Anda di halaman 1dari 30

Jurnal Terjemahan

PERAN FORENSIK KLINIS DALAM EVALUASI KEKERASAN FISIK


YANG TIDAK FATAL TERHADAP PEREMPUAN OLEH SUAMINYA
DI YORDANIA

ABSTRAK
Objektif: Kekerasan pasangan terhadap wanita merupakan masalah kesehatan besar pada
banyak negara, namun semakin lama, sudah muncul sedikit kesadaran mengenai efek dari
masalah ini di Yordania. Praktisi forensic klinis melakukan peran signifikan dalam
mendiagnosis, mengevaluasi dan melaporkan kasus ini. Sistem yudisial Yordania bergantung
pada laporan forensik. Studi ini menargetkan untuk menilai peran forensic klinis dalam
mengevaluasi cedera fisik pada wanita yang disiksa oleh suami mereka.
Metode: Studi retrospektif dari 158 kasus forensik mengenai wanita Yordania yang diduga
mendapat penyerangan dari suaminya dan yang terlihat di Rumah Sakit Universitas Yordania
dari tahun 2010-2015.
Hasil: Dari 158 wanita, didapatkan 87 wanita yang memiliki cedera multiple. Mayoritas
cedera merupakan cedera jaringan lunak, namun sisanya disertai fraktur, perforasi membrane
timpani, luka bakar dan luka memar pada leher. Dua belas wanita sedang mengandung saat
kejadian.
Kesimpulan: Kekerasan terhadap pasangan dapat dilihat dari bentuk luka dari yang ringan
hingga dapat mengakibatkan kecacatan ataupun mengancam jiwa. Forensik klinis memiliki
peran dalam mendokumentasikan dan mengevaluasi luka luka tersebut dan memberitahu
sistem yudisial mengenai kasus ini. Hal tersebut merupakan kunci dalam meningkatkan
kesadaran terhadap masalah ini dan dampak pada wanita (dan laki-laki) dan masyarakat luas.

1. PENDAHULUAN
Sebagian besar wanita di Yordania pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh
pasangan selama pernikahan mereka. Dicatat 31.2% telah diindikasikan sebagai kekerasan
fisik. Informasi mengenai insiden kekerasan terhadap istri terbatas pada negara berkembang
seperti Yordania, diakibatkan kultur dominan yang menginterpretasikan kekerasan terhadap
wanita lebih kepada masalah pribadi dibandingkan masalah kriminal. Namun menyakiti atau
merugikan individu tidak dapat diterima dalam Islam. Kekerasan dalam rumah tangga adalah
faktor utama yang merugikan/mengganggu kesejahteraan, sosial, finansial bahkan hasil
ekstrim yang dapat terjadi adalah kematian terhadap wanita.
Kementrian Keadilan Yordania sedang fokus pada kasus kekerasan dalam keluarga,
seperti konflik keluarga yang ditetapkan sebagai bagian special dalam pengadilan. Pada tahun
2008, hukum mengenai perlindungan keluarga dikeluarkan secara resmi, yang digunakan
untuk meregulasi kasus kekerasan yang diterima oleh tenaga kesehatan dan aparat penegak
hukum.
Terdapat beberapa studi mengenai kekerasan dalam berpasangan di Yordania (dan
negara sekitar). Penelitian tersebut memusatkan pada isu seperti sosial, demografi, kesehatan
dan aspek-aspek lain, tapi hanya sedikit yang menjelaskan konsekuensi medicolegal dari
melakukan kekerasan pada istri. Beberapa studi memfokuskan pada isu isu forensik yang
berpatokan pada luka/cedera yang berkelanjutan.
Belakangan ini, kekerasan terhadap pasangan sudah dianggap sebagai isu kesehatan
masyarakat di Yordania akibat keterbukaan dari komunitas Yordania dan sudut pandang yang
melihat peran wanita terhadap lingkungan. Ditambah lagi dengan adanya hukum
perlindungan keluarga yang menjadi mandat untuk setiap pelayanan kesehatan untuk
melaporkan setiap kejadian. Ditambah pula dengan adanya organisasi pemerintahan yang
memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran publik terhadap isu ini. Praktisi
forensic klinis juga berperan dalam meningkatkan kesadaran nasional.
Mengevaluasi seriusnya cedera fisik pada korban wanita yang dipukul merupakan salah
satu tugas penting dari forensik klinis di Yordania. Forensik klinis telah banyak berkontribusi
untuk mengisi jarak antara pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh korban dan kumpulan
dan dokumen dari bukti forensik bila ingin ditindak lebih lanjut.
Satu elemen penting dalam laporan forensic terhadap kasus kekerasan fisik adalah
estimasi waktu dari inkapasitas (ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan
sehari-hari akibat cedera atau luka) yang akan sesuai dengan keparahan luka dan dampaknya
terhadap kesehatan individu.
Menurut Artikel Jordanian Penalty Code 333-334&344, periode dari inkapasitas seseorang
dibagi menjadi tiga kategori:
Periode inkapasitas yang tidak melebihi 10 hari
Periode inkapasitas yang tidak melebihi 20 hari
Periode inkapasitas yang melebihi 20 hari.
Keputusan hakim yudisial tergantung dari besarnya periode inkapasitas yang ditetapkan
dan sanksi akan bertambah dengan bertambahnya periode dari inkapasitas yang diikuti
dengan
Bila periode tidak melebihi 10 hari, proses hukum hanya dapat dilakukan bila terdapat
keluhan secara tertulis maupun lisan oleh korban, dan korban memiliki hak untuk
menghentikan proses hukum selama belum terdapat keputusan final.
Bila periode lebih dari 10 hari namun tidak lebih dari 20 hari, pelaku diberikan sanksi
dipenjara dalam periode waktu tidak lebih dari setahun.
Bila periode lebih dari 20 hari, pelaku diberikan sanksi dipenjara dalam periode waktu
tiga bulan sampai tiga tahun.
Akibat pentingnya sistem yudisial di Yordania, periode inkapasitas ditentukan oleh
spesialis forensik di Yordania berdasarkan faktor-faktor berikut:
Keparahan cedera/luka yang didokumentasikan pada laporan pendahuluan yang
ditulis oleh dokter yang mengobati di instalasi gawat darurat tepat setelah kejadian.
Tatalaksana medis primer dan perjalanan klinis pasien
Periode rawat inap yang dibutuhkan oleh pasien
Tergantung dari sifat luka/cedera yang dialami pada saat dilakukan diagnosis
Pekerjaan yang dimiliki oleh korban
Tergantung dari bagian tubuh korban yang mengalami luka/cedera

Faktor-faktor ini berlaku pada setiap korban kasus kekerasan termasuk dari kelompok
penelitian kami; Istri yang diserang/dilakukan kekerasan oleh suaminya. Undang-undang
yang sama juga berlaku pada negara seperti Syria, dan Republik Prancis.
Forensik klinis Yordania memiliki dua peran penting, yang pertama dalam memeriksa
orang yang sudah meninggal dan peran satunya lagi adalah memeriksa korban hidup akibat
kekerasan/trauma, yang beberapanya adalah wanita yang sudah dilakukan tindak kekerasan
oleh suami mereka. Peran utama dari spesialis forensic pada kasus ini adalah untuk
mendeskripsikan luka dan kemungkinan mekanisme terjadinya luka tersebut, memperkirakan
periode inkapasitas dari korban dan mengklarifikasi hal tersebut di depan sistem yudisial
pada laporan medikolegal.
Pada praktik klinis, terdapat kesalahpahaman di antara professional kesehatan dalam
forensik umum seperti memar dan ekimosis dan perbedaan antara laserasi dan iris. Hal ini
memperlihatkan pentingnya laporan forensic klinis untuk mendeskripsikan luka dan
memberikan opini pada keadaan luka yang sudah lama terjadi. Hanya sedikit literature yang
menjelaskan tentang peran forensik klinis pada kasus kekerasan pada istri sebagai bentuk
kekerasan dalam rumah tangga.

2. BAHAN DAN METODE


Sebanyak 234 laporan medis forensik ditinjau selama periode enam tahun (2010-2015).
Laporan tersebut disiapkan oleh Departemen Forensik Rumah Sakit Universitas Yordania,
yang menyediakan layanan forensik untuk orang-orang yang tinggal di utara Amman;
populasi sekitar 1 juta penduduk, mayoritas adalah Muslim. Laporan ini khusus mengenai
wanita yang terduga telah diserang secara fisik oleh anggota keluarga laki-laki. Dari jumlah
aslinya, 158 laporan forensik (67,5%) terkait wanita Yordania yang melaporkan serangan
fisik dari suami mereka; norma agama dan budaya mendikte bahwa suami adalah satu-
satunya bentuk pasangan intim yang diterima di Yordania. Dalam sisa kasus (32%), dugaan
penyerangan dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki lain; ayah atau saudara laki-laki. Studi
ini dikonfirmasikan untuk kasus penyerangan fisik terhadap wanita yang diduga dilakukan
oleh suami mereka dan yang dirujuk ke departemen forensik setelah permintaan pengadilan
dari pengadilan atau polisi. Tujuan rujukan tersebut adalah untuk mendokumentasikan luka-
luka yang diderita dan memberikan pendapat tentang kemungkinan mekanisme dan perkiraan
periode ketidakmampuan (yang menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencarian) sementara atau menetap, salinan laporan forensik yang
ditandatangani asli dikirim ke file pengadilan, dan salinannya disimpan di arsip departemen
forensik. Data berikut diambil dari kedua laporan (laporan awal dan laporan forensik),
termasuk usia, tempat tinggal, dan jenis cedera. Juga distribusi anatomis dari cedera, tingkat
keparahan, dan manajemen medis mereka, di samping kemungkinan mekanisme cedera,
senjata yang terlibat dan masa ketidakmampuan - sementara atau permanen. Laporan ini tidak
menyebutkan agama korban atau status sosial ekonomi. Selain itu, tidak ada informasi yang
diberikan dari peradilan tentang masalah narkoba yang mungkin dimiliki korban atau
penyerang, dan tidak ada data lain tentang penyerang yang dapat diambil. Jika korban ingin
menuntut pelaku, maka permintaan pengadilan dari pengadilan atau polisi diberikan kepada
korban dengan salinan laporan medico-legal (visum) terlebih dahulu untuk menghubungi
departemen forensik. Permintaan ini biasanya meminta praktisi medis forensik untuk
memeriksa kembali korban dan memberi pendapat medis kepada pengadilan tentang luka-
luka yang diderita, dan tingkat keparahannya diwakili oleh periode ketidakmampuan
sementara atau cacat tetap. Apalagi klarifikasi alat dan mekanisme yang mungkin. Laporan
medico-legal forensik (visum) dihasilkan berdasarkan persetujuan dari subjek. Dokter
forensik bergantung pada perawatan medis primer, awal laporan medis sebagai tambahan
bukti terkini dalam memberikan pendapat mereka. Ahli hukum sangat bergantung pada hasil
laporan ini dalam membuat keputusan pengadilan final tentang tuduhan penyerangan
tersebut.

3. HASIL
Selama periode peninjauan ini (2010-2015) rata-rata ada 26 kasus setiap tahunnya.
Tabel 1 menunjukkan distribusi 158 wanita yang diserang oleh pasangannya. Semua wanita
berusia antara 18 tahun dan 59 tahun; Hampir 90% berusia di bawah 40 tahun. Dari 158
kasus yang dilaporkan, 139 (88%) memiliki luka yang jelas, dan 19 (12%) tidak memiliki
luka yang jelas. Dari mereka yang menderita luka-luka, 63% memiliki banyak luka dari
lokasi tubuh yang berbeda dan atau berbagai jenis trauma. Tabel 2 menunjukkan luka dalam
139 kasus ini. Selama penilaian awal, ditemukan bahwa dua belas wanita (7,6%) hamil pada
saat penyerangan tersebut. Dalam kasus ini, riwayat yang diberikan oleh ibu hamil termasuk
dipukul di perut, menderita sakit perut, pendarahan vagina atau keduanya. Hanya satu aborsi
yang didokumentasikan dan itu terjadi pada trimester pertama kehamilan. Ada kekurangan
data yang tercatat di sebagian besar laporan tentang mekanisme cedera dan senjata yang
digunakan. Hanya dalam 29 kasus (18,4%) rincian berikut diambil: objek tumpul 7 kasus,
benda tajam 2 kasus, menendang 7 kasus, menggigit 4 kasus, menarik rambut 4 kasus,
luka bakar 1 kasus, luka bakar kimia 1 kasus, luka bakar rokok 1 kasus dan upaya
pencekikan 2 kasus. Dalam 15 kasus (9,5%) wanita melaporkan bahwa mereka dipukuli
berulang kali. Periode ketidakmampuan sementara dinilai berada dalam kisaran 1-14 hari
dengan rata-rata 3 hari. Dalam 39 kasus (24,68%) tidak ada periode estimasi
ketidakmampuan karena tidak adanya luka fisik yang nyata pada saat pemeriksaan dan juga
dalam laporan medis pendahuluan dari ruang gawat darurat. Satu kasus diidentifikasi sebagai
cacat yang menetap; kerusakan wajah akibat luka bakar kimia.
4. PEMBAHASAN
Dalam kelompok wanita terpilih ini, KDRT banyak ditunjukkan dengan luka ringan
dan tidak serius (sebagian besar cedera jaringan lunak), ini sesuai dengan penelitian lainnya.
Cedera ini terutama disebabkan oleh benda tumpul meskipun penerapan yang tepat tidak
dapat diidentifikasi pada sebagian besar kasus. Masa ketidakmampuan sementara antara 1
sampai 14 hari; semua diperkirakan kurang dari 20 hari, memasukkan mereka ke dalam sel
pasal 333 kode hukuman Yordania, yang berarti hukuman yang lebih rendah. Sebagian besar
kasus telah ditangani sebagai pasien rawat jalan atau di Departemen Darurat sebelum datang
ke departemen forensik dan tidak ada yang perlu masuk ke rumah sakit, yang sesuai dengan
keseriusan fisik luka yang diamati, keadaan psikologis korban biasanya tidak ditangani oleh
dokter forensik.
Satu kasus adalah cacat tetap, dan menurut pasal 335 jika kerugian tersebut
menyebabkan kerusakan fisik yang permanen atau memiliki tanda yang menetap, pelaku akan
dihukum dengan hukuman penjara sementara dengan kerja paksa untuk jangka waktu tidak
lebih dari sepuluh tahun. Cedera yang paling sering terjadi di kepala, leher dan wajah (47%)
diikuti oleh anggota badan bagian atas (27%), Lagi-lagi temuan ini serupa dengan penelitian
lain yang menunjukkan cedera kepala dan leher dan wajah paling sering berkisar antara 40
sampai 50%. Anggota badan bagian atas mungkin terluka saat individu berusaha
mempertahankan diri. Pada 87 kasus (63%) ada beberapa luka di berbagai tempat di tubuh.
Penemuan ini mungkin mengindikasikan adanya serangan yang terus berlanjut, beberapa
serangan atau hasrat agresor untuk meninggalkan luka yang terlihat. Ada 19 kasus (8%)
cedera leher, berupa lecet dan kontusi. Tidak jelas apakah ini terjadi dalam upaya percobaan
pencekikan atau jika dilakukan secara acak sebagai bagian dari serangan umum atau setelah
upaya pencekikan, ini tidak dapat diambil dari laporan meskipun beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa prevalensi pencekikan pada KDRT berkisar dari 15% menjadi 68%.
Dalam banyak kasus evaluasi medico-legal, sejarah kejadian mungkin tidak ada atau tidak
benar. Praktisi medis forensik yang berpengalaman mungkin dapat membantu pengadilan
dengan pemahaman yang lebih baik tentang apa yang terjadi atau apa yang tidak terjadi dan
yang paling sering, serangkaian skenario yang layak dilakukan. Penting untuk dicatat bahwa
praktisi forensik seharusnya hanya bekerja dengan fakta (misalnya cedera) dan pendapat
mereka harus dapat bertahan dalam pengawasan ketat. Sehubungan dengan jumlah kasus
(rata-rata 26 kasus per tahun) dari istri-istri yang disalahgunakan yang merujuk ke
departemen forensik di Universitas Yordania, mungkin akan dijelaskan dengan yang berikut
terkait dengan situasi di Yordania:
Kurang dari 2,5% kasus dimana perempuan diserang, merupakan usaha yang
dilakukan untuk memanggil polisi atau pengacara, hal ini sebagian besar didorong
oleh keinginan untuk menghindari pengungkapan kehidupan pribadinya dan untuk
mencegah dampak buruk stigma sosial.
Tingkat pengangguran di kalangan wanita di Yordania pada kuartal pertama tahun
2015 mencapai 22,1% dibandingkan dengan 11,0% laki-laki untuk periode tersebut.19
Perempuan dapat memilih untuk tetap berada dalam hubungan yang kasar karena
alasan keuangan dan sosial dan karena kekhawatiran anak-anak mereka, stigma atau
takut kehilangan hak asuh anak terkait perceraian.
Perceraian adalah salah satu mimpi terburuk bagi wanita di Yordania. Seorang wanita
yang dilecehkan tidak dapat meminta perceraian, karena dia akan dikucilkan secara
sosial dan dituduh memberontak dan tidak peduli dengan keluarga dan anak-anaknya.
Wanita yang bercerai, orang tua dan janda paling mungkin mengalami kemiskinan
dan kekurangan, dan mereka sering dipaksa bergantung pada keluarga, teman, atau
dukungan kesejahteraan.
4.1 PERAN FORENSIK DALAM LAPORAN MEDIS MENGENAI KDRT
Wanita mencari intervensi yudisial (dan karenanya laporan forensik) untuk alasan
seperti permohonan cerai, memastikan bahwa pelaku akan dibawa ke pengadilan dan untuk
melindungi dirinya dan anak-anaknya. Laporan medico-legal yang ditulis oleh dokter
forensik dapat memberikan penilaian yang jelas, tidak ambigu dan obyektif mengenai temuan
setelah sebuah tuduhan KDRT. Laporan tersebut menjawab pertanyaan yudisial spesifik
tentang periode ketidakmampuan sementara atau permanen, dan tentang kemungkinan
mekanisme cedera dan alat yang mungkin menyebabkan luka-luka ini dan jika korban ini
memerlukan evaluasi atau perawatan medis lebih lanjut dari dokter yang merawatnya. Ini
bermanfaat bagi polisi dan jaksa yang sedang menyelidiki sebuah pelanggaran dan
pengadilan yang berkewajiban untuk mempertimbangkan masalah kepolosan atau rasa
bersalah dan hukuman yang terkait. Obyektifitas laporan ini membantu menghilangkan
keputusan berdasarkan prasangka, bias, atau perasaan pribadi. Cedera ringan, meski sulit
untuk dideteksi dan dinilai, penting dari titik berdiri keadilan pidana. Deskripsi dan
dokumentasi cedera fisik dalam laporan medico-legal mungkin mendukung tuduhan wanita
tersebut. Tingkat keparahan luka-luka ini dapat dinilai oleh dokter dan oleh karenanya
memberi tahu pengadilan tentang keseriusan luka-luka ini selama masa ketidakmampuan
sementara untuk melakukan tugas sehari-hari. Terkadang kesaksian di pengadilan tentang
laporan ini sangat dibutuhkan, dan dokter bisa menjelaskan kemungkinan mekanisme dari
luka-luka ini. Penting bagi masyarakat untuk memahami keseriusan penganiayaan fisik dan
konsekuensi pribadinya, sosial dan hukumnya. Laporan medico-legal forensik harus
memberikan penangkapan yang komprehensif dari kata yang diucapkan. Temuan
pemeriksaan dan pengumpulan bukti, ini akan memungkinkan penilaian yang obyektif
terhadap mekanisme dan keadaan di mana luka-luka itu bertahan dan implikasi dari luka-luka
tersebut. Jika diperlukan, laporan ini akan menjadi dasar bukti yang diberikan ke pengadilan.
Bukti semacam itu akan memberi pengetahuan yang lebih luas kepada masyarakat luas
tentang konsekuensi dari perilaku ini.

5. KESIMPULAN
Kekerasan terhadap perempuan adalah isu kesehatan masyarakat dan hak asasi manusia
yang endemik. Forensik medik adalah alat penting yang mencoba menanggapi pertanyaan
yang diajukan oleh sistem hukum saat menangani kasus tersebut. Keterlibatan forensik harus
memasukkan metodologi dan norma ilmiah yang dapat diterima untuk menganalisis kejadian
atau bentuk fisik. Laporan forensik mungkin bisa mengklarifikasi mekanisme atau senjata
yang digunakan oleh pelaku. Ini juga bisa membantu dalam penyampaian layanan sosial dan
tindak lanjut. Perempuan harus menyadari hak mereka untuk mengakses layanan forensik
saat mereka menghadapi bentuk kekerasan apa pun. Forensik medik adalah komponen kecil
namun penting dari program ini untuk mengurangi kejadian dan dampak kekerasan intim di
masyarakat Yordania.
TINJAUAN PUSTAKA

Forensik Klinik
Ruang lingkup ilmu kedokteran forensik berkembang dari waktu ke waktu. Pada
mulanya hanya pada kematian korban kejahatan, kematian yang tidak terduga, mayat tidak
dikenal hingga kejahatan korban yang masih hidup, bahkan pemeriksaan kerangka atau
bagian tubuh dari tubuh manusia.1,2 Jenis perkaranya pun semakin luas dari pembunuhan,
penganiayaan, kejahatan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, child abuseand neglect,
perselisihan pada perceraian, ragu ayah (dispute paternity) hingga ke pelanggaran hak asasi
manusia.1
Dalam penanganan medis korban yang masih hidup ataupun korban yang sudah
meninggal mungkin saja akan melibatkan berbagai dokter dengan keahlian klinis yang tidak
hanya dokter spesialis forensik, akan tetapi juga melibatkan dokter klinis lain, dan yang tidak
kalah pentingnya adalah dokter umum yang ada di Instalasi Gawat Darurat. Siapapun dokter
yang terlibat dalam penanganan korban tindak pidana, haruslah memakai ilmu kedokteran
forensik yang memegang prinsip pengumpulan barang bukti yang sebanyak-banyaknya.
Dokter diharapakan memberikan keterangan tentang luka atau cedera yang dialami korban,
penyebab luka, dan seberapa parah luaka tersebut mempengaruhi kesehatan korban (derajat
luka atau kualifikasi luka).3

Peran Dokter Dalam Menangani Kasus Tindak Pidana Hidup


Beban/kewajiban untuk membuat visum et repertum atas seorang korban tindak
pidana tidak bisa terlepas dari praktek sehari-hari. Pasien yang termasuk kedalam lingkup
pelayanan forensik klinik adalah pasien datang dengan surat permintaan visum, pasien korban
tindak pidana penganiayaan, pasien korban kecelakaan lalulintas, pasien dengan luka yang
tidak jelas penyebabnya, pasien korban kekerasan seksual, pasien korban keracunan, pasien
datang dengan surat permintaan visum. Jika pasien yang diperiksa termasuk kedalam salah
satu kriteria diatas, maka dokter mestinya sudah siap dengan pencatatan luka/cedera yang
lengkap. Dokter baru akan mengeluarkan hasil visum et repertum jika ada permintaan terlutis
dari penyidik yaitu berupa surat permintaan visum (SPV). Pada praktek sehari-hari sering
SPV datang belakangan. Untuk beberapa hal ini bisa dimaklumi, mungkin dengan alasan
kondisi korban yang tidak memungkinkan untuk lapor polisi, kantor polisi yang jauh atau
tidak mengerti tatacara pelaporan ke polisi. Sehingga yang terjadi adalah korban tindak
pidana dengan surat permintaan visum yang datang terlambat, dokter kesulitan dalam
membuatkan visum karena luka sudah dirawat dan tidak ingat lagi deskripsi luka pada saat
pertama kali pasien datang, sehingga barang bukti menjadi tidak asli/hilang.4,5
Beberapa hal yang akan dituangkan dalam visum et repertum korban hidup adalah6,7 :
1. Kronologis kejadian
2. Keadaan umum pasien
3. Luka lecet/cedera yang ditemukan
4. Tindakan yang dilakukan terhadap pasien
5. Keadaan sewaktu dalam perawatan dan keadaan waktu pulang
6. Pada kesimpulan harus dijelaskan luka/cedera, kekerasan penyebab dan kualifikasi
luka.
Semua unsur diatas harus dituangkan ke dalam visum et repertum , yang dibuatkan dalam
bentuk kalimat dan dalam bahasa Indonesia yang baku.
Deskripsi luka merupakan bagian yang cukup penting dalam visum et repertum.
Tatacara penulisan luka adalah dengan urutan : regio, koordinat, jenis luka, deskripsi luka dan
ukuran luka.7
Pada bagian kesimpulan, permasalahan sering terjadi dalam penentuan derajat luka.
Derajat luka sangat berkaitan dengan jenis penganiayaan yang dilakukan dan berat ringannya
ancaman hukuman terhadap pelaku. Pada umumnya penentu derajat luka tidaklah sulit bagi
dokter akan tetapi sampai saat ini belum ada standarisasi dari penentuan derajat luka.5,7
Prinsip utama yang harus diingat adalah bahwa dalam penentuan derajat luka kita
melihat dari pandangan medis, tidak melihat siapa korban, apa pekerjaan nya. Guna
memudahkan dalam penentuan derajat luka, bisa dengan cara sebagai berikut:7
1. Jika ada luka, lihat apakah memenuhi kriteria dalam pasal 90 KUHP, yaitu luka yang
tidak dapat diharapkan sembuh dengan sempurna menimbulkan bahaya maut, terus
menerus tidak dapat menjalankan pekerjaan, jabatan/pencaharian, hilangnya panca
indera, kudung, lumpuh, gangguan daya piker lebih dari 4 minggu, gugur/matinya
kandungan. Jika memenuhi salah satu kriteria ini, maka luka adalah luka derajat tiga.
2. Jika luka tidak memenuhi pasal 90 KUHP, maka luka adalah derajat satu atau derajat
dua. Untuk menentukan apakah derajat satu atau dua, perhatikan hal berikut: apakah
luka mutlak perlu perawatan dokter, apakah akibat luka menyebabkan gangguan
fungsi tubuh atau apakah jumlah luka banyak dan lokasinya apakah di tempat yang
vital.
3. Jika memenuhi salah satu dari kriteria diatas, maka luka derajat dua, tetapi jika tidak
memenuhi kriteria diatas maka luka derajat tiga.
Setelah ditentukan derajat luka, selanjutnya kalimat yang akan ditulis didalam
kesimpulan visum adalah: jika luka derajat tiga, kalimatnya sesuai dengan kriteria dalam
pasal 90 KUHP yang cocok dengan luka/cedera yang ditemukan. Jika derajat dua, dipakai
kalimat yang ada di pasal 351 KUHP (penganiayaan) yaitu: cedera/luka tersebut tidak
menimbulkan penyakit/halangan dalam menjalankan pekerjaan/jabatan dan pencahariannya
dan jika derajat satu, dipakai kalimat yang ada di pasal 352 KUHP (penganiayaan ringan)
yaitu: cedera/luka tersebut telah menimbulkan penyakit/halangan dalam menjalankan
pekerjaan/jabatan dan pencahariannya untuk sementara waktu.7
Penandatanganan visum et repertum dilakukan oleh dokter yang memeriksa. Jika yang
memeriksa korban hanya satu orang dokter, penandatanganan tidak menjadi masalah.
Permasalahannya akan muncul jika, korban ditangani oleh beberapa orang dokter, untuk
kasus seperti ini tidak ada ketentuan tentang siapa yang seharusnya menandatangani, bisa
dokter di IGD atau dokter yang merawat atau semua dokter yang terlibat. Ketentuan siapa
yang harus menandatangani harus disepakati oleh rumah sakit masing-masing. Untuk rumah
sakit yang ada spesialis forensic, biasanya pengeluaran visum et repertum ditandatangani oleh
dokter spesialis forensik jika ia yang memeriksa, akan tetapi jika bukan dokter forensik yang
memeriksa, dan untuk meningkatkan nilai dari visum et repertum, maka dokter spesialis
forensik ikut menandatangani sebagai yang mengetahui.2
Dalam hal barang bukti yang terdapat pada korban hidup, maka korban harus
dipandang dari dua sisi, yaitu sisi medis dan sisi hukum. Dari sisi medis korban adalah
seseorang yang mengalami luka, sehingga perlu untuk ditangani supaya dapat sembuh seperti
sedia kala, meminimalkan cacat, terutama mencegah kematian. Dari sisi hokum berarti tubuh
korban merupakan barang bukti. Karena tubuh manusia hidup dapat mengalami perubahan
pada luka-luka yang dideritanya, maka laporan tertulis tentang keadaan korban dapat
dijadikan alat bukti. Penanganan dan pelaporan yang tepat akan membantu korban untuk
mencapai kesembuhan dan mendapat keadilan.8
Kasus forensik klinik tersebut berkaitan dengan penegakan hukum, karena seorang
dokter forensik memiliki tugas membantu penyidik dalam memecahkan suatu perkara yang
menyangkut tubuh manusia, termasuk kasus luka atau keracunan. Pada kasus perlukaan pada
korban hidup, seorang dokter dapat memberikan keterangan tentang luka tersebut. Jenis luka,
jenis kekerasan, perkiraan terjadinya kekerasan serta kualifikasi luka dan kadang bis
memberikan informasi mengenai senjata yang digunakan jika terlihat jejak di dalam luka
yang timbul, yang diterangkan oleh dokter forensic kepada penyidik sehingga perkara
menjadi jelas. Pemeriksaan korban hidup harus dilakukan dengan upaya maksimal, karena
bukan hanya untuk pengobatan tetapi juga untuk tujuan pembuktian, yang dibuat dalam
laporan tertulis dalam bentuk visum et repertum. Terkadang dalam melakukan pemeriksaan
korban hidup diperlukan kerjasama tim yang bisa terdiri dari beberapa dokter dengan
keahlian masing-masing atau tenaga ahli yang mempunyai keahlian yang dibutuhkan dalam
melakukan pemeriksaan. Dibuatnya visum yang mengandung kualifikasi/derajat luka, maka
penyidik dapat menyiapkan pasal dakwaan terhadap tersangka.8

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)


Definisi Keluarga
Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta: kula dan warga "kulawarga" yang berarti
"anggota" "kelompok kerabat". Keluarga adalah lingkungan di mana beberapa orang yang
masih memiliki hubungan darah, bersatu.Keluarga inti (nuclear family) terdiri dari ayah,
ibu, dan anak-anak mereka.
Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat
yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu
dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan
derajat ketiga.9
Definsi keluarga menurut Burgess dkk dalam Friedman (1998), yang berorientasi
pada tradisi dan digunakan sebagai referensi secara luas :
1. Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan dengan ikatan perkawinan, darah
dan ikatan adopsi
2. Para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama -sama dalam satu rumah
tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah
tangga tersebut sebagai rumah mereka.
3. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu s ama lain dalam peran-peran
sosial keluarga seperti suami -istri, ayah dan ibu, anak laki - laki dan anak perempuan,
saudara dan saudari.
4. Keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari
masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri.
Menurut Friedman dalam Suprajitno (2004), mendefinisikan bahwa keluarga adalah
kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional
dan individu mempunyai peran maing-masing yang merupakan bagian dari keluarga.
Definisi Kekerasan
Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik, dilakukan
secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada
akibat yang merugikan pada korban (fisik atau psikis) yang tidak dikendaki oleh korban.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedan jenis kelamin
yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual, psikologis
termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.10
Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik
ataupun emosional, peyalahgunaan seksual, pelalaian, ekploitasi komersial ataupun lainnya,
yang mengakibatkan cedera kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak,
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam
konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.11
Macam kekerasan bisa berupa tindakan kekerasan fisik atau kekerasan psikologi.
Definisi kekerasan Fisik (WHO): tindakan fisik yang dilakukan terhadap orang
lain atau kelompok yang mengakibatkan luka fisik, seksual dan psikogi. Tindakan
itu antara lain berupa memukul, menendang, menampar, menikam, menembak,
mendorong (paksa), menjepit.
Definisi kekerasan psikologi (WHO): penggunaan kekuasaan secara sengaja
termasuk memaksa secara fisik terhadap orang lain atau kelompok yang
mengakibatkan luka fisik, mental, spiritual, moral dan pertumbuhan sosial.
Tindakan kekerasan ini antara lain berupa kekerasan verbal,
memarahi/penghinaan, pelecehan dan ancaman.12

Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga


UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004 Pasal 1 angka
1 (UUPKDRT) memberikan pengertian bahwa:13
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutamaperempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual,psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukanperbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.
Menurut UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 2 lingkup rumah tangga meliputi :13
a. Suami, isteri, dan anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang suami, istri,
dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.

Epidemiologi
Kekerasan dalam rumah tangga memiliki tren yang terus meningkat dari tahun ke
tahun. Data yang dipeoleh dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan, menunjukkan bahwa
ada 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama
tahun 2016, yang terdiri dari 245.548 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang
ditangani oleh 359 Pengadilan Agama, serta 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga
mitra pengada layanan, tersebar di 34 Provinsi. Tahun 2017 Komnas Perempuan
mengirimkan 674 lembar formulir kepada lembaga mitra Komnas Perempuan di seluruh
Indonesia dengan tingkat respon pengembalian mencapai 34%, yaitu 233 formulir.14
Data Pengadilan Agama sejumlah 245.548 adalah kekerasan terhadap istri yang
berujung pada perceraian. Sementara dari 13.602 kasus yang masuk dari lembaga mitra
pengada layanan, kekerasan yang terjadi di ranah personal tercatat 75% atau 10.205 kasus.
Data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan lewat juga menunjukkan tren yang sama,
KDRT lain menempati posisi kasus yang paling banyak diadukan yaitu sebanyak 903 kasus
(88%) dari total 1.022 kasus yang masuk.14
Untuk kekerasan di ranah rumah tangga. Kekerasan terhadap istri (KTI) menempati
peringkat pertama 5.784 kasus (56%). Presentase tertinggi adalah kekerasan fisik 42% (4.281
kasus), diikuti kekerasan seksual 34% (3.495 kasus), kekerasan psikis 14% (1.451 kasus) dan
kekerasan ekonomi 10% (978 kasus). Untuk kekerasan seksual di ranah KDRT tahun ini,
perkosaan menempati posisi tertinggi sebanyak 1.389 kasus, diikuti pencabulan sebanyak
1.266 kasus.14

Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud :13
1. Kekerasan Fisik
2. Kekerasan Psikis
3. Kekerasan Seksual
4. Penelantaran rumah tangga

1. Kekerasan fisik menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 6


Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau
luka berat. Kekerasan fisik yang dialami korban seperti: pemukulan menggunakan
tangan maupun alat seperti (kayu, parang), membenturkan kepala ke tembok,
menjambak rambut, menyundut dengan rokok atau dengan kayu yang bara apinya
masih ada, menendang, mencekik leher.

2. Kekerasan psikis menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 7


Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.Kekerasan psikis berupa makian, ancaman
cerai, tidak memberi nafkah, hinaan, menakut-nakuti, melarang melakukan
aktivitas di luar rumah.

3. Kekerasan seksual menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 8


Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, maupun
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Kekerasan seksual seperti memaksa isteri melakukan hubungan seksual walaupun
isteri dalam kondisi lelah dan tidak siap termasuk saat haid, memaksa isteri
melakukan hubungan seks dengan laki-laki lain.

4. Penelantaran rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 9


Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku
bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Penelantaran
seperti meninggalkan isteri dan anak tanpa memberikan nafkah, tidak memberikan
isteri uang dalam jangka waktu yang lama bahkan bertahun-tahun.

Etiologi
Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu :15,16
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk
sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri
adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh
yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan
akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
2. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri
untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan,
sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan
penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan
pendidikan anakanaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak
sewenang-wenang kepada istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam
rumah tangga.Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari
ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan,
kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi
keinginannya dan tidakmelakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan
bahwa jika perempuan rewel
maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atau
membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya
dalammenyelesaikan problem rumah tangganya.
4. Persaingan
Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam
rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri.
Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan,
pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di
lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat
menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah,
sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
5. Frustasi
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa
frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung
jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang :
a. Belum siap kawin
b. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi
kebutuhan rumah tangga.
c. Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada
orang tua atau mertua.

Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan
perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan
memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.

6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum


Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga
tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting
karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai
tindakan criminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga.Hal ini juga terlihat
dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai
korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam
proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan
kekerasan yang ia alami.

Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka
penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya.
Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:17
1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri
menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan
tersebut.
2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah
seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal
ajakan berhubungan seks.
3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma,
rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang
mendalam.
4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan
sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga dapat
berdampak pada anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara
langsung dirasakan oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada
ibunya, maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah
keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran anakterkadang
bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya.16
Menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak.
Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki
kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol,
gelisah dan tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti sakit
kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermain sering meniru bahasa yang
kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka melakukan pemukulan terhadap
orang lain yang tidak ia sukai. Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai
pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa
kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga.
Pemahaman seperti ini mengakibatkan anak berpendirian bahwa:16
1. Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah dengan
melakukan kekerasan
2. Tidak perlu menghormati perempuan
3. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan berbagai persoalan adalah baik
dan wajar
4. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan
adalah wajar dan baik-baik saja.
Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana
disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan lingkungan
yang harus ditanggung anak seperti:17
1. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah karena
menghindari kekerasan.
2. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah yang
membuat anak terkucil.
3. Merasa disia-siakan oleh orang tua.

Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan
tumbuh menjadi anak yang kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50% - 80% laki-laki yang
memukuli istrinya atau anak-anaknya, dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang
bapaknya sering melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa
dengan mental yang rusak dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan
kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima.17

Traumatologi Forensik
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta
hubungannya dengan berbagai kekeraan (rudapaksa), sedangkan yang dimaksud dengan luka
adalah suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan. 18
Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan menjadi : 18
1. Mekanik
a. Kekerasan oleh benda tajam
b. Kekerasan oleh benda tumpul
c. Tembakan senjata api
2. Fisika
a. Suhu
b. Listrik dan petir
c. Perubahan tekanan udara
d. Akustik
e. Radiasi
3. Kimia
a. Asam kuat
b. basa kuat
Dalam kaitannya dengan forensic, traumatology dapat dimanfaatkan untuk membantu
menentukan : 19
- Jenis penyebab trauma
- Waktu terjadinya trauma
- Cara melakukannya
- Akibat trauma
- Kontek peristiwa penyebab trauma

1. MEKANIK
A. Luka akibat kekerasan benda tajam
Benda-benda yang dapat mengakibatkan luka dengan sifat luka seperti ini adalah
benda yang memiliki sisi tajam, baik berupa garis maupun runcing, yang bervariasi dari
alat- alat seperti pisau, golok dan sebagaimnya hingga keeping kaca, gelas dan logam.18
Luka akibat kekerasan benda tajam dapat berupa luka iris atau sayat, luka tusuk dan
luka bacok.
Ciri-ciri umum dari luka akibat benda tajam adalah :19
o Garis batas luka biasanya teratur, tepinya rata dan sudutnya runcing
o Bila ditautkan akan menjadi rapat
o Tebing luka rata dan tidak ada jembatan jaringan
o Daerah disekitar garis batas luka tidak ada memar

B. Luka akibat kekerasan benda tumpul


Benda-benda yang dapat mengakibatkan luka dengan sifat luka seperti ini adalah
benda yang memiliki permukaan tumpul. Luka yang terjadi dapat berupa memar
(kontusio, hematom), luka lecet (ekskloriasi, abrasi) dan luka terbuka/robek (bulnus
laseratum) 18
1) Memar
Memar merupakan salah satu bentuk luka yang ditandai oleh kerusakan jaringan
tanpa disertai diskontinuitas permukaan kulit. Kerusakan tersebut disebabkan oleh
pecahnya kapiler sehingga darah keluar dan meresap ke jaringan disekitarnya. 19
2) Luka lecet
Terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan benda yang
memiliki permukaan kasar atau runcing. Misalnya pada kejadian kecelakaan lallu lintas,
tubuh terbentur aspal jalan atau sebaliknya benda tumpul tersebut yang bergerak dan
bersentuhan dengsn kulit. 18
Bentuk luka lecet kadang dapat memberikan petunjuk tentang benda
penyebabnya ;seperti misalnya kuku, ban mobil, tali atau ikat pinggang. 19
Ciri- ciri luka lecet adalah sebgai berikut : 19
o Bentuk tidak teratur
o Batas luka tidak teratur
o Tepi luka tidak rata
o Kadang-kadang ditemukan sedikit perdarahan
o Permukaannya tertutup oleh krusta (serum yang telah mongering)
o Warna coklat kemerahan
o Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat adanya beberapa bagian yang masih ditutupi
epitel dan reaksi jaringan (inflamasi)
Luka lecet juga dapat terjadi sesudah orang meninggal dunia, dengan tanda-tanda sebagai
berikut : 19
o Warna kuning mengkilat
o Lokasi biasanya dipenonjolan tulang
o Pemeriksaan mikroskopik tidak ditemukan adanya sisa-sisa epitel dan tidak
ditemukan reaksi jaringan.

3) Luka terbuka/ robek


Adalah luka yang disebabkan karena persentuhan dengan benda tumpul dengan
kekuatan yang mampu merobek seluruh lapisan kulit dan jaringan dibawahnya. 19

C. Luka akibat tembakan senjata api


Senjata api adalah suatu senjata yang menggunakan tenaga hasil peledakan
mesiu, dapat melontarkan proyektil (anak peluru) yang berkecepatan tinggi melalui
larasnya.18

2. FISIKA
Benda bersuhu tinggi, kekerasan oleh benda bersuhu tinggi akan dapat menimbulkan
luka bakar yang cirinya amat tergantung dari jenis bendanya, ketinggian suhu serta lamanya
kontak dengan kulit. 19
A. Benda bersuhu rendah,kekerasan oleh benda bersuhu dingin biasanya dialami oleh
bagian tubuh yang terbuka ; seperti misalnya tangan, kaki, telinga atau hidung.
B. Sengatan listrik, sengatan oleh benda bermuatan listrik dapat menimbulkan luka bakar
sebagai akibat berubahnya energy listrik menjadi panas.
C. Petir, petir terjadi karena adanya loncatan arus listrik diawan yang tegangannya dapat
mencapai 10 mega Volt dengan kuat arus sekitar 100.000 A ke tanah.
D. Tekanan (barotrauma), trauma akiat tekanan pada medium yang ada disekitar tubuh
manusia dapat menimbulkan kelainan atau gangguan yang sering disebut disbarisme.

3. KIMIA
1. Golongan Asam.19
Termasuk zat kimia korosif dari golongan asam antara lain :
o Asam mineral, antara lain H2S04, HCL, NO2
o Asam organic, antara lain asm oksalat, asam formiat dan asam asetat
o Garam mineral, antara lain AgN03, dan Zinc Chlorida
Cara kerja zat kimia korosif dari golongan ini sehingga mengakibatkan luka ialah:19
o Mengekskresi aie dari jaringan
o Mengkoagulasi protein menjadi albuminat
o Mengubah hemoglobin menjadi acid hematin

Ciri luka yang terjadi akibat zat-zat asam korosif tersebut diatas adalah : 19
o Terlihat kering
o Berwarna coklat kehitaman, kecuali yang disebabkan oleh nitrit acid berwarna kuning
kehijauan.
o Perabaan keras dan kasar

2. Golongan basa19
Zat kimia korosif yang termasuk golongan basa antara lain : KOH, NaOH, NH4OH
Cara kerja dari zat tersebut sehingga menimbulkan luka ialah : 20
o Mengadakan ikatan dengan protoplasma sehingga membentuk alkaline albumin dan
sebum
o Mengubah hemoglobin menjadi alkaline hematin
Ciri-ciri luka yang terjadi sebagai akibat persentuhan dengan zat-zat ini adalah : 20
o Terlihat basah dan edematous
o Berwarna merah kecoklatan
o Perabaan lunak dan licin

Aspek Hukum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga21


Semakin besarnya peranan lembaga-lembaga sosial dalam menanamkan kesadaran
akan hak dan memberikan pendampingan serta perlindungan kepada korban kasus KDRT
dipengaruhi oleh lahirnya peraturan perundang-undangan di Indonesia. Lahirnya UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang
Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT, Peraturan Presiden No. 65 Tahun
2005 tentang Komisi Nasional Terhadap Perempuan, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan peraturan perundangan lainnya yang
memberikan tugas dan fungsi kepada lembaga-lembaga yang terkoordinasi memberikan
perlindungan hukum terhadap kasus KDRT dan termasuk lembaga-lembaga sosial yang
bergerak dalam perlindungan terhadap perempuan. Bahkan dalam rencana pembentukan
peraturan perundang-undangan tersebut tidak terlepas dari peran lembaga sosial.

A. Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah


Tangga
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga yang selanjutnya disebut sebagai UU PKDRT diundangkan tanggal 22 September
2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 95. Fokus UU
PKDRT ini ialah kepada upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban
kekerasan dalam rumah tangga.
UU PKDRT Pasal 3 menyebutkan Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
dilaksanakan berdasarkan :
a. Penghormatan hak asasi manusia
b. Keadilan dan kesetaraan gender
c. Nondiskriminasi
d. Perlindungan korban.
UU PKDRT Pasal 4 menyebutkan Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.22

B. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan yang selanjutnya disebut sebagai Perpres Komnas Perempuan ialah
merupakan penyempurnaan Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Perpres Komnas Perempuan Pasal 24 telah
mencabut dan menyatakan tidak berlaku Keppres No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Komnas Perempuan ini dibentuk berdasarkan prinsip negara hukum yang menyadari
bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk
pelanggaran atas hak-hak asasi manusia sehingga dibutuhkan satu usaha untuk mencegah dan
menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan.22

Ketentuan Pidana
Ketentuan pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh Undang-undang Republik
Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sebagai berikut24 :

Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 44


1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (Lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,- (Lima belas juta rupi-
ah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
jatuh sakit atau luka berat, dipidanakan penjara paling lama 10 tahun atau denda pal-ing
banyak Rp30.000.000,- (Tiga puluh juta rupiah).
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya
korban, dipadana penjara paling lama 15 (Lima belas) tahun atau denda paling banyak
Rp.45.000.000,-(Empat puluh lima juta rupiah).
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami ter-
hadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-harian,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling ban-yak
Rp 5.000.000,-(Lima juta rupiah).

UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 45


1. Setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga seba-
gaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,- (Sembilanjuta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami ter-
hadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana-
kan penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3.000.000,-
(Tiga juta rupiah).

UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 46


Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau
denda paling banyak Rp36.000.000,- (Tiga puluh enam juta rupiah). UU Nomor 23 Tahun
2004

Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan
hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00-(dua belas juta rupiah) atau paling banyak Rp.
300.000.000,00- (tiga ratus juta rupiah).
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan 47 mengakibatkan
korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami
gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus
menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan,
atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda
paling sedikit Rp 25.000.000,00-(dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp500.000.000,00-(lima ratus juta rupiah).
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp 15.000.000,00-(lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
A. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
B. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).

UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 50


Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana
tambahan berupa :
a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari
korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari
pelaku;
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga
ter-tentu.

Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Pemulihan korban berdasarkan kepada Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga :5 UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.

UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 40


1. Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya
2. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan
merehabilitasi kesehatan korban.
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.

Dari ketentuan ini, lembaga sosial mendapat kesempatan untuk berperan dalam melakukan
upaya pemulihan korban KDRT.
PP PKPKDRT Pasal 4 menyebutkan Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi :
a) Pelayanan kesehatan
b) Pendampingan korban
c) Konseling
d) Bimbingan rohani
e) Resosialisasi
Daftar Pustaka
1. Susanti R. Paradigma baru peran dokter dalam pelayanan kedokteran forensic. Dalam:
majalah kedokteran Andalas. No.2.Vol.36; 2012.
2. Sampurna B. Peran forensik dalam kasus asuransi. Dalam: Indonesian journal of legal
and forensic sciences, vol 1(1); 2008. h.17-20
3. Idries Am, Sugiharto AF. Visum et repertum, pedoman praktis ilmu kedokteran
forensik bagi praktisi hokum. Jakarta: Sagung seto; 2009.
4. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Peranan ilmu forensik dalam penegakan hukum.
Jakarta: Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Indonesia; 2008.
5. Afandi D. Visum et repertum tata laksana dan teknik pembuatan. Ur press:
Pekanbaru; 2011.
6. Afandi D. Visum et repertum perlukaan: aspek medikolegal dan penentuan derajat
luka. Dalam: Majalah kedokteran Indonesia. Vol 60. No.4; 2010. h.188-95.
7. Atmaja DS. Derajat luka pada kasus perlukaan dan keracunan. Dalam: Kursus
penulisan visum et repertum pada kasus perlukaan. Dipresentasikan pada Simposium
visum et repertum CME. Jakarta: FKUI; 20 Maret 2008.
8. Universitas Gajah Mada. Bab 1. Pendahuluan. Diunduh dari
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://etd.repository.ugm.
ac.id/downloadfile/63753/potongan/S2-2013-305933-
chapter1.pdf&ved=0ahUKEwijzJn8uoDWAhWKoJQKHdSYCyUQFggbMAA&usg=
AFQjCNEQRbiXd8r3B7Oef6TD0wKg_MauKA.
9. Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang perlindungan anak.
10. POLRI, Buku pegangan pusat pelayanan terpadu POLRI, Jakarta, 2005
11. Deklarasi PP tentang Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan
12. Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2004, tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
13. Pangemaran D R, Tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga, hasil
penelitian di Jakarta. Jakarta; Program Studi Kajian Wanita Program Pasca Sarjana
Universitas Indonesia; 2004.
14. Diundur dari: www.KomnasPerempuanCatatanTahunan2017.com
15. Tim Kalyanamintra. Menghadapi kekerasan dalam rumah tangga. Jakarta:
Kalyanamitra, Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan; 2000.
16. Konsiderans Perpres No.65 Tahun 2005 tentang Komnas Perempuan
17. Istiadah. Pembagian kerja rumah tangga dalam Islam. Jakarta: Lembaga Kajian
Agama Dan Jender dengan PSP.
18. Budiyanto A, widiatmaka w,sudiono s, dkk. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta:
Universitas Indonesia. 1997.
19. Dahlan s. Ilmu kedokteran forensik. Universitas diponegoro semarang. 2007.
20. Konsiderans Perpres No. 65 Tahun 2005 tentang Komnas Perempuan.
21. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
22. Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama
Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.
23. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Anda mungkin juga menyukai