Anda di halaman 1dari 13

1.

Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Kesehatan dan Hukum Kedokteran

Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan

Indonesia (PERHUKI) adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung

dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik

bagi perseorangan maupun segenap lapisan masyarakat, baik sebagai penerima

pelayanan kesehatan maupun sebagai pihak penyelenggara pelayanan kesehatan

dalam segala aspek, organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu

pengetahuan kesehatan dan hukum, serta sumber-sumber hukum lain. Hukum

kedokteran merupakan bagian dari Hukum Kesehatan, yaitu yang menyangkut

pelayanan kedokteran (medical care/service).

Hukum kesehatan merupakan bidang hukum yang masih muda.

Perkembangannya dimulai waktu World Congres on Medical Law di Belgia pada

tahun 1967 dan diteruskan secara periode untuk beberapa lama. Di Indonesia,

perkembangan Hukum Kesehatan dimulai sejak terbentuknya Kelompok Studi untuk

Hukum Kedokteran UI/RS Ciptomangunkusumo di Jakarta pada tahun 1982.

Perhimpunan unuk Hukum Kedokteran Indonesia (PERHUKI), terbentuk pada


kongres I PERHUKI di Jakarta pada tahun 1987. PERHUKI wilayah Sumatera Utara

terbentuk tanggal 14 April 1986 di Medan.

Hukum kesehatan mencangkup komponen hukum di bidang kesehatan yang

bersinggungan satu dengan yang lain, yaitu Hukum Kedokteran/Kedokteran Gigi,

Hukum Keperawatan, Hukum Farmasi Klinik, Hukum Rumah Sakit, Hukum

Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan Lingkungan dan sebagainya (Konas

PERHUKI, 1993)

2. Perbedaan Sanksi Pelanggaran Etika dan Hukum dalam Pelaksanaan

Praktek Kedokteran Gigi

Etika kedokteran merupaan pengetahuan tentang perilaku professional para dokter

dan dokter gigi dalam menjalankan pekerjaannya sebaggaimana tercantum dalam

lafal sumpah dank kode etik masing-masing yang telah disusun oleh organisasi

profesinya bersama-sama dengan pemerintah. Sedangkan hukum kesahatan

merupakan peraturan perundang-undangan yang menyakut pelayanan kesehatan baik

untuk penyelenggara maupun penerima pelayanan kesehatan. Pelanggaran etika

kedokteran tidak selalu berarti pelanggaran hukum, begitu pula sebaliknya


pelanggaran hukum belum tentu berarti pelanggaran etika kedokteran. Pelanggaran

etika kedokteran diproses melalui MKDKI dan MKEKIDI.

Pelanggaran terhadap butir-buti LSDI dan KODEI ada yang merupakan

pelanggaran etik semata-mata da nada pula yang merupakan pelanggaran etik dan

sekaligus pelanggaran hukum (etikolegal). Berikut ini beberapa contohnya:

2.1 Pelanggaran Etika Murni

a) Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga

sejawat dokter dan dokter gigi.

Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh

dipengaruhi oleh suatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan

kemandirian profesi (KODEKI, pasal 3)

b) Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawat

c) Memuji diri sendiri di depan pasien

Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji

diri (KODEKI, pasal 4). Termasuk dalam memuji diri sendiri adalah

mencantumkan gelar pada papan praktek yang tidak terkait dengan pelayanan

jasa kedokeran yang diberikannya, mengadakan wawancara pers untuk


mempromosikan cara pengobatan suatu penyakit, ataupun berpartisipasi

dalam promosi obat, kosmetika, alat, dan sarana kesehatan, makanan,

minuman, dan perbekalan kesehatan rumah tangga

d) Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran bersinambungan

Salah satu kewajiban dokter terhadap diri sendiri adalah senantiasa mengikut

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan

(KODEKI pasal 17)

e) Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri

Dokter seharusnya memberi teladan kepada masyarakat dalam memelihara

kesehatan, melakukan pencegahan terhadap penyakit, berperilaku sehat

sehingga dapat bekerja dengan baik dan tenang (KODEKI, pasal 16)

2.2 Pelanggaran Etikolegal

a) Pelayanan Kedokteran dibawah standar

Seorang dokter yang memberikan pelayanan kesehatan dibawah standar suatu

tindakan malpraktik, dan dapat dikenakan pasal 350 KUHP, yang berbunyi

barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang lain mendapat luka

berat atau luka sedemikian sehingga berakibat penyakit atau halangan


sementara untuk menjalankan jabatan atau pekerjaannya, dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.

b) Menerbitkan surat keterangan palsu

Jika seorang dokter menerbitkan surat keterangan cuti sakit berulang kali

kepada seorang tahanan, padahal orang tersebut mampu menghadiri siding

pengadilan perkaranya, dalam hal ini dokter telah melanggar etik dan juga

KUHP Pasal 267 yang berbunyi Dokter yang dengan sengaja memberi surat

keterangan palsu tentang badanya atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau

cacat, dihukum dengan hukuman penjara selama 4 tahun

c) Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter

Jika seorang dokter yang menyebarluaska rahasia yang wajib disimpannya

karena jabatan atau pekerjaannya baik yang sekarangmaupun yang dulu,

dihukum dengan hukuman penajra selama-lamanya 9 bulan atau denda

sebanyak yang harus disesuaikan dengan keadaan moneter saat ini (KUHP,

pasal 322). Lain halnya jika dokter menjadi saksi ahli di pengadilan yang

mempunyai peraturan sendiri.

d) Abortus Provokatus
Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup

mahluk insan (KODEK, pasal 7d) undang-undang No.23 tahun 1992 Tentang

Kesehatan menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, sebagai upaya untuk

menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan

medic tertentu dan ini dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki

keahlian, dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau

keluarganya dan dilakukan pada sarana kesehatan tertentu

e) Pelecehan Seksual

Dalam segi hukum, pengertian perbuatan cabul (pelecehan seksual) adalah

pebuatan yang sengaja dilakukan untuk membangkitkan nafsu birahi atau

nafsu seksual di luar perkawinan termasuk persetubuhan.

2.3. Prosedur Penanganan Dugaan Pelanggaran Etik

Dalam Bab VIII UU RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

dinyatakan untuk menegakkan disiplin dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik

kedokteran dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran (MKDDKI). Majelis

ini merupakan lembaga otonom dari konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dalam

menjalankan tugasnya bersifat independen.

MKDKI bertugas :
1. Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran

disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan.

2. Menyusun pedoman dan tatacara penanganan kasus pelanggaran disiplin

dokter atau dokter gigi.

Setiap orang yang dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dapat

mengadukan secara tertulis kepada ketua MKDKI atau secara lisan jika tidak mampu

secara tertulis.

Pengaduan sekurang-kurangnya berisi identitas pengadu, nama dan alamat

tempat praktik dokter atau dokter gigi, dan waktu tindakan serta alasan pengaduan.

Pengaduan tersebut juga boleh dilakukan kepada pihak berwenang jika ada dugaan

tindak pidana atau perdata.

Apabila ditemukan pelanggaran etik, MKDKI meneruskan ke organisasi

profesi (IDI, PDGI, MKEK). Apabila terdapat bukti awal dugaan tindakan-tindakan

berwenang dilanjutkan ke pihak berwenang.

Apabila terdapat pelanggaran disiplin oleh dokter atau dokter gigi, MKDKI

dapan memberikan sangsi disiplin berupa peringatan tertulis, rekomendasi

pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR), Surat Izin Praktik (SIP) atau wajib

mengikuti pendidikan/pelatihan kembali di Institusi Pendidikan Kedokteran.


Departemen Kesehatan membentuk Panitia Pertimbangan dan Pembinaan

Etika Kedokteran (P3EK). P3EK terdiri dari Depkes, Depdikbud Fakultas

Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi, pengurus besar IDI dan PDGI. Jumlah

anggotanya 7-9 orang. Tugas P3EK Pusat adalah :

1. Memberi pertimbangan tentang etika kedokteran kepada Menteri.

2. Membina dan mengembangkan secara aktif KODEKI dan Kode Etik

Kedokteran Gigi Indonesia (KODEKGI) dengan bekerja sama dengan IDI dan

PDGI.

3. Memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat yang berwenang di bidang

kesehatan.

4. Menyelesaikan persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh P3EK Provinsi.

5. Menyelesaikan rujukan terakhir dalam permasalahan pelanggaran etika

kedokteran atau etika kedokteran gigi.

6. Mengadakan Konsultasi dengan instansi penegak hukum dan instansi lain

yang berkaitan.

Tahun 1985 rapat kerja antara P3EK, MKEK, dan MKEKG menghasilkan pedoman

kerja antara lain :

1. Pada prinsipnya semua masalah yang menyangkut pelanggaran etik diteruskan

terlebih dahulu kepada MKEK.


2. Masalah etik murni diselesaikan oleh MKEK.

3. Masalah yang tidak murni etik serta masalah yang tidak dapat diselesaikan

MKEK dirujuk ke P3EK provinsi.

4. Dalam sidang MKEK atau P3EK untuk pengambilan keputusan, Badan

Pembela Anggota IDI dapat mengikuti persidangan jika dikehendaki oleh

yang bersangkutan (tanpa hak untuk mengambil keputusan).

5. Masalah yang menyangkut profesi dokter atau dokter gigi akan ditangani

bersama oleh MKEK dan MKEKG terlebih dahulu sebelum diteruskan ke

P3EK apabila diperlukan.

6. Untuk kepentingan pencatatan, tiap kasus pelanggaran etika kedokteran serta

penyelaisannya oleh MKEK dilaporkan ke P3EK provinsi.

P3EK provinsi terdiri dari Kantor Wilayah Depkes Provinsi, Dinas Kesehatan

Provinsi Daerah Tingkat I, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, IDI, dan

PDGI provinsi.

Tugas P3EK provinsi :


1. Menerima dan memberi pertimbangan tentang persoalan dalam bidang etik

profesi di wilayahnya kepada Kepala Kantor Wilayah Depkes Provinsi.

2. Mengawasi pelaksanaan kode etik dalam wilayahnya.

3. Mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hukum dan instansi lain

yang berkaitan.

4. Memberi nasehat kepada dokter dan dokter gigi.

5. Membina dan mengembangkan secara efektif kode etik profesi.

6. Memberi pertimbangan serta usul-usul kepada pejabat berwenang di bidang

kesehatan dalam wilayah provinsi.

2.4. Pedoman Penilaian Kasus-Kasus Pelanggaran etika Kedokteran

Dalam menilai kasus pelanggaran etika kedokteran, MKEK berpedoman pada

1. Pancasila.

2. Prinsip dasar moral pada umumnya.

3. LSDI (Lafal Sumpah Dokter Indonesia).

4. Tradisi luhur kedokteran.


5. KODEKI.

6. Hukum kesehatan terkait.

7. Hak dan kewajiban dokter.

8. Hak dan kewajiban pasien.

9. Pendapatan rata-rata masyarakat kedokteran.

10. Pendapat pakar-pakar dan praktisi kedokteran yang senior.

Selanjutnya MKEK menggunakan beberapa pertimbangan :

1. Tujuan spesifik yang ingin dicapai

2. Manfaatnya bagi kesembuhan pasien

3. Manfaatnya bagi kesejahteraan umum

4. Penerimaan pasien terhadap tindakan itu

5. Standar pelayanan medik yang berlaku

Jika semua pertimbangan menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran etik,

pelanggaran itu dikategorikan kelas ringan, sedang, atau berat berdasarkan pada :

1. Akibat terhadap kesehatan pasien

2. Akibat bagi masyarakat umum


3. Akibat bagi kehormatan profesi

4. Peran pasien yang mungkin mendorong terjadinya pelanggaran

5. Alasan-alasan lain yang diajukan tersangka

2.5. Bentuk-Bentuk Sangsi

Sangsi yang diberikan terhadap pelanggaran etika kedokteran bergantung

pada berat ringannya pelanggaran etik tersebut. Yang terbaik tentulah upaya

pencegahan pelanggaran etik, yaitu dengan cara terus menerus memberikan

penyuluhan kepada anggota IDI, tentang etika kedokteran dan hukum kesehatan.

Namun, jika terjadi pelanggaran, sangsi yang diberikan hendaknya bersifat mendidik

sehingga pelanggaran yang sama tidak terjadi lagi di masa depan.

Bentuk sangsi pelanggaran etik dapat berupa :

1. Teguran atau tuntutan secara lisan atau tulisan

2. Penundaan kenaikan gaji atau pangkat

3. Penurunan gaji atau pangkat setingkat lebih rendah

4. Dicabut izin praktik dokter untuk sementara atau selama-lamanya.

Pada kasus pelanggaran etikolegal diberikan hukuman sesuai peraturan

kepegawaian yang berlaku diproses ke pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai