F7- MINIPROYEK
HUBUNGAN FAKTOR RISIKO DENGAN ANGKA KEJADIAN DIABETES MELLITUS
TIPE 2 DI PUSKESMAS TAMBAKBOYO
Oleh:
dr. Gede Bagus Subha Jana Giri
dr. Havri Bogi Pradana Putra
dr. Dian Wulandaru Sukmaning Pertiwi
dr. Fada Faizah
dr. Latifa Oktadiani Putri
dr. Yunneke Renna Xaverina
Pendamping:
dr. H. Bambang Priyo Utomo
PUSKESMAS TAMBAKBOYO
DINAS KESEHATAN KABUPATEN TUBAN
2016
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristisk hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya (PERKENI 2011).Diabetes melitus merupakan golongan penyakit dimana
tubuh mengalami kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.Secara etiomologis,
penyakit ini diklasifisikan menjadi beberapa jenis, dan yang akan dibahas lebih lanjut di
dalam penelitian ini adalah diabetes melitus tipe 2. Secara patofisiologi ada beberapa
keadaan yang berperan, yaitu resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas.
Menurut international Diabetic Federation menyebutkan bahwa prevalensi diabetes
melitus di dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan DM sebagai penyebab kematian urutan
ketujuh di dunia, sedangkan pada tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus di dunia adalah
sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 ini adalah 95% dari
populasi dunia yang menderita diabetes melitus. Di Indonesia menurut RISKESDES tahun
2008 menunjukkan prevalensi DM di Indonesia meningkat sampai 57%. WHO
memperkirakan bahwa Indonesia akan menempati posisi no. 5 sedunia dengan jumlah
pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta jiwa pada tahun 2025,naik 2 tingkat dibandingkan
tahun 1995. Dalam rangka mengantisipasi ledakan jumlah pasien diabetes melitus ini, maka
perlu dilakukannya tindakan preventif sedini mungkin, sehingga pengetahuan mengenai
faktor-faktor resiko yang berpengaruh perlu dibahas lebih lanjut.Dengan melihat bahaya yang
dapat timbul dari penyakit ini dan peningkatan secara epidemiologis, maka penulis
melakukan penelitian tentang diabetes melitus tipe 2 serta faktor- faktor resikonya.
3
B. Rumusan masalah
Bagaimana pengaruh faktor risiko terhadap angka kejadian diabetes melitus tipe 2 di
Puskesmas Tambakboyo, Kabupaten Tuban.
C. Tujuan
Untuk mengetahui tingkat pengaruh faktor risiko terhadap angka kejadian diabetes
melitus tipe 2 di Puskesmas Tambakboyo, Kabupaten Tuban.
D. Manfaat
Penulisan tugas responden ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Bagi tenaga kesehatan,diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan tentang
penyakit diabetes melitus tipe 2 dan faktor- faktor penyebab, sehingga mampu
memberikan edukasi dan konseling kepada pasien
2. Dapat meningkatkan pelayanan di puskesmas dalam menurunkan angka penderita
diabetes melitus tipe 2 dan menurunkan morbiditas akibat penyakit diabetes melitus tipe
2
3. Sebagai dasar pengetahuan bagi penelitian selanjutnya
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainansekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (PERKENI,
2011).Worid Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM
merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat
tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi
akibatdari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin (Gustavani, 2009).
Dalam DM Tipe 2, pankreas dapat menghasilkan cukup jumlah insulin untuk
metabolisme glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu untuk memanfaatkan secara efisien.
Seiringwaktu, penurunan produksi insulin dan kadar glukosa darah meningkat (Adhi dkk,
2011).
B. Epidemiologi
Prevalensi DM Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6 % dari orang
dewasanya(Suyono, 2009). International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa
prevalensiDiabetes Melitus di dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan DM sebagai
penyebab kematian urutan ke tujuh di dunia sedangkan tahun 2012 angka kejadian diabetes
me litus didunia adalah sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian diabetes melitus
tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes mellitus. Hasil Riset
Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar
sampai 57% (Fatimah, 2015).
5
C. Klasifikasi
Klasifikasi etiologi Diabetes Mellitus (PERKENI, 2011)
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut
Autoimun
Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disetai defisiensi
insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin.
Tipe lain Defek genetik fungsi sel beta
Defek genetic kerja insulin
Penyakit eksorin pankreas
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia
Infeksi
Sebab imunologi yang jarang
Sindrom genetic lain yang berkaitan dengan DM
Diabetes Diabetes yang timbul selama kehamilan. Meliputi 2-5% dari seluruh
mellitus diabetes. Jenis ini sangat penting untuk diketahui karena dampaknya
gestasional pada janin kurang baik apabila tidak ditangani dengan benar.
Diabetes melitus tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes Melitus
disingkat NIDDM, sebelumnya disebut diabetes dengan onset dewasa.Tipe ini adalah tipe
yang paling sering terjadi.Pada tipe ini disposisi genetik juga berperan penting, namun
terdapat defisiensi insulin relatif dan penderita tidak mutlak bergantung pada asupan insulin
dari luar.Pelepasan insulin dapat normal atau meningkat, tetapi organ target memiliki
sensitivitas yang berkurang terhadap insulin (Suwanto, 2015).
Sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 memiliki berat badan berlebih atau
obesitas.Obesitas terjadi karena adanya disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu
banyak dan aktivitas fisik yang terlalu sedikit.Ketidakseimbangan antara asupan dan
pengeluaran energi meningkatkan konsentrasi asam lemak dalam darah.Hal ini menurunkan
penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak, akibatnya terjadi resistensi insulin yang
6
D. Patofisiologi
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan
insulin secara relatif maupun absolut.Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan,
yaitu(Fatimah, 2015):
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu
(Fatimah, 2015) :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pankreas
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi dalam 3-10
menit pertama setelah makan yaitu insulin yang disekresi pada fase ini adalah insulin yang
disimpan dalam sel beta (siap pakai) tidak dapat menurunkan glukosa darah sehingga
merangsang fase 2 adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah stimulasi glukosa untuk
menghasilkan insulin lebih banyak (hiperinsulinemia), tetapi sudah tidak mampu
meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal. Gangguan sekresi sel beta
menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun
menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa
meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin akan
menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang
menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi
hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. Penelitian menunjukkan adanya hubungan
antara kadar glukosa darah puasa dengan kadar insulin puasa. Pada kadar glukosa darah
puasa 80-140 mg/dl kadar insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi jika kadar glukosa
darah puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin tidak mampu meningkat lebih tinggi
lagi; pada tahap ini mulai terjadi kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya menurun. Pada
7
saat kadar insulin puasa dalam darah mulai menurun maka efek penekanan insulin terhadap
produksi glukosa hati khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga produksi
glukosa hati makin meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa. Faktor-faktor
yang dapat menurunkan fungsi sel beta diduga merupakan faktor yang didapat (acquired)
antara lain menurunnya massa sel beta, malnutrisi masa kandungan dan bayi, adanya deposit
amilyn dalam sel beta dan efek toksik glukosa (glucose toxicity) (Guyton et al, 2009).
Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat
dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi insulin dalam
beberapa tingkatan. Pada seorang penderita dapat terjadi respons metabolik terhadap kerja
insulin tertentu tetap normal, sementara terhadap satu atau lebih kerja insulin yang lain sudah
terjadi gangguan. Resistensi insulin merupakan sindrom yang heterogen, dengan faktor
genetik dan lingkungan berperan penting pada perkembangannya. Selain resistensi insulin
berkaitan dengan kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom ini juga ternyata dapat
terjadi pada orang yang tidak gemuk. Faktor lain seperti kurangnya aktifitas fisik, makanan
mengandung lemak, juga dinyatakan berkaitan dengan perkembangan terjadinya kegemukan
dan resistensi insulin(Guyton et al, 2009).
E. Faktor Risiko
1. Usia
Diabetes Melitus dapat menyerang warga penduduk dari berbagai lapisan, baik dari
segi ekonomi rendah, menengah, atas, ada pula dari segi usia. Tua maupun muda dapat
menjadi penderita DM. Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologi yang secara
drastis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes sering muncul setelah
seseorang memasuki usia rawan, terutama setelah usia 45 tahun pada mereka yang berat
badannya berlebih, sehingga tubuhnya tidak peka lagi terhadap insulin. Teori yang ada
mengatakan bahwa seseorang 45 tahun memiliki peningkatan resiko terhadap terjadinya
DM dan intoleransi glukosa yang di sebabkan oleh faktor degeneratif yaitu menurunya fungsi
tubuh, khususnya kemampuan dari sel dalam memproduksi insulin (Betteng, 2014).
8
2. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik dapat mengontrol gula darah. Glukosa akan diubah menjadi energi
pada saat beraktivitasfisik. Aktivitas fisik mengakibatkan insulin semakin meningkat
sehingga kadar gula dalam darah akan berkurang. Pada orang yang jarang berolahraga, zat
makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai
lemak dan gula. Jikainsulin tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka
akan timbul DM (Kemenkes, 2010).
Berdasarkan penelitian Letu, merokok adalah salah satu faktor resiko terjadinya
penyakit DM Tipe 2. Asap rokok dapat meningkatkan kadar gula darah. Pengaruh rokok
(nikotin) merangsang kelenjaradrenal dan dapat meningkatkan kadar glukosa Penelitian oleh
Houston mendapatkan bahwa perokok aktif memiliki resiko 76% lebih tinggi untuk terserang
DM Tipe 2 dibanding dengan yang tidak terpajan (Trisnawati, dkk, 2013).
3. Obesitas
Obesitas bukan hanya mengundang penyakit jantung koroner dan hipertensi, tetapi
juga diabetes melitus tipe 2.Obesitas merupakan faktor utama dari insiden DM tipe 2. 22
Obesitas dapat terjadi karna banyak faktor.Faktor utama adalah ketidakseimbangan asupan
energi dan keluarnya energi. Obesitas juga melibatkan beberapa faktor, antara lain: genetik,
lingkungan psikis, perkembangan, lifestyle, kerentanan terhadap obesitas temasuk program
diet, usia, jenis kelamin, status ekonomi, dang penggunaan kontrasepsi khususnya
kontrasepsi hormonal(Betteng, 2014).
Indeks masa tubuh secara bersama-sama dengan variable lainnya mempunyai
hubungan yang signifikandengan diabetes mellitus.Hasil perhitungan ORmenunjukan
seseorang yang obesitas mempunyai resiko untuk menderita diabetes. Kelompok dengan
resiko diabetesterbesar adalah kelompok obesitas, dengan odds7,14 kali lebih besar
dibandingkan dengan kelompok IMT normal.Penelitian menurut Sunjaya (2009) menemukan
bahwa individu yang mengalami obesitas mempunyai resiko 2,7 kali lebih besar untuk
terkena diabetes mellitus dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami
obesitas.Adanya pengaruh indek masa tubuh terhadap diabetes mellitus ini disebabkan oleh
kurangnya aktivitas fisik serta tingginya konsumsi karbohidrat, protein dan lemak yang
merupakan faktor resiko dari obesitas. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya Asam
9
Lemak atau Free Fatty Acid(FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan menurunkan
translokasi transporter glukosa ke membrane plasma, dan menyebabkan terjadinya resistensi
insulinpada jaringan ototdan adiposa(Trisnawati, dkk, 2013).
Kadar kolestrol yang tinggi beresiko terhadap penyakit DM Tipe 2.Kadar kolestrol
tinggi menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas sehingga terjadi lipotoksisity. Hal ini
akan menyebabkan terjadinya kerusakan sel beta pankreas yang akhirnya mengakibatkan DM
Tipe 2(Kemenkes, 2010). Penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Wahidin Sudirohusodo,
Makasar menunjukan bahwa kolestrol tinggi memiliki hubungan dengan kejadian DM Tipe
2. Orang dengan kolestrol tinggi memiliki resiko 13,45 kali untuk menderita DM Tipe 2
dibandingkan yang kadar kolestrolnya normal (Andi dkk, 2008).
4. Makanan
Teori menyebutkan bahwa seringnya mengonsumsi makanan/minuman manis akan
meningkatkan resiko kejadian DM tipe 2 karena meningkatkan konsentrasi glukosa dalam
darah. Riwayat pola makan yang kurang baik juga menjadi faktor resiko penyebab terjadinya
DM pada wanita usia produktif yang sering di ungkapkan oleh informan. Makanan yang di
konsumsi diyakini menjadi penyebab meningkatnya gula darah. Perubahan diet, seperti
mengkonsumsi makanan tinggi lemak menjadi penyebab terjadinya diabetes (Betteng, 2014)
5. Tekanan Darah
Ada hubungan yang bermakna antara tekanan darah dengan diabetes melitus.
Penelitian menurut Sunjaya (2009) menemukan bahwa individu yang mengalami hipertensi
mempunyai resiko 1,5 kali lebih besar untuk mengalami diabetes dibanding individu yang
tidak hipertensi.Beberapa literatur mengaitkan hipertensi dengan resistensi insulin. Pengaruh
hipertensi terhadap kejadian diabetes melitus disebabkan oleh penebalan pembuluh darah
arteri yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit. Hal ini akan
menyebabkan proses pengangkutan glukosa dari dalam darah menjadi terganggu (Trisnawati,
dkk, 2013).
10
6. Stres
Berdasarkan analisis hubungan antara stresdengan kejadian DM Tipe 2 didapatkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara stres dengan kejadian DM Tipe 2pada penelitian
Andi di Rumah Sakit Umum Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar. Orang yang mengalami
stres memiliki resiko 1,67 kali untuk menderita DM Tipe 2 dibandingkan dengan orang yang
tidak mengalami stres Adanya peningkatan resiko diabetes pada kondisi stres disebabkan
oleh produksi hormone kortisol secara berlebihan saat seseorang mengalami stres. Produksi
kortisol yang berlebih ini akan mengakibatkan sulit tidur, depresi, tekanan darah merosot,
yang kemudian akan membuat individu tersebut menjadi lemas, dan nafsu makan berlebih.
Oleh karena itu, ahli nutrisi biologis Shawn Talbott menjelaskan bahwa pada umumnya orang
yang mengalami stres panjang juga akan mempunyai kecenderungan berat badan yang
berlebih, yang merupakan salah satu faktor resiko diabetes mellitus (Andi dkk, 2008).
F. Manifestasi Klinis
Terdapat 4 gejala klasik (khas) DM, yaitu poliuria, polidipsia, polifagia, dan terjadi
penurunan berat badan yang tidak disadari. Meskipun demikian, banyak pula pasien datang
gejala tidak khas maupun datang dengan komplikasi dari DM. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Pujilestari, C., dkk (2014), mayoritas responden menyatakan bahwa pasien
DM dapat dicirikan dari berat badan yaitu obestitas, gaya hidup malas atau kurang aktivitas
fisik, dan sering buang air kecil di malam hari. (PERKENI 2011; )
Meskipun DM merupakan salah satu dari 5 besar penyakit yang berkembang pesat di
Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, hanya sedikit sekali yang menyadari faktor risiko
dan penyakit komorbidnya. Sebagian besar (terutama masyarakat yang tinggal di desa dan
wilayah terpencil) menganggap DM adalah penyakit yang biasa diderita oleh orang yang
gemuk, orang kota dan orang yang memilki riwayat DM pada pohon keluarganya. Padahal,
kebiasaan merokok, hipertensi dan dislipidemia tinggi prevalensinya baik pada daerah kota
maupun non kota. Masyarakat juga kurang menyadari bahwa seiring bertambahnya usia,
tubuh akan semakin rentan terkena penyakit, termasuk DM. Anngapan-anggapan seperti
itulah yang menybabkan pasien seringkali datang dengan komplikasi dari DM, bukan dengan
gejala klasik DM.4
11
G. Diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan glukosa darah. Perlu juga
diperhatikan asal pengambilan sample darah dan cara pemeriksaan yang akan dipakai.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan enzimatik dengan bahan darah plasma
vena (PAPDI, 2010).
PERKENI (2011) membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan
ada tidaknya gejala khas DM. Adapun gejala khas DM adalah sebagai berikut :
Poliuri
Polidipsi
Polifagi
BB menurun tanpa sebab yang jelas
Sedangkan gejala DM yang tidak khas adalah sebagai berikut :
Lemas
Kesemutan
Luka yang sulit sembuh
Gatal
Mata kabur
Disfungsi ereksi (pada pria)
Pruritus Vulva (pada wanita)
Bila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan darah yang abnormal saja sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis. Namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM maka dapat
dilakukan pemeriksaan kadar gula darah ulangan. Berikut ini adalah kriteria diagnosis DM
(PERKENI 2011).
12
H. Penatalaksanaan
Algoritme penatalaksanaan diabetes melitus :
Terapi Farmakologis:
Obat Anti Diabetes :
1. Golongan Insulin Sensitizing :
Biguanid : berpengaruh terhadap kerja insulin pada reseptor insulin dan menurunkan
produksi glukosa hati, serta menghambat absorbsi glukosa di usus setelah makan, ex :
metformin.
Glitazone/thiazolid : meningkatkan efisiensi dan respon sel beta pankreas dengan
menurunkan lipotoksisitas dan glukotoksisitas, memperbaiki sensitivitas insulin dan
memperbaiki glikemia.
15
Insulin
Indikasi pemberian insulin :
1. DM tipe 1
2. Koma diabetik
3. DM tipe 2 dengan keadaaan tertentu : kegagalan OAD, kehamilan, infeksi, sirosis hepar,
grave disease, kanker (PERKENI 2011).
16
Klasifikasi insulin
Latihan jasmani :
Pada diabetes tipe 2, latihan jasmani dapat memperbaiki kendali glukosa secara menyeluruh.
Frekuensi : 3-5x perminggu
Intensitas : ringan dan sedang
Durasi : 30-60 menit
Jenis : jasmani endurance (aerobik)jalan, jogging, berenang, dan bersepeda (PAPDI,
2010).
I. Komplikasi
Komplikasi DM biasanya dibagi berdasarkan segi waktu, yakni komplikasi akut dan
kronik.Komplikasi akut adalah komplikasi dapat terjadi secara mendadak, sifatnya biasanya
reversible bila ditangani dengan tepat, kecuali bila sudah terjadi komplikasi.Sementara
komplikasi kronik membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat terjadi dan erat
kaitannya dengan penyakit komorbid.
mg/dL), pH <7,35; tanda dan gejala asidosis, anion gap yang tinggi, serta plasma keton (+)
kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion
gap.Meskipun sekitar 20% kasus tidak didapatkan faktor pencetus, penghentian atau
pengurangan dosis insulin oleh pasien merupakan salah satu pencetus terjadinya
KAD.Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering, Di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta, faktor pencetus infeksi didapatkan sekitar 80%.Infeksi yang sering
ditemukan ialah infeksi saluran kemih dan pneumonia (PAPDI, 2010; PERKENI 2011).
Gejala klinis yang dapat ditemui berupa rasa haus, mual, muntah, nyeri perut,
berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang
disertai hipovolemia sampai syok.Tanda klasik dari KAD adalah pemapasan.cepat dan
dalam (Kussmaul) dan nafas berbau aseton (meskipun kadang-kadang tidak
tercium).Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau
depresi sampai dengan koma (PAPDI, 2010; ADA, 2011).
Tatalaksana KAD membutuhkan monitoring ketat, terutama apabila pH <7,0 atau
pasien dalam keadaan tidak sadar, maka pasien harus segera dirujuk ke rumah sakit dengan
fasilitas yang memadai. Hal-hal yang harus dievaluasi adalah serum elektrolit (Na +, K+, ,
Mg2+ , Cl- , bikarbonat, dan fosfat), gula darah sewaktu, status asam-basa, anion gap,
tekanan darah, nadi, laju respirasi, status mental, balans cairan, dan fungsi ginjal (kreatinin
dan produksi urin). Evaluasi lanjut berupa kultur darah, X-Ray dada, dan EKG (PAPDI,
2010; Longo et al., 2013).
Tatalaksana awal berupa penggantian cairan isotonik yang hilang dengan infus NaCl
0,9%, kemudian secara berangsur-angsur diberikan infus NaCl 0,45% dan infus D5%.
Untuk menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hepar dengan
pemberian bolus insulin kerja pendek secara intravena atau intramuskular; yang kemudian
dilanjutkan dengan pemberian infus insulin secara intravena 0,1 U/kgBB/jam. Pemberian
insulin ditunda apabila serum potasium awal <3.3 mmol/L. Kalium juga diberikan secara
infuse intravena. Target glukosa darah adalah 150-250 mg/dL.Insulin jangka panjang atau
menengah dapat dberikan apabila pasien sudah bisa makan secara oral (Longo et al., 2013).
Pada SHH terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa
tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma meningkat tinggi (330-380 mOs/mL), plasma
keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat (PERKENI, 2011).
Secara klinis SHH akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil laboratorium
seperti konsentrasi glukosa darah, keton dan analisis gas darah belum ada hasilnya. SHH
tidak ditemukan adanya pernapasan kussmaul, pada beberapa sumber tidak adanya mual,
muntah, dan nyeri perut juga bisa membedakan SHH dari KAD. SHH biasanya sering
ditemukan pada usia lanjut (biasanya usia lebih dari 60 tahun) dengan riwayat penurunan
intake oral, penurunan berat badan dan poliuria selama beberapa hari-minggu. Hampir
separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM atau DM tanpa insulin.Sekitar 85% pasien
ditemukan mengidap penyakit ginjal atau kardiovaskular, pernah ditemukan penyakit
akromegali, tirotoksikosis, dan penyakit Cushing. SHH sering disebabkan oleh obat-obatan,
antara lain tiazid, furosemid, manitol, digitalis, reserpin, steroid, klorpromazin, hidralazin,
dilantin, simetidin dan haloperidol (neuroleptik) (PAPDI, 2010; Harrison, 2013).
Penatalaksanaannya serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah cairan
hipotonis.Overhidrasi dapat menyebabkan adult respiratory distress syndrome dan edema
serebri (PAPDI, 2010).
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan dimana tubuh kekurangan glukosa, ditandai dengan
menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala
adrenergik (berdebar-debar, banyak keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-
glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma). Pasien yang tidak sadar
dalam keadaan hipoglikemia dikategorikan sebagai koma hipoglikemia.Pasien DM dengan
penurunan kesadaran harus dipikirkan hipoglikemia sebagai salah satu
penyebabnya.Keadaan ini seringkali disebabkan oleh penggunaan obat hiperglikemia oral
(OHO) kerja panjang seperti golongan sulfonilurea dan insulin.Sampai saat ini pemberian
insulin masih belum sepenuhnya dapat menirukan pola sekresi insulin yang fisiologis. OHO
golongan sulfonilurea yang paling sering menimbulkan hipoglikemia adalah glibenclamide
karena waktu kerja glibenclamide yang panjang (24-72 jam), akibatnya kadar glukosa darah
terlalu rendah dan pasien jatuh dalam keadaan hipoglikemia.Pengawasan khusus harus
dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal kronik dan usia lanjut (PERKENI, 2011; PAPDI,
2010).
20
pada saat diagnosis awal, dan diulangi tiap 3-5 tahun. Retinopati tidak bisa dicegah dengan
pemberian aspirin, meskipun demikian kontrol glukosa darah dan tekanan darah yang baik
akan mengurangi risiko dan derajat keparahan retinopati. Kontrol yang sama juga ditujukan
untuk mengurangi risiko nefropati, biasanya pasien dengan risiko tinggi akan lebih baik
outcome-nya apabila diet rendah protein (0,8 g/kgBB/hari) (AHA, 2011; PAPDI, 2010;
PERKENI, 2011) .
Salah satu ukuran dalam menentukan dugaan ke arah nafropati diabetik adalah
terdapatnya mikroalbuminaria pada hasil laboratorium.Pemeriksaan untuk mencari
mikroalbuminuria sebaiknya selalu dilakukan pada saat diagnosis DM ditegakkan dan
meskipun hasilnya negatif dilakukan evaluasi setiap tahun.Pasien yang ditemukan
mikroalbuminuria dapat berubah menjadi makroalbuminuria dan pada akhirnya belanjut
menjadi gagal ginjal kronik stadium akhir. Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika
didapatkan kadar albumin >30 mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam
kurun wakktu 3-6 bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya. Serum kreatinin >2,0 mg/dL
butuh konsultasi dengan ahli nefrologi, sedangkan bila klirens kreatinin <15 ml/menit
merupakan indikasi dilakukannya hemodialisis atau transplantasi (gagal ginjal kronis
stadium V). Terapi hipertensi yang disarankan adalah dengan penggunaan penyekat ACE
atau penyekat resptor angiotensin II, atau kombinasi keduanya. JIka terdapat kontraindikasi
dapat diberikan anagonis kalsium non dihidropiridin (AHA, 2011; PAPDI, 2010).
3. Neuropati
Komplikasi neuropati yang paling umum tejadi adalah hilangnya sensasi distal,
gejalanya berupa kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam
hari. Gejala lain berupa penurunan kepekaan kaki terhadap rangsang nyeri dan suhu, hal ini
meningkatkan risiko terjadinya ulkus kaki diabetik dan amputasi.Apabila ditemukan
adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko
amputasi. Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan
penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain (PERKENI,
2011; PAPDI, 2010).
Prinsip perawatan ulkus kaki diabetes adalah degan melakukan enam kontrol; kontrol
metabolik (pengendalian kadar glukosa darah, lipid, dll), kontrol vaskular (perbaikan suplai
22
darah dengan operasi atau angioplasty; biasanya pada ulkus iskemik), kontrol infeksi
(pengobatan secara agresif bila tanda klinis positif; diberikan antibiotik yang adekuat),
kontrol luka (pembuangan jaringan terinfksi dan nekrosis secara teratur), kontrol tekanan
(pembuangan kalus dan memakai alas kaki yang sesuai), serta kontrol edukasi (dengan
melakukan penyuluhan yang baik). Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan
duloxetine, antidepresan trisiklik, atau gabapentin (PAPDI, 2010).
J. Pencegahan
Sesuai dengan ilmu kesehatan masyarakat, pencegahan dibagi menjadi pencegahan
primer, sekunder dan tersier.
1. Pencegahan Primer
Sasaran dari pencegahan primer adalah kelompok yang berpotensi tinggi menderita
DM dan kelompok intoleransi glukosa. Umur risiko untuk menderita intoleransi glukosa
meningkat seiring dengan meningkatnya usia, usia > 45 tahun harus dilakukan skrining
untuk DM. Pada pasien dengan intoleransi glukosa, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
dilakukan ditujukan untuk mencari faktor risiko yang dapat dimodifikasi (PERKENI, 2011).
Materi penyuluhan yang dapat diberikan antara lain program penurunan berat badan
(Beberapa penelitian menunjukkan penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah atau
memperlambat munculnya DM tipe 2), diet sehat (mengandung karbohidrat kompleks,
sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut;), stop merokok serta olahraga. Olahraga yang
dianjurkan adalah latihan aerobic sedang minimal selama 150 menit/minggu (tujuannya
mencapai 50-70% denyut jantung maksimal) atau latihan aerobic berat selama minimal 90
menit/minggu (untuk mencapai >70% denyut jantung maksimal).Latihan jasmani tersebut
dibagi menjadi 3-4 aktivitas/minggu.Untuk pengendalian faktor risiko, bila disertai dengan
obesitas, hipertensi, dan dislipidemia, dilakukan pengendalian berat badan, tekanan darah
dan profil lemak sehingga tercapai sasaran yang ditetapkan (PERKENI, 2011).
DM memilki kaitan erat dengan sindrom metabolik.Sindrom metabolik merupakan
kumpulan gejala yang terdiri dari obesitas sentral, hipertensi, hiperglikemia serta
peningkatan trigliserida atau penurunan kolesterol HDL.Keberadaannya menunjukkan
peningkatan risiko kejadian penyakit kardiovaskular dan DM (PAPDI, 2010).
23
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dibagi menjadi dua, yaitu pada kelompok populasi risiko tinggi
dan pada kelompok penderita, terutama pasien DM baru.Skrining ditujukan untuk
menyaring penderita yang sebelumnya tidak terdiagnosis (deteksi pasien baru), sehingga
dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi
sifatnya masih reversibel (PERKENI, 2011; PAPDI, 2010).
Dalam upaya pencegahan sekunder, program penyuluhan memegang peran penting
untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan dalam
menuju perilaku sehat.Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan selalu diulang
pada setiap kesempatan pertemuan berikutnya (PERKENI, 2011).
Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini
penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Salah satu penyulit DM yang sering terjadi
adalah penyakit kardiovaskular, yang merupakan penyebab utama kematian pada
penyandang diabetes. Selain pengobatan terhadap tingginya kadar glukosa darah,
pengendalian berat badan, tekanan darah, profil lipid dalam darah serta pemberian
antiplatelet dapat menurunkan risiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang
diabetes (PERKENI, 2011).
Penderita DM dengan hipertensi memiliki target tekanan darah yang berbeda,
misalnya pada DM dan penyakit ginjal target tekanan darah adalah < 130/80 mmHg. Untuk
mencapai target tekanan darah, penatalaksanaan tetap diawali dengan pengaturan diet dan
aktifitas fisik, menghentikan rokok dan konsumsi alkohol serta banyak mengkonsurnsi serat.
Beberapa studi menyarankan pemakaian ACE inhibitor sebagai lini pertama pada
penyandang hipertensi dengan sindrom metabolik terutama bila ada DM. Angiotensin
receptor blocker (ARB) dapat digunakan apabila tidak toleran terhadap ACE inhibltor.
Meski pemakaian diuretic tidak dianjurkan pada subyek dengan gangguan toleransi glukosa,
namun pemakaian diuretik dosis rendah yang dikombinasi dengan regimen lain dapat lebih
bermanfaat dibandingkan efek sampingnya. Sasaran pengelolaan lipid untuk penyandang
DM lebih rendah daripada orang yang normal, pada individu tanpa risiko kardiovaskular
sasaran nilai kolesterol LDL <100 mg/dl, sedangkan yang memiliki risiko kardiovaskular
menjadi <70 mg/dL (PERKENI, 2011; PAPDI, 2010).
24
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya komplikasi, kegagalan organ maupun
disabilitas.Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg/hari) dapat diberikan secara
rutin bagi penyandang diabetes yang sudah mempunyai penyulit makroangiopati
(PERKENI, 2011; PAPDI, 2010).
Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan untuk pasien dan
keluarga, materinya menitik beratkan padaupaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk
mencapai kualitas hidup yang optimal.Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan
holistic dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit
rujukan.Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin sangat diperlukan dalam
menunjang keberhasilan pencegahan tersier (PERKENI, 2011).
BAB III
METODE PENELITIAN
25
a. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan case control.
c. Variabel Penelitian
i. Variabel dependen
Kejadian diabetes mellitus dengan kadar gula darah sewaktu lebih dari 200 mg/dl.
ii. Variabel independen
Umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, BMI, riwayat keluarga, aktivitas
fisik, riwayat hipertensi, pola makan, riwayat merokok, stress kejiwaan.
a. Umur adalah usia penderita Diabetes mellitus sesuai yang tertera pada kartu
penderita.
b. Jenis kelamin adalah ciri-ciri yang dimiliki penderita diabetes mellitus sesuai yang
tertera pada kartu penderita.
c. Berat badan adalah ukuran untuk melihat status gizi penderita dengan satuan
kilogram.
d. Tinggi badan adalah ukuran untuk melihat postur rubuh penderita dengan satuan
meter.
e. BMI adalah indeks massa tubuh yang dihitung berdasarkan berat badan dalam satuan
kilogram dibagi dengan tinggi badan kuadrat dalam satuan meter.
f. Riwayat keluarga adalah adanya riwayat penderita diabetes mellitus pada keluarga
penderita.
g. Aktivitas Fisik adalah kebiasaan penderita dalam melakukan aktivitas fisik dan
olahraga setiap minggu.
h. Riwayat hipertensi adanya penyakit hipertesi pada penderita diabetes mellitus.
i. Pola makan adalah kebiasaan penderita dalam mengkonsumsi makanan dan gula
sehari-hari.
j. Riwayat merokok adalah kebiasaan merokok yang dimiliki penderita.
k. Stress kejiwaan adalah tekanan psikis atau beban pikiran penderita dalam menjalani
kehidupannya sehari-hari.
e. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuosioner.Semua responden
didampingi peneliti dalam mengisi kuosioner.
g. Teknik Analisis
27
Teknik penyajian data dengan penyajian data hasil penelitian yang diperoleh dari
pengukuran dalam bentuk tabel dan grafik.
BAB IV
28
HASIL PENELITIAN
Tambakboyo berada di jalur Pantura (pantai utara) pulau jawa dengan batas wilayah
sebagai berikut:
a. Sebelah utara : Laut Jawa
b. Sebelah timur : Kecamatan Jenu
c. Sebelah selatan : Kecamatan Kerek
d. Sebelah barat : Kecamatan Bancar
Keadaan desa:
a. Secara administratif terbagi menjadi 18 Desa, 42 Dusun, 63 Rukun Warga, 217
Rukun Tetangga
b. Semua desa baik di musim hujan maupun kemarau dapat dilalui kendaraan roda
dua
c. Semua desa baik di musim hujan maupun kemarau dapat dilalui kendaraan roda
empat
d. Jarak desa ke puskesmas kurang dari 5 km : 11 desa
e. Jarak desa ke puskesmas lebih dari 5 km : 7 desa
2. Data Demografis
Tingkat Pendidikan:
a. Tak tamat SD/sederajat : 7,32%
b. Tamat SD/sederajat : 71,20%
c. Tamat SMP/sederajat : 8,15%
d. Tamat SMA/sederajat : 2,25%
e. Tamat S1/D3 : 1,08%
Pekerjaan:
a. Tani : 31,25%
b. Buruh : 36,02%
c. Nelayan : 15,20%
d. Pedagang : 6,15%
e. PNS / ABRI : 1,27%
f. Lain-lain : 10,11%
BAB V
PEMBAHASAN
5.1.1.Jenis Kelamin
Dari data sampel penderita Diabetes Mellitus dalam penelitian didapatkan 42 orang
atau 84 % berjenis kelamin perempuan dan 8 orang atau 16 % sisanya berjenis kelamin laki-
laki. DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita lebih berisiko mengidap
diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang
lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca-menopouse yang
membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal
tersebut sehingga wanita berisiko menderita diabetes mellitus tipe2
5.1.2Faktor Usia
Berdasarkan hasil penelitian dari 50 sampel penderita Diabetes Mellitus paling
banyak adalah usia produktif dengan persentase 86 % atau 43 orang dan sisanya dengan
persentase 14 % atau 7 orang. Diabetes Melitus dapat menyerang warga penduduk dari
berbagai lapisan, baik dari segi ekonomi rendah, menengah, atas, ada pula dari segi usia. Tua
maupun muda dapat menjadi penderita DM. Umumnya manusia mengalami perubahan
fisiologi yang secara drastis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes sering
muncul setelah seseorang memasuki usia rawan, terutama setelah usia 45 tahun pada mereka
yang berat badannya berlebih, sehingga tubuhnya tidak peka lagi terhadap insulin. Teori yang
ada mengatakan bahwa seseorang 45 tahun memiliki peningkatan resiko terhadap terjadinya
DM dan intoleransi glukosa yang di sebabkan oleh faktor degeneratif yaitu menurunya fungsi
tubuh, khususnya kemampuan dari sel dalam memproduksi insulin (Betteng, 2014).
5.1.3.Tekanan Darah
Berdasarkan hasil penelitian dari 50 sampel penderita Diabetes Mellitus paling
banyak adalah dengan tekanan darah normal dengan persentase 48 % atau 24 orang, yang
diikuti dengan hipertensi stage I dengan persentase 36 % atau 18 orang dan dengan
hipertensi stage II dengan persentase 16 % atau 8 orang. Patogenensis terjadinya kelianan
vascular pada diabetes mellitus meliputi terjadinya imbalas metabolic maupun
33
hormonal.Pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah maupun sel mesangial keduanya
distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel tersebut juga berespon terhadap substansi
vasoaktif dalam darah terutama angiotensin II
Kadar kolestrol yang tinggi beresiko terhadap penyakit DM Tipe 2.Kadar kolestrol
tinggi menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas sehingga terjadi lipotoksisity. Hal ini
akan menyebabkan terjadinya kerusakan sel beta pankreas yang akhirnya mengakibatkan DM
Tipe 2(Kemenkes, 2010). Penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Wahidin Sudirohusodo,
Makasar menunjukan bahwa kolestrol tinggi memiliki hubungan dengan kejadian DM Tipe
2. Orang dengan kolestrol tinggi memiliki resiko 13,45 kali untuk menderita DM Tipe 2
dibandingkan yang kadar kolestrolnya normal (Andi dkk, 2008).
5.1.5.Riwayat Hipertensi
Dari data sampel penderita Diabetes Mellitus dalam penelitian didapatkan 22 orang
atau 44% belum tediagnosa dengan hipertensi sebelumnya, sebanyak 7 orang atau 14 %
sudah terdiagnosa dengan hipertensi sebelumnya dan tidak terkontrol, dan sisanya 21 orang
atau 42% sudah terdiagnosa dengan hipertensi sebelumnya dan dalam keadaan terkontrol
Ada hubungan yang bermakna antara tekanan darah dengan diabetes melitus. Penelitian
menurut Sunjaya (2009) menemukan bahwa individu yang mengalami hipertensi mempunyai
resiko 1,5 kali lebih besar untuk mengalami diabetes dibanding individu yang tidak
hipertensi.Beberapa literatur mengaitkan hipertensi dengan resistensi insulin. Pengaruh
hipertensi terhadap kejadian diabetes melitus disebabkan oleh penebalan pembuluh darah
arteri yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit. Hal ini akan
menyebabkan proses pengangkutan glukosa dari dalam darah menjadi terganggu (Trisnawati,
dkk, 2013).
individu tersebut menjadi lemas, dan nafsu makan berlebih. Oleh karena itu, ahli nutrisi biologis
Shawn Talbott menjelaskan bahwa pada umumnya orang yang mengalami stres panjang juga
akan mempunyai kecenderungan berat badan yang berlebih, yang merupakan salah satu faktor
resiko diabetes mellitus (Andi dkk, 2008).
fisik ringan, 36 orang atau 72% melakukan aktivitas fisik sedang, sedangkan hanya 5 orang atau
10% yang memiliki aktivitas fisik berat.
Aktivitas fisik dapat mengontrol gula darah. Glukosa akan diubah menjadi energi pada saat
beraktivitasfisik. Aktivitas fisik mengakibatkan insulin semakin meningkat sehingga kadar gula
dalam darah akan berkurang. Pada orang yang jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke
dalam tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Jikainsulin tidak
mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul DM (Kemenkes, 2010).
5.1.10 Olahraga
Pembagian kelompok penderita DM berdasarkan olahraga dibagi menjadi 3 kelompok,
yaitu kelompok ideal (melakukan olahraga 150 menit / minggu), kelompok tidak ideal (< 150
menit / minggu) dan kelompok tidak olahraga. Dari hasil penelitian didapatkan 6 orang atau 12%
melakukan olahraga ideal, sebanyak 11 orang atau 22% melakukan olahraga tidak ideal dan
sisanya sebanyak 33 orang atau 66% tidak berolahraga.
Aktifitas sehari-hari yang jarang bergerak menyebabkan resiko untuk memiliki berat badan
berlebih semakin meningkat, sehingga resiko untuk menderita diabetes pun menjadi ikut
meningkat. Aktifitas yang paling disarankan adalah olahraga, karena olahraga adalah cara terbaik
untuk menjaga berat badan. . Pada orang yang jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke
dalam tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula.Obesitas dapat
terjadi karna banyak faktor.Faktor utama adalah ketidakseimbangan asupan energi dan keluarnya
energi.Adanya pengaruh indek masa tubuh terhadap diabetes mellitus ini disebabkan oleh
kurangnya aktivitas fisik serta tingginya konsumsi karbohidrat, protein dan lemak yang
merupakan faktor resiko dari obesitas. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya Asam Lemak
atau Free Fatty Acid(FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan menurunkan translokasi
transporter glukosa ke membrane plasma, dan menyebabkan terjadinya resistensi insulinpada
jaringan ototdan adiposa(Trisnawati, dkk, 2013).
merah,kentang dll). Hal ini menunjukkan adanya kebiasaan masyarakat Tambakboyo dalam
mengkonsumsi jenis makanan pokok tertentu yaitu beras atau nasi.
Salah satu jenis pangan berindeks glikemik tinggi yang umum dikonsumsi setiap hari
oleh masyarakat Indonesia adalah nasi.Nasi yang dikonsumsi oleh masyarakat biasanya bersama
lauk pauk untuk melengkapi nilai kecukupan gizi. Di Indonesia telah dilakukan penelitian
mengenai indeks glikemik beberapa jenis beras yaitu beras hitam 19,04%, beras merah 43,3%
dan beras putih 97,48%. Sehingga beras putih yang sering dikonsumsi oleh masyarakat sehari-
hari yang telah dimasak sebagai nasi memang mempunyai indeks glikemik yang tinggi.
Di Indonesia terdapat sugesti terhadap nasi kemarin atau sego wadang dimana menurut
penderita Diabetes Melitus nasi tersebut dapat membantu mengontrol kadar glukosa darah.
Secara ilmiah hal tersebut dapat dijelaskan sebagai akibat perubahan suhu yang kemudian
mempengaruhi struktur pati pada nasi sehingga pati resisten yang terkandung nasi menjadi
meningkat kadarnya. Mengkonsumsi makanan dengan kadar pati resisten yang tinggi dapat
38
mengontrol kenaikan kadar glukosa darah akibat pelepasan glukosa yang lambat (5-7 jam). Hal
tersebut dapat menurunkan respon insulin tubuh dan menormalkan kembali kadar glukosa darah.
Nasi yang mengalami penurunan suhu dalam waktu lama akan mengalami proses
retrogradasi sehingga nasi memiliki kadar pati resisten yang lebih tinggi dibandingkan dengan
nasi yang baru matang. Proses retrogradasi akan maksimal pada suhu 4C dan disimpan selama
24 jam. Penelitian tahun 2003 (in vitro) menunjukkan nasi yang disimpan pada suhu 4C selama
24 jam memiliki Glycemic Index (GI) dan tingkat kecernaan pati yang lebih rendah dibandingkan
nasi yang baru matang (tidak mengalami retrogradasi).
Gula pasir atau gula tebu merupakan salah satu karbohidrat sederhana yang sulit untuk
dicerna dan diubah menjadi energi karena gula pasir mengandung jenis gula disakarida yaitu
sukrosa sehingga dapat menjadi gula darah dengan sangat cepat dan akan menjadi tidak sehat
bila dikonsumsi secara berlebih.
Berdasarkan hasil penelitian dari 50 penderita Diabetes Melitus didapatkan 29 orang atau
58% mengonsumsi makanan manis lebih dari 5 sendok perhari dan 21 orang atau 42%
mengonsumsi makanan manis antara 0-5 sendok sendok perhari. Dapat disimpulkan dari hasil
penelitian bahwa kebanyakan masyarakat penderita Diabetes Melitus di Tambakboyo masih
banyak yang mengkonsumsi gula lebih dari 5 sendok perhari atau bisa dikatakan masih banyak
yang belum mengurangi konsumsi makanan manis.
mencakup gula di minuman, makanan, kudapan, permen dan semua yang dikonsumsi pada hari
itu. Mengkonsumsi gula harus dilakukan dengan seimbang, dalam hal ini seimbang dimaksudkan
bahwa kita harus mengatur karbohidrat yang masuk harus sama dengan energi yang dikeluarkan
oleh tubuh. Pada beberapa penelitian dikatakan bahwa peningkatan konsumsi gula berbanding
lurus dengan peningkatan penderita Diabetes Melitus.
Menurut survei yang dilakukan WHO, Indonesia menduduki urutan keempat dalam hal
jumlah terbanyak penderita Diabetes Melitus.Hubungan gula pasir atau gula tebu pada Diabetes
Melitus dan Obesitas adalah pada kinerja pankreas.Mengolah gula pasir menjadi energi
merupakan pekerjaan melelahkan bagi pankreas, karena normalnya pankreas hanya mampu
mengubah sdm gula pasir menjadi energi setiap harinya. Bila kita mengkonsumsi gula pasir
lebih dari sdm perharinya maka sisanya akan menjadi gula darah dan lemak tubuh yang lama
kelamaan dapat berkembang menjadi Diabetes Melitus.
40
BAB VI
KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah kami lakukan maka dapat kami simpulkan bahwa faktor
resiko Diabetes Melitus type 2 baik secara langsung maupun tidak langsung adalah sebagai
berikut :
1. Jenis Kelamin
2. Faktor Usia
3. Tekanan Darah
4. Body Mass Index
5. Kondisi stress kejiwaan
6. Riwayat DM pada keluarga
7. Aktivitas Merokok
8. Aktifitas sehari-hari
9. Pola Olahraga
10. Kebiasaan konsumsi jenis Makanan Pokok
11. Kebiasaan mengkonsumsi Gula / makanan Manis
6.2 Saran
Diperlukan sample lebih banyak untuk penelitian selanjutnya, serta pendalaman kembali
mengenai faktor resiko tersebut diatas, sehingga dapat menjelaskan keterkaitan antara faktor-
faktor resiko Diabetes Melitus type 2 dengan penyakit Diabetes Melitus type 2.
41
DAFTAR PUSTAKA
Adhi, Bayu, Rodiyatul F, Hermansyah. An Early Detection Method of Type-2 Diabetes Mellitus
in Public Hospital.Telkomnika, Vol.9, No.2, August 2011, pp.287~294.
American Diabetes Association (AHA). 2011. Standards of Medical Care in Diabetes.
Andi, Sulilowati. 2008. Faktor Resiko Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makasar. Jurnal Ilmiah Nasional.
[http://perpustakaan.litbang.depkes.go.id/otomasi/indekx.php?=show_detail&id=14113]
[Diunduh pada 17 Februari 2012 pukul 16.40 WIB]
Betteng R, Pangeman D, Mayulu N. 2014. Analisis Faktor Resiko Penyebab Terjadinya Dabetes
Mellitus Tipe 2 pada Wanita Usia Produktif di Puskesmas Wawonasa. Jurnal e-Biomedik
(eBM), Volume 2, Nomor 2, Juli 2014, Manado.
Fatimah, RN. 2015. Diabetes Mellitus Tipe 2. J Majority,Volume 4 Nomor 5, Februari 2015,
Lampung.
Gustavani, R. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus.In: Aru.W., Sudoyo, B.,
Setiyohadi, I., Alwi, M., Simadibrata, S., Setiati (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi 5. Interna Publishing, Jakarta, 270-81.
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 11. Penterjemah: Irawati, Ramadani
D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku.
Kementerian Kesehatan. 2010. Petunjuk Teknis Pengukuran Faktor Resiko Diabetes Melitus.
Longo Dan L., Dennis L. Kasper, J. Larry Jameson, Anthony S. Fauci, Stephen L. Hauser, Joseph
Loscalzo. 2013. Pocket Harrison's Principles Of Internal Medicine 18th Edition. United
States: McGraw Hill.
42
PAPDI (Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia).2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam :
Metabolik Endokrin.
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia).2011. Konsensus Pengendalian dan
Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia.
Pujilestari, C., Ng, N., Hakimi, M., Eriksson, M. 2014.Community Perceptions on Diabetes and
Its RiskFactors in Rural Purworejo District, Central Java, Indonesia.Global Journal of
Health Science, 6(5): 35738.
Suwanto, S, 2015. Durasi Menderita Diabetes Melitus Tipe 2 Meningkatkan Resiko Gangguan
Pendengaran Sensorineural.Tesis. Universitas Udayana. Denpasar.
Suyono, S. 2009. Diabetes Mellitus di Indonesia.In: Aru.W., Sudoyo, B., Setiyohadi, I., Alwi, M.,
Simadibrata, S., Setiati (eds).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi 5. Interna Publishing,
Jakarta, 270-81.
Trisnawati, SK, Setyorogo, S. 2013. Faktor Resiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe II Di
Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012.Jurnal Ilmiah Kesehatan,
5 (1) januari 2013.