Anda di halaman 1dari 14

PERJALANAN FILSAFAT DALAM PEMIKIRAN ISLAM

Oleh: A. Khudori Soleh

Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, diakui banyak
kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Namun demikian,
seperti dikatakan Oliver Leaman,1 adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat
Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani tersebut atau hanya nukilan dari filsafat
Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Renan, atau dari Neo-Platonisme seperti
dituduhkan Duhem.

Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru atau membebek semata. Mesti
difahami bahwa kebudayaan Islam menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul
dan berinteraksi. Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiranpemikiran baru. Jika
kebudayaan Islam tersebut terpengaruh oleh kebudayaan Yunani, mengapa tidak terpengaruh
oleh peradaban India dan Persia, misalnya? Artinya, transformasi dan peminjaman beberapa
pemikiran tidak harus mengkonsekuensikan perbudakan dan penjiplakan.

Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam
masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Meski karya-karya Yunani mulai
diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi bukubuku filsafatnya yang kemudian
melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa
dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811- 833 M), oleh orang-orang seperti
Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq.4 Pada masa-masa
ini, sistem berfikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam,
yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalm (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang
rasional, yang dibangun Wasil ibn Ata (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat,
bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya
masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu
Hudzail ibn al-Allaf (752- 849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar ibn
Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M).

Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbth)
dengan istilah-istilah seperti istihsn, istishlh, qiys dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-
tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinbth dengan menggunakan rasio seperti itu,
seperti Abu Hanifah (699- 767 M), Malik (716-796 M), Syafii (767-820 M) dan Ibn Hanbal
(780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani. Semua itu menunjukkan bahwa
sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang
berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soalsoal teologis dan kajian hukum. Bahkan,
pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi
diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam.

A. Sumber Pemikiran Rasional Islam.


Jika demikian, dari mana pemikiran rasional filosofis Islam itu sendiri berawal? Sebagaimana
dinyatakan para peneliti yang kritis, muslim maupun non-muslim,7 pemikian rasional-filosofis
Islam lahir bukan dari fihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, dari al-Qur`an,
khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk mensesuaikan antara ajaran teks dengan
realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul saw masih hidup,
semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi
lewat jalan kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan
setelah Rasul wafat dan persoalanpersoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan
perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks
suci, al-Qur`an, lewat berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi
yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain,

(1) penggunaan takwl. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-
masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi
pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia berusaha
keluar dari makna lahiriyah (zhahir) teks.

(2) Pembedaan antara istilah-istilah ataupengertian yang mengandung lebih dari satu makna
(musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Disini justru lebih
mendekati model pemecahan filosofis disbanding yang pertama.

(3) Penggunaan qiys (analogi) atas persoalanpersoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara
langsung dalam teks.8 Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah,
34) itu hanya berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga?
Apakah kata mukmin dan muslim dalam al-Qur`an juga mencakup wanita dan budak?

Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan
pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya
mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana
menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan
maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai
perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat
manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak
bertangan, tidak berkaki dan seterusnya.9 Semua itu menggiring para intelektual muslim periode
awal, khususnya para teolog untuk berfikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya metode-
metode pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda dengan model filsafat
Yunani. Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman, hanyalah terletak pada premis-premis
yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa
pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-
premis logis, pasti dan baku. Setelah itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, lewat program
penterjemahan.

B. Filsafat Yunani dalam Pemikiran Islam.

Peradaban dan pemikiran Yunani, termasuk filsafat, menurut catatan para sejarawan, telah mulai
di kenal dan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa dan Qinnesrin (wilayah
Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras`aina(wilayah dataran tinggi Iraq) sejak abad ke IV M.
Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh penaklukan tentara muslim
ke wilayah tersebut yang terjadi padamasa kekhalifahan Umar ibn Khattab (634-644 M).
Setidaknya ini bisa dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di biara Qinissirin
di Syiria dan munculnya tokoh yangmenghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas Sebokht
(w.667 M) yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles, juga Jacob (w. 708 M)
yang menulis Enchiridion danmenterjemahkan Categories karya Aristoteles kedalam bahasa
Arab.

Buku-buku dan ilmu-ilmu Yunani yang lain yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dalam
periode ini, yaknimasa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M), khususnya pada masa
kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M) adalah terutama yang berkaitan dengan persoalan
administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk
mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia.
Selanjutnya, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia
dan antropologi.13 Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukan oleh persoalan politik dan
ekonomi, usaha-usaha

keilmuan ini tidak berlangsung baik.

Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam
setelah masa pemerintahan Bani Abas, khususnya sejak dilakukan program penterjemahan buku-
buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun (811-833 M); suatu
program yang oleh al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional
Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani
dengan epistemologi bayani Arab. Program penterjemahan dan kebutuhan akan penggunaan
metode filsafat ini sendiri, di dasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada, bahwa saat itu muncul
banyak doktrin yang kurang lebih hiterodok yang datang dari Iran, India, Persia atau daerah
lain dari pinggiran Islam, seperti Mazdiah, Manikian, materialisme, atau bahkan dari pusat Islam
sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti
penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah zindiq.15 Untuk
menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim (ulama) merasa perlu untuk mencari
sistem berfikir rasional dan argumen-argumen yang masuk akal, karena metode sebelumnya,
bayani sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat
beragam yang tidak dikenal sebelumnya. Karena itu, Ira M. Lapidus menyatakan bahwa filsafat
bukan sekedar bentuk analisis secara murni tetapi telah menjadi bagian dari agama.

Selanjutnya, metode dan pemikiran filsafat Yunani ini, dalam pemikiran Islam, pertama kali
dikenalkan dan digunakan oleh al-Kindi (806-875). Dalam kata pengantar buku Filsafat
Pertama (al-Falsafat al-la), yang dipersembahkan untuk khalifah al-Mu`tashim (833-842), al-
Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada
orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, karena begitu dominannya
kaum bayani (fuqaha) ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa
yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema.17 Meski demikian, al-Kindi telah
memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam; kesejajaran antara pengetahuan
manusia dan Tuhan, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang; (1)
penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana
pembuktiannya, (3) pengetahuan Tuhan yang partikuar, apa ada hubungannya dengan astrologi
dan bagaimana terjadinya.

Metode rasional filsafat Yunani semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran Arab-Islam
adalah setelah masa al-Razi (865-925). Ia di kenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi dan
dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi, semua
pengetahuan pada prinsipnya- dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal atau
rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk
memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk; setiap sumber
pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan.

Meski demikian, perkembangan yang pesat pada ilmu-ilmu Yunani dalam Islam berkat
dukungan yang besar dari Khalifah sebagaimana diatas bukan tidak menimbulkan persoalan.
Imam Ibn Hanbal (780-855 M), salah seorang imam mazhab fiqh dan orang-orang yang
sepikiran dengannya dari kalangan ortodoks menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi
terhadap ilmuilmu Yunani. Menurut George N. Atiyeh,20 penentangan kalangan ortodoks
tersebut disebabkan, pertama, adanya ketakutan dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu
Yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua,
adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan
Yunani adalah orang-orang non-muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim
penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan
atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha
untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya maupun faham-
faham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran
filsafat Yunani.

Kecurigaan dan penentangan kaum ortodoks terhadap ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa
dasar. Kenyataannya, tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan
dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah Ibn Rawandi (lahir 825 M).21
Ia menolak adanya kenabian, setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian bertentangan
dengan akal sehat, begitu pula tentang syareatsyareat yang dibawanya, karena semua itu telah
bisa dicapai oleh akal; akal telah mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan
jahat dan seterusnya.22 Contoh lain adalah al-Razi (865-925 M).23 Al-Razi juga menolak
kenabian dengan tiga alasan;

(1) bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna.
Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan
baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi.

(2) Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang
lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan
pendidikan yang membedakan mereka,

(3) bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama
Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan.
Usaha penentangan kaum ortodoks yang dipelopori Ibn Hanbal terhadap ilmu-ilmu Yunani
diatas mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil (847-861 M).
Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum ortodoks (salaf)
menyebabkan kalangan yang tadinya tertindas ini memperoleh angin dan muncul kepermukaan
menggantikan posisi orang-orang Muktazilah khususnya dan para ahli filsafat umumnya, dan
mulailah terjadi revolosi; orangorang yang tidak sefaham dipecat dan diganti dari kalangan
salaf. Al-Kindi yang ahli filsafat adalah salah satu contoh, dipecat dari jabatannya sebagai guru
istana karena tidak sefaham dengan sang khalifah yang salaf.

Terkena tindakan keras dan resmi pemerintah tersebut, untuk sementara, khususnya di ibu kota
Baghdad, filsafat mengalami kemunduran, setidaknya tidak mengalami perkembangan berarti,
karena tidak bisa diajarkan secara bebas dan terbuka. Akan tetapi, diluar Baghdad, di kota-kota
propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan,
sehingga melahirkan seorang filosof besar, yakni al-Farabi (870-950).26 Tokoh yang dikenal
sebagai folosof paripatetik ini tidak hanya menggunakan metode burhani dalam filsafatnya tetapi
bahkan berhasil meletakkan filsafat Aristoteles sebagai dasar-dasar filsafat Islam sehingga
dianggap sebagai guru kedua (al-mu`allim al-tsni) setelah Aristoteles sebagai guru pertama
(al-mu`allim al-awwl).

Selain itu, al-Farabi juga menempatkan burhani sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga
ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya dibanding
ilmu-ilmu agama; teologi (ilm al-kalm) dan yurisprodensi (fiqh), yang tidak mempergunakan
metode burhani.27 Dalam hal ini ia membuat tiga klasifikasi keilmuan; ilmu-ilmu filsafat, ilmu-
ilmu religius dan ilmu-ilmu bahasa. Menurutnya, ilmu-ilmu filsafat berada dalam hierarki paling
tinggi dan unggul disusul kemudian ilmu-ilmu religius dan ilmu bahasa. Yang termasuk ilmu-
ilmu filsafat adalah metafisika, matematika, ilmu-ilmu alam dan ilmu politik.28 Sampai disini
filsafat Yunani telah memperoleh tempat dan posisi yang cukup mapan dalam percaturan
pemikiran Arab-Islam. Dukungan dan pembelaan yang ketat dari al-Farabi telah menyebabkan
filsafat memperoleh tempat yang demikian, bahkan melebihi posisi ilmu-ilmu yang diklaim
sebagai ilmu religius.

Dengan posisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika dalam waktu yang tidak lama,
pemikiran filsafat Yunani segera menduduki posisi puncak dalam percaturan pemikiran Arab-
Islam, yakni pada masa Ibn Sina (980-1037 M). Dalam filsafat, seperti halnya al-Farabi, Ibn Sina
menegakkan bangunan Neoplatonisme diatas dasar kosmologi Aristoteles-Plotinus, dimana
dalam bangunan tersebut digabungkan konseppembangunan alam wujud menurut faham
emanasi.29 Dalam kaitannya dengan kenabian, Ibn Sina juga berusaha membuktikan adanya
kenabian, dengan menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma yang
disebut akal, berbeda dengan al-Farabi yang menyatakan bahwakenabian adalah suatu bentuk
imajinasi tertinggi. Dengan prestasi-prestasi yang hebat dalam filsafat, Ibn Sina kemudian diberi
gelar Guru Utama (al-Syaikh al-Rais).

Akan tetapi, segera setelah Ibn Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena
serangan al-Ghazali, meski al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat
tulisannya dalam Tahfut al-Falsifah yang diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlall,31 al-
Ghazali, sebenarnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-
Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037), meski serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya
tidak tepat,32 juga pada pemikiran para filosof Yunani purba, seperti Thales (545 SM),
Anaximandros (547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Heraklitos (480 SM) yang dengan mudah
bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam,33 bukan ilmu logika atau epistimologinya,
karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-
ajaran agama.34 Bahkan, dalam al-Mustashf fi `ulm al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian
hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani. Akan tetapi, kebesaran al-
Ghazali sebagai Hujjat al-Islm telah begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim,
sehingga tanpa mengkaji kembali persoalan tersebut dengan teliti mereka telah ikut menyatakan
perang dan antipati terhadap filsafat. Bahkan, sampai sekarang di perguruan tinggi sekalipun,
jika ada kajian filsafat umumnya masih lebih banyak dilihat pada sisi sejarahnya, bukan
metodologi, sistematika atau substansi pemikirannya.

Filsafat Yunani, khususnya Aristotelian, kemudian muncul lagi dalam arena pemikiran Islam
pada masa Ibn Rusyd (1126-1198). Lewat tulisannya dalam Tahfut al-Tahfut, Ibn Rusyd
berusaha mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini
rupanya kurang berhasil, karena menurut Nurcholish,37 balasan yang diberikan Ibn Rusyd lebih
bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali bersifat Neoplatonis. Meski demikian, jelas
bahwa dalam bandingannya dengan epistemologi Arab-Islam, Ibn Rusyd lebih mengunggulkan
epistemologi filsafat dibanding epistemologi Arab-Islam. Menurutnya, metode burhani
(demonstratif) yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna untuk
kalangan elite terpelajar, sementara metode dialektika (jadal) yang dipakai dalam teologi dan
yurisprodensi adalah metode biasa yang sesuai untuk kalangan menengah dan kalangan awam.

Setelah Ibn Rusyd, filsafat yang nota bene dari Yunani itu tidak lagi terdengar gemanya dalam
pemikiran Islam, kecuali dalam mazhab Syiah. Dikalangan elite terpelajar madzhab ini,
pemikiran filsafat masih tetap berjalan dan hidup, sehingga masih lahir tokoh-tokoh terkemuka
seperti Mulla Sadra (1571-1640), Mullah Hadi (1797-1873) dan lainnya.

C. Penutup.

Dalam bagian akhir ini, ada tiga hal yang perlu disampaikan. Pertama, bahwa perjalanan
pemikiran filsafat Islam ternyata mengalami pasang surut; pertama-tama disambut dengan baik
karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi pemikiran-pemikiran aneh, tapi
kemudian dicurigai karena ternyata tidak jarang justru digunakan untuk menyerang ajaran agama
yang dianggap baku, khususnya pada masa Ibn Hanbal. Setelah itu, filsafat dibela kembali oleh
al-Farabi dan mencapai puncak pada masa Ibn Sina, tapi kemudian jatuh lagi oleh serangan al-
Ghazali, bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd tapi akhirnya tidak terdengar suaranya, sampai
sekarang, kecuali

dalam mazhab Syi`ah.

Kedua, bahwa filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam tidak hanya logika Aristoteles,
tetapi juga pemikian mistik Neo-platonis dan yang lain. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya
model filsafat yang ada dalam Islam. Misalnya, al-Farabi dan Ibn Sina yang Platonis dalam
konsepnya tentang emanasi, dan Ibn Rusyd yang Aristotelian ketika menjawab serangan al-
Ghazali.

Ketiga, kecurigaan dan penentangan yang diberikan oleh sebagian tokoh muslim terhadap logika
dan pemikiran filsafat, bukan semata-mata disebabkan bahwa ia berasal dari luar Islam tetapi
lebih didasarkan atas kenyataan bahwa saat itufilsafat mengandung dampak yang berbahaya
bagi aqidah masyarakat. Apa yang dilakukan Ibn Rawandi (lahir 825 M) dan al-Razi (865-925
M) yang sampai menolak kenabian karena mengikuti filsafat, juga apa yang dilakukan oknum
tertentu yang mengatasnamakan filsafat pada masa al-Ghazali adalah bukti nyata tentang hal itu.

Oleh. Fauzan Arrasyid

Latar Belakang

Sebagai bagian dari bangunan besar filsafat, filsafat ilmu hilang dan tumbuh berganti dari mashab yang
satu ke mashab yang lainnya. Ini karena pemikiran filsafat ilmu berasal dari pikiran manusia. Filsafat
adalah pengetahuan atas realitas dalam kemungkingn-kemungkinan akal manusia, karena filsafat
berakhir pada teori ilmu pengetahuan untuk memperoleh kebenaran dan bertindak di atas rel
kebenaran yang sudah ditemukan, demikian kata Abu Yaqub al-kindi (dalam Hossein Nasr, 1993)

Makalah ini tertarik untuk mengkaji tentang aliran-aliran yang berkembang dalam filsafat ilmu. Prinsip
prinsip dari filsafat ilmu akan dijelaskan, cara pemerolehan ilmu dalam masing-masing aliran akan
dieksplorasi dan kontribusi masing-masing aliran dalam membangun pengetahuan akan didiskusikan.

Rasionalisme

Rasionalisme adalah mashab filsafat ilmu yang berpandangan bahwa rasio adalah sumber dari segala
pengetahuan. Dengan demikian, kriteria kebenaran berbasis pada intelektualitas. Strategi
pengembangan ilmu model rasionalisme, dengan demikian, adalah mengeksplorasi gagasan dengan
kemampuan intelektual manusia.

Sejak abad pencerahan, rasionalisme diasosiasikan dengan pengenalan metode matematika


(Rasionalisme continental). Tokoh-tokoh rasionalisme diantaranya adalah Descartes, Leibniz dan
Spinoza.

Benih rasionalisme sebenarnya sudah ditanam sejak jaman Yunani kuno. Salah satu tokohnya, Socrates,
mengajukan sebuah proposisi yang terkenal bahwa sebelum manusia memahami dunia ia harus
memahami dirinya sendiri. Kunci untuk memahami dirinya itu adalah kekuatan rasio. Para pemikir
rasionalisme berpandangan bahwa tugas dari para filosof diantaranya adalah membuang pikiran
irasional dengan rasional. Pandangan ini misalnya disokong oleh Descartes yang menyatakan bahwa
pengetahuan sejati hanya didapat dengan menggunakan rasio. Tokoh lain, Baruch Spinoza secara lebih
berani bahkan mengatakan : God exists only philosophically (Calhoun, 2002).

Sumbangan rasionalisme tampak nyata dalam membangun ilmu pengetahuan modern yang didasarkan
pada kekuatan pikiran atau rasio manusia. Hasil-hasil teknologi era industri dan era informasi tidak
dapat dilepaskan dari andil rasionalisme untuk mendorong manusia menggunakan akal pikiran dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia.

Empirisme

Empirisme adalah sebuah orientasi filsafat yang berhubungan dengan kemunculan ilmu pengetahuan
modern dan metode ilmiah. Empirisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas
pada apa yang dapat diamati dan diuji. Oleh karena itu, aliran empirisme memiliki sifat kritis terhadap
abstraksi dan spekulasi dalam membangun dan memperoleh ilmu. Strategi utama pemerolehan ilmu,
dengan demikian, dilakukan dengan penerapan metode ilmiah. Para ilmuwan berkebangsaan Inggris
seperti John Locke, George Berkeley dan David Hume adalah pendiri utama tradisi empirisme (Calhoun,
2002).

Sumbangan utama dari aliran empirisme adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan
metode ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang
mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah
ilmu pengtahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam. Sejak saat itu, empirisme menempati tempat
yang terhormat dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial. Acapkali empirisme diparalelkan dengan
tradisi positivism. Namun demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang berbeda.

Realisme

Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada pengalaman
inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan
sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam membangun ilmu
pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode induksi empiris. Gagasan utama dari realisme
dalam konteks pemerolehan pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu
observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, ilmuwan
dapat saja menganalisa kategori fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis walaupun tidak dapat
diobservasi secara langsung.

Tradisi realisme mengakui bahwa entitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas) dengan
bantuan symbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia. Gagasan ini sejajar dengan filsafat modern
dari pendekatan pengetahuan versi Kantianism fenonomologi sampai pendekatan struktural (Ibid,
2002). Mediasi bahasa dan kesadaran manusia yang bersifat nyata inilah yang menjadi ide dasar Emile
Durkheim dalam pengembangan ilmu pengetahuan sosial. Dalam area linguistik atau ilmu bahasa, de
Saussure adalah salah satu tokoh yang terpengaruh mengadopsi pendekatan empirisme Durkheim. Bagi
de Saussure, obyek penelitian bahasa yang diteliti diistilahkan sebagai la langue yaitu simbol-simbol
linguistic yang dapat diobservasi (Francis & Dinnen, 1996)

Ide-ide kaum realis seperti ini sangatlah kontributif pada abad 19 dalam menjembatani antara ilmu alam
dan humaniora, terutama dalam konteks perdebatan antara klaim-klaim kebenaran dan metodologi
yang disebut sebagai methodenstreit (Calhoun, 2002). Kontribusi lain dari tradisi realisme adalah
sumbangannya terhadap filsafat kontemporer ilmu pengetahuan, terutama melalui karya Roy Bashkar,
dalam memberikan argument-argument terhadap status ilmu pengetahuan spekulatif yang diklaim oleh
tradisi empirisme.

Idealism

Idealisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang berpandangan bahwa doktrin tentang realitas eksternal
tidak dapat dipahami secara terpisah dari kesadaran manusia. Dengan kata lain kategori dan gagasan
eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih dahulu sebelum adanya pengalaman-pengalaman
inderawi. Pandangan Plato bahwa semua konsep eksis terpisah dari entitas materinya dapat dikatakan
sebagai sumber dari pandangan idealism radikal. Karya dan pandangan Plato memberikan garis
demarkasi yang jelas antara pikiran-pikiran idealis dengan pandangan materialis. Aritoteles menjadi
orang yang memberikan tantangan pemikiran bagi gagasan-gagasan idealis Plato. Aristoteles
mendasarkan pemikiran filsafatnya berdasarkan materi dan fisik.

Salah satu sumbangan dari tradisi filsafat idealisme adalah pengaruh idealism platonic dalam agama
kristen. Dalam Perjanjian Baru terdapat gagasan yang diagungkan, yakni Permulaan adalah kata-kata
(Ibid, 2002). Pada gilirannya, dalam sejarah, pemikiran Kristen turut memberikan andil dalam
membentuk tradisi idealis terutama gagasan-gagasan dari Sain Augustine dengan pengembangan
konsep penyucian jiwa. Selain Kristen, pemikiran yang turut memberikan saham bagi tradisi idealis
adalah mistisisme Yahudi, mistisisme Kristen dan pengembangan pemikiran matematika oleh bangsa-
bangsa Arab. Gerakan-gerakan pemikiran inilah yang kemudian membentuk dialektika modern antara
idealisme dan materialism sejak era renaisans.

Sumbangan idealism terhadap ilmu pengetahuan modern sangatlah jelas. Ilmu pengetahuan modern
diniscayakan oleh kohesi antara bukti-bukti empiris dan formasi teori. Kaum materialis mendasarkan
pemikirannya pada bukti-bukti empiris sedangkan kaum idealis pada formasi teori. Sebagai sebuah
tradisi filosofi, idealisme tak bisa dipisahkan dengan gerakan Pencerahan dan filsafat Pasca Pencerahan
Jerman. Salah satu tokoh pemikir idealis yang tersohor adalah Immanuel Kant. Melalui bukunya
Critique of pure reason yang diterbitakan tahun 1781, Kant menentang pendapat tradisi tokoh empiris
seperti David Hume dan lain-lainnya. Kant mengatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman dunia
memerlukan kategori dan pandangan yang berada dalam ruang kesadaran manusia (ibid, 2002).
Gagasan Kant yang terkenal adalah idealisme transedental. Dalam konsep ini Kant berargumen bahwa
ide-ide rasional dibentuk tidak saja oleh phenomenal tapi juga noumenal, yakni kesadaran
transedental yang berada pada pikiran manusia (ibid, 2002). Generasi idealis berikutnya dipelopori oleh,
Georg Hegel. Hegel mengenalkan gagasan pendekatan dialektis yang tidak memihak baik gagasan
kesadaran mental Kant maupun bukti-bukti material dari kaum empiris. Pikiran-pikiran Hegel inilah
yang kemudian melahirkan konsep spirit-sebuah konsep yang integral dengan kelahiran tradisi
idealisme absolut (ibid, 2002).

Dengan demikian, pemikiran filsafat idealisme dibangun terutama oleh gagasan-gagasan Hegel dan
Kant. Namun demikian, bangunan filsafat politik modern yang berpaham bahwa manusia dapat
mengatur dunia melalui ilmu pengetahuan telah membuktikan vitalitas aliran idealisme Kantian. Tokoh-
tokoh yang meletakkan batu pertama bagi fondasi filsafat politik modern antara lain John Rawls yang
menulis tentang teori keadilan dan Habermas (1987) yang membuahkan karya Communication action.
Melalui karya ini Habermas menjadi tokoh idealis yang mengoreksi idealisme konvensional. Bagi kaum
idealis konvensional, kenyataan sejarah merupakan determinisme sejarah yang statis dan tidak dapat
ditolak. Namun bagi Habermas, kenyataan sejarah adalah hasil dari dialektika dan komunikasi antar
manusia. Dengan kata lain, Habermas memposisikan manusia menjadi subyek aktif dalam praktek-
praktek politik dan dalam membangun institusi-institusi sosial.

Positivisme

Positivisme adalah doktrin filosofi dan ilmu pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral
pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Terminologi
positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai subyektif, digantikan oleh fakta
yang bisa diamati serta penerapan metode ini untuk membangun ilmu pengetahuan yang diabdikan
untuk memperbaiki kehidupan manusia.

Salah satu bagian dari tradisin positivism adalah sebuah konsep yang disebut dengan positivisme logis.
Positivisme ini dikembangkan oleh para filosof yang menamakan dirinya Lingkaran Vienna (Calhoun,
2002) pada awal abad ke duapuluh. Sebagai salah satu bagian dari positivisme, positivisme logis ingin
membangun kepastian ilmu pengetahuan yang disandarkan lebih pada deduksi logis daripada induksi
empiris. Kerangka pengembangan ilmu menurut tradisi positivisme telah memunculkan perdebatan
tentang apakah ilmu pengetahuan sosial memang harus diilmiahkan. Kritik atas positivism berkaitan
dengan penggunaan fakta-fakta yang kaku dalam penelitian sosial. Menurut para oponen positivism,
penelitian dan pengembangan ilmu atas realitas sosial dan kebudayaan manusia tidak dapat begitu saja
direduksi kedalam kuantifikasi angka yang bisa diverikasi karena realitas sosial sejatinya menyodorkan
nilai-nilai yang bersifat kualitatif (Calhoun, 2002). Menjawab kritik ini, kaum positivis mengatakan bahwa
metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian sosial tidak menemukan ketepatan karena sulitnya
untuk di verifikasi secara empiris.

Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivisme adalah Thomas Kuhn,
Paul K. Fyerabend, W.V.O. Quine, and filosof lainnya. Pikiran-pikiran para tokoh ini membuka jalan bagi
penggunaan berbagai metodologi dalam membangun pengetahuan dari mulai studi etnografi sampai
penggunaan analisa statistik.

Pragmatisme
Pragmatisme adalah mashab pemikiran filsafat ilmu yang dipelopori oleh C.S Peirce, William James, John
Dewey, George Herbert Mead, F.C.S Schiller dan Richard Rorty. Tradisi pragmatism muncul atas reaksi
terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas yang abstrak,
sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatisme berargumentasi bahwa filsafat ilmu haruslah
meninggalkan ilmu pengetahuan transendental dan menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai
sumber pengetahuan. Bagi para penganut mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran
adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan tujuan.

Pada awalnya pragmatisme dengan tokoh-tokohnya mengambil jalan berpikir yang berbeda antara satu
dengan lainnya. Peirce (dalam Calhoun, 2002), misalnya, lebih tertarik dalam meletakkan praktek dalam
bentuk klarifikasi gagasan-gagasan. Peirce adalah tokoh yang menggagas konsep bahasa sebagai media
dalam relasi instrumental antara manusia dengan benda. Gagasan ini kemudian disebut sebagai
semiotik. James, tokoh yang mempopulerkan pragmatism, lebih tertarik dalam menghubungkan antara
konsepsi kebenaran dengan area pengalaman manusia yang lain seperti; kepercayaan dan nilai-nilai
kemasyarakatan. Tokoh selanjutnya, Dewey, menjadikan pragmatisme sebagai basis dari praktek-
praktek berpikir secara kritis. Pendekatan Dewey (1916) yang pragmatis dalam pendidikan, misalnya,
menitikberatkan pada penguasaan proses berpikir kritis daripada metode hafalan materi pelajaran.

Sumbangan dari pragmatisme yang lain adalah dalam praktek demokrasi. Dalam area ini pragmatisme
memfokuskan pada kekuatan individu untuk meraih solusi kreatif terhadap masalah yang dihadapi.

Situasi...
Kemanusiaan tertidur, hanya terpaku pada hal yang tidak bermanfaat.
Hidup di dunia yang keliru, percaya bahwa orang bisa mengatasinya, hal
itu hanyalah kebiasaan dan penggunaan, bukan agama. "Agama" ini tidak
layak ...

Jangan mencela Orang-orang Tarekat, lebih baik perbaikilah dirimu.


Engkau memiliki pengetahuan dari agama yang keliru jika engkau
membelakangi Realitas.

Manusia melilitkan jaring bagi dirinya. Sementara seekor harimau


(Manusia Tarekat) menghancurkan kandangnya.
(Guru Sufi Sanai dari Afghanistan, gurunya Rumi, dalam The Walled
Garden of Truth, ditulis pada tahun 1131 M).

Kronologi Filsafat Dalam Pemikiran Islam; Studi atas buku at-Tafkir al-Falsafi
fil Islam

Muqoddimah
Relasi pemikiran Islam dengan filsafat secara historis telah menyita perhatian
sarjana yang intens dengan sejarah pemikiran manusia. Dr. Mustafa Abdul Raziq untuk
pertama kalinya mencoba mengkorelasikan hal tersebut dalam magnum opusnya
Tamhid litarihil falsafah fil islam dan di tindak lanjuti oleh sarjana lainnya semisal Dr.
Hana al-Fahuri dan Dr. Kholil al-Jarr dalam tarikh al-Falsafah al-Arobiyah yang barang
kali merupakan buku paling representatif dan menjadi rujukan utama untuk studi
peta kronologi filsafat dalam Islam.

Studi historis filsafat Islam ini pada gilirannya mulai berkembang menjadi penjurusan
kajian yang lebih spesifik, mengena dan mudah di akses.

Syaikh Abdul
Halim Mahmud
Abdul Halim Mahmud adalah sarjana Al-Azhar pertama yang ikut berpartisipasi
mengutarakan ide seputar studi ini yang di tulis dengan judul at-Tafkir al-Falsafi fil Islam
secara global mengatakan bahwa pemikiran filsafat islam merupakan hasil murni
pemikiran muslim dan sudah ada sebelum masa penterjemahan yang di sponsori oleh
Dinasti Abbasiyah, walaupun beliau sendiri tidak menafikan kontribusi pemikiran
sarjana Yunani setelah terjadi tranformasi pengetahuan melalui penterjemahan karya
mereka.

Sejarah pemikiran manusia ibarat mata rantai yang tidak terputuskan selalu terkait satu
sama lainnya, akan tetapi sangatlah keliru jika di katakan bahwa pada dasarnya semua
aliran pemikiran memiliki mainstream yang sama.
Peta kronologi filsafat Islam


At-Tafkir al-Falsafi fil Islam secara global menjelaskan pada kita peta kronologi filsafat
dalam Islam dari masa jahiliah sebelum turunnya al-Quran sampai pada masa Imam al-
Ghazali. Bagi saya pribadi karya ini tergolong buku sejarah yang selektif dan tidak
meruntutkan fenomena secara menyeluruh.

Abdul Halim Mahmud memulai bukunya dengan kondisi pemikiran yang ada pada masa
jahiliyah sebelum Islam. Ada sebagian kelompok minoritas yang di sebut dengan al-
Hukama yang menurut beliau sejajar dengan para filosof Yunani kuno dalam metode
berpikir dan materi pemikiran mereka menjadi rujukan para kaum jahiliyah ketika terjadi
suatu permasalahan.

Pada pasal kedua beliau menulis tentang al-Quran dengan kandungan isinya beserta
pengaruhnya terhadap pemikiran kaum muslimin pada saat itu. Sangatlah keliru
anggapan bahwa al-Quran tidak membawa teori alam dalam filsafat. Kandungan al-
Quran cukup sebagai jawaban atas pertanyaan de bour tersebut.

Pengarang melanjutkan dengan problematika hadis perpecahan umat yang di


riwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim dan Ibnu Hibban yang sama sekali tidak
tercantum dalam kitab Buhari dan Muslim. Menurutnya terdapat hadits yang isinya
sangat kontradiktif dengan redaksi hadits di atas.

Beliau lebih cenderung untuk membedakan antara aliran agama dengan partai agama.
Aliran agama memprioritaskan masalah kepercayaan dalam kehidupan beragama,
sedang partai agama lebih suka mempolitisir agama atas kebijakan politik. Imam Hanafi
sebagai contoh, beliau salah satu pendiri mazhab empat di sepakati sebagai penganut
aliran salaf, akan tetapi dalam masalah politik beliau lebih cenderung kepada pihak
Ahlul Bait (Syiah).

Pembedaan antara partai agama dengan aliran agama tampak sisi signifikannya dalam
dua hal, yaitu:

1. Hal tersebut sesuai dengan sejarah permunculannya (partai agama) yang tidak
berkaitan dengan prinsip dasar agama.
2. Perbedaan syaiah sebagai partai agama dengan yang lain tidak terlalu
meruncing sebagaimana kita saksikan perbedaan antar aliran agama.

Sahabat Nabi memahami problematika ketuhanan sesuai dengan apa yang tertera
dalam al-Quran. Mereka meninggalkan takwil terhadap ayat-ayat yang terkesan
mutasyabihat dengan berpegang pada prinsip laisa kamislihi syaiun. Adapun
permasalahan hukum banyak ditemukan perbedaan pendapat yang sangat mencolok di
antara mereka.

Dalam tataran politik banyak para sahabat Nabi SAW yang tidak berpihak pada salah
satu penguasa dan lebih memilih diam. Sikap para sahabat tersebut dikenal dengan
sebutan al-Murjiah. Dr. Abdul Halim Mahmud menggolongkan Murjiah sebagai trend
kelompok (naz`ah) untuk mencapai keselamatan dan tidak termasuk aliran ataupun
partai agama yang selama ini kita pahami.

Pada pasal ke tujuh pengarang menjelaskan faktor munculnya perbedaan umat Islam
atas permasalan ketuhanan (al-Jabr dan al-Ikhtiar). Untuk melegalkan tindakan politik
Dinasti Bani Umayyah para penguasa dan pengikutnya menyebarkan paham fatalism
(al-Jabr ). konskuensi logis dari fenomena tersebut munculnya paham free will (al-
Ikhtiar) yang bertentangan dengan paham lama.

Pada pasal pertama dari bagian kedua buku, Dr. Abdul Halim Mahmud menjelaskan
definisi filsafat dan hubungan filsafat dengan tasawuf serta usul fiqh. Filsafat berasal
dari kata Yunani yang merupakan gabungan dari kata Philos dan Sophia. Yang pertama
berarti cinta dan yang ke dua berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga filsafat dapat di
artikan cinta akan kebijaksanaan. Pengarang punya pandangan tersendiri dalam
menginterpretasikan kata wisdom. Hikmah menurut pengarang sebagaimana pendapat
Ato` adalah pengetahuan terhadap Tuhan (al-Ma`rifat billah). Untuk mencapainya perlu
memiliki dua hal, yaitu:

1. Pengatahuan tentang ketuhanan.


2. pengetahuan tentang nilai-nilai luhur beserta pengamalannya.

Sehingga filsafat dapat di definisikan sebagai usaha manusia dengan jalan pengamalan
dan pembersihan jiwa guna mencapai ma`rifatullah. Filosof yang sejati menurutnya
adalah para mistikus Islam (sufi) yang menempuh kedua jalan tersebut. Penganut
Aristoteles baru menempuh setengah jalan sehingga belum bisa di katakana sebagai
filosof. Dari interpretasi kata wisdom tersebut pengarang tidak mengkategorikan usul
fiqh ke dalam filsafat.

Anda mungkin juga menyukai