Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

HIV/AIDS merupakan salah satu pandemi besar pada masyarakat modern dan
menjadi salah satu masalah nasional maupun internasional. Hal ini dikarenakan
HIV/AIDS meluas dengan cepat dan menjadi epidemi di seluruh dunia. Selain itu,
HIV/AIDS juga menyerang berbagai golongan usia, jenis kelamin dan pekerjaan.
Penyakit infeksi HIV/AIDS sejak kemunculannya hingga kini terus menyebabkan
berbagai permasalahan kesehatan. Permasalahan kesehatan yang dimaksud adalah masih
tingginya transmisi infeksi, angka kesakitan, serta angka kematian akibat HIV/AIDS.
Masalah kesehatan yang berkembang terkait dua hal pokok tersebut, yaitu pertama,
interaksi HIV dengan tubuh manusia; kedua, perilaku yang mengantarkan individu
sehingga terpapar HIV (Nasronudin, 2007).
Berdasarkan hasil statistik dalam triwulan Januari sampai dengan Maret 2013,
dilaporkan jumlah penderita infeksi baru HIV sebanyak 5.369 orang dan tambahan kasus
penderita AIDS sebanyak 460 kasus di Indonesia. Provinsi Sumatera Utara menduduki
peringkat keenam dengan kasus penderita HIV sebanyak 417 kasus setelah DKI Jakarta,
Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Bali sedangkan kasus AIDS tidak ada tambahan
penderita. Sumatera Utara memiliki prevalensi sebesar 3,2 penderita per 100.000
penduduk. Secara kumulatif kasus penderita HIV berdasarkan provinsi di Indonesia dari
tanggal 1 Januari 1987 sampai dengan 31 Maret 2013 adalah 103.759 kasus sedangkan
penderita AIDS sebanyak 43.347 kasus, dengan jumlah kematian sebesar 8.288 jiwa.
Jumlah persentasi infeksi HIV pada kelompok umur 5-14 tahun (1,1%), 15-19 tahun
(3,0%), 20-24 tahun (14%), sedangkan jumlah presentase AIDS pada kelompok umur 5-
14 tahun (0,8%), 15-19 tahun (3,3%), 20-29 tahun (26,1%) (Depkes RI, 2013).
Pengetahuan tentang infeksi HIV/AIDS harus disosialisasikan kepada masyarakat.
Dalam mengembangkan tingkat pengetahuan mengenai penyakit infeksi HIV/AIDS,
sebelumnya sangat perlu memahami berbagai konsep dan teori sehubungan dengan
munculnya penyakit infeksi HIV/AIDS tersebut. Mengkaji perkembangan penyakit
infeksi HIV/AIDS berarti mendalami karakteristik penyakit tersebut secara sistematik,
radikal, dan universal. Tingkat pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS serta cara

1
penularannya menjadi salah satu faktor penting pendukung sikap dan tindakan
masyarakat terhadap pencegahan penyakit HIV/AIDS (Nasronudin, 2007).
Rentannya remaja terhadap penyimpangan seksual dan AIDS bersumber dari
perubahan fisiologis dan psikologis, berkaitan dengan perkembangan organ reproduksi
mereka. Remaja dan kaum muda merupakan cikal bakal sekaligus generasi penerus
bangsa yang seharusnya dilindungi dan mendapat perhatian khusus. Djoerban (2000)
mengatakan bahwa hasil studi pengetahuan, diantaranya beberapa penelitian pada remaja
dalam kaitannya dengan AIDS di berbagai lapisan masyarakat di berbagai kota di
Indonesia menunjukkan hal yang memprihatinkan. Pengetahuan remaja mengenai AIDS
ternyata masih kurang, padahal pengetahuan ini diperlukan untuk dasar pencegahan
HIV/AIDS (Rustamiji, 2000).
Pandangan bahwa seks adalah tabu membuat remaja enggan berdiskusi tentang
kesehatan reproduksinya dengan orang lain yang lebih memprihatinkan dan merasa paling
tidak nyaman bila harus membahas seksualitas dengan anggota keluarganya sendiri,
informasi yang salah tentang seks dapat mengakibatkan pengetahuan dan presepsi
seseorang mengenai seluk- beluk seks itu sendiri menjadi salah (Selamiharja
&Yudana1997 dalam Evlyn,2007). Melihat begitu banyaknya masyarakat khususnya
remaja yang belum mempunyai pengetahuan yang benar tentang penyakit HIV/AIDS dan
seks bebas dikalangan remaja membuat penulis tertarik untuk mengetahui hubungan
pengetahuan tentang HIV/AIDS dan perilaku seksual remaja di SMA Negeri 2 Banjar.
Sebagai bahan pertimbangan karena di SMA tersebut tidak pernah dilakukan penyuluhan
dan edukasi tentang HIV/AIDS dan perilaku seksual remaja.

1.2 PERNYATAAN MASALAH

Berdasarkan program kerja bagian P2M, penyakit HIV/AIDS tidak tergolong 10


penyakit terbanyak di Puskesmas Banjar 1. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh
Pak Made Rajendra selaku pemegang program P2M di Puskesmas Banjar I, hal ini
berkaitan dengan rendahnya pengetahuan masyarakat akan penyakit HIV/AIDS dan
masyarakat cenderung memiliki paradigma untuk menutupi penyakit yang dideritanya
akibat rasa malu atau segan. Sehingga jumlah kunjungan di Puskesmas Banjar I mengenai
penyakit HIV/AIDS tergolong rendah. Namun karena wilayah kerja Puskesmas Banjar I
di daerah pariwisata, kemungkinan terjadi peningkatan angka morbiditas penyakit.

2
Berdasarkan koordinasi dengan Kepala Sekolah SMAN 2 Banjar dan Ibu Luh
Putu Ariani selaku pemegang Promosi Kesehatan Puskesmas Banjar I, dikatakan bahwa
belum pernah diadakan penyuluhan mengenai HIV/AIDS. Sehingga dipandang perlu
diadakannya kegiatan ini karena dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
HIV/AIDS meliputi pengertian, penyebab, faktor risiko, gejala dan tanda, cara penularan,
cara pencegahan dan penyebab. Selain itu, diharapkan penyuluhan ini dapat membantu
dalam pencegahan sejak usia remaja untuk dapat menekan angka morbiditas khususnya di
daerah Banjar.

1.3 TUJUAN
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan Pelajar SMA Negeri 2 Banjar
terhadap HIV/AIDS.

1.3.2 Tujuan Khusus


Untuk mengetahui tingkat pengetahuan Pelajar SMA Negeri 2 Banjar
terhadap HIV/AIDS tahun 2017.

1.4 MANFAAT

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :


1. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan masukan yang bermanfaat
bagi pelajar SMA Negeri 2 Banjar.

2. Bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian selanjutnya berkenaan topik peneliti
dapat digunakan sebagai bahan informasi dan referensi.

3. Bagi peneliti dapat menambahkan ilmu peneliti tentang topik penelitian dan
mengembangkan kemampuan dalam bidang peneliti.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS

2.1.1. DEFINISI

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yangmenyebabkan


terjadinya AIDS (Acquired immune deficiency syndrome)pada seseorang (Brashers,
2008). Penderita HIV akan mengalami infeksikerusakan pada sistem imun tubuh yang
ditandai dengan gejala AIDS (Nursalam, 2007).

2.1.2 CARA PENULARAN

Virus ini hanya dapat ditularkan kepada seseorang melalui cairan darah, semen,
cairan vagina, cairan rektal dan ASI dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak.Cairan ini harus
datang dalam kontak dengan membran mukosa atau jaringan yang rusak atau langsung
disuntikan ke dalam aliran darah seperti dari jarum suntik (CDC, 2014).

Penularan HIV yang utama adalah melalui :


1. Hubungan seksual, baik secara vagina atau anal tanpa menggunakan kondom.
2. Multiple partners atau memiliki infeksi menular seksual lain dapat meningkatkan
resiko infeksi saat hubungan seksual.
3. Penggunaan jarum suntik secara bergantian.

Penularan HIV yang jarang adalah melalui:


1. Penularan melalui ibu yang terinfeksi HIV. HIV dapat ditularkan dari ibu kepada anak
saat mengandung, saat melahirkan dan pemberian ASI.
2. Menerima transfusi darah atau transplantasi organ yang terkontaminasi dengan HIV.
3. Makan makanan yang telah dikunyah oleh orang yang terinfeksi HIV.
4. Digigit oleh orang yang terinfeksi HIV. Penularan melibatkan trauma berat dengan
kerusakan jaringan yang luas dan adanya darah. Tidak ada resiko penularan jika kulit
tidak rusak.

4
5. Oral sex menggunakan mulut dan proses ejakulasi pada mulut dari orang yang
terinfeksi HIV.
6. Kontak antara kulit rusak, luka atau selaput lendir dan darah yang terinfeksi HIV atau
cairan tubuh darah yang terkontaminasi.
7. Open- mouth kissing jika orang dengan HIV memiliki luka atau gusi berdarah.
8. Tato atau body piercing jika jarum tidak diganti.

HIV tidak ditransmisi melalui :


1. Kontak kasual seperti berjabat tangan, memeluk, penggunaan kamar mandi yang
sama, penggunaan piring dan gelas yang sama dan social kissing (berciuman sambil
mulut tertutup).

2. Udara

3. Air liur dan air mata

4. Gigitan serangga misalnya nyamuk

5. Makanan dan Minuman

2.1.3 FAKTOR RESIKO

Lima kelompok dewasa telah diidentifikasi mempunyai faktor resiko untuk


mengembangkan AIDS (Kumar, 2010) :
1. Kelompok homoseksual atau biseksual

2. Kelompok penyalahguna narkoba intravena

3. Kelompok haemophiliacs

4. Kelompok penerima darah dan komponen darah

5. Kelompok heteroseksual

2.1.4 PATOGENESIS dan GEJALA KLINIS

Meskipun berbagai sel dapat menjadi target dari HIV, namun ada dua target utama
infeksi HIV yaitu sistem imunitas tubuh dan sistem saraf pusat. Mekanisme utama infeksi
HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein virus gp 120 pada molekul CD4.
Partikel HIV yang berikatan dengan molekul CD4 akan kemudiannya masuk ke sel

5
hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp
41 yang terdapat pada permukaan virus.
Molekul CD4 banyak terdapat pada sel limfosit T helper, namun sel lain seperti
makrofag dan sel dendritik dapat juga terinfeksi HIV dengan kombinasi virus-antibodi.
Partikel virus yang terinfeksi akan terbentuk pada saat sel limfosit T teraktivasi. Aktivasi
sel T CD4+ akan mengakibatkan aktivasi provirus. Karena protein virus dibentuk dalam
sel hospes, maka membran plasma sel hospes akan disisipi oleh glikoprotein virus yaitu
gp 41 dan gp 120. RNA virus dan protein akan membentuk membran dan menggunakan
membran plasma sel hospes yang telah dimodifikasi dengan glikoprotein virus,
membentuk selubung virus dalam proses yang dikenal budding.
Menurut CDC ( Centre for Disease Control) fase perjalanan infeksi HIV dapat
dibagi kepada tiga tahap yaitu:
1. Tahap infeksi akut HIV
Dalam waktu 2- 4 minggu setelah terinfeksi virus HIV, kebanyakan tapi tidak
semua orang mengalami gejala mirip flu yang digambarkan worst flu ever.Fase ini
terdapat pada 40-90% kasus yang merupakan keadaan klinis yang bersifat sementara yang
berhubungan dengan replikasi virus pada stadium tinggi dan ekspansi virus pada respon
imun spesifik. Proses replikasi tersebut menghasilkan virus-virus baru yang jumlahnya
jutaan dan menyebabkan terjadinya viremia yang memicu timbulnya sindroma infeksi akut
atau primary HIV infection. Gejalanya bisa berupa demam yaitu yang paling umum,
pembengkakan kelenjar, sakit tenggorokan, ruam, kelelahan, nyeri otot dan sendi dan sakit
kepala.Gejala ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu.Virus ini
menggunakan sel CD4 untuk mereplikasi dan menghancurkan sel tersebut dan ini
menyebabkan jumlah CD4 menurun dengan cepat. Oleh karena ini, respon kekebalan
tubuh akan mulai membawa tingkat virus tubuh kembali ke tingkat yang disebut viral set
point yang merupakan tingkat relatif stabil virus dalam tubuh. Pada titik ini, jumlah CD4
mulai meningkat, tetapi kemungkinan tidak kembali ke tingkat pra-infeksi.

2. Tahap Klinikal Latensi


Setelah tahap infeksi akut HIV, penyakit ini kemudian berubah ke fasa yang
dikenali sebagai latensi klinikal.Latensi berarti suatu periode di mana virus hidup atau
berkembang dalam tubuh manusia tanpa gejala.Selama tahap ini, orang yang terinfeksi
HIV tidak memiliki gejala terkait HIV atau hanya yang ringan atau dikenali sebagai tahap
asimptomatik atau infeksi kronik HIV. Virus HIV terus memproduksi pada tingkat yang

6
sangat rendah, meskipun virusnya aktif.Dengan pengambilan ART, orang yang terinfeksi
HIV dapat hidup dengan klinik latensi selama beberapa dekade karena pengobatan
membantu menjaga virus dari memproduksi lagi. Bagi orang yang tidak mengambil ART,
tahap klinik latensi berlangsung rata-rata 10 tahun, tetapi beberapa orang mungkin maju
tahap ini dengan lebih cepat. Orang dalam tahap bebas gejala ini masih dapat menularkan
HIV kepada orang lain bahkan dengan pengambilan ART walaupun ART mengurangi
resiko penularan.
Selama periode laten, HIV dapat berada dalam bentuk provirus yang berintegrasi
dengan genom DNA hospes, tanpa mengadakan transkripsi. Ada beberapa faktor yang
dapat mengaktivasi proses transkripsi. Monosit pada orang yang terinfeksi HIV cenderung
melepaskan sitokin dalam jumlah besar sehingga dapat menyebabkan meningkatkan
transkripsi virus. Infeksi beberapa virus dapat meningkatkan transkripsi provirus DNA
pada HIV sehingga berkembang menjadi AIDS.
3. Tahap AIDS
Ini adalah tahap infeksi HIV yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh rusak
dengan parah dan menjadi rentan terhadap infeksi dan kanker yang berhubungan dengan
infeksi yang disebut infeksi oportunistik oleh karena peningkatan jumlah virion secara
berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Ketika jumlah sel CD4 menurun di bawah 200
sel/mm3, maka seseorang telah memasuki tahapAIDS. Pada seseorang dengan sistem
kekebalan tubuh yang sehat, jumlah CD4 adalah antara 500 dan 1,600 sel/mm3. Selama
tahap akhir infeksi HIV ini, orang yang terinfeksi HIV mungkin memiliki gejala seperti
penurunan berat badan yang cepat, demam berulang atau berkeringat pada malam hari,
kelelahan, pembengkakan kelenjar getah bening yang berkepanjangan di leher, diare yang
berlangsung lebih dari seminggu, luka pada mulut, anus atau alat kelamin, pneumonia dan
kehilangan memori, depresi dan gangguan neurologis lain. Tanpa pengobatan, orang
dengan AIDS biasanya dapat bertahan hidup sekitar 3 tahun. Saat menderita infeksi
oportunistik yang berbahaya, harapan hidup tanpa pengobatan jatuh sekitar 1 tahun.

2.1.5 DIAGNOSIS

Tes antibodi adalah tes HIV yang paling umum untuk mencari antibodi HIV dalam
tubuh. Tes EIA ( Enzyme immunoassay) menggunakan darah, cairan oral atau urin untuk
mendeteksi antibodi HIV. Hasil untuk tes ini dapat mengambil waktu untuk dua minggu

7
manakala tes antibodi Rapid HIV mengambil masa 10- 20 menit untuk menunjukan
hasilnya. Jika hasil positif diperoleh dari salah satu dari tes tersebut, maka tes Western
Blot harus dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil tersebut. Tes ini membutuhkan waktu
selama dua minggu untuk mengkonfirmasi hasil positif. Tes yang digunakan untuk
mendiagnosis infeksi HIV pada orang tertentu membutuhkan sensitivitas dan spesifisitas.
Di Amerika Serikat, ini dicapai dengan penggunaan algoritma menggabungkan dua tes
untuk antibodi HIV. Jika antibodi terdeteksi oleh tes awal dengan menggunakan metode
ELISA ( enzyme- linked immunoabsorbent assay), maka tes kedua digunakan dengan
prosedur Western bolt untuk menentukan ukuran antigen dalam test kit yang mengikat
dengan antibodi. Kombinasi dari kedua metode ini adalah sangat akurat (Samant, 2005).
Hasil tes negatif adalah normal tetapi orang dengan infeksi HIV awal atau infeksi
HIV akut sering memiliki hasil tes negatif. Hasil positif pada tes skrining ELISA tidak
berarti bahawa seseorang itu memiliki infeksi HIV. Kondisi tertentu dapat menyebabkan
hasil false positive seperti penyakit Lyme, sifilis dan SLE. Tes Western Bolt positif yang
mengkonfirmasi infeksi HIV. Tes Western Bolt yang negatif berarti tes ELISA adalah tes
false positive. Tes negatif tidak menyingkirkan infeksi HIV karena terdapat periode waktu
yang disebut window period di mana terjadinya infeksi HIV dan munculnya antibodi anti-
HIV. Selama periode ini, antibodi biasanya tidak dapat diukur (AVERT, 2013).

2.1.6 PENATALAKSANAAN

Pengambilan dua atau lebih obat antiretroviral sekali disebut terapi kombinasi.
Pengambilan kombinasi dari tiga atau lebih obat anti-HIV dikenali sebagai Highly Active
Antiretroviral Theraphy ( HART). Dengan pengambilan satu obat sahaja, HIV dengan
cepat akan menjadi resisten terhadap obat tersebut dan kerja obatnya berhenti.
Pengambilan dua atau lebih ART pada saat yang sama akan mengurangi tingkat di mana
resistensi berkembang dan membuat pengobatan lebih efektif dalam jangka panjang.
Namun, mereka masih bisa menularkan virus kepada orang lain ( NIH, 2009). Kombinasi
obat pertama yang harus diberikan adalah terapi lini pertama yang terdiri dari dua obat
Nucleoside/ Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs) dan satu obat dari Non-
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs). Beberapa orang menghadapi
kegagalan terapi pada lini pertama karena terjadinnya resistensi obat terhadap HIV,
penyerapan obat yang lemah atau kombinasi obat yang lemah.

8
Bagi ART lini kedua, dua NRTI dan satu protease inhibitor (PI) obat digunakan
bersama.ART lini kedua lebih kuat dari ART lini pertama tetapi membutuhkan seseorang
untuk mengambil lebih ARV, pengaturan pola makanan dan kemungkinan memiliki lebih
banyak efek samping. Jika ART lini kedua gagal, maka ART lini ketiga harus digunakan.
Obat yang digunakan pada ART lini ketiga adalah etravirine (ETV), darunavir (DRV) dan
raltegravir (RAL). Akan tetapi, biayanya lebih tinggi dibandingkan ART lini pertama dan
lini kedua yang dapat mengurangi akses di negara miskin.

2.1.7 PENCEGAHAN

Dalam usaha mengurangi infeksi HIV, berbagai kaedah telah diterapkan, salah
satunya adalah kaedah ABCD, yaitu:
Abstinence, yaitu menunda atau tidak melakukan kegiatan seksual sebelum menikah.
Be faithful, yaitu saling setia kepada pasangannya.
Condom, yaitu menggunakan kondom bagi orang yang melakukan perilaku seks berisiko.
Drugs, tidak menggunakan jarum suntik secara bergantian dan tidak secara bersama-sama
dalam penggunaan napza (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010-2011).
WHO memainkan peranan dalam usaha menanggulangi infeksi HIV/ AIDS
dengan berbagai cara. Beberapa langkah yang dianjurkan oleh WHO adalah :
a. Pendidikan kesehatan reprodukasi untuk remaja.
b. Program penyuluhan rekan sebaya (peer group) untuk kelompok sasaran.
c. Program kerjasama dengan media cetak dan media elektronik.
d. Pencegahan komprehensif untuk pengguna narkoba, narkotika, termasuk program
jarum suntik steril.
e. Pendidikan agama.

f. Program pelayanan infeksi menular seksual (IMS).


g. Program promosi kondom di lokasi pelacuran.
h. Pelatihan keterampilan hidup.
i. Program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling.
j. Dukungan untuk anak jalanan dan pemberantasan prostitusi anak.
k. Integrasi program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan dan dukungan.

9
Program strategi pencegahan dan pengurangan risiko HIV/AIDS pada remaja,
yaitu:
1. Informasi tentang HIV/AIDS, transmisi dan pencegahan.

2. Instruksi dan demonstrasi cara penggunaan kondom.

3. Informasi untuk membantu remaja menilai sendiri perilaku yang berhubungan dengan
risiko.

4. Informasi dan latihan main peran untuk membantu remaja mengembangkan


kemampuan komunikasi dan ketegasan (assertive) untuk negoisasi penggunaan kondom
dengan pasangan seksual dan bertahan terhadap tekanan teman sebaya untuk terlibat
perilaku berisiko (Soetjiningsih, 2004).

2.2 PENGETAHUAN

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah melakukan
penginderaan terhadap suatu obejk tertentu. Penginderaan melalui pancaindera manusia,
yakni, penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo 2003).
Pengalaman dan penelitian tebukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan
akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebelum orang
mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :
1. Awareness (kesadaran), yaitu orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus
terlebih dahulu
2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus ( objek)
3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan buruk sesuatu) hal ini berarti sikap responden
sudah lebih baik lagi.
4. Trial, orang yang telah mulai mencoba perilaku baru
5. Adaptation, subjek telah berperilaku sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya
terhadap stimulus.
Namun, dalam penelitian yang dilakukan Rogers, beliau menyimpulkan bahwa
perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas. Apabila penerimaan perilaku
baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan
sikap positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan dan kesadaran tidak akan berlangsung lama.
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:

10
1. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya
dan merupakan pengetahuan yang rendah.
2. Memahami (comprehension) diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara
benar.
3. Aplikasi (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
4. Analisis (analysis) adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada
kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis) menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata
lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-
formulasi yang ada.
6. Evalusi (evaluation) ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu objek atau materi.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Pengetahuan
dapat diperoleh melalui proses belajar yang didapat dari pendidikan (Notoadmodjo, 2003).

11
BAB III

METODE

3.1 SASARAN
Sasaran penyuluhan ini adalah perwakilan anggota OSIS, Pramuka dan PMR dari
siswa-siswi SMA Negeri 2 Banjar yang berjumlah 60 orang dengan pertimbangan
keterbatasan tempat yang tidak cukup untuk menampung semua siswa-siswi di satu tempat.

3.2 STRATEGI
3.2.1 Mempersiapkan ketenagaan
a. Persiapan materi penyuluhan
b. Penguasaan materi penyuluhan
c. Penguasaan cara-cara penyampaian materi
d. Penguasaan dalam pemilihan dan penggunaan media peraga
3.2.2 Pelaksanaan Penyuluhan
a. Perkenalan tim penyuluhan
b. Dilakukan pre-test kepada para siswa sebelum penyuluhan untuk mengetahui
pengetahuan mereka mengenai penyuluhan
c. Setelah pre-test, kemudian dilanjutkan dengan penyuluhan oleh tim penyuluh
d. Setelah semua materi disampaikan

3.3 METODE
Penyuluhan akan dilakukan dengan metode ceramah, diskusi dan tanya jawab.

3.4 MEDIA PENYULUHAN


Adapun media yang digunakan antara lain:
a. LCD
b. Layar presentasi
c. Slide materi penyuluhan (power point)
d. Video, leaflet dan poster mengenai HIV/AIDS

12
3.5 TEMPAT dan WAKTU PELAKSANAAN
Tempat : SMA Negeri 2 Banjar
Waktu : Rabu, 19 April 2017, pukul 09.00-11.00 WITA

3.6 RENCANA EVALUASI


3.6.1 Indikator penilaian
a. Peningkatan pengetahuan peserta tentang HIV/AIDS, melalui peningkatan nilai
post-test dibandingkan dengan nilai pre-test.
b. Kehadiran minimal 70% dari jumlah peserta yang ditentukan.
3.6.2 Waktu penilaian
Penilaian dilakukan sebelum, selama dan setelah pelaksanaan penyuluhan.
3.6.3 Cara penilaian
Pre-test dan post-test.

13
BAB IV

HASIL

4.1 Profil Peserta

Peserta penyuluhan HIV/AIDS hari Rabu tanggal 19 April 2017 adalah siswa-siswi
SMAN 2 Banjar berjumlah 50 orang. Peserta terdiri dari pengurus dang anggota Organisasi
Siswa Intra Sekolah (OSIS), Palang Merah Remaja (PMR), Pramuka, perwakilan pengurus
kelas X dan XI.

4.2 Data Geografis

Nama Sekolah : SMAN 2 Banjar

Status Sekolah : Sekolah Negeri

Akreditasi :A

Alamat : Jalan Banteng, Desa Banjar Tegeha

Kode Pos : 81152

Kecamatan : Banjar

Provinsi : Bali

Letak lintang : -8.19911971338628

Letak bujur : 114.96730238199234

Ketinggian : 39 meter diatas permukaan laut

Telepon : 08283721443

Email : smanegeribanjar@yahoo.co.id

Website : www.smanegeri2banjar.sch.id

14
Gambar 4.2.1 Peta batas wilayah dan denah SMAN 2 Banjar

15
4.3 Data Demografis

Jumlah peserta didik : 709 orang

Jumlah guru : 99 orang

Gambar 4.3.1 Struktur organisasi SMAN 2 Banjar

16
Jumlah jurusan : 4 jurusan

Jumlah kelas : 24 kelas

Jumlah pelajaran : 144 pelajaran

Jumlah ekstrakulikuler : 9 ekstrakurikuler

Jumlah peserta penyuluhan HIV AIDS : 50 orang


29 siswa perempuan
21 siswa laki-laki

4.4 Proses Pelaksanaan

Pada hari Rabu, 29 Maret 2017 dilakukan koordinasi dengan dr. Ni Ketut Wenny C. ,
selaku pendamping dokter internsip mengenai rencana kegiatan mini project dan Ibu Luh
Putu Ariyani selaku pemegang program promosi kesehatan di Puskemas Banjar I. Koordinasi
yang dilakukan berupa pemilihan topik penyuluhan, sasaran penyuluhan dan waktu
penyuluhan akan dilaksanakan. Setelah koordinasi, ditetapkan bahwa materi yang akan
diangkat adalah HIV/AIDS, bertempat di SMAN 2 Banjar, waktu sekitar pertengahan bulan
April 2017.

Pengangkatan tema HIV/AIDS didasarkan pada program kerja bagian P2M. Penyakit
HIV/AIDS memang tidak tergolong 10 penyakit menular terbanyak di Puskesmas Banjar 1.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Pak Made Rajendra selaku pemegang program
P2M di Puskesmas Banjar I, rendahnya laporan penderita penyakit HIV/AIDS ini berkaitan
dengan rendahnya pengetahuan masyarakat akan penyakit HIV/AIDS. Masyarakat cenderung
memiliki paradigma untuk menutupi penyakit HIV/AIDS yang dideritanya akibat rasa malu
atau takut dikucilkan lingkungannya. Namun karena wilayah kerja Puskesmas Banjar I di
daerah pariwisata, kemungkinan terjadi peningkatan angka morbiditas penyakit HIV/AIDS
terutama yang tidak dilaporkan dan tidak diobati hingga stadium lanjut.

Berdasarkan koordinasi dengan Kepala Sekolah SMAN 2 Banjar, dikatakan bahwa


belum pernah diadakan penyuluhan mengenai HIV/AIDS. Sehingga dipandang perlu
diadakannya kegiatan ini karena dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
HIV/AIDS meliputi pengertian, penyebab, faktor risiko, gejala dan tanda, cara penularan,
cara pencegahan dan penyebab.

17
Pada hari Senin, 1 April 2017 dilakukan pertemuan dan koordinasi dengan kepala
sekolah SMAN 2 Banjar dan guru yang bertanggung jawab untuk program OSIS. Dikatakan
bahwa belum pernah dilakukan penyuluhan kesehatan mengenai HIV/AIDS, sehingga acara
penyuluhan ini dipandang sebagai ide yang baik untuk menambah wawasan dan kesadaran
para siswa-siswi SMAN 2 Banjar tentang HIV/AIDS. Berdasarkan koordinasi yang telah
dilakukan, maka disepakati waktu penyuluhan yaitu pada hari Rabu, 19 April 2107 pukul
09.00-11.00 WITA. Peserta penyuluhan diperkirakan 50-60 orang yang terdiri dari pengurus
OSIS, anggota PMR, anggota pramuka dan pengurus perwakilan kelas X dan XI. Sebagai
persiapan materi yang akan disampaikan dibuat dalam bentuk power point, leaflet dan poster
sebagai media penyuluhan.

Pada hari pelaksanaan penyuluhan, kami datang sekitar pukul 08.30 WITA. Setelah
tiba di tempat penyuluhan kami diterima oleh Bapak I Gede Damar selaku kepala sekolah dan
Bapak Aris sebagai guru koordinator pada acara penyuluhan ini. Dengan bantuan beliau kami
mempersiapkan tempat penyuluhan di laboratorium biologi SMAN 2 Banjar dan
mengumpulkan siswa-siswi peserta penyuluhan.

Pada pukul 09.00 WITA acara dibuka oleh Pak Aris dan perwakilan puskesmas
Banjar I. Acara diawali pengisian informed consent yang menyatakan persetujuan peserta
terhadap pemyuluhan HIV/AIDS. Dilanjutkan pretest selama 10 menit untuk mengetahui
tingkat pengetahuan dasar peserta mengenai HIV/AIDS. Peserta juga diminta mengisi daftar
hadir yang telah disediakan dan didapatkan jumlah kehadiran 50 orang. Setelah peserta
mengumpulkan pretest kemudian dibagikan leaflet.

Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan pemberian materi dengan media power point
yang berlangsung sekitar 40 menit. Kemudian saya mempersilahkan peserta mengajukan
pertanyaan dengan mengangkat tangan lebih dahulu. Peserta sangat antusias bertanya
mengenai materi HIV/AIDS. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain :

1. Bagaimana awal mula ditemukannya virus HIV/AIDS? Siapa ilmuwan yang pertama
menemukan HIV-AIDS?
2. Bagaimana mekanisme penularan dari ibu yang positif HIV/AIDS ke bayinya?
3. Apakah berciuman dengan bertukar air liur dapat menularkan HIV/AIDS?
4. Apakah kondom dapat 100% mencegah penyebaran HIV/AIDS?
5. Mengapa HIV/AIDS tidak dapat menyebar melalui nyamuk meskipun nyamuk
menghisap darah pasien HIV/AIDS sebelumnya?

18
6. Apakah HIV/AIDS banyak terdapat pada hubungan sesama jenis (homoseksual)?
7. Apa yang harus saya lakukan kalau saya curiga teman atau keluarga ada yang menderita
HIV/AIDS?

Saya pun memberi jawaban mengenai pertanyaan tersebut dan memberikan


kesempatan pada peserta untuk bertanya lebih lanjut apabila jawaban saya belum jelas. Di
akhir sesi diberikan post-test untuk mengevaluasi pengetahuan peserta setelah penyuluhan
disampaikan. Diberikan pertanyaan lisan pada peserta berdasarkan materi penyuluhan
HIV/AIDS yang telah disampaikan dan apabila mereka menjawab dengan tepat mereka
mendapat hadiah doorprize. Kemudian diberikan poster pada pengurus OSIS sebagai
simbolis telah selesainya penyuluhan HIV/AIDS agar dapar ditempel di mading sekolah
sebagai media penyebaran informasi mengenai HIV/AIDS. Sebelum pulang kami pun
berpamitan dengan bapak kepala sekolah dan guru koordinator penyuluhan dan mengambil
foto bersama sebagai dokumentasi.

Tabel 4.4.1. Susunan Acara Penyuluhan HIV/AIDS

No Kegiatan Waktu Pembawa Materi Keterangan

1. Persiapan dan perizinan 08.00 s.d. Dokter Ruangan yang


kepada Wakil Kepala 09.00 Pembimbing, disediakan untuk
Sekolah dan Kepala Dokter Internsip penyuluhan yaitu
sekolah. dan Petugas Laboratorium
Promkes. Biologi

2. Pembukaan penyuluhan 09.00 s.d. Ibu Arik (Petugas Pembagian snack


dan Perkenalan 09.10 Promkes) dan soal pretest
untuk peserta

3. Pre-test 09.10 s.d. Dokter Internsip Peserta


09.20 mengerjakan
soal pretest

19
4. Penyuluhan dengan 09.20 s.d. Dokter Internsip Pembagian
materi HIV/AIDS 10.00 leaflet
HIV/AIDS

5. Sesi tanya jawab Pertama 10.00 s.d. Dokter Internsip 3 orang pertama
10.20

6. Sesi tanya jawab Kedua 10.20 s.d. Dokter Internsip 3 orang kedua
10.40

7. Kuiz berhadiah 10.40 s.d. Dokter Internsip 5 orang yang


10.50 menjawab
dengan tepat
mendapatkan
hadiah

8. Post Test 10.50 s.d. Dokter Internsip Peserta


11.00 mengerjakan
soal post-test

9. Penutupan 11.00 s.d. Dokter Internsip Perwakilan


- Pembagian Hadiah Selesai peserta
- Penyerahan Poster (pengurus OSIS)
menerima Poster
HIV/AIDS

20
4.5 Prevalensi pengetahuan siswa-siswi SMAN 2 Banjar sebelum dan sesudah
penyuluhan HIV/AIDS

Tabel 4.5.1.Prevalensi Peserta berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki-laki 21 42%
Perempuan 29 58%
Total 50 100%

Distribusi Peserta berdasarkan Jenis Kelamin


Laki-laki Perempuan

42%

58%

Gambar 4.5.1 Diagram pie prevalensi peserta berdasarkan jenis kelamin

Dari tabel dan diagram di atas dapat diketahui bahwa dari 50 peserta yang diteliti,
perbandingan jenis kelamin peserta yaitu 21 orang laki-laki (42%) dan 29 orang perempuan
(58%).

21
Tabel 4.5.2.Prevalensi pengetahuan sebelum penyuluhan

Tingkat (n=50) Jumlah Persentase


Tinggi (skor 8-10) 19 38%
Sedang (skor 6-7) 15 30%
Rendah (skor 0-5) 16 32%
Total 50 100%

Tingkat Pengetahuan Terhadap


HIV-AIDS sebelum penyuluhan
Tinggi (skor 8-10) Sedang (skor 6-7) Rendah (skor 0-5)

32% 38%

30%

Gambar 4.5.2 Diagram pie prevalensi pengetahuan sebelum penyuluhan

Dari tabel dan diagram di atas dapat diketahui bahwa dari 50 peserta yang diteliti,
pada hasil tingkat pengetahuan sebelum diberikan penyuluhan HIV/AIDS didapatkan 19
orang (38%) memiliki pengetahuan tinggi, 15 orang (30%) memiliki pengetahuan sedang
dan 16 orang (32%) memiliki pengetahuan rendah.

Tabel 4.5.3. Prevalensi pengetahuan sesudah penyuluhan

Tingkat (n=50) Jumlah Persentase


Tinggi (skor 8-10) 35 70%
Sedang (skor 6-7) 8 16%
Rendah (skor 0-5) 7 14%
Total 50 100%

22
Tingkat Pengetahuan Terhadap
HIV-AIDS sesudah penyuluhan
Tinggi (skor 8-10) Sedang (skor 6-7) Rendah (skor 0-5)

14%
16%

70%

Gambar 4.5.3 Diagram pie prevalensi pengetahuan sesudah penyuluhan

Dari tabel dan diagram di atas dapat diketahui bahwa dari 50 peserta yang diteliti,
pada hasil tingkat pengetahuan sesudah diberikan penyuluhan HIV/AIDS didapatkan 35
orang (70%) memiliki pengetahuan tinggi, 8 orang (16%) memiliki pengetahuan sedang dan
7 orang (14%) memiliki pengetahuan rendah.

23
BAB V
DISKUSI

5.1 Penilaian Proses

Pihak SMAN 2 Banjar dan pihak Puskesmas Banjar I memberikan dukungan penuh
terhadap kegiatan penyuluhan yang saya laksanakan. Pihak SMAN 2 Banjar bersedia
membantu memfasilitasi sarana yang saya butuhkan dalam penyuluhan berupa tempat
penyuluhan (Laboratorium Biologi), sound system, LCD Monitor, dan membantu dalam
mengumpulkan peserta yang akan menghadiri penyuluhan. Target peserta yang mengikuti
penyuluhan sebanyak 83,3% dari 60 orang yang dapat terpenuhi. Waktu pelaksanaan sesuai
dengan jadwal yang sudah direncanakan.

5.2 Penilaian Hasil

Kegiatan evaluasi pelaksanaan program penyuluhan tentang HIV/AIDS ini dilakukan


dengan cara mengamati beberapa aspek yaitu: aspek peserta, proses diskusi itu sendiri serta
pre-test dan post-test. Dari aspek peserta, evaluasi dilakukan berdasarkan kualitas serta
kuantitas pertanyaan yang diajukan disepanjang acara serta besarnya minat dan antusiasme
peserta saat acara tanya jawab. Sehingga dengan demikian maka dapat dinilai apakah terjadi
peningkatan pengetahuan para peserta tentang HIV/AIDS.

Berdasarkan pengamatan saya selama berlangsungnya acara penyuluhan, peserta


terlihat sangat antusia mendengarkan materi, tidak ada peserta yang tidak memperhatikan saat
penyuluh menyampaikan materi. Dari segi proses diskusi yang telah berlangsung dapat
dilaporkan bahwa diskusi telah berlangsung dua arah, dapat dilihat bahwa adanya komunikasi
timbal balik antara pembicara dengan peserta. Untuk kualitas proses diskusi tersebut dapat
dilaporkan tidak adanya kevakuman saat diskusi berlangsung.

5.3 Pengetahuan terhadap HIV/AIDS

Responden menjawab total 10 pertanyaan Multiple Choice tentang HIV/AIDS. Setiap


responden yang menjawab benar diberi skor 1 dengan rentang skor pengetahuan 0-10.
Perbandingan prevalensi sebelum dan sesudah penyuluhan akan diperlihatkan dalam kedua
diagram dibawah ini.

24
Tingkat Pengetahuan Terhadap
HIV-AIDS sebelum penyuluhan
Tinggi (skor 8-10) Sedang (skor 6-7) Rendah (skor 0-5)

32% 38%

30%

Tingkat Pengetahuan Terhadap


HIV-AIDS sesudah penyuluhan
Tinggi (skor 8-10) Sedang (skor 6-7) Rendah (skor 0-5)

14%
16%

70%

Dari perbandingan diagram di atas terdapat peningkatan skor setelah di berikan


penyuluhan. Persentase skor tinggi (8-10) naik hampir 2 kali lipat dari sebelumnya 38%
menjadi 70%. Persentase skor sedang (6-7) turun sebesar 14% dari sebelumnya 30% menjadi
16%. Sedangkan persentase skor rendah (6-7) turun sebesar 18% dari sebelumnya 32%
menjadi 14%. Hal ini menunjukan peningkatan pengetahuan yang signifikan sehingga dapat
dilihat pemberian penyuluhan membawa dampak peningkatan pengetahuan siswa-siswi
SMAN 2 Banjar mengenai HIV/AIDS .

5.4 Hambatan

Dalam pelaksanaan mini project ini, hambatan yang ditemui adalah berbenturan
dengan jam pelajaran disekolah, sehingga peserta berjumlah 50 orang dari yang telah
direncanakan semula sejumlah 60 orang dapat menghadiri acara penyuluhan. Namun jumlah

25
peserta yang datang sudah menjadi tolak ukur keberhasilan yaitu dengan kehadiran peserta
lebih dari 80%. Pihak sekolah sangat mendukung kegiatan penyuluhan ini sehingga dalam
kegiatan ini tidak menemui hambatan yang besar. Selain itu penjaringan untuk HIV/AIDS
dari Puskesmas Banjar I untuk para siswa-siswi SMAN 2 Banjar tidak dilakukan karena
masih merupakan hal yang tabu di masyarakat sehingga hanya ditekankan pada tindakan
preventif berupa penyuluhan.

5.5 Manfaat

Penyuluhan HIV/AIDS ini diharapkan dapat memberikan manfaat tidak saja bagi
peserta penyuluhan tapi juga bagi pemberi materi. Bagi pemberi materi, kegiatan ini dapat
memberikan pengalaman berinteraksi dengan remaja. Selain itu pemberi materi dapat belajar
menyampaikan informasi yang benar dan dapat dipercaya dihadapan masyarakat khususnya
remaja.

Bagi peserta yang mengikuti penyuluhan HIV/AIDS ini yaitu siswa-siswi SMAN 2
Banjar, diharapkan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan tentang Infeksi Penyakit Menular
Seksual khususnya HIV/AIDS. Peserta menyebarkan informasi yang telah didapat kepada
teman sepergaulan, keluarga, maupun masyarakat di lingkungannnya. Pada akhirnya
mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas akibat HIV/AIDS.

26
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

6.1.1 Pelaksanaan mini project berupa penyuluhan tentang HIV/AIDS yang direncanakan
telah dapat direalisasikan dengan baik.

6.1.2 Terjadi peningkatan pengetahuan yang signifikan dari para siswa-siswi SMAN 2
Banjar yang mengikuti penyuluhan tentang HIV/AIDS, yaitu dinilai dari
peningkatan skor post-test jika dibandingkan dengan pre-test.

6.2 Saran

6.2.1 Para siswa-siswi SMAN 2 Banjar diharapkan menerapkan pencegahan HIV/AIDS


dalam kehidupan bermasyarakat serta berbagi informasi di lingkungan sekitarnya
mengenai materi yang didapatkan dari penyuluhan yang ini.

6.2.2 Puskesmas Banjar I hendaknya lebih pro-aktif dalam memberikan penyuluhan


mengenai HIV/AIDS kepada kalangan remaja, khususnya siswa didik di Sekolah
Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah Atas yang belum mendapatkan
penyuluhan ini, dan juga memberikan penyuluhan ke wilayah dengan risiko tinggi
HIV/AIDS misalnya kawasan wisata dimana banyak pekerja seksual untuk
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas HIV/AIDS di wilayah kerja.

27

Anda mungkin juga menyukai