Anda di halaman 1dari 8

Berjalan di bawah terik matahari sudah menjadi hal biasa bagi Tono.

Setiap
hari menghirup udara Jakarta yang selalu bercampur debu tebal dan asap knalpot
adalah satu dari ciri kemiskinan hidupnya. Tono adalah seorang peminta-minta di
sudut sebuah jalan di ibukota ini. Bersama beberapa orang yang lain dari berbagai
tingkat umur, mereka menghabiskan sepanjang hari di sana, di dekat lampu merah.
Terkadang mereka berteduh di bawah pohon atau sekadar duduk di samping
trotoar. Tapi tetap saja, lampu merah terlalu penting untuk ditinggalkan jauh-jauh,
karena benda itu selalu memberikan tanda kapan mereka harus beraksi atau pergi.
Merah artinya jalan dan hijau artinya mundur.

Belakangan ini, bocah itu sering meneliti wajah-wajah yang lewat di


hadapannya. Orang-orang yang berjalan kaki melewatinya atau pun yang duduk di
dalam mobil-mobil yang ia ketuk kaca jendelanya. Tono sedang mencari ibunya,
wanita yang melahirkannya. Entah ada di mana ia sekarang. Tono berharap bisa
mengenalinya di antara wajah-wajah wanita yang ditemuinya setiap hari.
Harapannya, suatu hari nanti ia akan bisa menemukannya. Mungkin Bila ia
berusaha keras.

Menurut cerita orang-orang di tempat tinggalnya, Tono dibuang saat masih


bayi, sembilan tahun yang lalu. Tak ada yang pernah melihat wajah ibunya. Tak
ada yang tahu. Mbah Upik yang membesarkannya dan Mang Asep yang
menanggung seluruh biaya hidupnya selama ini. Kalau bisa dikatakan seperti itu.
Soalnya sejak bayi hingga sekarang Tono telah ikut Mbah Upik mengemis di
mana-mana.

Sejak pikiran tentang ibu mengganggunya, dia terus berusaha mencari


informasi dari orang-orang sekitarnya tentang wanita itu. Namun tak banyak yang
bisa dikoreknya. Pernah ia memberanikan diri bertanya pada Mang Asep. Lelaki
itu menatapnya dengan alis yang tertaut sedemikian rupa, yang menambah
kesangaran wajahnya.

Ibumu sudah mati! katanya dengan suara menggelegar seraya berlalu


meninggalkan Tono.

Semalamam Tono menangis dan kata-kata Mang Asep terus terngiang-


ngiang di kepalanya. Esok paginya Tono bangun dengan mata sembab dan wajah
pucat. Tak ada yang menanyakan mengapa. Tak ada yang prihatin dengan awan
kesedihan di wajahnya. Mang Asep malah tampak puas ketika melihatnya. Karena
semakin menyedihkan rupa Tono, semakin besar kesempatannya memperoleh
penghasilan yang tinggi hari itu.

Suatu hari Tono duduk di samping Mbah Upik dan menanyakan hal yang
sama dengan yang pernah dia tanyakan pada Mang Asep. Mbah Upik mengelus-
elus kepala Tono dan berkata: Nang, Nang Nasibmu memang malang. Terima
saja. Ia memanggil Tono dengan panggilan Nang panggilan kesayangan untuk
anak laki-laki Jawa.

Bukan itu jawaban yang diinginkannya. Karena itu akhirnya Tono bertekad
mencari ibunya sendiri. Dia tak percaya bahwa ibunya sudah mati seperti kata
Mang Asep. Tono yakin dia masih hidup, hanya entah di mana. Sebenarnya sempat
terpikir oleh Tono untuk melapor ke pos polisi di seberang sana. Seperti yang
sering dia lihat di siaran televisi yang biasa ditontonnya di warung di ujung lorong.
Katanya polisi bisa membantu menemukan anak yang hilang. Tapi ini ibu yang
hilang. Apakah mereka akan menolongnya mencari? Sayangnya, Tono tak tahu
bagaimana ciri-ciri ibunya itu..

Tapi pencarian ibunya tak akan ia hentikan, meski tidak bisa mendapatkan
bantuan siapa pun. Dia akan mencari sendiri. Toh, dia punya tangan, kaki, mata
dan mulut. Dia yakin akan menemukan ibunya suatu hari nanti. Dia hanya harus
lebih teliti memperhatikan orang-orang yang lewat setiap hari. Suatu hari nanti
ibunya pasti akan lewat. Tono percaya akan hal itu. Lampu merah menyala.
Sedan putih itu berhenti pelan. Tono mendekat.
Bu

Tono mengetuk kaca jendela dan memandang ke arah wanita muda di


dalam. Wanita itu menoleh, melihat Tono sekejap dan kemudian melambaikan
tangannya. Tanda untuk pergi.Tono mengetuk sekali lagi dan memasang wajah
yang lebih memelas. Ini yang diajarkan Mang Asep, jangan cepat menyerah. Selalu
minta sekali lagi, bila kau tidak dberi uang.Mang Asep adalah pimpinan
gerombolan mereka. Tono sendiri tidak tahu siapa sebenarnya laki-laki itu. Yang
dia tahu hanyalah, setiap petang menjelang gelap, mereka semua pulang ke tempat
yang mereka sebut rumah dan harus menyetorkan uang hasil mengemis sepanjang
hari itu kepada Mang Asep. Rumahnya, sebenarnya hanya berupa kotak kayu yang
berlubang dan penuh tambalan, yang berada di sebuah lorong sempit di belakangan
kawasan pembuangan sampah. Dan setelah penyetoran selesai, Mang Asep akan
memberikan makian atau pukulan untuk beberapa orang yang membuatnya tak
puas dan kemudian diakhiri dengan ceramah singkat agar hasil yang mereka
peroleh esok hari bisa lebih banyak.

Wanita bermata belo itu menoleh lagi, tampak sedikit jengkel. Namun kali
ini tangannya bergerak ke bawah jendela. Dari lubang jendela yang terbuka sedikit,
ia menjatuhkan sekeping uang logam. Tono menadahnya cepat dan mengucapkan
terima kasih. Wanita itu tampaknya tak mendengarnya, karena secepat tangan Tono
terulur, secepat itu pula kaca mobilnya tertutup kembali.Sebelum menghampiri
mobil belakang, Tono sempat memperhatikan wajah ibu itu sekali lagi. Harusnya
dia bukan ibuku, pikir Tono. Kulit wanita itu kuning langsat, alisnya tebal dan
matanya belo. Sementara Tono sendiri hampir tak beralis dan matanya tak sebesar
mata wanita itu. Kulitnya? Jauh dari kuning langsat. Walau Tono sendiri tidak
yakin apa warna kulitnya itu. Coklat kehitaman? Sepertinya. Tapi rasanya, mereka
yang mengemis di sana, rata-rata memiliki warna kulit yang sama. Entah karena
rusak terbakar matahari atau karena debu yang menempel setiap hari sudah
melekat, tak bisa dicuci lagi. Tono bahkan sering tidak mandi.

Mandi adalah sebuah kemewahan di kawasan tempat tinggalnya. Butuh dua


ribu perak untuk sekali mandi di WC umum. Kalau dua kali sehari berarti empat
ribu perak. Kalau tiap hari dia mengurangi jatah setorannya hanya untuk mandi dua
kali, Tono harus mau merelakan telapak tangan Mang Asep yang besar singgah di
wajahnya. Rasanya pedas dan panas. Bahkan bisa membuatnya pusing selama
berjam-jam. Tono lebih suka dengan bau menyengat tubuhnya daripada merasakan
penderitaan itu.

Mobil berikutnya. Seorang wanita lebih berumur dari wanita yang tadi
duduk di belakang setir. Wajahnya cantik, dandanannya tebal. Mobilnya bagus.
Tono tidak tahu apa namanya. Merk-nya Toyota, tapi bentuknya seperti van hanya
saja tampak lebih mewah.Belum sempat ia mengetuk, kaca mobil telah turun.
Harusnya dia kasihan melihat wajah sendu Tono. Atau tubuh ringkihnya.Selembar
uang lima ribuan disodorkannya pada Tono. Tak sadar Tono tersenyum lebar.

Terimakasih,BuIa mengangguk dan balas tersenyum. Wangi parfumnya


lewat, singgah di hidung Tono.

Tono menatapnya lagi..Ah, seandainya dia ibuku Cantik, kaya, baik


Aku pasti sangat beruntung, bisa ke mana-mana naik mobil mewah. Lagi aku pasti
sangat disayang dan dimanjakan olehnya. Begitu pikir Tono.Suara klakson
bersahutan membuat Tono tersentak. Lampu hijau.
Mobil mewah itu perlahan melaju pergi, meninggalkan Tono yang masih tertegun
di tepi jalan.
Sebuah tarikan di sikunya membuat Tono sedikit oleng ke belakang.
Mau mati lo! teriak Nuno di telinga Tono.
Tono tak sadar dengan kendaraan-kendaraan yang melaju di depannya.
Mata Nuno membelalak. Wah, gila lo! Dapat duit lima ribuan! Masih pagi udah
dapat banyak!
Tono segera menyusupkan uang lima ribu tadi di saku celana rombengnya. Takut
suara Nuno terdengar oleh yang lain. Bisa-bisa uangnya dirampas. Apalagi oleh
Ibu Nuno, yang duduk mengemis di samping pohon itu.

Tono tak pernah suka pada Ibu Nuno, walau kadang dia tak mampu menahan iri
melihat Nuno memiliki ibu kandung. Ibu Nuno itu adalah seorang wanita bertubuh
gemuk dengan rambut awut-awutan dan mulut yang senantiasa mencibir. Matanya
selalu menatap siapa saja dengan tatapan mencela dan tak suka. Dia punya
kebiasaan meludah setiap beberapa menit. Dan Nuno, sahabatnya itu, sering
menjadi bulan-bulanan makian kasarnya. Tono tak bisa membayangkan seandainya
dia punya ibu seperti itu.

Nanti aku traktir jajan ya, No, kata Tono yang disambut Nuno dengan cengiran
lebar dan jingkrakan sebelum ia berlalu pergi.
Ketika Tono mundur, dia menabrak seseorang.
Hati-hati, Dik

Tono mengangkat wajah pada suara lembut itu. Dia terpana. Wajah seorang
wanita muda yang terlihat begitu sabar dan lembut. Wanita itu tersenyum padanya
dan tetap berdiri di tempatnya seraya memperhatikan lalu lalang kendaraan di
depannya. Tampaknya dia akan menyeberang.Tono masih menatapnya, tak mampu
berkata apa-apa.
Dia menoleh, melihat Tono lagi. Kali ini dia merogoh tasnya dan menyodorkan
selembar ribuan pada bocah itu. Mengira Tono tengah menunggu
pemberiannya.Tono bahkan tak mampu berkata-kata. Pesona wanita muda itu
membuatnya lumpuh.
Tapi wanita itu tak mempedulikan Tono lagi.
Tono menguatkan diri. Kalau tidak sekarang, mungkin tak ada kesempatan lain
lagi.
Bu
Wanita itu menoleh dengan alis naik sedikit.
Ngg Boleh saya bertanya?
Ia mengangguk dengan senyum lembutnya. Mungkin tersentuh oleh kesopanan
Tono.
Ibu ini ibu saya bukan?
Senyuman itu hilang. Ia tampak bingung.
Saya sedang mencari ibu saya. Dia meninggalkan saya waktu masih bayi. Saya
tidak tahu wajahnya seperti apa.

Semenit berlalu. Tono berharap dia mengangguk dan mendengarnya berkata,


Oh, kebetulan sekali sembilan tahun yang lalu saya membuang anak saya di dekat
sini. Kamu pastilah anak itu. Ayo, Nak ikut Ibu pulang, Tono berkhayalTapi
perempuan itu menggeleng. Bukan, Dik. Saya belum menikah dan belum pernah
melahirkan.Sekali lagi dia tersenyum sebelum berbalik dan menyeberang. Lampu
merah lagi.

Pencarian Tono rasanya tak akan pernah berujung. Hari demi hari lewat
tanpa pernah menemukan ibunya itu. Oh, Ibu di manakah dirimu berada? Tono
merintih. Rasanya begitu banyak orang yang lalu lalang setiap hari, bagaimana dia
mampu menemukan wanita itu di antara mereka?Sampai suatu hari, ketika Tono
berjalan tak tentu arah, meninggalkan tempat bertugasnya sehari-hari jauh di
belakang. Ia menemukan banyak lukisan yang tergantung di sepanjang jalan.
Tempat para pelukis jalanan mangkal. Tono terpesona akan wajah-wajah yang
dilukiskan mereka. Ada wajah-wajah yang dikenalnya. Wajah-wajah yang biasa
dilihatnya di layar kaca. Begitu mirip.

Saat itulah terbit ide di kepalanya. Bila saja lukisan wajahnya bisa digantung
di sana dan mungkin suatu hari nanti ketika ibunya lewat tempat itu dan mengenali
kemiripan wajah mereka, wanita itu akan dapat menemukannya. Bukan lagi cuma
dia yang bisa menemukan wanita itu. Itu pikiran Tono. Dia sama sekali tak pernah
meragukan kalau ibunya masih menginginkannya. Dan dia masih yakin ibunya
membuangnya dulu karena terpaksa.

Dia mendekati seorang lelaki tua yang tengah asyik melukis sebuah wajah
yang mirip dengan foto kecil di samping kanvas.

Pak
Lelaki itu menoleh dan matanya langsung menyipit ketika melihat Tono.
Kulitnya hitam kasar, dengan jemarinya yang berbonggol-bonggol.
Rambutnya panjang terurai berantakan, sementara sebuah kacamata dengan
kaca kekuning-kuningan karena dimakan waktu, bertengger di atas
hidungnya yang pesek.

Saya mau dilukis, Pak, kata Tono menatap lurus ke mata lelaki itu.
Kamu punya uang gak?!
Tono merogoh sakunya dan mengeluarkan semua uang yang dimilikinya. Sebagian
uang lembaran seribuan yang lecek dan beberapa uang logam.
Lelaki tua itu menoleh. Matanya membesar.
Edan!!! Pergi sana! Mengganggu kerjaan orang saja!
Tono setengah terbirit, kaget akan suara lelaki itu yang menggelegar tiba-tiba.
Ditinggalkannya tempat itu. Dari sana ia berjalan perlahan, masih mengamati
lukisan-lukisan sepanjang jalan. Masih dengan keinginan menggebu untuk bisa
memajang foto dirinya di sana. Tapi lelaki tua tadi telah mengagetkannya. Ia tak
berani lagi sembarang bertanya.

Tiba di kios terakhir, langkah kaki Tono terhenti. Enggan meninggalkan tempat itu
tanpa hasil. Namun dia juga tak tahu harus bagaimana. Seorang lelaki tua,
berambut putih menengok ke arahnya. Lelaki itu sedang duduk menghisap
sebatang rokok. Tampak menikmati setiap kepulan yang dihembuskannya. Ia
menatap Tono. Tatapan Tono dari lukisan beralih ke wajah tua itu. Lelaki tua itu
tersenyum. Tono tertegun. Sedetik kemudian ia balas tersenyum sementara kakinya
melangkah masuk.

Permisi, Pak, sapanya sopan.


Oh iya, masuk saja. Kamu cari siapa?
Tono ragu sejenak. Nggg. Begini, Pak. Nama saya Tono. Saya sedang mencari
Ibu saya.
Oh Memangnya ibumu ke mana, Nak?
Saya juga tidak tahu, Pak. Kata orang-orang ibu saya ninggalin saya di pinggir
rumah Mang Asep sejak saya masih bayi. Sampai sekarang ibu tidak pernah
kembali.

Lelaki tua itu berhenti menghisap rokoknya. Ia bangkit sedikit, meluruskan


punggungnya tanpa berkedip sedikit pun dari wajah Tono.

Bocah itu kemudian menceritakan usahanya belakangan ini untuk


menemukan ibunya. Suara kecilnya atau mungkin ekspresi wajahnya yang polos
membuat lelaki yang bernama Pak Ghali itu tersentuh. Kepalanya mengangguk-
angguk di antara cerita yang dituturkan Tono.

Jadi maksud kamu mau bapak melukis wajahmu dan menggantungnya di


sini?
Tono mengangguk cepat. Boleh, Pak? tanyanya penuh harap. Saya punya, tapi
memang tidak banyak, sambungnya lagi seraya merogoh sakunya kembali.
Bapak tua itu tertawa seraya bangkit dari kursinya. Kamu yakin ibu kamu akan
mengenali wajah kamu?
Tono mengangguk cepat. Wajah anak pasti mirip wajah ibunya. Ya kan, Pak?
Pak Ghali mengangkat bahunya, tak mengiyakan. Lalu, kalau sampai kamu besar
nanti kamu tidak bisa menemukan Ibu kamu, bagaimana?

Saya akan terus mencari, Pak. Saya hanya ingin tahu bagaimana wajah ibu saya.

Ada kesedihan dalam suara Tono. Kepala tertunduk. Pak Ghali menepuk
pundaknya. Begini saja anak muda, katanya seraya menatap lurus ke wajah
Tono. Bagaimana kalau Bapak bantu kamu melukiskan wajah ibu kamu?

Bapak tahu wajah Ibu saya?


Pak Ghali tertawa.
Tono tercengang. Jantungnya berdetak kencang. Bapak kenal ibu saya?
Tentu saja tidak. Tapi kan kamu bilang wajah anak pasti mirip wajah ibunya.
Berarti wajah kamu mirip wajah ibumu. Mudah untuk melukis wajah ibumu.

Tono tertegun, masih mencoba mencerna kata-kata Pak Ghali.


Begini saja, kata Pak Ghali seraya menggeser sebuah bangku kecil ke arah Tono.
Kamu duduk di sini, bapak akan lukis wajah ibumu.
Tono menurut tanpa mampu berkata-kata. Dan lelaki tua itu mengambil kuasnya
dan kanvas baru. Beberapa saat kemudian ia mulai melakukan pekerjaannya.
Matanya berpindah-pindah dari kanvas dan wajah Tono. Tono menahan napas,
takut untuk bergerak. Dia takut merusak karya besar bapak itu. Wajah ibunya.

Kamu mau rambut ibumu panjang atau pendek, Nak?


Tono tersentak, terkejut akan pertanyaan itu. Panjang atau pendek? Bayangan
ibunya di kepalanya adalah seorang wanita lembut berambut panjang.
Panjang, Pak, jawabnya pelan.
Rambutnya terurai atau disanggul?
Kali ini senyum di wajah Tono merekah. Sanggul, Pak, jawabnya riang.
Kepala si Bapak terangguk-angguk, kemudian ia kembali larut dalam
pekerjaannya. Hening menyelimuti tempat itu.

Entah berapa lama kemudian, yang Tono tahu hanyalah tubuhnya mulai
terasa keram karena tidak digerakkan dalam waktu lama, ketika si Bapak berdiri
dan berkata, Sudah selesai.Lelaki itu melambai pada Tono. Mari sini, Nak.
Lihat wajah ibumu.
Dada Tono seakan dipukul palu berat, bertalu-talu. Ia bangkit dengan kaki yang
mati rasa dan sedikit gemetar. Akhirnya, untuk pertama kalinya ia akan melihat
wajah ibunya.Tono terpaku melihat lukisan sederhana itu. Wajah wanita di kanvas
benar sungguh mirip wajahnya. Hanya saja wajah itu terlihat lebih halus dan
tatapan matanya begitu lembut. Wanita itu tengah tersenyum ke arahnya.

Tak sadar, airmatanya menitik.


Jangan nangis, Nak. Nanti bapak pajang lukisan ini di luar. Setiap hari kamu bisa
lewat sini, memandangi wajah ibumu kalau kamu rindu. Dan semoga kalau ibumu
lewat sini, dia bisa mengenali wajahnya dan singgah untuk menanyakanmu.

Si lelaki tua menepuk-nepuk pundak Tono.


Tono berusaha tersenyum di antara tangisnya. Terima kasih, Pak. Terima kasih
banyak

Dirogohnya kantong celananya dan dikeluarkannya semua uang hasil mengemis


hari ini. Dia bermaksud memberikan semua uang itu pada Pak Tua yang baik hati
itu. Dia tak peduli lagi bila nanti sore mesti mendapat pukulan Mang Asep. Sakit
itu tak akan ada artinya dibandingkan bahagia hatinya saat ini.

Pak Ghali tertawa melihat uang yang disodorkan Tono.


Simpan saja, Nak. Bapak mau melukis wajah ibumu karena bapak tahu sedih
hatimu. Bapak ingin membantumu.
Tono terperangah. Tak percaya ada seseorang yang tak menginginkan uang. Tak
percaya ada orang yang ikhlas dalam dunia ini.
Tapi, Pak
Pak Ghali mengambil lukisan yang telah jadi itu dan menggantungnya di sudut
depan kios tersebut.
Bagaimana? Kamu suka?
Tono mengangguk cepat, seraya menyeka sisa airmatanya. Hatinya penuh dengan
rasa bahagia.

Sudah sore, pulanglah, kata Pak Ghali seraya menepuk kedua tangannya. Tono
mengangguk. Sekali lagi mengucapkan terima kasih dan sekali lagi memandangi
wajah ibunya dengan senyum terlebar yang dimilikinya. Kini, ia tak perlu mencari-
cari wajah ibunya di antara orang-orang yang lewat. Kini ia telah tahu wajah
ibunya. Wajah Ibu yang selama ini dicari-carinya.

Nama : Eka Nur Shalisya

Kelas : XI-A

Anda mungkin juga menyukai