BAB 6
KEGEMPAAN
6.1 UMUM
Indonesia menempati zona tektonik yang sangat aktif karena tiga lempeng
besar dunia dan sembilan lempeng kecil lainnya saling bertemu di wilayah Indonesia
(Gambar 1) dan membentuk jalur-jalur pertemuan lempeng yang kompleks (Bird,
2003). Keberadaan interaksi antar lempeng-lempeng ini menempatkan wilayah
Indonesia sebagai wilayah yang sangat rawan terhadap gempa bumi (Milson et al.,
1992). Tingginya aktivitas kegempaan ini terlihat dari hasil pencatatan dimana dalam
rentang waktu 1897-2009 terdapat lebih dari 14.000 kejadian gempa dengan
magnituda M > 5.0.
Gambar 6.1. Lempeng Tektonik yang Berpengaruh Pada Kepulauan Indonesia dan
Sekitarnya
Gambar 6.2. Data Episenter Gempa Utama di Indonesia dan sekitarnya untuk
Magnituda M 5.0 yang Dikumpulkan Sumber dalam Rentang Waktu tahun 1900
2009
Wilayah Irian Jaya didominasi oleh tiga jalur besar gempa bumi, yakni: Zona
konvergensi lempeng Pasifik dan Pulau Papua New Guinea yang kompleks, jalur Sesar
Sorong, dan Jalur Sesar AidunaTarairua. Dengan kecepatan gerak relatif lempeng
Pasifik yang sekitar 120 mm/tahun, maka bisa diterka bahwa wilayah ini mempunyai
potensi bencana gempa sekitar dua-kali lipat lebih besar dibandingkan wilayah
Sumatra-Jawa yang pergerakan lempengnya hanya 50 - 70 mm/tahun.
Faktanya, sudah sangat sering gempa-gempa besar terjadi di masa lalu,
misalnya gempa tsunami di Biak (Mw8.3) yang memakan korban ribuan jiwa dan
gempa yang tiga kali terjadi di wilayah Nabire tahun 2004 dengan kekuatan Mw7.1
sampai Mw7.6. Memang sekarang ini populasi penduduk di wilayah Irian Jaya masih
sedikit demikian juga infrastrukturnya masih terbelakang sehingga walaupun hazard-
nya paling tinggi di wilayah Indonesia tapi risk-nya masih tidak terlalu tinggi.
Gambar 6.4. Peta Tektonik Aktif dan Sejarah Gempabumi di Wilayah Indonesia
Timur
6.2 TATANAN TEKTONIK
Kepulauan Indonesia merupakan tipe struktur busur kepulauan dengan fisografi
yang unik, yaitu trenches, arc-trench gaps, gravity anomalies, busur volkanik dan
rangkaian pegunungan muda dengan karakteristik sebaran kedalaman gempa
sepanjang zone penunjaman. Fisiografi unik tersebut ditunjukkan dalam bentuk
kondisi tektonik dimana di bagian barat laut dan bagian tenggara berturut-turut
ditempati oleh lempeng Benua Asia (Paparan Sunda) dan lempeng Benua Australia
dimana kedua paparan tersebut membentuk daerah stabil. Di bagian timur laut dan
barat daya berturut-turut ditempati oleh lempeng Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia, sementara di bagian tengah didominasi oleh keratan-keratan benua dan
samudera serta oleh kerak bumi intermediate (intermediate crust). Daerah di bagian
tengah tersebut dikenal juga sebagai daerah transisi.
Keratan-keratan benua tersebut mencerminkan bahwa keratin kerak bumi
telah pindah tempat (allochthone) sejak jutaan tahun lalu dimana telah bergerak
distribusi gempa bumi. Setiap gempa bumi melepaskan energi gelombang seismik,
sehingga kumpulan gempa bumi pada periode tertentu pada suatu area juga suatu
cara untuk menggambarkan konsentrasi aktifitas gempa bumi
Untuk mengetahui potensi gempa bumi di Papua dilakukan dengan
menggunakan data gempa bumi yang berasal dari katalog gempa NEIC USGS (United
State Geological Survey) di daerah studi pada kurun waktu periode tertentu. Data
gempa bumi dipilih dengan magnitudo >= 5 skala Richter. Karena memang pada sekala
ini dampak yang ditimbulkan mulai terasa.
Pada wilayah penelitian, jumlah kejadian gempa yang terekam dari tahun 1973
s/d Agustus 2007 tercatat 18.504 kejadian dengan rentang kekuatan berkisar antara
2.9 8.3 M. Pada rentang tahun ini pernah terjadi 2 (dua) kali gempa dengan kategori
sangat kuat, yaitu diatas 8 M seperti terlihat pada gambar 6.5 berikut ini.
Gambar 6.5. Gempa dengan Kategori Sangat Kuat Yakni Di Atas 8 M yang Terjadi
Pada Rentan Tahun 1973 2007
hingga 300 kmdpl); dan 108 (seratus delapan) gempabumi dalam (di atas 300 kmdpl)
atau dengan masing-masing prosentase sebesar 86.7% (delapan puluh enam koma
tujuh persen); 13% (tiga belas persen); dan 0.3% (no koma tiger persen).
Gambar 6.6. Distribusi Gempa dari Tahun 1973 2007 di Wilayah Papua
Berdasarkan magnitudonya, maka terdiri dari 23.597 (dua puluh tiga ribu lima
ratus Sembilan puluh tujuh) gempabumi dengan kekuatan di bawah 3,0 SR; 14.760
(empat belas tujuh ratus enam puluh) gempabumi dengan kekuatan 31 hingga 5,0 SR;
2.220 (dua ribu dua ratus dua puluh) gempabumi dengan kekuatan 5,1 hingga 7,0 SR
dan 35 (tiga puluh lima) gempabumi dengan kekuatan 7,1 hingga 9,0 SR.
Prosentasenya masing-masing sebesar 58.1% (lima puluh delapan koma satu persen);
36.3% (tiga puluh enam koma tiga persen); 5.5% (lima koma lima persen) dan 0.1% (nol
koma satu persen).
Gambar 6.8. Peta Seismisitas Papua dan Papua Barat (Tahun 1900 2010)
Gambar 6.9. Grafik hubungan frekuensi magnitudo gempa di Papua dan Papua
Barat (tahun 1900 2010)
Gambar 6.10. Grafik Hubungan frekuensi kedalaman gempa di Papua dan Papua
Barat (tahun 1900 2010)
Data dan Parameter Sumber Gempa Fault untuk Daerah Papua dan
Sekitarnya
Efek primer gempa bumi adalah kerusakan struktur bangunan baik yang berupa
gedung perumahan rakyat, gedung bertingkat, fasilitas umum, monumen, jembatan
dan infrastruktur lainnya, yang diakibatkan oleh getaran yang ditimbulkannya. Secara
garis besar, tingkat kerusakan yang mungkin terjadi tergantung dari kekuatan dan
kualitas bangunan, kondisi geologi dan geotektonik lokasi bangunan, dan percepatan
tanah di lokasi bangunan akibat dari getaran suatu gempa bumi.
Gambar 6.11. Peta Percepatan Gempa Maksimum Indonesia dalam PPTI-UG 1983
Dimana:
Perhitungan nilai PGA akan menghasilkan Peta Potensi Bahaya Gempa Bumi.
Peta PGA itu sendiri merupakan hasil dari 10% kemungkinan kejadian dalam 50 tahun
dan 475 tahun periode ulang gempa. Peta PGA yang dihasilkan tersebut merupakan
modifikasi dari peta Global Seismic Hazard Map oleh Global Seismic Hazar d
Assessment Program (GSHAP). Penyesuaian yang dilakukan adalah melakukan
interpolasi pada grid yang lebih kecil (resolusi lebih tinggi) menjadi 500 x 500 m yang
disesuaikan dengan ukuran wilayah penelitian. Nilai PGA yang dihasilkan akan
dikategorikan menjadi tingkat bahaya kegempaan dengan mengikuti standar klasifikasi
dari GSHAP yang dikelompokkan kedalam 4 (empat) kelas, yaitu; Rendah Sedang
Tinggi Sangat Tinggi.
Secara umum metoda DSHA dapat dibagi menjadi empat tahap. Tahap pertama
adalah identifikasi sumber-sumber gempa yang meliputi lokasi sumber-sumber gempa,
geometri sumber, mekanisme kegempaan, sejarah kegempaan, dan parameter
kegempaan seperti magnituda maksimum dan frekuensi keberulangan kejadian gempa.
Tahap kedua adalah untuk setiap sumber gempa yang berada di sekitar lokasi studi
ditentukan (diskenariokan) parameter gempa yang akan menghasilkan dampak di
lokasi studi seperti magnituda yang maksimum dan lokasi kejadian yang terdekat ke
lokasi studi. Tahap ketiga adalah menghubungkan parameter sumber gempa dengan
parameter pergerakan tanah di lokasi studi dengan menggunakan fungsi atenuasi.
Tahap keempat adalah menentukan parameter gempa desain berdasarkan skenario
yang menghasilkan parameter pergerakan tanah terbesar (worst case scenario).
Metode DSHA umumnya diaplikasikan untuk mengestimasi percepatan gempa
untuk konstruksi yang sangat membahayakan jika terjadi kerusakan, seperti bangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) (Irsyam et al., 1999), bendungan besar,
konstruksi yang dekat dengan sesar aktif, dan untuk keperluan emergency response.
Kelebihan metoda ini adalah mudah digunakan untuk memprediksi gerakan gempa
pada skenario terburuk. Sedangkan kelemahannya adalah metoda ini tidak
mempertimbangkan probabilitas terjadinya gempa dan pengaruh berbagai
ketidakpastian yang terkait dalam analisis (Kramer, 1996).
Analisis probabilistik PSHA pada prinsipnya adalah analisis deterministik
dengan berbagai macam skenario dan didasarkan tidak hanya pada parameter gempa
yang menghasilkan pergerakan tanah terbesar. Perbedaan utama antara pendekatan
DSHA dan PSHA adalah pada pendekatan probabilistik (PSHA), frekuensi untuk setiap
skenario pergerakan tanah yang akan terjadi juga diperhitungkan. Dengan demikian,
pendekatan PSHA juga bisa digunakan untuk memprediksi seberapa besar probabilitas
kondisi terburuk akan terjadi di lokasi studi. Metoda ini memungkinkan untuk
memperhitungkan pengaruh faktor-faktor ketidakpastian dalam analisis seperti
ukuran, lokasi dan frekuensi kejadian gempa. Metode ini memberikan kerangka kerja
yang terarah sehingga faktor-faktor ketidakpastian dapat diidentifikasi, diperkirakan,
dan kemudian digabungkan dengan metode pendekatan yang rasional untuk
mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang kejadian gempa.
Analisis DSHA dan PSHA pada kenyataannya saling melengkapi. Hasil DSHA
dapat diverifikasi dengan PSHA untuk memastikan bahwa kejadian tersebut masih
realistik atau mungkin terjadi. Sebaliknya, hasil analisis PSHA dapat diverifikasi oleh
hasil analisis DSHA untuk memastikan bahwa hasil analisis tersebut rasional. Lebih
jauh, McGuire (2001) menyampaikan bahwa DSHA dan PSHA akan saling melengkapi
tetapi dengan tetap memberikan penekanan pada salah satu hasil. Untuk keperluan
desain infrastruktur tahan gempa, umumnya digunakan PSHA dengan tingkatan gempa
atau probabilitas terlampaui mengikuti SEAOC (1997).
Metode PSHA dikembangkan oleh Cornell (1968), kemudian dilanjutkan oleh
Merz dan Cornell (1973). Model dan konsep dari analisis ini tetap dipakai sampai
sekarang, namun model dari analisis dan teknik perhitungannya yang terus
dikembangkan oleh EERI Committee on Seismic Risk (EERI, 1989) memiliki empat
tahap (Gambar 5), yaitu a) identifikasi sumber gempa, b) karakterisasi sumber gempa,
c) pemilihan fungsi atenuasi, dan d) perhitungan hazard gempa. Teori ini
mengasumsikan magnituda gempa M dan jarak R sebagai variabel acak independen
yang menerus. Dalam bentuk umum teori probabilitas total ini dapat dinyatakan
sebagai berikut
dimana vi adalah annual rate (dengan magnituda lebih tinggi dari nilai batas Moi) pada
sumber gempa I, Mi (m) dan RiMi(r,m) berturut-turut adalah fungsi kepadatan
probabilitas magnituda dan jarak. P[A > am, r] adalah probabilitas sebuah gempa
dengan magnituda m pada jarak r yang memberikan percepatan maksimum A di lokasi
lebih tinggi dari a.
Prosedur yang dilakukan untuk pembuatan peta hazard gempa di Indonesia meliputi:
1. Review dan studi literature mengenai kondisi morfologi, geologi, geofisika dan
seismologi dalam mengidentifikasi aktivitas sumber gempa di wilayah
Indonesia.
2. Pengumpulan dan pengolahan data kejadian gempa yang terekam alat dan dari
pencatatan sejarah di wilayah Indonesia.
3. Pemodelan zona sumber gempa berdasarkan peta sesar aktif dan model
tektonik aktif yang sesuai untuk wilayah Indonesia.
4. Perhitungan parameter-parameter seismic yang meliputi a-b parameter,
magnitude maksimum dan slip-rate.
5. Perhitungan seismic hazard dengan menggunakan teorema Probabilitas Total
6. Pembuatan peta gempa Indonesia yang berupa peta percepatan maksimum dan
respon spectra percepatan di batuan dasar untuk probabilitas kemungkinan
resiko terlampaui 10% dalam 50 tahun, 10 % dalam 100 tahun dan 2% dalam 50
tahun atau setara dengan periode ulang gempa 500, 1000 dan 2500 tahun.
Gambar 6.15. CR1, Koefisien Resiko Terpetakan, Perioda Respons Spektral 1 Detik
Gambar 6.16. CRS, Koefisien Resiko Terpetakan, Perioda Respons Spektral 0,2 Detik
Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan
nongedung SNI 03-1726-2002 yang merujuk kepada Uniform Building Code (UBC),
1997 Edition, Volume 2, Struktural Engineering Design Provisions, International
Conference of Building Officials, April 1997.
Tata cara perhitungan struktur beton untuk struktur bangunan gedung SNI 03-
2847-2002 yang merujuk kepada American Concrete Institute, 1999 Edition,
Building Code Requirements for Structural Concrete and Commentary (ACI 318-
99).
SNI Gempa 2012 mengacu pada perkembangan peraturan gempa modern
(terutama peraturan di Amerika Serikat) seperti FEMA P-750 (Building Seismic
Safety Council, 2009) dan ASCE/SEI 7-10 (2010).
1
= 1
Dimana C1 adalah nilai faktor respons gempa yang didapat dari spectrum respons
gempa di SNI 1726 untuk waktu getar alami fundamental T. Faktor keutamaan I dan
W1 adalah total beban gravitasi (D+L). C1 adalah suatu faktor yang tergantung pada
lokasi wilayah gempa dan jenis lapisan tanah yang berada di bawah gedung yang
didesain. Sedangkan nilai R harus diambil dari Tabel 6.2 sesuai sistem stuktur yang
akan dipakai. Beban L boleh direduksi sesuai SNI 03-1727-1987 atau yang telah
direvisi.
Pedoman SNI 1726 tahun 2012 tentang Tata cara perencanaan ketahanan
gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung merupakan Tata cara untuk
menentukan pengaruh gempa rencana yang harus ditinjau dalam perencanaan dan
evaluasi struktur bangunan gedung dan non gedung serta berbagai bagian dan
Faktor Keutamaan (I) untuk berbagai kategori bangunan (SNI 1726, 2003)
b. Wilayah Gempa
Dari revisi peta gempa 2012, esensi perubahannya adalah pada zonasi gempa
dan perubahan nilai percepatan gempa g yang akan berpengaruh pada nilai k untuk
perencanaan konstruksi bangunan. Dalam perencanaan konstruksi perlu
diperhitungkan faktor kegempaan, sehingga bangunan yang direncanakan benar-benar
aman. Dalam perencanaan ini perhitungan angka percepataan gempa desain dan
koefisien gempa mengacu kepada pedoman dalam peta zona siesmik Tahun 2004
untuk perencanaan Bangunan Tahan Gempa di Indonesia.
ad = Z x ac x V
k = ad / g
dimana :
ad = Percepatan gempa desain ( gal )
Z = koefisien zona gempa
ac = percepatan gempa dasar
kc = koefisien seismik
c. Respons Spektrum
Merupakan konsep pendekatan yang digunakan untuk keperluan perencanaan
bangunan. Definisi respons spektrum adalah respons maksimum dari suatu sistem
struktur Single Degree of Freedom (SDOF) baik percepatan (a), kecepatan (v), dan
perpindahan (d) dengan struktur tersebut dibebani oleh gaya luar tertentu.
Adapun untuk masing-masing Wilayah gempa ditetapkan Spektrum Respons
Gempa rencana C-T seperti ditunjukkan dalam Gambar 6.21. Dalam gambar tersebut C
adalah Faktor Respons Gempa dinyatakan dalam percepatan gravitasi dan T adalah
waktu getar alami struktur gedung dinyatakan dalam detik. Untuk nilai T = 0 nilai C
tersebut menjadi sama dengan A0 dimana A0 merupakan percepatan puncak muka
tanah.
Spektrum respons desain (Sa) dalam SNI Gempa 2012 diambil seperti
ditunjukkan pada Gambar1. Spektrum respons tersebut merupakan modifikasi dari
spektrum respons desain ASCE 7-10, di mana transisi perioda panjang TL yang ada
pada ASCE 7-10 tidak didefinisikan dalam SNI Gempa 2012. Parameter percepatan
spektral desain diambil sebagai berikut:
Dengan:
SDS = parameter respons spektral percepatan pada perioda pendek, dengan
5% redaman kritik,
SD1 = parameter respons spektral percepatan pada perioda 1 detik, dengan
5% redaman kritik,
SMS = parameter respons spektral percepatan MCER pada perioda pendek yang
sudah disesuaikan terhadap pengaruh kelas situs,
SM1 = parameter respons spektral percepatan MCER pada perioda 1 detik yang
sudah disesuaikan dengan pengaruh kelas situs.
SMS = FaSs
SM1 = FVS1
Dengan:
Ss = parameter respons spektral percepatan gempa MCER terpetakan pada
perioda pendek, dengan 5% redaman kritik di batuan dasar,
S1 = parameter respons spektral percepatan gempa MCER terpetakan pada
perioda 1 detik, dengan 5% redaman kritik di batuan dasar,
Fa = koefisien situs untuk perioda pendek (pada perioda 0,2 detik), dan
Fv = koefisien situs untuk perioda panjang (pada perioda 1 detik)
Jenis-Jenis Tanah
Dalam hal ini, penentuan jenis tanah PLTU Timika (4x7) MW Lokasi Sorong termasuk
dalam kelas situs SD (tanah sedang) sehingga nilai Vs bisa diambil kisaran 175 350
m/detik. Dan nilai N atau Nch diambil pada kisaran 15-50 dan nilai Su pada nilai < 50 kPa.
Keterangan:
(a) Untuk nilai-nilai antara Ss dapat dilakukan interpolasi linier
(b) SS = Situs yang memerlukan investigasi geoteknik spesifik dan analisis respons situs-
spesifik
Sumber: SNI 03-1726-2012
Koefisien Situs, Fv Lokasi PLTU Timika (4x7) MW di Sorong
Keterangan:
(a) Untuk nilai-nilai antara S1 dapat dilakukan interpolasi linier
(b) SS = Situs yang memerlukan investigasi geoteknik spesifik dan analisis respons situs-
spesifik
Sumber: SNI 03-1726-2012
Diperoleh suatu parameter spectrum respons percepatan pada periode pendek (SMS) dan
periode 1 detik (SM1) yang telah disesuaikan dengan pengaruh klasifikasi situs PLTU Timika
(4x7) MW di lokasi Sorong serta dihitung dengan menggunakan Persamaan (10) dan (11).
Ss = 1.2 g
S1 = 0.4 g
RESPONS SPEKTRUM
1.25
1.20
1.15
1.10
1.05
1.00
0.95
0.90
0.85
0.80
0.75 Tanah Keras
0.70
Sa (g)
0.65
0.60 Tanah Sedang
0.55
0.50 Tanah Lunak
0.45
0.40
0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 5.50 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 8.50 9.00 9.50 10.00
T (s)
Gambar 6.23. Respons Spektrum Gempa Rencana Lokasi PLTU Timika (4x7) MW di
Sorong
Gambar 6.24. Respons Spektrum Gempa Lokasi PLTU Timika (4x7) MW di Sorong
berdasarkan Desain Spektra Indonesia yang dikeluarkan oleh Puskim PU 2011
Respon Spektrum Lokasi PLTU Timika (4x7) MW di Sorong dari Aplikasi Desain
Spektra Indonesia 2011
Gambar 6.1. Lempeng Tektonik yang Berpengaruh Pada Kepulauan Indonesia dan Sekitarnya ..................... 1
Gambar 6.2. Data Episenter Gempa Utama di Indonesia dan sekitarnya untuk Magnituda M 5.0 yang
Dikumpulkan Sumber dalam Rentang Waktu tahun 1900 2009.......................................................................... 2
Gambar 6.3. Peta Tektonik dan Sesar Aktif di Indonesia ................................................................................. 2
Gambar 6.4. Peta Tektonik Aktif dan Sejarah Gempabumi di Wilayah Indonesia Timur ................................ 3
Gambar 6.5. Gempa dengan Kategori Sangat Kuat Yakni Di Atas 8 M yang Terjadi Pada Rentan Tahun 1973
2007 5
Gambar 6.6. Distribusi Gempa dari Tahun 1973 2007 di Wilayah Papua ..................................................... 6
Gambar 6.7. Peta Kepadatan Episentrum dalam Magnitude/Km2 .................................................................... 7
Gambar 6.8. Peta Seismisitas Papua dan Papua Barat (Tahun 1900 2010) .................................................... 7
Gambar 6.9. Grafik hubungan frekuensi magnitudo gempa di Papua dan Papua Barat (tahun 1900 2010) 8
Gambar 6.10. Grafik Hubungan frekuensi kedalaman gempa di Papua dan Papua Barat (tahun 1900 2010)
8
Gambar 6.11. Peta Percepatan Gempa Maksimum Indonesia dalam PPTI-UG 1983 ......................................... 9
Gambar 6.12. Peta Jarak Antar Lokasi dengan Sumber Gempabumi ............................................................... 10
Gambar 6.13. Tingkat Bahaya Kegempaan Berdasarkan Standar Klasifikasi dari GSHAP ............................. 11
Gambar 6.14. PSHA untuk Mendapatkan Pergerakan Tanah di Batuan Dasar ................................................. 14
Gambar 6.15. CR1, Koefisien Resiko Terpetakan, Perioda Respons Spektral 1 Detik ....................................... 15
Gambar 6.16. CRS, Koefisien Resiko Terpetakan, Perioda Respons Spektral 0,2 Detik ................................... 15
Gambar 6.17. PGA, Gempa Maksimum yang Dipertimbangkan Rata-Rata Geometrik (MCEG), Kelas Situs SB
16
Gambar 6.18. Ss, Gempa Maksimum yang Dipertimbangkan Risiko-Tertarget (MCER), Kelas Situs SB ........ 16
Gambar 6.19. S1, Gempa Maksimum yang Dipertimbangkan Risiko-Tertarget (MCER), Kelas Situs SB ...... 17
Gambar 6.20. Ss, Gempa Maksimum yang Dipertimbangkan Risiko-Tertarget (MCER), Kelas Situs SB ...... 17
Gambar 6.21. Respons Spektra Percepatan pada SNI Gempa 2012.................................................................. 24
Gambar 6.22. Respons Spektrum Gempa Rencana ........................................................................................... 25
Gambar 6.23. Respons Spektrum Gempa Rencana Lokasi PLTU Timika (4x7) MW di Sorong ..................... 30
Gambar 6.24. Respons Spektrum Gempa Lokasi PLTU Timika (4x7) MW di Sorong berdasarkan Desain
Spektra Indonesia yang dikeluarkan oleh Puskim PU 2011 ................................................................................. 30
Tabel 6.1. Data dan Parameter Sumber Gempa Fault untuk Daerah Papua dan Sekitarnya .............................. 9
Tabel 6.2. Faktor Keutamaan (I) untuk berbagai kategori bangunan (SNI 1726, 2003) .................................. 20
Tabel 6.3. Faktor Keutamaan Gempa, Ie .......................................................................................................... 21
Tabel 6.4. Perhitungan Koefisien Gempa Lokasi PLTU Timika (4x7) MW Lokasi Sorong Berbagai Periode
menggunakan Peta Gempa 2012........................................................................................................................... 22
Tabel 6.5. Jenis-Jenis Tanah ............................................................................................................................ 26
Tabel 6.6. Koefisien Situs, Fa Lokasi PLTU Timika (4x7) MW di Sorong .................................................... 27
Tabel 6.7. Koefisien Situs, Fv Lokasi PLTU Timika (4x7) MW di Sorong .................................................... 27
Tabel 6.8. Koefisien Situs, Fa Lokasi PLTU Timika (4x7) MW di Sorong .................................................... 28
Tabel 6.9. Koefisien Situs Fv Lokasi PLTU Timika (4x7) MW di Sorong ..................................................... 28
Tabel 6.10. Koefisien Situs Fv Lokasi PLTU Timika (4x7) MW di Sorong ................................................. 28
Tabel 6.11. Respon Spektrum Lokasi PLTU Timika (4x7) MW di Sorong .................................................. 29
Tabel 6.12. Respon Spektrum Lokasi PLTU Timika (4x7) MW di Sorong dari Aplikasi Desain Spektra
Indonesia 2011 31