriksaantekanandarahdilapangansampaitekanandarahdapatdiperolehsecara
akurat.15Setelahtekanandarahdiperoleh,rekomendasisaatiniadalahuntukmelakukan
resusitasipadatekanandarahsistolik90mmHgatautekananarteriratarata60mmHg
hinggatindakanpembedahandefinitifuntukkontrolperdarahantercapai.16
PencegahandanPenangananHipotermia
Hipotermiamerupakanfaktorrisikoindependenuntukkematian,danhipotermia
berat(<32o C)telahdikaitkandenganangkakematianmendekati100%. 17,18 Berbagai
penyebab bertanggung jawab terhadap kejadian hipotermia pada pasien trauma,
termasuk perdarahan dan paparan lingkungan yang dingin, perubahan termoregulasi
sentral,berkurangnyamenggigil,danpenurunanproduksipanas.19,20Mungkinpenyebab
yangpalingmungkindicegahadalahpemberiancairanresusitasidingin, 21danmakaitu
menghangatkancairanselaludianjurkanselamaresusitasi.
DCR menekankan tidak hanya koreksi agresif dari hipotermia tetapi juga
pencegahannya, dan kedua sasaran dapat dicapai dengan kombinasi metode
menghangatkanpasifdanaktif.Metodepemanasanpasifterdiridaritekniksederhana,
sepertimelepaskanpakaianbasah,memindahkanpasienkelingkunganyanghangat,
dan menyediakan insulasi selama resusitasi. Metode pemanasan aktif termasuk
penggunaan selimut yang dipanaskan, menghangatkan cairan IV, sistem pemanasan
udarapaksa,danpemeliharaanudarahangatdiruangresusitasidankamaroperasi.
PenangananAsidosis
Asidosis berat dikaitkan dengan kelainan fisiologis multipel yang merugikan
termasuk bradikardia, hipotensi, penurunan kontraktilitas jantung, penurunan curah
jantung,dankelainankoagulasi.2224 Asidosismetabolikadalahhasilyangsignifikan
dari syokhemoragik,25 dan beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara
asidosisdengankoagulopatidanhasilyangburukpadapasientrauma.2629
Asidosis metabolik pada trauma disebabkan oleh kehilangan darah dan
hipoperfusi organ akhir yang signifikan, maka koreksi asidosis memerlukan
pengembalian volume intravaskular setelah perdarahan dikendalikan. Pada DCR,
pengembalianperfusiorganpadaakhirnyadilakukandenganresusitasiprodukdarah
seimbang 1: 1: 1 (dibahas selanjutnya). Namun, ini hanya dapat dicapai dengan
memuaskan setelah pendarahan terkontrol, jadi perawatan lain untuk memperbaiki
asidosisditundasampaihemostasisdistabilkan.
ResusitasiProdukDarahSeimbang(1:1:1)
Untuksecaracepatdanefektifmengoreksiperubahanfisiologisyangsignifikan
padapasientraumayangmengalamicederaberat,resusitasicairanpadaDCRterdiri
dari penggunaan PRBC, plasma (FFP atau plasma yang dicairkan), dan trombosit
denganseimbang1:1:1.StudimiliteryangdilakukanselamaperangIrakmenunjukkan
bahwa pasien yang menerima rasio FFP banding PRBCs (1: 1.4) yang lebih tinggi
memiliki tingkat kematian yang lebih rendah (19% vs 65%) dibandingkan dengan
merekayangmenerimarasioyanglebihrendah(1:8).5Hasilserupajugaditemukandi
sektorsipil,dimanaanalisisretrospektifpasienyangmenerimatransfusimasifmemiliki
angkakematianyanglebihrendah(26%vs87,5%)padapasienyangmenerimaFFP:
PRBCdalamrasioyanglebihtinggi(1:1vs1:4).30
DamageControlSurgery(DCS)
Konsep DCS dikembangkan sebagai hasil dari hasil buruk yang didapatkan
selama pendekatan tradisional terhadap perdarahan trauma yang parah, dimana trias
hipotermia, asidosis, dan koagulopati menyebabkan kematian saat dilakukan usaha
untukmelakukanoperasidefinitifyangberkepanjangan.
DCS didefinisikan dalam buku teks US Emergency War Surgery sebagai
"pengendalian awal perdarahan dan kontaminasi secara cepat, penutupan sementara,
resusitasiterhadapfisiologinormaldiICU,daneksplorasiulanglanjutandanperbaikan
definitif."16 Setelahpasiendiresusitasidiunitgawatdaruratdankemudiandibawake
ruangoperasi,sebuahtindakanoperasisingkatdilakukandengantujuanmengendalikan
perdarahan awal dan kemudian membatasi kontaminasi dari gastrointestinal. Pasien
kemudian mengalami penutupan abdomen sementara; dibawa ke unit perawatan
intensif;dankondisihipotermia,asidosis,sertakoagulopatidikoreksidenganpenerapan
prinsipprinsipDCR.Ketikaparameterfisiologisnormaltelahdicapai,biasanyadalam
waktu24sampai36jamsetelahoperasi,pasienmasukkembalikeruangoperasiuntuk
penangananseluruhcederasecaradefinitif.
KESIMPULAN
Terlepasdaricederayangdialamiataukemampuanfasilitaskesehatan,prinsip
prinsipyangdijelaskandalamATLSdapatmemandupenilaianawal,resusitasi,dan
perawatanpasienyangmengalamicederamultipel.3Surveiprimerdansekunderharus
terus dilakukan untuk mengidentifikasi kelainan pada pasien dan untukmenentukan
intervensiyangtepat.Penggunaanpendekatanberdasarkanprioritasdansistematispada
penangananawalpasientraumamemastikanperawatanoptimaldanhasilterbaikdapat
dicapai.
Diterjemahkan dari:
Ray JM, Cestero RF. Initial Management of the Trauma Patient. Atlas Oral
Maxillofacial Surg Clin N Am. 2013; 21: 1-7.