Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kars merupakan suatu kompleks fenomena geologi dengan sistem hidrologi yang
sangat spesifik, tersusun atas batuan yang mudah larut seperti batugamping,
dolomit, gipsum, dan batuan yang mudah larut lainnya (Milanovic, 1981). Secara
fisik, daerah kars merupakan daerah yang tandus, sehingga penduduk yang
tinggal di daerah tersebut mengalami kekurangan air, terutama di musim kemarau.
Permasalahan kekeringan di daerah kars sebenarnya dapat diatasi, mengingat
potensi sumber daya air yang dimilikinya sangat melimpah. Permasalahannya
adalah perilaku air di daerah kars membentuk sistem hidrologi yang khas dan
rumit yang berkembang melalui sistem rekahan dan jaringan rongga, sehingga
sangat sulit untuk diketahui potensi dan upaya pemanfaatannya.

Salah satu daerah kars yang menarik untuk diteliti adalah Pulau Sumba bagian
Barat, Nusa Tenggarah Timur. Daerah ini secara fisik mengalami kerentanan
terhadap permasalahan sumber daya air, terutama kesulitan air pada saat musim
kemarau. Menurut Meiser, et all. (1965), Pulau Sumba memiliki kondisi hidrologi
yang bervariasi, mulai dari air tanah dengan potensi besar hingga rendah di
dataran Waekabubak dan sekitarnya yang dikelilingi oleh daerah dengan potensi
sangat rendah hingga daerah air tanah bersifat payau di daerah pantai. Menurut
Soenarto (2004) berdasarkan atas pendugaan geolistrik, bagian tengah daerah
penelitian yaitu daerah Waekabubak dan sekitarnya mempunyai penyebaran batu
gamping yang luas dengan potensi air tanah yang sulit diduga letaknya dari
permukaan tanah.

Fenomena depresi kars seperti lembah kars, dolina, sinkhole, dan sebagainya
berkembang terutama di sepanjang zona rekahan. Air memiliki kecenderungan
melalui zona rekahan yang secara morfologi ditunjukkan oleh adanya kelurusan-
kelurusan morfologi ( Parizeck, 1976 ). Menurut Singhal dan Gupta (1999),
kelurusan merupakan fenomena yang linear pada suatu obyek permukaan bumi
yang diinterpretasi mulai teknologi penginderaan jauh atau foto udara. Fenomena
kelurusan merupakan refleksi bidang ketidakmenerusan pada batuan seperti

1
rekahan, kekar, dan sesar yang secaramorfologis merupakan bagian dari lembah-
lembah perbukitan yang berkembang. Berdasarkan hal tersebut, maka analisis
pola kelurusan morfologi pada daerah kars sangat berguna dalam menentukan
pola-pola pengaliran bawah tanah.

1.2. Perumusan masalah

Pada daerah kars, dilakukan pemetaan geologi direncanakan pola lintasan


memotong daerah struktur, agar ditemukan banyak struktur untuk mempermudah
menemukan air tanah. Pemetaan geologi untuk dapat mengenali secara detail
tentang karakteristik batugamping yang selanjutnya dilakukan analisis petrografi,
sehingga dapat diurutkan secara stratigrafi pada batugamping tersebut akan dilihat
dan batugamping yang memiliki porositas dan permeabilitas baik untuk dijadikan
sebagai tempat pengambilan air tanah.

I.3. Lokasi Penelitian

Daerah penelitian terletak di Pulau Sumba bagian Barat, Nusa Tenggarah Timur.
Daerah ini secara administratif masuk wilayah kabupaten Sumba Barat, terletak
antara 11855-11930 BT dan 921-947 LS. Daerah penelitian di bagian utara
dibatasi oleh Selat Sumba, bagian selatan dan barat dibatasi oleh Samudra
Indonesia dan bagian Timur dibatasi oleh Kabupaten Sumba Tengah.

1.4. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan integrasi analisis sistem rekahan berbasis Sistem


Informasi Geografis (SIG) dengan analisis keterdapatan mata air dengan obyek
hidrologi kars lainnya hasil observasi lapangan. Analisis keterdapatan mata air
kars dan obyek hidrologi kars lainnya seperti sungai bawah tanah, sumur bor, dan
sumur gali dilakukan untuk mengetahui karakter keterdapatan air tanah secara
spasial.

2
1.5. Maksud, Tujuan, dan Manfaat

1.5.1 Maksud

Maksud dari seminar geologi ini, untuk mengatasi permasalahan kekeringan di


daerah Sumba bagian barat, dengan memahami sistem hidrologi melalui sistem
rekahan dan jaringan rongga pada daerah yang berpotensi keterdapatan
sumberdaya hidrologi.

1.5.2. Tujuan

Adapun tujuan untuk mengetahui pengontrol keterdapatan mata air kars berupa
kontrol struktur geologi terdiri dari sesar, sistem rekahan, dan kontak batuan
yang berbeda.

1.5.3. Manfaat

Manfaat dari pembuatan seminar ini, penulis mampu mengetahui kendali


struktur terhadap keterdapatan air tanah kars di pulau Sumba Bagian Barat.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah penelitian

Pulau Sumba adalah sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur,


Indonesia.Pulau ini berada pada koordinat 940 LU 12000 BT. Luas wilayahnya
10.710 km, dan titik tertingginya Gunung Wanggameti (1.225 m). Sumba
berbatasandengan Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di timur laut, Timor di
timur, danAustralia di selatan dan tenggara. Selat Sumba terletak di utara pulau
ini. Di bagian timur terletak Laut Sawu serta Samudra Hindia terletak di sebelah
selatandan barat (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Letak geografis Pulau Sumba dan keadaan topografinya (Ina Cornelia,
2012)

4
2.2. Geologi dan Geomorfologi

Daerah kars di daerahpenelitian menurut menurut Effendi dan Apandi (1993)


disusun oleh batu gamping formasi Waikabubak (Tmpw) dan formasi Kaliangga
(Qpk) (Gambar 2.2). Formasi Waikabubak tersusun atas batumping, batugamping
lempungan, sispan napal,napal pasiran, napal tufan dan tuf yang berumur Miosen
Akhir Pliosen yang yang diendapkan dalam lingkungan laut dangkal hingga
dalam. Ketebalan keseluruhan satuan ini diperkirakan lebih dari 1200. formasi
Kalianga, berupa batugamping terumbu yang berundak undak, mengandung
koral dan cangkang kerang. Batuan ini memiliki umur Plistosen atau lebih yang di
endapkan dalam lingkungan laut dangkal.

Menurut Effendi dan Apandi (1993), struktur geologi yang dijumpai di daerah
penelitian umumnya berupa lipatan kecil dan sesar. Kemiringan lapisan yang
berubah arah jurus dan kelandaiannya dalam jarak yang dekat, menunjukkan
bahwa batuan di pulau ini tersesarkan kuat. Sesar yang dijumpai berupa sesar
normal yang umumnya mempunyai arah barat - timur dan baratlaut - tenggara
yang memotong batuan Pra- tersier dan Tersier. Sesar normal terlihat dengan jelas
dari kelurusan berarah barat - timur di bagian utara daerah Waekabubak.

Gambar 2.2. Peta geologi daerah penelitian (modifikasi dari Effendi dan Apandy, 1993).

Berdasarkan atas karakteristik morfometri dan morfogenetiknya menurut Van


Zuidam (1983), morfologi kars di daerah penelitian dibagi menjadi tiga satuan,

5
yaitu Satuan Dataran Kars, dan Satuan Perbukitan Kars, (Gambar 2.3). Satuan
Dataran Kars secara luas menempati daerah yang berjarak 1 hingga 11 km
dari garis pantai, terletak pada level elevasi 0 hingga 150 mdpl. Satuan ini
tersusun atas batu gamping terumbu dari formasi Kaliangga (Qpk) yang
membentuk morfologi dataran hingga bengelombang lemah kelerengan kurang
dari 5. Pada satuan ini terdapat fenomena kars seperti dolina dan mata air kars
dengan pola pengaliran paralel yang menunjukan adanya pengaruh kemiringan
lereng yang landai.

Gambar 2.3. Peta geomorfologi daerah penelitian (modifikasi dari Effendi dan
Apandy 1993).

Satuan perbukitan kars secara luas menempati bagian tengah daerah penelitian,
terletak pada elevasi 0 hingga 750 mdpl yang tersusun atas batugamping dari
formasi Waikabubak. Satuan ini membentuk perbukitan bergelombang lemah
hingga kuat dengan kelerengan antara 5 hingga 45. Pola pengaliran yang
berkembang berupa subdendritik subparalel yang menunjukan adanya pengaruh
kemiringan lereng yang landai hingga curam dengan bentuk perbukitan relatif
memanjang. Fenomena kars yang ada berupa sungai bawah tanah, dolina, dan gua
gua kering.

Wilayah topografi Daerah Penelitian (Induk), menurut Meiser dan Pfeiffer (1965)
membagi dalam 7 jenis topografi, karena pembagiannya sangat sulit untuk diamati

6
maka untuk lebih mempermudah pengamatan pembagian wilayah topografi dibuat
dalam 5 kelompok yaitu :
1 Wilayah gunung ditandai dengan kemiringan yang tinggi, wilayah ini
meliputi Pegunungan Yawila.
2 Wilayah perbukitan ditandai dengan kemiringan yang lebih rendah dari
wilayah gunung.
3 Wilayah undukan dekat laut ditandai dengan undukan dan jurang yang
curam sepanjang pantai selatan.
4 Wilayah datar yang cukup luas dan dikelilingi bukit seperti dataran Kodi
dan Loura.
5 Wilayah dataran alluvial ditandai dengan dataran yang agak sempit sekitar
sungai.
Dataran Kabupaten Sumba Barat merupakan dataran yang berbukit bukit dengan
ketinggian dari permukaan laut berkisar 0 hingga 850 mpdl, untuk kemiringan
lahan Wilayah Kabupaten Sumba Barat dan sepanjang pantai relatif datar.
Topografi Kabupaten Sumba Barat berbukit dan mengakibatkan tanah rentan
terhadap erosi.

BAB III

7
DASAR TEORI

3.1. Pengertian Kars

Semua ahli menyepakati bahwa karst (bahasa Inggris) diabadikan dari nama lokus
Krs. Secara geografis Krs di pegunungan Dinaric Alps bekas Negara Yogoslavi
berbatasan dengan Italia di dekat kota Trieste. Keadaan kota Krs tampak sebagai
permukaan topografi yang gundul, berbatu-batu, sedikit temuan air permukaan
( itu makna Krs menurut bahasa Slavia). Agaknya penamaan kota didasarkan atas
kondisi alamiahnya (Srijono,S.U, Dkk.2011).

Kars adalah istilah yang diterapkan untuk daerah yang luas pelarutan batuan pada
area batugamping dan dolomit yang memiliki topografi khas dan tergantung pada
pelarutan dan pengaliran air bawah tanah dan air permukaan menuju rute bawah
tanah. Ukuran saluran ini daapat bervariasi mulai dari celah kecil hingga sebesar
terowongan, mulai dari beberapa meter hingga berkilo-kilo meter (Thornbury,
1954).

Menurut Kusumayudha (2005), morfologi karst dapat dikelompokan menjadi dua


berdasarkan relief permukaannya, yaitu morfologi dengan relief positif dan
morfologi relief negatif. Bentuk relatif positif di kawasan kars biasanya
merupakan hasil deposisi atau sisa denudasi, sedangkan relief negatif terbentuk
akibat erosi atau adanya pelarutan batugamping oleh air.

3.1.1. morfologi dengan relief positif

Relief positif biasanya terbentuk oleh lapisan batugamping yang tebal dan masif.
Ada dua bentuk morfologi positif yang paling umum dijumpai pada bentang alam
kars, yaitu kerucut kars dan menara kars. Kerucut dan menara kars ini umumnya
dijumpai di daerah tropis, dimana pengendapan larutan karbonat di atas daratan
aluvial mudah dijumpai.

a.pinnacle

8
Umumnya pada daerah yang panas dan beriklim arid, proses pelarutan
batugamping dapat membentuk pinnacle. Pelarutan yang terjadi di sepanjang
kekar dan rekahan menyebabkan massa batuan menjadi lebih rendah dan
menyisakan blok-blok batugamping yang terisolasi satu sama lain. Bentuk inilah
yang disebut pinnacle. Ketinggian pinnacle dimulai dari beberapa meter hngga
puluhan meter dari permukaan tanah di sekitarnya. Pinnacle biasanya mempunyai
lereng terjal dengan permukaan elips.

Pada daerah tropis, pinnacle pada umumnya lebih tinggi, lebih menjarum, dan
biasanya terpahat oleh hasil pelarutan-pelarutan minor yang menyebabkan
permukaan pinnacle menjadi kasar dan tajam-tajam.

b. Kerucut dan menara kars

Bentukan bentang alam berlief positif yang sangat spesifik dijumpai diderah
tropis adalahbukit-bukit residual dengan lerang vertikal yang disebuat menara
kars. Sedangkan bentukan dengan lereng miring disebut kerucut kars. Struktur
internal yang terdapat pada bukit-bukit karst biasanya kompleks, sedangkan
struktur luar merupakanhasil pelarutan. Struktur internal yang kompleks pada
umumnya berkaitan dengan struktur geologi yang ada pada batugamping, seperti
perlapisan, kekar, serta adanya runtuhan-runtuhan.

3.1.2. Morfologi dengan relief negatif

Klasifikasi dan cara penamaan bentang alam kars dengan relief negatif didasarkan
pada perbandingan rasio antara panjang, lebar dan kedalamannya. Salah satu ciri
khas bentang alam kars adalah bahwa setiap lereng bukit biasanya berakhir pada
suatu depresi yang tertutup, tanpa adanya saluran keluar. Satu-satunya jalan
keluar bagi air pada depresi tersebut hanya kebawah permukaan tanah. Depresi
tertutup termasuk ke dalam klasifikasi relief negatif pada bentang alam kars.

a. Dolina

9
Dolina adalah bentuk cekungan yang membundar atau depresi tertutup di
permukaan topografi kars. Struktur ini berbentuk seperti mangkuk dengan
diameter mulai dari beberapa meter hingga satu kilometer. Kedalaman sebuah
dolina dapat dimulai dari sangat dangkal ( kurang dari satu meter ) hingga ratusan
meter.Dolina dapat terbetuk karena proses pelarutan, runtuhan, kombinasi
pelarutan dan runtuhnya atap gua. Dolina dapat mengalirkan air dari permukaan
ke bawah permukaan melalui pembuluh yang terlebarkan atau melalui soil
menuju kesistem atau jaringan saluran bawah tanah (gua) di bawah permukaan.
Jajaran dolina di suatu kawasan kars sering mengikuti kelurusan atau lineasi
struktur geologi. Struktur geologi yang paling berpengaruh dalam hal ini adalah
kekar dan sesar. Fenomena penjajaran dolina yang dipengaruhi kekar semacam
ini sangat penting sebagai indikasi adanya akumulasi air bawah permukaan, arah
lineasi ini juga membantu dalam eksplorasi air bawah tanah di daerah kars.
b. Uvala
Uvala adalah cekungan berbentuk lonjong atau memanjang yang merupakan
gabungan dari beberapa dolina.
c. Polje
Polje merupakan depresi tertutup yang luas, sebagian besar berupa dataran yang
ditutupi endapan aluvial.

d. Lapies dan Gua

Bentukan-bentukan lain akibat proses pelarutan adalah lapies, yaitu permukaan


batugamping yang berlubang-lubang, tajam dan kasar. Lubang-lubang ini bila
saling berintegrasi akan membentuk pembuluh. Pembuluh-pembuluh ini bila
berkembang akan menjadi saluran-saluran hingga akhirnya membentuk gua atau
terowongan. Bila gua tersebut dialiri air maka terjadilah sungai bawah tanah.

3.2. Hidrologi Kars

Pada awalnya, berbicara mengenaihidrologi kars tentunya mempunyai


konsekwensilogis yang dapat terbagi menjadi dua topikpembicaraan utama yaitu
hidrologi dan kars.Hidrologi, menurut Linsley et. al. (1975) adalahcabang dari
ilmu geografi fisik yang berurusandengan air dimuka bumi dengan sorotan
khususpada sifat, fenomena dan distribusi air di daratan.

10
Hidrologi dikategorikan secara khususmempelajari kejadian air di
daratan/bumi,deskripsi pengaruh sifat daratan terhadap air,pengaruh fisik air
terhadap daratan danmempelajari hubungan air dengan kehidupan.Pada sisi yang
lain, kars dikenal sebagai suatukawasan yang unik dan dicirikan oleh
topografieksokars seperti lembah kars, doline, uvala,polje, kerucut kars dan
berkembangnyasistem drainase bawah permukaan yang jauhlebih dominan
dibandingkan dengan sistem aliranpermukaannya (Adji, dkk, 1999).

Jika kita belajar hidrologi secara umumpasti tidak akan pernah lepas dari siklus
hidrologi,yaitu peredaran air di bumi baik itu di atmosfer, dipermukaan bumi dan
di bawah permukaan bumi.Selama siklus tersebut, air dapat berubahwujudnya
yaitu padat, cair maupun gastergantung dari kondisi lingkungan siklus hidrologi.
Jumlah air dalam siklus hidrologi selalu tetap danhanya berubah distribusinya saja
dari waktu kewaktu akibat adanya pengaruh dari faktor tertentu(Adji dan Suyono,
2004). Siklus hidrologi secaraumum disajikan pada Gambar 3.1.
Sepertidisebutkan diatas, karena sifatnya, fokus darihidrologi kars adalah bukan
pada air permukaantetapi pada air yang tersimpan di bawah tanahpada sistem-
sistem drainase bawah permukaankars. Untuk lebih jelasnya, Gambar 3.2.
mengilustrasikan drainase bawah permukaanyang sangat dominan di daerah kars.

Gambar 3.1. Siklus Hidrologi (Aslindas Layly, 2014)

11
Gambar 3.2. Drainase bawah permukaan di daerah kars (White,1988)

Dari Gambar 3.2 terlihat bahwa karena sifat batuan karbonat yang mempunyai
banyak rongga percelahan dan mudah larut dalam air,maka sistem drainase
permukaan tidak berkembang dan lebih didominasi oleh sistemdrainase bawah
permukaan. Sebagai contoh adalah sistem pergoaan yang kadang-kadang berair
dan dikenal sebagai sungai bawah tanah. Selanjutnya, dalam bahasan ini akan
lebih banyak dideskripsikan hidrologi kars bawah permukaan yang selanjutnya
akan kita sebut sebagai airtanah kars. Secara definitif, air pada sungai bawah
tanah di daerah kars boleh disebut sebagai airtanah merujuk definisi airtanah oleh
Todd (1980) bahwa airtanah merupakan air yang mengisi celah atau pori-
pori/rongga antara batuan dan bersifat dinamis. Sedangkan, air bawah tanah kars
juga merupakan air yang mengisi batuan/percelahan yang banyak terdapat pada
kawasan ini, walaupun karakteristiknya sangat berbeda dibandingkan dengan
karakteristik airtanah pada kawasan lain. Pada daerah non-kars, dengan mudah
kita dapat membedakan antara sistem hidrologi permukaan dan bawah
permukaan. Secara sederhana, konsep Daerah Aliran Sungai (DAS)dapat
dianggap sebagai unit untuk mengkajihidrologi baik itu permukaan maupunbawah
permukaan. DAS sering pula dikenal sebagai drainase basin (cekungan
yangmempunyai sistem aliran) yang mempunyaikarakteristik aliran permukaan

12
dan bawahpermukaan dan keluar melalui satu outlet dibatasioleh batas topografi
berupa igir.

Jankowski (2001) mengatakan bahwaterdapat tiga komponen utama pada


sistemhidrologi kars, yaitu : akuifer, sistem hidrologipermukaan, dan sistem
hidrologi bawahpermukaan. Di kars, cekungan bawah permukaandapat
diidentifikasi dengan mencari hubungan antara sungai yang tertelan (swallow
holes) dan mata air. Cekungan bawah permukaan ini dapat berkorelasi dengan
cekungan aliran permukaan (DAS) jika jalur-jalur lorong solusional pada bawah
permukaan utamanya bersumber pada sungai permukaan yang masuk melalui
ponor. Tapi, secara umum batas antara DAS permukaan dan bawah permukaan
adalah tidak sama. Sistem bawah permukaan, terutama yang memiliki kemiringan
muka airtanah yang rendah dapat mempunyai banyak jalur dan outlet (mata air).
Selanjutnya, karena terus berkembangnya proses pelarutan, muka airtanah,
mataair dan jalur sungai bawah tanah di akuifer kars juga dapat berubah - ubah
menurut waktu.

3.3. Akuifer Kars

Akuifer dapat diartikan sebagai suatu formasi geologi yang mampu menyimpan
dan mengalirkan airtanah dalam jumlah yang cukup pada kondisi hidraulik
gradien tertentu (Acworth, 2001). Cukup artinya adalah mampu mensuplai suatu
sumur ataupun mata air pada suatu periode tertentu. Dapatkah formasi kars yang
didominasi oleh batuan karbonat disebut sebagai suatu akuifer. Jawaban dari
pertanyaan ini dapat kita kembalikan dari definisi akuifer seperti yang telah
disebutkan di atas. Jika formasi kars dapatmenyimpan dan mengalirkannya
sehingga sebuahsumur atau mataair mempunyai debit air yangcukup signifikan,
maka sah-sah saja jika formasikars tersebut disebut sebagai suatu
akuifer.Perdebatan mengenai hal ini sudah terjaditerutama pada masa-masa
lampau dan solusiyang ada biasanya tergantung dari suduthidrogeologis mana kita
memandangnya.Selanjutnya, dua hal ekstrim pada akuifer karsadalah adanya
sistem conduit dan diffuse yanghampir tidak terdapat pada akuifer jenis
lain(White, 1988). Ada kalanya suatu formasi karsdidominasi oleh sistem conduit
dan ada kalanyapula tidak terdapat lorong-lorong conduit tetapilebih berkembang

13
sistem diffuse, sehingga hanyamempunyai pengaruh yang sangat kecil
terhadapsirkulasi airtanah kars. Tetapi, pada umumnyasuatu daerah kars yang
berkembang baikmempunyai kombinasi dua element tersebut.Gambar 3.3
menunjukkan sistem conduit, diffuse,dan campuran pada formasi kars.

Gambar 3.3. Diffuse, campuran dan conduit airtanah karst (Domenico and Schwatz,1990)

3.3.1. Perbedaan Utama Akuifer Kars dan Akuifer Non-kars

Dalam geohidrolika akuifer, terdapat beberapa istilah sifat akuifer yaitu zonasi
vertikal airtanah, porositas batuan, konduktivitas hidraulik (K), transmissivitas
(T), homogenitas-heterogenitas, isotropi-anisotropi, dll. Sub bab ini akan
membahas perbedaan utama karakteristik dan sifat-sifat akuifer pada daerah non-
kars dan kars.

a. Zonasi vertikal

Pada akuifer non kars, zonasi vertikalmempunyai pola sebagai berikut :

- lapisan paling atas dibawah tanah adalahzona tak jenuh (aerasi)

- lapisan ditengah adalahzone intermediateyang dibagi lagi menjadi zone vadose


danzone kapiler

14
- lapisan di bawah muka airtanah (water table) dikenal sebagai zone jenuh air

Sifat dan kedudukan akuifer non-kars secaravertikal ini cenderung tetap dan
hanya berfluktuasimenurut musim sepanjang tahun.Sementara itu, sifat agihan
vertikal akuiferpada batuan karbonat cenderung berubah darike waktu tergantung

dari cepat lambatnyatingkat pelarutan dan lorong-lorong yang pada akhirnya,


penurunan mukaairtanah akan stabil setelah mencapai kedudukanyang sama
dengan water level setempat (local base level) jika batuan karbonat terletak di
atasformasi batuan lain. Secara umum perbedaanzonasi vertikal akuifer kars dan
non- karsdisajikan pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Zonasi vertikal akuifer kars (kanan) dan non kars (kiri)
(White,1993)

b. Porositas

Porositas () atau kesarangan batuanadalah rasio antara volume pori-pori


batuandengan total volume batuan. Besar kecilnya porositas tergantung darijenis
batuan dan matrik pada batuan itu sendiri. Berbicara mengenai besarnya porositas
batuan karbonat pada daerah kars tidak semata-mata tergantung dari matriks
batuan, tetapi lebih tergantung dari proses lanjutan setelah batuan itu terbentuk
atau muncul di permukaan bumi. Secara umum porositas batuan dibedakan
menjadi dua tipe yaitu:

15
1. Porositas primer, yaitu porositas yang tergantung dari matriks batuan itu
sendiri; dan
2. Porositas sekunder, yaitu porositas yang lebih tergantung pada proses
sekunder seperti adanya rekahan ataupun lorong hasil proses solusional.

Dalam hal ini, jika dikatakan bahwabatuan karbonat di daerah kars mempunyai
porositas yang besar adalah lebih signifikan karena adanya percelahan hasil proses
pelarutansehingga lebih cocok digolongkan sebagaiporositas sekunder.
Kesimpulannya, batuangamping yang belum terkarstifikasi akanmempunyai nilai
porositas yang jauh lebih kecildibandingkan dengan batuan gamping yang
telahterkarstifikasi dengan baik. Batuan gamping dan juga dolomit yangbelum
terkarstifikasi mempunyai kisaran nilaiporositas yang sangat kecil (maksimal
10%).Sebaliknya, jika jika batuan gamping telahterkarstifikasi akan mempunyai
nilai porositasyang tinggi (mencapai 50%).

Selanjutnya, Gambar 3.5 mengilustrasikan perbedaan tipe porositas padadaerah


kars dan non-kars

Gambar 3.5. Tipe porositas pada kars (kanan) dan non-kars (kiri) (White, 1988)

16
3.3.2.Sistem Akuifer Kars

Sistem hidrologi di daerah kars didominasi oleh pola diffuse danconduit. Pada
Gambar 3.6mengilustrasikan skema sistem aliran internal akuifer kars, pada
bagian atas adalah permukaan tanah, dan diasumsikan memiliki tiga komponen
daerah tangkapan air yaitu: dari formasi kars itu sendiri, daerah lain non-kars yang
berdekatan (contoh: aliranallogenic), dan masukan dari bagian atas formasi kars
(misal: sungai yang masuk/tertelan) atau masukan langsung secara vertikal.
Sebagian hujan akan terevapotranspirasikan dan sisanya akan masuk ke akuifer
kars sebagai limpasan allogenic, limpasan internal dan infiltrasi rekahan-rekahan
kecil (diffuse infiltration). Hujan yang masuk harus menjenuhkan tanah dan zona
rekahan/epikarst sebelum masuk ke zona vadose. Sungai yang tertelan dan masuk
melalui ponor pada lembah/doline biasanya langsung membentuk lorong conduit
dan dapat berkembang sebagai saluran terbuka atau pipa-pipa vadose. Selain itu,
air yang dialirkan dari dari daerah tangkapan hujan atau dari aquifer yang
bertengger di atas formasi kars (jika ada) biasanya akan langsung menujuzona
vadose melalui lorong-lorong vertikal.Akhirnya, aliran tersebut dapat bergabung
denganlorong conduit dari masukan lain, dan ada pulayang menjadi mataair bila
kondisi topografimemungkinkan.

Gambar 3.6. Perkembangan lorong conduit (Domenico and Schwatz,1990).

17
Imbuhan yang mempunyai sifat diffuse bergerak secara seragam kebawah
melaluirekahan-rekahan yang tersedia (fissure). Jikasistem diffuse oleh fissure
berkembang baik, makadapat dipastikan bahwa proses infiltrasi pada zonaepikarst
berlangsung dengan baik. Pada kars yang berkembang baik,fissure sudah
menjadisatu sistem dengan conduit danmemasok aliran airnya ke lorong-lorong
conduit.Gambar 3.7 menunjukkan perbedaan tipe aliranantara sistem diffuse dan
conduit.

Gambar 3.7. Sistem aliran conduit vs sistem aliran diffuse (White, 1988)

3.4.Analisis Mata Air Kars (Cave Springs)

Sebelum membahas mengenai caraanalisis mataair kars, ada baiknya kita


sepakatiterlebih dahulu definisi dan karakteristik mataair didaerah kars. Secara
umum, mataair adalahpemunculan airtanah ke permukaan bumi karenasuatu
sebab. Sebab munculnya mataair dapatberupa topografi, gravitasi, struktur
geologi, dll.Sementara itu, mata air kars menurut White(1988) adalah air yang
keluar dari akuifer karsterutama pada cavities hasil pelarutan dipermukaan atau
bawah permukaan bumi.

Beberapa keunikan yang dijumpai padamataair kars adalah mataair dengan debit
yangsama besar, bersuhu sama, mempunyaikesadahan yang sama dapat pula
dijumpai padamataair kars di tempat lain. Selain itu, debitmataair kars biasanya
mempunyai debit yangbesar, dan di negara - negara Eropa disebut-sebut

18
mampumenggerakkan kincir angin di daerah pertanian,walaupun tidak sedikit
mataair kars yangmempunyai debit aliran kecil. Keunikan yang lainadalah
karakteristik mataair kars yang sangattergantung dari tingkat karstifikasi suatu
wilayah.Elevasi suatu mataair kars dapat semakin dalammenurut waktu dan bila
mencapai local base level,maka mata air disekitarnya yang lebih kecil akanhilang
dan bergabung sesuai dengan melebarnyalorong conduit. Dengan kata lain
semakin sedikitjumlah mataair kars, maka semakin besar puladebit yang keluar.
Selanjutnya, klasifikasi mataairkars hampir tidak berbeda dengan
klasifikasimataair pada kawasan lain di permukaan bumi :

3.4.1. Klasifikasi atas dasar periode pengalirannya

a. Perennial springs : mataair kars yangmempunyai debit yang


konsistensepanjang tahun

b. Periodic springs : mataair kars yangmengalir pada saat ada hujan saja

c. Intermitten springs : mataair kars yangmengalir pada waktu musim hujan

d. Episodically flowing springs : mataair karsyang mengalir pada saat-saat


tertentusaja dan tidak berhubungan denganmusim atau hujan

3.4.2. Klasifikasi atas dasar struktur geologi

a. Bedding springs, contact springs: mataair kars yang muncul pada bidang
perselingan formasi batuan atau perubahan jenis batuan, misal jika akuifer
gamping terletak diatas formasi breksi vulkanik

b. Fracture springs : mataair kars yangkeluar dari bukaan suatu joint atau kekar
atau retakan di batuan karbonat

c. Descending springs: mataair kars yang keluar jika ada lorong conduit dengan
arah aliran menuju ke bawah

d. Acending springs : matair kars yangkeluar jika ada lorong conduit dengan arah
aliran menuju ke atas. Jika debitnya besar sering disebut sebagai vauclusian
spring(Gambar 3.8).

19
Gambar 3.8. Jenis-jenis mataair kars karena struktur geologi (White, 1988)

3.4.3. Klasifikasi atas dasar asal airtanah kars

a. Emergence springs : mataair kars yangmempunyai debit besar tetapi tidak


cukupbukti mengenai daerah tangkapannya

b. Resurgence springs : mataair kars yangberasal dari sungai yang masuk


kedalamtanah dan muncul lagi di permukaan

c. Exsurgence springs : mataair karsdengan debit kecil dan lebih beruparembesan-


rembesan (seepages)Selain klasifikasi mataair kars yangmdisebutkan diatas,
masih terdapat beberapa jenismataair kars yaitu mataair kars yang muncul
dibawah permukaan laut (submarine karst springs)yang disajikan pada Gambar
3.10, dan mataair digoa (cave springs)

Gambar 3.9. Vaucluse dan submarine Springs (White, 1988).

20
BAB IV

PEMBAHSAN

4.1 Hasil Analisis

Berkembangnya sistem akuifer kars di daerah penelitian dengan terlihatnya


sistem rekahan dan jaringan rongga pada batuan yang berasosiasi dengan
kemunculan mata air pada tempat-tempat tertentu. Hasil penelitian di lapangan
menemukan 23 mata air kars dengan debit berkisar antara 0 hingga 1300 l/dt
yang tersebar terutama di satuan plato kars dan satuan perbukitankars, serta
beberapa mata air berdebit kecil di satuan dataran kars.

Gambar 4.1. peta lokasi mata air di daerah penelitian ( modifikasi dari Effendi
dan Apandy, 1993)

Sebagian mata air kars bersifat permanen dan telah dimanfaatkan oleh penduduk
sekitar, baik dengan cara penurapan sederhana maupn dengan sistem pipanisasi,
dan beberapa mata air dimanfaatkan untuk keperluan irigasi. Berdasarkan atas
klasifikasi mata air menurut Meinzer (1923) dalam Kresic dan Stevanovic (2010),
dari 32 mata air tersebut, mata air memiliki magnitudo 2, 1 mata air memiliki
magnitudo 3, 5 mata air memiliki magnitudo 4, 4 mata air memiliki magnitudo 5,
4 mata air memiliki magnitudo 6, dan 8 mata air memiliki magnitudo 8 (Tabel.1).

21
Hubungan antara nilai magnitudo dengan besaran debit menurut Meinzer (1923)
dalam Kresic dan Stevanovic (2010) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Mata air penyelidikan beserta klasifikasi Menurut Meinzer (1932)


dalam kresic danStevanovic (2010)

No Nama mata air x y Elevasi Debit Magnitudo


(maml) (l/dt) (Meinzer,1923)
1 Ma.Waekelosawa (Ma-1) 756872 8938454 434 1300 2
2 Ma. Mondamiah (Ma-2) 754609 8938859 417 36 4
3 Ma.Weetobula (Ma-6) 765139 8934627 411 0 8
4 Ma. Matawaekabugal (Ma-7) 763464 8925021 208 0.76 6
5 Ma. Kabukarudi (Ma-8) 758428 8925592 124 22 4
6 Ma. Lokori-1 (Ma-11) 763144 8957333 69 0 8
7 Ma. Lokory-2 (Ma-12) 761618 8955674 67 0 8
8 Ma. Karekanduku (Ma-14) 765475 8946802 491 0.4 6
9 Ma. Tanarara (Ma-15) 769321 8942507 481 21 4
10 Ma. Komerda 1 (Ma-15) 764491 8934734 404 2.1 5
11 Ma. Komerda 2 (Ma-19) 764618 8934781 406 0 8
12 Ma. Lokoroda (Ma-20) 766963 8933321 446 0 8
13 Ma. Weeteka (Ma-21) 770108 8935528 449 0.15 6
14 Ma. Labateri (Ma-22) 772442 8934759 391 60 4
15 Ma. Beluwawi (Ma-23) 774442 8936125 454 8 5
16 Ma. Cewel (Ma-24) 754616 8941848 497 10 4
17 Ma. Tanggaba (Ma-26) 753669 8948762 399 0.1 6
18 Ma. Waekelo (Ma-28) 745238 8961136 28 0 8

19 Ma. Weekasoda (Ma-29) 744771 8948389 453 158 3

20 Ma. Waetanahrewa (Ma-31) 752679 8944280 515 1.73 5

21 Ma. Waelabongga (Ma-32) 748846 8947643 459 1.12 5

22 Ma. Weewini (Ma-33) 735534 8959511 18 0 8

23 Ma. Waekahunga (Ma-36) 714666 8949019 24 0 8

Tabel 2. Klasifikasi Mata Air berdasarkan atas besaran debit ( Meinzer, 1923
dalam Kresik dan Stevanovic, 2010 )

Magnitude Debit (liter/detik)


1 > 10.000
2 1.000 10.000
3 100 1000
4 10 100
5 1 10
6 0,1 1
7 0,01 0,1
8 < 0,01

Mata air terbesar di daerah penelitian adalah mata air Waekelosawa dengan debit>
1300 l/dt. Yang telah dimanfaatkan unutk keperluan irigasi di daerah Waekabubak
dan sekitarnya. Mengacu pada klasifikasi interface menurut Mylroe (1984), mata
air dengan debit > 10 l/dt. (magnitudo < 4) merupakan tipe resurgence (Gambar
4.2), yaitu munculnya aliran air di permukaan yang berasal dari drainase bawah
permukaan. Mata air tersebut antara lain maia air Waekelosawa, mata air Labareri,
dan mata air dengan < 10 l/dt. (magnitudo > 4), menunjukan tipe intersection,

22
yaitu sistem koneksi antara air yang keluar dan masuk di bawah permukaan yang
saling berdekatan. Mata air tipe ini antara lain mata air Beluwawi, mata air
Waekelo, dan mata air Waekahunga (Gambar 4.3).

Gambar 4.2. Bentuk interface antara drainase permukaan dan bawah permukaan
daerah kars (modifikasi dari Mylroie, 1984)

Gambar 4.3. Mata Air Waekelosawa yang merupakan resurgene (kiri) dan mata
air beluwawi sebagai intersection (kanan). ( Sumber : Setiawan, T.
dan Nofy M. 2015)

4.2. Pembahasan

Untuk mengetahui karakter hidrologi kars di daerah penelitian, maka dilakukan


pengeplotan besaran debit mata air kars terhadap elevasi. Grafik hasil pengeplotan
yang menghubungkan kedua parameter tersebut dapat dilihat pada gambar 4.4.
Berdasarkan atas grafik tersebut terlihat bahwa mata air permanen dengan debit >
10 l/dt terletak pada satuan perbukitan kars dan satuan plato kars dengan level

23
elevasi 390 hingga 500 mdpl, sedangkan mata air yang terdapat pada satuan
dataran kars memilik debit kecil (< 1 l/dt). Berdasarkan atas gambar 4.4 terlihat
bawah mata air yang berada di daerah dekat pantai memiliki debit yang jauh lebih
kecil dibandingkan dengan debit mata air kars pada satuan perbukitan kars dan
satuan plato kars.

Gambar 4.4. Grafik mata air kars pada daerah penelitian ( Sumber : Setiawan,
T. dan Nofy M. 2015).

Menurut Milanovic (1981), pada sistem hidrologi kars, posisi muka air laut
sebagai absolute base level merupakan faktor yang penting dalam menentukan
dominasi arah dari sirkulasi air tanah di daerah kars. Peranan base level sangat
berpengaruh terhadap besaran debit mata air kars, sehingga pada daerah pantai
biasanya dujumpai mata air dengan debit besar yang merupakan akumulasi air
tanah dari daerah tangkapan air yang luas. Berdasarkan atas hal tersebut terlihat
bahwa terdapat anomali distribusi besaran debit mata air kars di daerah penelitian,
yaitu debit mata air di daerah pantai jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan
mata air pada satuan perbukitan kars.

Kecilnya debit mata air di daerah pantai menimbulkan dugaan bahwa mata air
tersebut tidak di kontrol oleh daerah tangkapan air yang luas pada daerah
penelitian. Mata air tersebut kemungkinan di kontrol oleh struktur geologi baik
berupa sesar, sistem rekahan, maupun kontak batuan yang berbeda.

Untuk mengetahui kontrol sistem rekahan yang mengontrol aliran air tanah di
daerah penelitian, maka analisis sistem rekahan yang tercermin pada pola

24
kelurusan morfologi menjadi hal yang penting. Analisis pola kelurusan morfologi
pada citra SRTM di daerah penelitian dilakukan denganmengunakan diagram
roset dan hasilnya dapat dilihat pada gambar 4.5. Hasil analisis menunjukan
bahwa secara umum kelurusan di daerah penyelidikan memiliki arah relatif barat
laut tenggara, yaitu N130 - N150 dengan vector mean adalah N148 atau
N340.

Gambar 4.5. Diagram roset kelurusan morfologi daerah penelitian ( Sumber


: Setiawan, T. dan Nofy M. 2015)

Pola kelurusandi daerah penelitian memiliki variasi secara spasial (Gambar 4.6).
Terdapat arah rekahan yang lebih variatif, yaitu selain mengikuti pola barat laut
tenggarah dengan arah vector mean N274E atau N274E. Berdasarkan peta
geologi, kelurusan dengan arah relatif barat timur tersebut mencerminkan sistem
patahan (sesar) yang ada di daerah penyelidikan, terutama pada satuan perbukitan
kars.

Berdasarkan atas analisis pola kelurusan morfologi terlihat bahwa air tanah pada
satuan perbukitan kars memiliki pola aliran baratlaut tenggara hingga utara
selatan. Air tanah yang berasal dari satuan perbukitan kars sebagian mengalir
menuju satuan dataran kars di daerah Waekabubak dan sekitarnya yang terluahkan
olah karena kontrol rekahan dan sesar. Besarnya lepasan air tanah di daerah ini
juga terlihat dari karakter sungai yang berkembang di daerah ini, yaitu sebagai
bagian hulu sungai Polapare. Sungai Polapare merupakan sungai permanen dan
terbesar di wilayah Pulau Sumba bagian Timur yang memiliki muara di bagian
baratdaya daerah penelitian yaitu di daerah Tanjung Mareha.

25
Gambar 4.6. Distribusi spasial pola kelurusan morfologi daerah penelitian
(modifikasi dari Effendi dan Apandy, 1993)

Gambar 4.7. Muara sungai Polaare di daerah Panjung Mareha, (sumber


:Setiawan, T. dan Nofy M. 2015 )

Berdasarkan beberapa analisis yang telah dijelaskan di atas terlihat bahwa peranan
sesar sangat penting dalam mengontrol hidrologi kars di daerah Waekabubak dan
sekitarnya. Menurut Goldscheider and Drew (2007), sesar dapat bertindak sebagai
penghalang maupun penghantar antar unit akuifer pada blok yang naik maupun
pada blok yang turun (Gambar 4.8). Berdasarkan mata air yang ada di daerah
penelitian yang muncul baik pada zona batas antara perbukitan dan dataran,maka
kemungkinan sesar pada daerah tersebut secara hidroliks bertindak sebagai
penghantar. Berdasarkan atas terdapatnya sumur bor dan mata air artesis (mata air
komerda) di daerah Waekabubak (Gambar 4.9), maka jenis sesar tersebut adalah
sesar terbuka yang dapat bertindak sebagai penghubung antara unit hidrostratigrafi

26
pada Satuan perbukitan kars dengan satuan dataran kars. Menurut Goldscheider
and Drew (2007), material pengisi pada bidang sesar tersebut dapat berupa
material berukuran kasar, seperti breksi sesar tersebut dapat berupa material
berukuran kasar, seperti breksi sesar atau urat kalsit yang terkartifikasi.

Gambar 4.8. Hubungan hidrolika antara akuifer yang mengalami sesar normal,
dapat bertindak sebagai penghalang (a dan c), maupun sebagai
penghubung (b dan d) antara akuifer pada blok naik turun
(Goldscheider and Drew, 2007).

Gambar 4.9. Mata air komerda dan sumur bor artesis di daerah Waekabubak.
( sumber : Setiawan, T. dan Nofy M. 2015).

27
Gambaran mengenai kondisi hidrologi kars daerah penelitian dapat dilhat pada
(Gambar 4.10). Dari gambar tersebut terlihat bahwa sistem akuifer kars yang
utama di daerah penelitian merupakan integrasi antara air tanah yang berasal dari
satuan perbukitan kars yang dilepaskan pada satuan plato kars yang berada pada
daerah Waekabubak dan sekitarnya yang secara administratif merupakan Ibu Kota
Sumba Barat.

Gambar 4.10. Model konseptual hidrologi kars daerah penelitian.


( sumber :Setiawan, T. dan Nofy M. 2015)

BAB V

KESIMPULAN

Keterdapatan sistem air tanah kars di daerah Pulau Sumba Bagian Barat terlihat
dengan berkembangnya sistem rekahan dan saluran pelarutan yang pada tempat
tempat tertentu berasosiasi dengan kemunculan mata air. Hasil penelitian
menemukan 23 mata air dengan debit berkisar antara 0 hingga 1300 1/det yang
tersebar terutama di satuan Plato Kars dan Satuan Perbukitan Kars, serta beberapa
mata air di Satuan Dataran Kars. Keterdapatan mata air kars di daerah ini
kemungkinan dikontrol oleh struktur geologi, baik berupa sesar, sistem rekahan,
maupun kontak batuan yang berbeda. Analisis pola kelurusan morfologi
menunjukan air tanah pada Satuan Perbukitan Kars memiliki pola aliran barat

28
tenggara hingga utara selatan. Air tanah tersebut sebagian mengalir menuju
Satuan Plato Kars di daerah Waekabubak dan sekitarnya yang terluahkan oleh
karena kontrol rekahan dan sesar normal berarah relatif barat timur. Sesar
tersebut secara hidroliks merupakan penghubung antara unit hidrostratigrafi pada
Satuan Perbukitan Kars dengan Satuan Dataran Kars. Karakter struktur geologi
dan besaran debit mata air menunjukan bahwa sistem akuifer kars yang utama di
daerah penelitian merupakan integrasi antara air tanah yang berasal dari Satuan
Perbukitan Kars dengan air tanah yang dilepaskan pada Satuan Plato Kars di
daerah Waekabubak dan sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Acworth, R.I.,2001. Electrical Methods in Groundwater Studies, Short Course


Note,School of Civil and EnvironmentalEngineering, University of New
SouthWales, Sydney, Australia.
Adji, T. Geomorfologi dan Hidrologi Karst . 17 Januari 2016.
https://www.researchgate.net/publication/290608050_geomorfologi_dan
_hidrlologi_karst.

Adji, T.N., dan Suyono, 2004, Bahan Ajar Hidrologi Dasar, Fakultas Geografi
UGM (tidakdipublikasikan).
Adji, T.N., Haryono, E., dan Suprojo. S.W., 1999. ,Kawasan Karst dan Prospek
Pengembangannya di Indonesia, Prosiding Seminar PIT IGI di
Universitas Indonesia,26-27 Oktober 1999.

29
Aslindas Layly Siklus Hidrologi dan Sumber Asal Air. 27 Desember 2014.
http://aslindasaras.blogspot.co.id/2014/12/siklus-hidrologi-dan-sumber-
asal-air.html.
Domenico,P.A. and Schwartz, F.W., 1990,Physical and Chemical Hydrogeology.
2ndEd. John Wiley & Sons.
Efeendi, A.C. dan Apandi, T. 1993. Peta geologi bersisem, lembar Waikabubak
dan Waingapu, Pulau Sumaba, Nusa Tenggarah Timur, Skala 1 : 250.000,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Goldscheider and Drew, 2007. Methods in karst hydrogeology, Taylor and francis
Group London, UK.
Ina Cornelia Keadaan Pulau Sumba-NTT. 03 Juli 2012.
http://cornelia.blogspot.co.id/2012/07/keadaan-pulau-sumba-ntt.html.

Jankowski, J., 2001. Hydrogeochemistry, Short Course Note, School of Geology,


UniversityOf New South Wales, Sydney, Australia(tidak dipublikasikan).
Kresic, N and Stevanovic, Z, 2010. Grounwater Hydrology Of Spring, Elsevier
Inc, USA.
Kusumayudha, S.B., 2005, Hidrologi Karst dan Geometri Fraktal Daerah
Gunung Sewu, Adi Citra Karya Nusa, Yogyakarta.
Linsley, R.K., Kohler, M.A., and Paulhus, J.L., 1975.Hydrology for Engineers.
2nd. Ed. McGraw Hill Kogakusha Ltd. Tokyo, Japan.
MacDonalds and Partners. 1984. GreaterYogyakarta Groundwater Resources
Study. Vol 1: Main Report. Yogyakarta,Directorate General of Water
ResourcesDevelopment Project (P2AT).
Meiser, p., Pfeiffer, D., Purbohadiwidjojo, M., and Sukardi, 1965. Hydrogeologic
al Map Of The Isle Of Sumba, 1 : 250.000, Direktorat Geologi, Bandung.
Milanovic, P, T, 1981. Karst Hydrogeology, Water Resources Publication, USA.

Mylroie, j. E., 1984. Groundwater as a Geomorphic Agent : Hydrologic


Classification of Caves and Karst. The Binghamton, Symposia in
Geomorphology, Internasional Series, No. 13, Allen & Unwin, Inc,
Britain.
Parizek, R. P., 1976. On the nature and significance of fracture traces and
lineaments in carbonate and other rerranes, in Karst Hydrology and
Water Resources. Vol. 1 Karst Hydrology, Water Resources Publication,
Colorado, pp.47-88.
Singhal, B.B.S., and Gupta. R. P., 1999. Applied Hydrogeology of Fractured
Rocks, Kluwer Academic Publisher Netherlands.

30
Soenarto, B., 2004. Identifikasi Keberadaan Air Tanah dan Keluaran Air Daerah
Karst di Kabupaten Sumba Barat. Jurnal Penelitian dan pengembangan
Pengairan Vol. 18. No. 54.
Srijono, S.U, Husein, S., dan Budiadi, E., 2011, Buku Ajar Geomorfologi, Jurusan
Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta.
Thornbury, W.D., 1954, Principle Of Geomorfologi, John Wiley & Sons, Inc. New
York.
Todd, D.K., 1980. Groundwater Hydrology. 2ndEd. John Wiley & Sons.

Van Zuidam, R. A., 1983. Guide to Geomorphologic Areal Pothographic


Interpretation and Mapping Section of Geology and Geomorphology,
Enschede, The Netherlands.
White, W.B., 1988. Geomorphology and Hydrology of Karst Terrain.
OxfordUniversity Press, New York.
White, W.B., 1993. Analysis of Karst Aquifer.In:Alley, W.M. (editor), regional
groundwater Quality. Van Nostrand Reinhold, New York.

31

Anda mungkin juga menyukai