Anda di halaman 1dari 22
DINAMIKA MOBILITAS SOSIAL - BUDAYA MASYARAKAT SKOU DI PERBATASAN PAPUA UTARA Eniarti B. Djohan Pendahuluan Provinsi Papua Barat dikenal dengan keragaman suku, yang satu dengan Isinnya menganggap berbeda bahasa/dialek maupun budaya. Keragaman sul ini juga dijumpai di wilayah perbatasan antara Papua Barat dengan Papua New Guinea (PNG). Misalnya di kawasan Papua daratan bagian utera dijumpai berbagai suku yang didominasi orang Skou, Wembi dan Arso. Di antara kelompok masyakat ini umumnya mempunyai batas wilayah lokal yang terjadi secara almaiah dan antara lain terjadi Karena adanya bahasa/dialek, tanah milik kelompok dan mitologi yang sama, yang disebut batas alam (natural boundaries). Narmun ada juga batas daerah yang dibuat manusia berdasarian perjanjian antara negara stau daerah, yang ‘umumnya disebut sebagai batas buatan (artificial boundaries). Keduwa konsep batas daerah ini sering membuat rancu masyarakat yang tinggal di kewasan perbatasan dalam menjelankan kehidupannya, Di satu sisi mereka hanya ‘mengetahui batas-batas lokasi berdaserkan yang telah dibuat atau ceritan dari nenek-moyangnya, namun di sisi lain mereka harus patuh terhadap batas yang dibuat antar negara. Kemudian, terbitnya batas negara antara PNG dan NKRI berdampak terhadap dinamike kehidupan masyarakat lokal yang berdiam di wilayah perbatasan. Terutame pada kelompok masyarakat yang ‘mempunyai budaya yang sama dan ikatan kekerabeten dengan masyarakat yang berdiam di wilayah PNG. Miselnya antara penduduk Kampung Sota (Merauke) mempunyai hubungan sosial dengan penduduk Weam (PNG), penduduk Kampung Wembi dengan penduduk Bewani (PNG) dan Penduduk Kampung Skou dengan Wutung/Vanimo West Coast (PNG). ‘Mengacu kepada gambaran kehidupan masyarakat perbatasan Papua dan PNG saat ini, tulisan ini bertujuan untuk ‘mendeskripsi dan mengkaji s penduduk yang berdiam di perbatasan Papua dalam -budaya. Dalam hal ini, dinamike perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat karena dipengaruhi oleh aspek social-budaya yang ada dalam masyarakat tersebut. Menurut Yuliati dan Poemomo (2003:236) ada dua pole mobilitas social yang terjadi di masyerakat, yaitu (1) mobilitas yang ‘erjadi karena adanya perubahan dalam struktur atau lepisan masyarakat (mobilitas vertical), dan (2) mobilitas yang terjadi Karena adanya 9 perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain (mobilitas horizontal). Kedua ‘pola mobilites tersebut dimungkinken dapat saling ‘mempengaruhi. Contoh: adanya perpindahan penduduk (mobilitas vertikal) emungkinen akan merubah nilai-ilai atau tatanan yang ada di masyarakat (mobilites horizontal). Papua dikenal dengsn banyak kelompok musyarakat atau suk, termasuk kawasen perbatasan. Tulisan ini mengambil satu kelompok rmasyérakat yang ada di perbatasan bagian utara, yaits kelompok mesyerakat Skou. Kelompok ini mempunyai ciri-ciri penuturan babasa sama yang bberlokasi di kampung-kampung perbatasan Negara PNG dan NKRI yang disebut bahasa Skou. Sebagai masyarakat yang berlokasi di daerah pperbatasan, maka di antara mereka mempunyai ikatan kekerabatan dan sejarah yang sama dengan mesyarakat di kampung-kampung yang ada di wilayah PNG. Pilihen tethadap sulk ini karena Puslit Kependudukan pernah ‘melakauken penelitian di perbatasan Papua (Irian Jaya) bagian utara di mana ‘orang Skou berdiam, Di antara penduduk kedua kempung ini mempunyai ‘nubungan sosial budaya yang telah terjain lama, sehingga menarik untuk ikaji tentang dinamika Kehidupan mereka setelah adenya bates Negara, Selain itu, pada umumnya beberapa kajian tentang orang Skou berkaitan dengen kajian bahase (Iinguistik) Skou (Jakerimilene, 2001; Donohue,2003). Kajian ini menggunakan data_primer yang diperolch dari has penelitian di daerah perbatasan Papua’ dan studi pustaka dalam bentuk ‘ertulis maupun media elektronik (intemet). Dalam pengumpulan data primer digunakan pendekatan kualitatif melalui teknik wawancara dan pengamatan i lokasi penelitian, Informasi diperoleh selain dari penduduk setempat, juga kkalangen akedemisi dan penduduk bukan orang Skou, Tulisan ini diawali dengan deskripsi tentang sejarah dan gambaran daerah perbatasan sebelum ‘membahas dinamika mobilitas sosial-budaya penduduk Kampung Skou. Ahir ‘ulisan merupalen suatu kesimpulan dari Kajian ini. Gambaran Daerah Perbatasan Papua Utara: Sejarah dan Etnis Perbatasen Indonesia bagian timur terletak di Propinsi Papua yang berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea (PNG), yekni memanjang dari utara hingga selatan yang membagi dua pula teisebut sepanjang sckitar 800 km. Adanya batas Negara yang telah terjadi sejak jaman Belanda masih sulit untuk dipahami oleh sebagian penduduk Papua » Penelitian ini dilakukan pada tahun 1995 dan 1996 tentang mobilitas penduduk di dacrab perbatasan Pepua (waktu penclitien bernama Irian Jaya) di Kebupaten Jayapura dan Kabupaten Merauke, Tim peneliti adalah Dr. Ir. Aswatini R., Drs. Suko Bandiyono, M.Sc., Widayatun, SH. MA., Drs. Sri Hargiyono, Dra. Enissti Djohan, MA. 98 ‘yang masih menganggap satu ‘bangsa’ dengan masyarakat yang berdiam di Wwilayah PNG. Situasi ini yang menimbulkan permasalshan tidak ada hentinya di Papua yang berdampak tidak kondusifnya situasi di provinsi ini, terutama di kawasen perbatasan, Kelompok yang tidak setuju menjadi bagian dari Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sering melakukan ‘mobilitas illegal dari dan ke PNG. Oleh Karena itu, sebelum mengkaji dinamika mobilitas sosial-budaya penduduk perbatasan (orang Skou) ‘tampalenya perlu diketahui sejarah asal muasal Papua masuk NKRI. Sebagaimana telah diuraikan oleh Bachtiar dalam tulisannya tentang ‘Sejarak Irian Jaya’, batas wilayah antara Papua dan PNG dibuat oleh Belanda sebagai wilayah jajabannya dengan mengikuti batas-batas keluasaan Sultan Tidore, terutama daerah di Papua yang mengakui kedaulatan Sultan Tidore. Pada awalnya batas wilayah tersebut tidak tetap dan Belanda yang hanya mengakui batas wilayah keluasan Sultan Tidore agar tidak terbebani dalam menjaga pengamanan laut sekitamya dari bajak laut. Penetapan batas- batas wilayah jajahen Balanda di Papua baru dapat diupayakan pada tahun 1846, yaitu ketika A.L..Weddik ditugaskan oleh Gubernar Jendral Belanda di Batavia untuk menetapkan batas-batas wilayah Maluku dan Papua ager tidak diindahkan oleh Negara Eropa lainnya, Namun pada waktu itu batas yang diumumkan hanya rada bagian pantai, yekni mulai Semenanjung Bonpland pada garis 140°47° BT di pentai utara hinge sudut Semenanjung Goede Hoop, Teluk Wancamen dan seterusnya kea rah barat, barat daya dan tenggara hingga perbatasan garis batas 141° di pantai selatan. Dalam perkembangennya, pada tanggal 16 Mei 1895 baru ada batas seperti sekarang ini yaitu dengan adanya Kesepakatan antare pemerintah Belanda dan pemerintah Inggris tentang batas antara wilayah kekuasean mereka masing- masing di New Guinea. Batas timur Papua/Irian dimulsi daci pantai selatan pada pertengahen mnara Aungai Bensbach (sekitar 141°1°47" BT), kemudian ke utera sampai bererm Sungai Fly sampai pada garis 141° BT dan ‘mengikuti garis tersebut hingga pantai utara. Batas entara Irian Jaya/Papua dan Irian Timur (PNG) dinyatakan dalam Staatsblad van Nederlandsch- Indie, 1895, No. 220 dan 221 (Bachar, 1994;49-52), Setelah Indonesia metdeka, Papua belum menjadi wilayah NKRI dan masih dipertahenkar oleh Belands. Berbagai perundingen dilakukan, hingga akhimya pada tahun 1961 Presiden Sockamo mengeluarkan keputusan untuk ‘membebaskan Papue dari Belanda, yang dikenal dengan Tri komando Rakyat (TRIKORA). Satu tahun kemudian Pemerintah Belands terpaksa mengakui, bbahwa Papua (Irian Jaya) sebagai bagian dari wilayah NKRI. Kemudian, Belanda menyerahkin Pepua kepada Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan membentuk pemeriatahan sementara yang dinamakan UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority), Sata tahun kemudian, yakni 1 Mei 1963 PBB menyerchkan Papua kepada Pemerintah Indonesia dan resmi 9 menjadi bagian dari NKRI (Bachtier, 1994:87-88). Namun sejak ita permasalahan yang muncul~di Papua tidak pemah berhenti, terutama berksitan dengan sebagian masyarakat yang tidak menginginkan menjadi ‘wilayah bagian NKRI. Kondisi ini sangat berpengaruh pada penduduk yang berdiam di wilayah perbatesan, schingga sulit untuk mencapai ketenangan Jeorena selain ada konflik yang muncul. Hubungan sosial-udaya yang ada amtara penduduk di perbatasan Papua (Indonesia) dengan penduduk perbatasan di bagian PNG sering membuka pelueng bagi penduduk Papua ‘untuk melakukan mobilitas ke PNG bila tidak setuju dengan Indonesia, Hel ini katena mereka umumnya mengabaikan “batas negara’ dan mengangga tanah yang ada di wilayah PNG merupakan ada juga hak ulayat tanai kkeluarga yang diakui kedua belah pihek. Begitupuia sebaliknya, masyaraket ‘PNG juga ada yang merase punya hek tanah di wilayah Indonesia, Pada saat ini, kawasan perbatasan wilayah NKRI dan PNG terbagi atas lima wilayah kabupaten/kota yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Keeror, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Tayapura, Dari lima kabupaten/kota terscbut terdapat 23 distrik dengan jumlah kampung sebanyak 266. Banyaknya kampung tersebut dipetkirakan menggembarken jumish kelompok masyarakat atau suku yang ada

Anda mungkin juga menyukai