Anda di halaman 1dari 22

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/259873746

Teori Kontrak dan Implikasinya Terhadap


Regulasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Article November 2013

CITATIONS READS

0 4,305

2 authors:

Robin Suryo Agita Marelia Ulfa


Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa P National Public Procurement Agency, Indonesia
5 PUBLICATIONS 6 CITATIONS 2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Robin Suryo on 02 April 2014.

The user has requested enhancement of the downloaded file. All in-text references underlined in blue are added to the original document
and are linked to publications on ResearchGate, letting you access and read them immediately.
Teori Kontrak dan Implikasinya

Terhadap Regulasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah


(Jurnal Pengadaan Volume 3 No. 3, November 2013)

Robin A. Suryo1 dan Agita M. Ulfa2

Abstraksi

Kontrak pengadaan yang optimal (yang memaksimalkan net benefit para pihak) seringkali tidak
dapat diwujudkan. Penyesuaian atau adaptasi kontrak yang seharusnya dapat memaksimalkan net
benefit para pihak pada umumnya justru menimbulkan permasalahan atau sengketa kontrak antara
pembeli (pemerintah) dan penyedia. Kesulitan para pihak mewujudkan kontrak yang optimal
disebabkan oleh moral hazard karena adanya informasi asimetris serta ketidakmampuan para
pihak untuk menuangkan seluruh ketentuan dalam kontrak akibat dari bounded rationality. Sejalan
dengan teori ekonomi, kontrak optimal ditentukan oleh jenis kontrak yang digunakan dan
mekanisme adaptasi. Jenis kontrak insentif diprediksi lebih efisien daripada kontrak lainnya dan
mekanisme adaptasi di luar pengadilan dinilai lebih optimal daripada penyelesaian sengketa
melalui institusi pengadilan. Penulis juga berkesimpulan bahwa tidak hanya para pihak yang
berkontrak yang dihadapkan pada bounded rationality. Regulator pengadaan juga dihadapkan pada
persoalan yang sama.

1
Direktur Pengembangan Profesi, LKPP dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
2
Penyusun Bahan Bantuan Hukum Pengadaan Barang Jasa Pemerintah, Direktorat Penanganan Permasalahan
Hukum, LKPP

1
1. Pendahuluan

Proses pengadaan barang/jasa pemerintah secara garis besar terdiri dari dua tahapan
yaitu tahap seleksi untuk memilih penyedia, dan tahap administrasi kontrak dimana para
pihak menyepakati secara tertulis hak dan kewajiban masing-masing dalam rangka
menghasilkan atau menyediakan barang/jasa yang diinginkan. Administrasi kontrak
merupakan tahapan yang sangat penting namun relatif kurang mendapat perhatian
dibandingkan proses pemilihan sehingga pada saat pelaksanaan kontrak sering terjadi
masalah, dan bahkan dapat berujung pada sengketa kontrak yang berpotensi menimbulkan
kerugian bagi salah satu atau kedua belah pihak.

Pada dasarnya tidak ada pembeli (pemerintah) maupun penyedia yang menginginkan
terjadinya perselisihan dalam berkontrak, karena jika terjadi perselisihan maka
penyelesaiannya akan membutuhkan waktu, biaya serta upaya yang sangat besar. Bahkan
perselisihan dapat menimbulkan kerusakan hubungan yang mempengaruhi keberlanjutan
bisnis para pihak, serta dapat merusak reputasi.

Dalam artikel ini penulis mengidentifikasi permasalahan utama yang muncul dalam
kontrak pengadaan, mengeksplorasi teori yang berhubungan dengan kontrak pengadaan,
serta menjelaskan kemungkinan dan tantangan penerapan teori kontrak dalam regulasi
pengadaan barang/jasa pemerintah.

2. Permasalahan Kontrak Pengadaan

Permasalahan pengadaan dapat timbul pada tahap sebelum kontrak ditandatangani, yaitu
proses pemilihan (ex ante screening) dan pada tahap setelah kontrak ditandatangani, yaitu
pelaksanaan kontrak (ex post adaptation). Sebagian besar permasalahan terjadi pada tahap
pelaksanaan kontrak, meskipun dalam beberapa kasus permasalahan tersebut disebabkan
oleh proses pemilihan yang tidak sesuai dengan prosedur. Secara garis besar permasalahan
kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia yang dalam banyak kasus
berakhir dengan sengketa antara penyedia dan pembeli, terkait dengan tiga hal, yaitu (1)
ketidaklengkapan dokumen kontrak; (2) ketidakjelasan/multitafsir ketentuan dalam
kontrak; (3) munculnya faktor-faktor yang tidak dapat/sulit diprediksi.

2
Sebuah paket dokumen kontrak yang lengkap pada umumnya mencakup dokumen lelang,
ketentuan umum, spesifikasi, gambar, dan laporan hasil investigasi kondisi lapangan.
Namun demikian terkait dengan gambar, ketentuan umum, dan hasil investigasi lapangan
secara substansi seringkali tidak lengkap. Untuk pekerjaan konstruksi, gambar merupakan
bagian dari dokumen kontrak yang harus disajikan dengan jelas dan akurat agar penyedia
dapat menyesuaikan diri dengan seluruh kondisi dalam gambar sehingga konstruksi yang
baik akan terbangun. Dalam beberapa kasus gambar ada yang tidak sesuai dengan kondisi
lapangan sehingga perlu dilakukan disain ulang.

Ketentuan umum dalam kontrak yang sering tidak lengkap adalah tentang klausul
warranty dan ketentuan penyelesaian sengketa. Klausul warranty3 pada umumnya tidak
ada dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, padahal dalam hukum kontrak
klausul warranty ini sangat diperlukan dalam sebuah standar kontrak/perjanjian. Tidak
adanya klausul warranty mengakibatkan pihak yang dirugikan tidak memiliki alasan yang
kuat untuk melakukan gugatan wanprestasi atau menuntut ganti rugi. Sebaliknya dengan
adanya klausul warranty, ketika salah satu pihak menemukan bahwa warranty yang dibuat
oleh pihak lain keliru atau tidak sesuai dengan fakta, maka dapat diajukan gugatan
wanprestasi. Sedangkan apabila ditemukan unsur fraud atau penipuan dalam klausul ini
maka pihak yang dirugikan dalam kontrak dapat menuntut pembatalan kontrak.

Terkait ketentuan penyelesaian sengketa, yang selama ini menjadi permasalahan adalah
timbulnya ambiguitas. Misalnya dalam standar dokumen pengadaan dicantumkan bahwa
penyelesaian sengketa dapat melalui Arbitrase atau Pengadilan, namun dalam
implementasinya kebanyakan kontrak malah mencantumkan keduanya dalam klausul
penyelesaian sengketa, sehingga menimbulkan ambiguitas. Ambiguitas seharusnya sangat
dihindari dalam bahasa sebuah kontrak.

Laporan hasil investigasi kondisi lapangan yang tidak lengkap/akurat berdampak pada
kesalahan analisis kebutuhan dan berimplikasi pada ketidakjelasan kontrak. Contoh

3
Pada umumnya klausul warranty berisi pernyataaan tentang tidak adanya gugatan dari pihak ketiga atas
objek yang diperjanjikan, keakuratan kondisi perusahaan, kontrak tidak akan melanggar hukum nasional
yang berlaku (jika melibatkan subjek hukum pihak asing). Dalam kontrak pengadaan, klausul warranty
diperlukan jika misalnya terdapat pekerjaan subkontrak, kontrak multiyears, atau pengadaan barang dimana
penyedia harus menyatakan bahwa kondisi barang yang akan disediakan dalam kondisi yang dipersyaratkan
sesuai dalam kontrak, dan sebagainya.

3
kondisi lapangan yang sering tidak dijelaskan dengan baik dalam kontrak adalah land
clearing yang ternyata belum selesai atau belum dilaksanakan. Ini merupakan hambatan
yang menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan kontrak. Perbedaan antara kondisi
lapangan dengan gambar dan spesifikasi dalam dokumen kontrak dapat mengakibatkan
perubahan ruang lingkup dan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan dan pada akhirnya
berpotensi menimbulkan sengketa kontrak.

Ketidakjelasan/multitafsir sering terjadi pada kontrak pengadaan, dan ini dapat


menimbulkan sengketa. Hal ini pada umumnya berkaitan dengan: kriteria pemutusan
kontrak, pekerjaan yang melewati batas tahun anggaran, ketentuan addendum kontrak,
klausul perjanjian yang tidak konsisten dengan dokumen pengadaan, penetapan sanksi,
penetapan jaminan pelaksanaan, dasar penentuan keadaan kahar, penetapan penyesuaian
harga dan tata cara perhitungannya (price adjustment), penggunaan jenis kontrak,
pembayaran berdasarkan kemajuan/prestasi pekerjaan, serta penganggaran.

Pada jenis pekerjaan tertentu seperti konstruksi permasalahan kontrak juga disebabkan
faktor yang sulit diprediksi seperti kegagalan desain, kondisi lingkungan dan lokasi
pekerjaan yang tak terduga, serta perubahan kebijakan. Hal tersebut mengakibatkan
gangguan pada jadwal pelaksanaan pekerjaan. Pada pengadaan barang, faktor yang sulit
diprediksi misalnya barang yang harusnya disediakan ternyata sudah tidak diproduksi
(discontinue). Faktor yang sulit diprediksi ditambah dengan penggunaan kontrak lumpsum
juga sering menimbulkan masalah. Di satu sisi terjadinya faktor yang sebelumnya sulit
diprediksi menuntut adanya perubahan ruang lingkup pekerjaan, namun di sisi lain
perubahan ruang lingkup pekerjaan (pekerjaan tambah kurang) pada kontrak lumpsum
seperti ini pada praktiknya sulit untuk dilakukan.4

Timbulnya berbagai permasalahan dalam kontrak pengadaan sebagaimana diuraikan di


atas secara umum disebabkan oleh ketidakmampuan para pihak untuk menuangkan

4
Ketika terjadi permasalahan dalam kontrak pengadaan, institusi pengadilan biasanya berpendapat bahwa
penyedia seharusnya tidak dituntut untuk menyelesaikan item atau pekerjaan yang melebihi dan diluar yang telah
disepakati sejak awal dalam kontrak. Meskipun pembeli berhak menuntut penyedia agar beritikad baik memenuhi
seluruh kewajiban sesuai kontrak namun tidak berhak untuk memperluas dan memperbanyak kewajiban penyedia.
Oleh karena itu dalam kontrak lumpsum, penyedia tidak diwajibkan melaksanakan pekerjaan diluar yang sudah
disepakati sebelumnya tanpa adanya kompensasi tambahan dari pembeli.

4
seluruh ketentuan yang relevan (termasuk hal-hal yang bersifat kontinjen) kedalam
kontrak. Semakin kompleks suatu pekerjaan maka ketidakmampuan untuk menuliskan
seluruh ketentuan yang relevan kedalam suatu kontrak semakin tinggi.

3. Teori Kontrak Pengadaan

Weshsler (2012) mendefinisikan kontrak sebagai berikut, Contract is a legally binding


agreement involving two or more parties that set forth an exchange of promise of what
each party will or will not do. Menurut Macaulay (1963) kontrak didisain untuk
mendefinisikan dan menjaga serta memelihara pertukaran atau transaksi. Dalam ilmu
ekonomi, kontrak merupakan hal yang mendasar. Setiap transaksi selalu difasilitasi dengan
kontrak dalam bentuk tertentu, baik eksplisit maupun implisit. Namun demikian, ilmu
ekonomi sebelumnya lebih banyak memberikan perhatian pada transaksi on the spot,
dimana dua sisi transaksi yaitu membeli dan menjual terjadi secara bersamaan (ada uang
ada barang), dan dimana elemen kontraktual relatif sederhana dan tidak eksplisit.

Untuk transaksi yang sederhana (barang/jasa yang sudah standar), peran dan ekspektasi
para pihak lebih mudah dipahami bahkan tanpa kontrak formal. Namun untuk kontrak
atau transaksi yang menyangkut barang/jasa yang lebih kompleks, peran masing-masing
pihak seringkali sulit atau bahkan tidak dapat didefinisikan dengan jelas, dan
ketidaksepahaman dapat timbul terkait dengan siapa bertanggungjawab terhadap apa.
Dalam pengadaan barang/jasa yang kompleks, kontrak sangat membantu karena
memberikan definisi yang jelas mengenai peran dan tanggungjawab para pihak. Kontrak
juga dapat menjamin para pihak mengetahui ekspektasi masing-masing, sehingga dapat
mengurangi efek detrimental/merugikan jika timbul perselisihan (Jehn, 1977).

Karakteristik lain dari ekonomi kontrak yang membedakan dengan transaksi ekonomi on
the spot pada umumnya adalah bahwa transaksi yang dilakukan oleh para pihak dalam
konteks kontrak berada diluar keseimbangan pasar dan dilakukan secara bilateral, serta
pada kondisi dimana para pihak umumnya tidak memiliki pengetahuan mengenai harga
(pasar). Pada kondisi seperti ini kontrak menjadi semakin penting karena didalamnya juga
terdapat elemen waktu dimana salah satu pihak tidak yakin dengan apa yang akan
dikerjakan oleh pihak lain.

5
Oleh karena itu, para ekonom tertarik pada hubungan transaksional jangka panjang
dimana terdapat perbedaan waktu yang cukup lama antara terjadinya transaksi dengan
diperolehnya barang/jasa. Teori kontrak dimotivasi oleh ketidakpuasan terhadap model
analitis standar mengenai bekerjanya mekanisme pasar. Salah satu ketidakpuasan adalah
terkait dengan asumsi informasi yang simetris/sama dan sempurna/lengkap. Asumsi
tersebut dianggap tidak realistis oleh Arrow (1971), Akerlof (1970), dan Coase (1937).
Arrow menjelaskan teorinya dengan mengambil contoh pasar asuransi, sedangkan Akerlof
memberikan contoh pasar mobil bekas. Dijelaskan bahwa dalam suatu transaksi ada situasi
dimana salah satu pihak memiliki informasi yang tidak diketahui oleh pihak lain (informasi
asimetris), dan hal ini dapat mencegah terjadinya transaksi yang efisien karena salah satu
pihak yang berkontrak dapat mengeksploitasi pihak lain.

Sebelumnya Coase telah memberikan kontribusi penting terhadap teori kontrak. Dia
mempertanyakan validitas asumsi zero transaction cost pada model standar mekanisme
pasar. Berbeda dengan transaksi on the spot yang mengacu pada bekerjanya mekanisme
pasar, transaksi dalam pengadaan barang/jasa melalui kontrak memiliki karakteristik
biaya transaksi positif (positive transaction cost). Ketika organisasi pemerintah membeli
barang/jasa dari penyedia terdapat biaya transaksi yang timbul yaitu biaya pemilihan
penyedia/searching costs (menyusun HPS dan dokumen lelang, melakukan evaluasi),
manajemen kontrak (menyusun kontrak, memonitor kinerja), dan resolusi konflik
(penyelesaian sengketa). Perbedaan struktur tatakelola antara transaksi berdasarkan
competition in the market dan competition for the market, menimbulkan biaya transaksi
yang disebut juga sebagai biaya mengoperasikan pasar (costs of operating market).

Teori kontrak pada prinsipnya mempelajari bagaimana pelaku ekonomi dapat membangun
kesepakatan kontrak yang efisien/optimal, umumnya dalam keadaan ketidakpastian dan
adanya informasi yang asimetris (Laffont J. J. & Tirole J., 1993). Ketidakpastian muncul
karena para pihak tidak dapat sepenuhnya memprediksi dan menuangkan kedalam
kontrak apa yang akan terjadi selama periode kontrak berlangsung, dimana kejadian
tersebut dapat mempengaruhi hak dan kewajiban dari para pihak. Informasi asimetris
terjadi karena penyedia dianggap memiliki informasi tentang biaya produksi dan level of
effort yang tidak diketahui oleh pembeli. Informasi asimetris juga dapat timbul ketika

6
terjadi perubahan disain setelah kontrak ditandatangani (misalnya karena kegagalan
disain, kondisi lingkungan dan lokasi yang tidak dapat diantisipasi, perubahan regulasi, dan
lain-lain). Masalah seperti ini sangat sulit diprediksi oleh para pihak. Namun demikian,
sekali masalah tersebut muncul dan diketahui maka penyedia pada umumnya memiliki
informasi yang lebih baik terkait dengan permasalahan yang dihadapi, metode yang dapat
digunakan untuk mengatasi masalah, serta konsekuensi biaya yang dibutuhkan untuk
melaksanakan perubahan.

3.1. Teori (In)complete Contract

Dalam perkembangannya terdapat dua aliran teori kontrak yang sering dijadikan
rujukan, yaitu (1) teori kontrak lengkap (complete contract) - yang diasosiasikan
dengan teori ekonomi kelembagaan (institutional theory) khususnya terkait dengan
masalah principal-agent, dan (2) teori kontrak tidak lengkap (incomplete contract) -
yang diasosiasikan dengan model transaction cost.

Teori Kontrak Lengkap (Teori Insentif). Dengan asumsi para pihak dapat membuat
kontrak yang lengkap, teori ini melihat permasalahan kontrak pengadaan sebagai
persoalan insentif. Menurut Laffont dan Tirole (1993), dalam model principal-agent
pemerintah sebagai principal dihadapkan pada masalah informasi yang asimetris
karena tidak bisa mendapatkan beberapa informasi penting mengenai penyedia
(agent), terutama terkait dengan usaha (effort) yang akan dilakukan oleh penyedia.
Usaha dalam hal ini dapat menggambarkan tipe dari penyedia (misalnya penyedia
yang efisien atau inefisien, penyedia yang risk-taker atau risk averse). Dalam hal ini
pemerintah sebagai pembeli tidak bisa membedakan antara penyedia yang efisien dan
yang tidak efisien, dan pemerintah juga tidak dapat memonitor sejauh mana usaha dari
penyedia untuk semaksimal mungkin memenuhi kepentingan pemerintah sebagai
pembeli sebagaimana yang tertuang dalam kontrak. Dengan demikian masalah yang
dihadapi pemerintah sebagai pembeli adalah bagaimana mendisain suatu insentif
(skema kontrak) agar penyedia memberikan informasi atau mengadopsi perilaku
sesuai keinginan pembeli. Dikaitkan dengan tahapan proses pengadaan, teori insentif
lebih menitikberatkan pada disain kontrak sebelum kontrak ditandatangani.

7
Teori Kontrak Tidak Lengkap (Teori Biaya Transaksi). Berbeda dengan teori insentif
yang mengasumsikan bahwa para pihak dapat menuangkan hak dan kewajiban untuk
seluruh kemungkinan yang akan terjadi, dalam teori biaya transaksi asumsi tersebut
tidak berlaku. Pada kenyataannya hampir semua kontrak (termasuk kontrak
pengadaan) merupakan kontrak yang tidak lengkap.5 Ketidaklengkapan suatu kontrak
tidak dapat dihindari sebagai akibat dari pertimbangan biaya transaksi yang mahal
untuk membuat kontrak yang lengkap terutama biaya informasi (information costs),
adanya rasionalitas yang terbatas (bounded rationality) atau ketidakmampuan untuk
melihat atau memprediksi hal-hal yang bersifat kontinjen, dan oleh sebab lainnya
(Grossman, S J & Hart O D, 1986). Dalam model ekonomi, kontrak disebut sebagai
"contingenly incomplete", karena di dalam bahasa kontrak, para pihak tidak dapat
memaksimalkan keuntungan transaksi di setiap keadaan kontinjensi masa depan
(Ayres, Ian and Robert H. Gertner, 1992).

Dalam teori ini ketidaklengkapan suatu kontrak juga disebabkan oleh


ketidakmampuan institusi yang bertanggungjawab untuk menjamin kinerja kontrak
(yaitu institusi pengadilan), karena mereka tidak mampu menegakkan ketentuan yang
sulit/tidak dapat diverifikasi. Karena teori ini beranggapan bahwa para penegak
hukum juga memiliki bounded rationality, maka kinerja kontrak tidak dapat dijamin
oleh mekanisme eksternal (lembaga pengadilan). Oleh Williamson (1996) kondisi
seperti ini disebut sebagai kegagalan institusi.

3.2. Konsekuensi dari Teori Kontrak

Kedua teori tersebut di atas memiliki konsekuensi atau prediksi yang sama yaitu
terjadinya kontrak yang tidak efisien/optimal. Namun terdapat perbedaan dalam hal
penyebab dari kontrak yang tidak efisien/optimal tersebut. Pada teori insentif,

5
Namun Ben-Shahar (2004) menyatakan bahwa secara definisi hukum sebuah kontrak tidak boleh tidak
lengkap, karena agar institusi pengadilan dapat menegakkan kontrak, mereka harus memastikan bahwa
ketentuan yang ada dalam kontrak cukup lengkap sehingga maksud dari para pihak dapat diketahui dan
dipahami dengan jelas. Jika kontrak tidak lengkap maka institusi pengadilan akan mengisi kekosongan atau
ketidaklengkapan ketentuan dalam kontrak. Dalam konteks ini maka kontrak selalu dianggap lengkap karena
institusi pengadilan akan mengisi ketentuan yang tidak lengkap, atau jika tidak maka kontrak tersebut tidak
dapat diberlakukan. Oleh karena itu dalam teori legal, hukum menyediakan default rule yang mengisi celah
dalam kesepakatan aktual dari para pihak. Default rule menjadikan kontrak tidak lengkap (incomplete
contract) menjadi kontrak lengkap (complete contract).

8
inefisiensi kontrak disebabkan oleh adanya moral hazard, dimana penyedia dalam
menjalankan kontrak berperilaku tidak sejalan/sesuai dengan kepentingan pembeli.
Sedangkan pada teori biaya transaksi, sumber dari inefisiensi kontrak berasal dari
proses adaptasi atau penyesuaian yang harus dilakukan dalam pelaksanaan kontrak.

Pada teori insentif, moral hazard menyebabkan kontrak tidak efisien karena penyedia
dengan informasi yang dimiliki (yang tidak dimiliki oleh pembeli) dapat melakukan
tindakan yang mempengaruhi utility pembeli. Upaya pembeli untuk memaksimalkan
utility nya dalam hal ini dipengaruhi oleh perilaku penyedia. Pada teori biaya transaksi,
inefisiensi disebabkan oleh biaya adaptasi. Proses adaptasi jika tidak berjalan dengan
baik dapat menimbulkan potensi sengketa kontrak diantara kedua pihak serta
menimbulkan biaya, dan biaya adaptasi tersebut selama ini kurang diperhatikan dalam
kontrak pengadaan barang/jasa. Dalam banyak kasus perubahan kontrak ex post
menimbulkan efek yang signifikan terhadap biaya total proyek.6

Proses adaptasi juga dapat menimbulkan underinvestment atau overinvestment.


Underinvestment terjadi ketika kewajiban para pihak tidak secara optimal dirumuskan
dan dituangkan dalam kontrak, sehingga terdapat peluang untuk melakukan
renegosiasi terkait dengan kewajiban tersebut pada saat pelaksanaan kontrak.
Renegosiasi memberikan peluang perilaku yang oportunistik, yaitu satu atau kedua
pihak mencoba untuk mengambil keuntungan dari proses renegosiasi yang biasanya
cenderung mengakibatkan terjadinya underinvestment. Sebaliknya, kontrak yang tidak
lengkap - ditambah dengan adanya ganti rugi (damage remedy) - juga dapat berakibat
pada investasi yang berlebihan (overinvestment). Karena kontrak mengharuskan salah
satu pihak untuk melakukan investasi, sementara kondisi kontinjensi menghendaki
bahwa lebih baik bagi pihak terkait untuk tidak melakukan investasi, maka terjadi
investasi yang tidak optimal (overinvestment).

6
Menurut Bajari,et al (2006) biaya yang ditimbulkan dari proses adaptasi lebih besar dibandingkan dengan
biaya yang ditimbulkan dari masalah yang muncul pada tahap seleksi/lelang yaitu masalah penguasaan pasar
(market power) dan penawaran yang tidak seimbang (unbalanced bidding) yang biasanya berakibat pada
harga penawaran yang tidak efisien.

9
4. Kontrak Pengadaan Yang Optimal

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa isu sentral dalam teori
ekonomi kontrak adalah bagaimana para pihak merumuskan kontrak yang efisien atau
optimal. Kontrak optimal dalam hal ini didefinisikan sebagai kondisi dimana tidak
mungkin lagi untuk meningkatkan expected utility dari salah satu pihak yang berkontrak
tanpa mengurangi expected utility bagi pihak lain (kondisi Pareto Optimal).

4.1. Kontrak Optimal dari Perspektif Teori Insentif

Berdasarkan teori insentif, kontrak optimal ditentukan oleh jenis kontrak yang
digunakan. Dalam teori dan juga praktek, jenis kontrak secara ekstrim dapat dibedakan
antara kontrak harga tetap atau lumpsum (LS) di satu sisi dengan kontrak cost plus
(C+) di sisi lain. Pada kontrak LS pembeli bersedia untuk membayar penyedia dengan
harga yang tetap, dan penyedia menanggung seluruh risiko apabila terjadi perubahan
harga, atau mendapatkan seluruh keuntungan dari penghematan biaya. Sebaliknya,
pada kontrak C+ seluruh biaya yang diperlukan oleh penyedia untuk menghasilkan
barang/jasa ditanggung oleh pembeli. Dalam hal ini risiko seluruhnya ditanggung oleh
pembeli. Diantara kedua ekstrim tersebut terdapat beberapa kemungkinan variasi jenis
kontrak yang disebut sebagai Kontrak Insentif. Hal ini diilustrasikan pada Gambar 1.

Gambar 1
Perbandingan Jenis Kontrak Pengadaan

Kontrak LS Kontrak Insentif (0 <Cost Sharing < 100 %) Kontrak C+


(cost sharing (cost sharing =
= 0) 100 %)

Hubungan antara pembayaran dan realisasi biaya pada Kontrak LS dan C+


diilustrasikan pada Gambar 2. Pada jenis kontrak LS berapapun realisasi biaya yang
dikeluarkan oleh penyedia, pembayaran yang diterima oleh penyedia dari pembeli
tetap sebagaimana ditunjukkan oleh P. C menunjukkan bahwa realisasi biaya sama
dengan pembayaran (P=C), sedangkan C-1 menunjukkan bahwa pembayaran lebih
besar dari realisasi biaya (P>C). Selisih antara P dan C-1 adalah keuntungan yang dapat
sepenuhnya dinikmati oleh penyedia. Sebaliknya C+1 menunjukkan bahwa realisasi
10
biaya lebih besar daripada pembayaran (P<C), dan penyedia menanggung kerugian.
Apabila jenis kontrak C+ digunakan maka jumlah pembayaran yang diterima oleh
penyedia (ditunjukkan dengan garis tidak terputus) selalu sama dengan realisasi biaya
yang dikeluarkan ditambah dengan keuntungan. Dalam hal ini pembeli menanggung
seluruh biaya yang diperlukan untuk menghasilkan barang/jasa, dan penyedia tidak
menanggung risiko terjadinya perubahan biaya.

Gambar 2
Hubungan antara Pembayaran dan Realisasi Biaya Pada Kontrak LS dan C+

Dua jenis kontrak tersebut dianggap tidak optimal karena pada jenis kontrak LS
meskipun penyedia memiliki insentif untuk melakukan efisiensi, tetapi tidak
dimungkinkan bagi pemerintah sebagai pembeli untuk mendapatkan keuntungan dari
efisiensi yang dilakukan oleh penyedia (yaitu ketika realisasi biaya C-1 atau P>C).
Dengan demikian pada kontrak LS terdapat kecenderungan bahwa pemerintah
membayar lebih tinggi dari yang seharusnya (overpayment). Selain itu dengan kontrak
LS penyedia cenderung mengorbankan kualitas barang/jasa yang dihasilkan dalam
rangka mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dengan menekan pengeluaran
secara berlebihan. Pada jenis kontrak C+ karena penyedia tidak menghadapi risiko
maka tidak ada insentif bagi mereka untuk melakukan upaya efisiensi, bahkan mereka
cenderung untuk boros. Dalam hal ini konsekuensinya juga sama yaitu pemerintah
membayar lebih mahal dari yang seharusnya.

11
Pada prakteknya kontrak yang optimal tidak mudah untuk dirumuskan karena adanya
kesulitan dalam menciptakan mekanisme insentif yang sempurna. Model pengadaan
pada kondisi informasi asimetris (Laffont J. J. & Tirole J., 1993) memprediksi bahwa
kontrak optimal akan selalu mengandung unsur pembagian biaya (cost sharing) antara
pembeli dan penyedia, dan pembayaran kontrak merupakan fungsi convex (convex
function) dari realisasi biaya, atau kombinasi antara harga penawaran (fixed cost) dan
stochastic term (cost plus payment). Implikasi dari model yang dikemukakan oleh
Laffont dan Tirole adalah bahwa jenis kontrak yang dianggap paling optimal adalah
jenis kontrak yang disebut dengan kontrak insentif.

Sejalan dengan hal tersebut, menurut Bajari dan Tadelis (2001) ciri penting dari
kontrak pengadaan yang optimal adalah kemampuannya untuk mengakomodasi atau
merespon perubahan, karena perubahan akan menimbulkan trade-off antara biaya
transaksi yang disebabkan oleh perubahan, dan insentif untuk menurunkan biaya.
Dibandingkan dengan kontrak LS dan C+, kontrak insentif memiliki kemampuan yang
lebih baik untuk mengakomodasi dan merespon perubahan dan sekaligus memberikan
insentif untuk menurunkan biaya.

Argumen bahwa kontrak insentif merupakan yang optimal dibandingkan dengan


kontrak jenis lain dimodelkan secara matematis oleh McAfee dan McMillan (1986).
Pemerintah sebagai pembeli (principal) bertujuan meminimalkan pembayaran/nilai
kontrak (P) kepada penyedia (agent). Pembayaran dalam hal ini merupakan fungsi dari
realisasi biaya proyek (c) dan harga penawaran pemenang lelang (b) yang juga
merupakan nilai kontrak awal, sehingga:

P = c + b +

Notasi dan dalam hal ini merupakan konstanta yang dapat mengarahkan kita pada
tiga jenis kontrak. Jika = 1 dan = 0 maka P merupakan kontrak C+ dan adalah
(extra) profit bagi penyedia. Jika = 0 dan = 1, maka P merupakan kontrak lumpsum,
dan jika 0 << 1 dan = 1 , maka P merupakan kontrak insentif, dimana penyedia
bertanggungjawab terhadap sebagian dari cost overrun (1 ).

12
Pada kontrak insentif diasumsikan = (1 - ) dan = 0, sehingga kita dapat
memodifikasi kontrak yang optimal menjadi P = b + (c b), yaitu pembayaran (P)
sama dengan harga penawaran/nilai kontrak (b) ditambah dengan bagian dari yang
mewakili cost overrun atau underrun. Jika realisasi biaya (c) lebih besar daripada nilai
kontrak awal (b) berarti terjadi cost overrun maka penyedia akan menerima
pembayaran lebih besar dari kontrak awal. Sebaliknya jika c < b maka pemerintah juga
akan mendapatkan pembagian keuntungan dan penyedia menerima pembayaran lebih
rendah dari nilai kontrak awal.

4.2. Kontrak Optimal dari Perspektif Teori Biaya Transaksi

Teori biaya transaksi menjelaskan bahwa pembeli dan penyedia harus menegosiasikan
penyesuaian/adaptasi lingkup pekerjaan dan kompensasi, yang mengakibatkan
perbedaan nilai kontrak dengan realisasi pembayaran. Disini teori biaya transaksi
melihat kontrak optimal dari perspektif yang sangat berbeda dari teori insentif, yaitu
bagaimana proses/mekanisme adaptasi kontrak yang paling efisien agar menghasilkan
kontrak pengadaan yang optimal, yang oleh Williamson (1979) disebut sebagai ...the
most economical governance structure.

Solusi yang ditawarkan adalah, para pihak membuat kesepakatan (yang dituangkan
dalam kontrak) mengenai prosedur untuk menentukan tindakan yang harus diambil
oleh masing-masing pihak, dan menggunakan cara untuk menjamin kinerja sesuai
dengan komitmen dalam kontrak. Kontrak juga perlu memuat ketentuan tentang
mekanisme supervisi (pengawasan) dan upaya paksa (coercion) untuk memastikan
agar para pihak menghormati komitmen yang ada dalam kontrak. Dengan demikian
kontrak harus menciptakan private order yaitu para pihak menciptakan
sistem/mekanisme penyelesaian perselisihan diluar pengadilan, sehingga para pihak
dapat menjamin adanya kerjasama untuk menyelesaikan perselisihan setelah
penandatanganan kontrak.

Teori ini menekankan mekanisme penyelesaian konflik di luar institusi pengadilan.


Dengan alasan bahwa komitmen dalam kontrak tidak lengkap bersifat terbuka dan
spesifik, maka penyelesaian konflik tidak dapat secara efisien dilakukan oleh pihak

13
berwenang diluar para pihak yang berkontrak (institusi pengadilan). Dalam hal ini para
pihak yang berkontrak harus sepakat di awal mengenai prosedur bilateral untuk
menyelesaikan perselisihan. Williamson (1996) berpendapat bahwa lembaga arbitrase
(pengadaan) memiliki keunggulan daripada institusi pengadilan karena memiliki
kapasitas yang lebih baik dari sisi pengetahuan untuk mengevaluasi sengketa kontrak
dan mengisi kesenjangan kontrak. Para arbiter memiliki keahlian khusus di bidang
pengadaan yang memudahkan mereka memahami kompleksitas teknis dari
kontrak/transaksi pengadaan serta memiliki pengetahuan yang secara umum diterima
dan dipahami oleh para pelaku pengadaan. Arbiter biasanya juga berasal dari para
profesional yang menjunjung tinggi kode etik profesi yang dikeluarkan oleh asosiasi
tertentu. Mekanisme arbitrase juga diyakini lebih baik dalam pengertian dapat
mendorong para pihak untuk mewujudkan kontrak yang lebih lengkap.

5. Penerapan Teori Kontrak dalam Regulasi Pengadaan

5.1. Kontrak Insentif

Meskipun kontrak insentif secara teori dianggap paling optimal, namun dalam
kenyataannya hanya sedikit negara yang menerapkan skim tersebut dalam regulasinya,
salah satunya adalah Amerika Serikat. Padahal apabila dicermati lebih lanjut,
permasalahan pengadaan barang/jasa pemerintah yang sering muncul sebagaimana
telah dikemukakan di awal sebenarnya dapat diatasi dengan penggunaan jenis kontrak
insentif. Permasalahan yang terkait dengan perubahan ruang lingkup pekerjaan
misalnya terjadi/baru diketahui ketika kontrak sudah berjalan. Perubahan tersebut
memiliki potensi besar dalam menimbulkan permasalahan pengadaan dan kontrak
yang optimal seharusnya dapat merespon perubahan. Kontrak insentif dalam hal ini
dapat mengantisipasi informasi asimetris sekaligus bounded rationality yang muncul
pada tahap pemilihan penyedia yang dapat menimbulkan permasalahan karena
terlanjur tertuang dalam kesepakatan kontrak.

Salah satu fitur utama dari kontrak insentif adalah adanya pembagian cost
overrun/underrun antara penyedia dan pembeli, serta perlunya menetapkan price
ceiling/floor. Pada prakteknya tidak mudah untuk menganalisis/menghitung kedua hal

14
tersebut. Sebagai contoh, Defense Materiel Organisation (DMO, 2009) menyatakan
bahwa sangat sulit membuat formula umum untuk menghitung pembagian
risiko/keuntungan, karena setiap kontrak memiliki variasi dan karakteristik yang
sangat beragam. Namun demikian, untuk pengadaan alat pertahanan yang kompleks
mereka berpendapat bahwa rasio minimum pembagian risiko/keuntungan seharusnya
50:50 agar dapat mencerminkan perlunya penyedia untuk mengelola tingginya
ketidakpastian biaya (lihat gambar 3).

Gambar 3
Pembagian Risiko/Keuntungan antara Pemerintah dan Penyedia Pada Kontrak Insentif

Mengacu pada regulasi yang ada, Indonesia belum mengadopsi penggunaan kontrak
insentif. Dalam regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia, berdasarkan
cara pembayaran terdapat lima jenis kontrak yang dapat digunakan dalam pelaksanaan
pekerjaan pengadaan barang/jasa pemerintah, yaitu (1) kontrak lumpsum, (2) kontrak
harga satuan, (3) kontrak gabungan lumpsum dan harga satuan, (4) kontrak persentase,
(5) kontrak terima jadi (turnkey). Pada umumnya, jenis kontrak yang sering digunakan
adalah tiga jenis kontrak yang pertama yaitu lump sum, harga satuan, dan gabungan.
Kontrak persentase dan kontrak turnkey belum terdefinisi dengan baik dalam regulasi
pengadaan kita sehingga jenis kontrak ini belum banyak digunakan. Pada lima jenis
kontrak tersebut tidak ada satupun yang mensyaratkan atau memungkinkan adanya

15
pembagian biaya/keuntungan antara pembeli dan penyedia, yang merupakan
karakteristik utama dari kontrak insentif.

Melihat karakteristik dan kompleksitasnya, kontrak insentif lebih efektif digunakan


untuk kontrak pengadaan yang ruang lingkup pekerjaannya belum jelas/pasti dan
biayanya sulit diestimasi. Kontrak insentif pada prinsipnya tetap diawali dengan proses
kompetisi/lelang untuk mendapatkan target price, namun demikian kontrak insentif
memiliki prosedur yang lebih rumit/kompleks. Misalnya, dalam pengadaan yang
bersifat khusus seperti pertahanan keamanan, diperlukan adanya negosiasi pra-
kontrak. Negosiasi diperlukan karena menyangkut ketersediaan barang dan ketika
jumlah penyedia terbatas. Oleh karena itu negosiasi ini bertujuan untuk mengantisipasi
trade-off antara biaya, fungsionalitas dan ketersediaan komponen sesuai dengan yang
dipersyaratkan sehingga ada ukuran kinerja dari penyedia pada saat pelaksanaan
kontrak. Negosiasi juga bertujuan untuk memverifikasi harga akhir (final price)
sehingga dapat diketahui variasi biaya yang dapat diberlakukan dalam rangka
pembagian risiko/keuntungan.

Namun demikian terdapat tantangan dan kendala yang cukup besar dalam
mengimplementasikan regulasi yang memperkenalkan kontrak insentif. Selain terkait
dengan bagaimana menentukan rasio pembagian cost overrun/underrun serta batas
atas/bawah pembayaran, yang juga menjadi tantangan adalah bagaimana mekanisme
penganggaran dan pembayaran dalam kontrak insentif. Mekanisme yang ada saat ini
belum memungkinkan pemerintah mengalokasikan anggaran untuk pembayaran atas
suatu pekerjaan yang belum pasti/jelas. Pembayaran pada kontrak insentif didasarkan
pada harga penawaran (nilai kontrak awal) ditambah/dikurangi dengan cost overrun
atau cost underrun yang membuat kedua belah pihak dapat menikmati cost sharing
yang wajar sehingga tercapai kontrak yang efektif dan efisien. Pemerintah sebagi
pembeli harus menentukan besaran berdasarkan jenis pekerjaan (barang, jasa, jasa
konstruksi atau jasa lainnya) sehingga dapat diperoleh pembayaran yang sesuai dengan
ruang lingkup, tipe, dan risiko pekerjaan. Hal ini akan berpengaruh pada dasar
perhitungan penyusunan HPS maupun pada saat pelaksanaan pekerjaan karena

16
dimungkinkan penyedia akan memperbesar realisasi biaya untuk mengantisipasi harga
penawarannya (b) apabila pemerintah tidak menentukan dengan tepat.

5.2. Adaptasi Kontrak melalui Arbitrase

Pada regulasi pengadaan di Indonesia penyelesaian perselisihan diatur melalui


musyawarah mufakat dan apabila tidak tercapai dilakukan melalui arbitrase, alternatif
penyelesaian sengketa atau pengadilan. Dengan demikian mekanisme yang diutamakan
dalam penyelesaian sengketa kontrak pengadaan adalah melalui musyawarah. Namun
demikian ketentuan tersebut tidak efektif karena secara konseptual tidak ada teori yang
melandasinya, dan terlebih lagi tidak ada data empiris yang menunjukkan penggunaan
mekanisme ini oleh para pihak untuk melakukan adaptasi kontrak. Dengan demikian
regulasi pengadaan seharusnya lebih mendorong penggunaan mekanisme arbitrase
untuk penyelesaian sengketa kontrak pengadaan daripada mekanisme lainnya
termasuk alternatif penyelesaian sengketa dan pengadilan. Sesuai dengan teori biaya
transaksi penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase dianggap lebih optimal
dibandingkan dengan mekanisme lainnya. Mekanisme arbitrase juga merupakan salah
satu pengamanan (safeguards) dalam kontrak pengadaan.

Arbitrase memungkinkan penyelesaian sengketa masih berada pada kendali para pihak,
karena para pihak dapat memilih sendiri arbiternya. Selain itu arbiter juga berasal dari
professional yang memiliki keahlian khusus di bidang pengadaan. Arbitrase disisi lain
memiliki sifat litigasi tetapi dipermudah dengan adanya simplifikasi prosedur.
Arbitrase (tribunals) memiliki ahli khusus yang mengerti kompleksitas teknis suatu
transaksi dan memiliki pengetahuan terhadap kelaziman yang tertuang dalam kontrak
baik secara eksplisit maupun implisit. Arbiter dapat memverifikasi aspek yang hampir
tidak kentara terkait kualitas dan kecukupan komponen suatu pekerjaan (Dixit, 2003).
Sebaliknya institusi pengadilan harus mengulas seluruh rentang keperdataan dan tidak
memiliki keahlian atau pengetahuan khusus mengenai suatu pekerjaan. Meskipun
institusi pengadilan memiliki akses untuk menghadirkan ahli, namun institusi
pengadilan tetap harus menginterpretasikan keterangan ahli berdasarkan pemikiran

17
dan pengetahuan mereka sendiri yang sangat terbatas mengenai suatu pekerjaan
pengadaan.

Negara yang secara intensif menggunakan lembaga arbitrase untuk penyelesaian


sengketa pengadaan (khususnya pekerjaan konstruksi) adalah Malaysia. Amerika
Serikat dan Perancis juga menggunakan Arbitrase namun setelah penggunaan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang lain dianggap tidak berhasil. Di Indonesia, ketentuan
pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa diluar arbitrase dalam pengadaan tidak
diatur secara terperinci dan keberadaan lembaga arbitrase yang ada sekarang belum
dianggap sebagai lembaga terpercaya yang dapat memenuhi harapan para pihak. Aspek
kerahasiaan dalam proses arbitrase merupakan salah satu alasan kenapa lembaga
arbitrase belum banyak digunakan untuk menangani sengketa pengadaan publik. Para
pihak akhirnya cenderung lebih banyak memilih institusi pengadilan sebagai pemutus
terbaik dalam menyelesaikan sengketa pengadaan. Sementara berdasarkan perspektif
teori biaya transaksi, institusi pengadilan dianggap tidak dapat menyelesaikan
perselisihan secara efisien. Artinya selama ini kita cenderung memilih mekanisme yang
sebetulnya tidak efisien.7 Untuk memperkuat lembaga arbitrase di Indonesia dalam
penyelesaian sengketa pengadaan, Arbiter yang ditunjuk untuk menangani sengketa
seharusnya menguasai hukum publik yang terkait dengan pengadaan, seperti peraturan
mengenai pengadaan, sistem pembayaran, serta peraturan mengenai batasan-batasan
pelaksanaan kontrak itu sendiri.

Terkait dengan aspek kerahasiaan yang sebenarnya merupakan kelebihan dari arbitase,
maka UNCITRAL membuat suatu konsep proses arbitrase yang mengakomodasi
tuntutan transparansi dalam proses penyelesaian sengketa pengadaan barang/jasa
pemerintah. Dalam hal ini Working Group UNCITRAL mencoba mengkaji penerapan
transparansi dalam proses arbitrase, dan akhirnya pada awal tahun 2013 UNCITRAL
Working Group II sepakat memodifikasi aturan Arbitrase UNCITRAL guna menjamin

7
Steven Shavel (2003) dalam analisis ekonominya terhadap hukum kontrak menyatakan bahwa arbitrase bisa
menjadi suatu forum pilihan dalam penyelesaian sengketa kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah
sepanjang kontrak tersebut tidak memiliki harmful external effect. Jika suatu kontrak dirasakan memiliki
harmful external effect sebaiknya menggunakan institusi pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Namun
demikian Shavel tidak menjelaskan lebih lanjut definisi harmful external effect.

18
transparansi dalam proses arbitrase.8 Namun demikian usulan tersebut masih harus
disetujui oleh Komisi UNCITRAL dan Majelis Umum PBB. Salah satu modifikasi penting
terkait dengan transparansi adalah bahwa semua dokumen penting dalam arbitrase
akan dipublikasikan, termasuk Pemberitahuan Arbitrase, semua Transkrip Pembelaan
dan Keputusan serta Putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Selain itu dengar
pendapat secara lisan untuk presentasi bukti harus terbuka untuk umum (tergantung
kebijaksanaan pengadilan untuk mengambil langkah-langkah untuk melindungi
informasi rahasia). Ketentuan tersebut tentunya juga bisa diadopsi oleh lembaga
arbitrase di Indonesia sehingga tuntutan terhadap adanya transparansi dalam
penyelesaian sengketa melalui mekanisme arbitrase dapat dipenuhi.

6. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kontrak pengadaan yang optimal membutuhkan skema dan mekanisme adaptasi kontrak
yang memberikan insentif bagi para pihak untuk memaksimalkan net benefit sekaligus
meminimalkan perilaku yang oportunistik dan eksploitatif. Upaya lain yang dapat
dilakukan untuk meminimalisir terjadinya kontrak yang tidak optimal adalah
meningkatkan pemahaman dan kemampuan para pihak dalam berkontrak sehingga
kesenjangan yang ada dalam kontrak dapat dikurangi. Namun harus dipahami bahwa
sebaik apapun kemampuan dan pengetahuan para pihak dalam menyusun kontrak,
masalah fundamentalnya adalah tetap sama yaitu akan selalu ada keterbatasan rasionalitas
para pihak yang mengakibatkan kontrak yang dibuat tidak pernah lengkap, dan terdapat
informasi asimetris yang menimbulkan moral hazard (eksploitasi). Pada kontrak
pengadaan barang/jasa pemerintah ketidaklengkapan kontrak tidak hanya disebabkan
oleh bounded rationality dari para pihak dan institusi pengadilan, tetapi juga
ketidaklengkapan regulasi yang dibuat oleh regulator Artinya, bounded rationality juga
dihadapi oleh regulator pengadaan.

Mengingat regulasi pengadaan yang ada saat ini belum sepenuhnya mengakomodasi skema
dan mekanisme adaptasi kontrak yang optimal, maka perlu dilakukan kajian yang lebih
mendalam terkait dengan hal tersebut sehingga dapat menuntun kita dalam menyusun

8
http://www.hlarbitrationlaw.com/2013/04/uncitral-arbitration-rules-transparency-provisions/

19
ketentuan yang dapat dijadikan pedoman untuk menghasilkan kontrak pengadaan yang
optimal. Pemahaman secara teoretis terkait dengan ekonomi kontrak perlu dilengkapi
dengan kajian empiris untuk mempelajari bagaimana konsep yang ada dalam teori kontrak
diimplementasikan di lapangan yang pastinya jauh lebih kompleks daripada teori.

Daftar Pustaka

Akerlof, G. A. (1970). The market for lemons: quality, uncertainty and the market. Quarterly Journal of
Economics 84, 488-500.

Arrow, K. J. (1971). Essays in the theory of risk. Amsterdam: North Holland Publishing.

Ayres, Ian & Robert Gertner. (1989). Filling Gaps in Incomplete Contracts: An Economic Theory of
Default Rules. 98 YALE L.J. 87.

Ayres, Ian and Robert H. Gertner. (1992). Strategic Contractual Inefficiency and the Optimal Choice of
Legal Rules. Yale Law Journal 101 (4), 729.

Bajari, Patrick, Stephani Houghton, and Steven Tadelis. (2006). Bidding for Incomplete Contracts: An
Empirical Analysis. NBER Working Paper No. 12051.

Bajari, Patrick, and Steven Tadelis. (2001). Incentives Versus Transaction Costs: A Theory of Procurement
Contracts. RAND Journal of Economics Vol 32(3), 287-307.

Ben-Shahar, O. (2004). Agreeing to Disagree: Filling Gaps in Deliberately Incomplete Contracts.


Wisconsin Law Review, 389428.

Coase, R. H. (1937). The Nature of the Firm, Vol. 4, pp. 386-405. Economica, Vol. 4, 386-405.

Dixit, A. ( 2003). Arbitration and Information. Princenton University.

DMO. (2009). Incentive Contracting in Defence Procurement: An Updated Approach Incorporating


Performance-Based Measures. DMO Discussion Paper.

Grossman, S J & Hart O D. (1986). The costs and benefits of ownership: a theory of vertical integration.
Journal of Political Economy, Vol. 94 No. 4, 691-719.

Jehn, K. A. (1977). A Qualitative Analysis of Conflict Types and Dimensions in Organizational Groups. 42
Administrative Science Quarterly , 530-557.

Laffont J. J. & Tirole J. (1993). A Theory of Incentives in Procurement and Regulation,. Cambridge, Mass:
MIT Press.

Laffont, J.J., J. Tirole. (1986). Using Cost Observation to Regulate Firms. Journal of Political Economy,
Vol.94, 614-41.

20
Macaulay, S. (1963). Non-Contractual Relations in Business: A Preliminary Study. American Sociological
Review Vol. 28, No. 1, 55-67.

McAfee, R.P. and McMillan, J. (1986). Bidding for Contracts: A Principal Agent Analysis. Rand Journal of
Economics, Vol. 17 , 326-38.

Shavell, S. (2003). Economic Analysis of Contract Law. Cambridge: National Bureau of Economic
Research.

Weshsler, M. M. (2012). The Law Guide V1.1. New York: The Law Network, LLC.

Williamson, O. E. (1979). Transaction-Cost Economics: The Governance of Contractual Relations. Journal


of Law and Economics, Vol. 22, No. 2, 233-261.

Williamson, O. E. (1996). The Mechanism of Governance. Oxford: Oxford University Press.

http://www.hlarbitrationlaw.com/2013/04/uncitral-arbitration-rules-transparency-provisions/

21

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai