Anda di halaman 1dari 37

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1 HIV/AIDS
III.1.1 Definisi
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau
penyakit yang disebabkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat infeksi Human
Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan
tahap akhir dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006)
III.2.2 Epidemiologi
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari
25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009, jumlah
ODHA diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebagian besar penderitanya
adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-
anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru
tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada anak-anak. Pada tahun yang sama,
lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS (WHO,2010).
Penularan HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung HIV yaitu
melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual. Jarum suntik pada
pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi ke bayi
yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS
misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya.
Akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu
tentu asih sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen kesehatan RI tahun 2002
memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000
sampai 130.000 orang. HIV pada pengguna narkotika menempati posisi tertinggi,
sebuah survey di Jakarta Pusat menunjukkan 93% pengguna narkotika terinfeksi HIV.
Survey yang dilakukan pada tahun 1999-2000 pada beberapa klinik KB,
Puskesmas dan Rumah sakit di Jakarta yang dipilih secara acak menemukan bahwa 6

1
(1,12%) ibu hamil dari 537 orang yang bersedia menjalani tes HIV ternyata positif
terinfeksi HIV.

Gambar 1. Epidemiologi HIV-1 di dunia


III.2.3 Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk
sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus (Gambar 1). Strukturnya tersusun
atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang
melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap
molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan
kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di
dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse
transcriptase enzyme), (Merati TP dkk,2006). Melalui peran enzim transkriptase
reverse ini HIV mampu mengubah informasi genetic dari RNA ke DNA sehingga
terbentuk pro virus. Kelihaian HIV juga mampu memanfaatkan mekanisme yang sudah
ada di dalam sel target untuk membuat kopi diri sehingga terbentuk virus baru yang
matur yang memiliki karakter HIV. Komponen virus kemudian disusun mendekati
membran sel host, keluar dari dalam sel menembus membran sebagai virion matur.
Virion matur ini potensial penyebab infeksi pada sel lain, bahkan mampu memicu

2
infeksi pada individu lain bila ditransmisikan. Selama proses replikasi HIV bisa
mengalami perubahan karakter, mutase setiap saat sehingga HIV yang beredar dalam
sirkulasi bukan populasi yang homogen. Variasi virus ini cenderung terus mengalami
mutase, terutama pada tekanan selektif di lingkungan mikro yang penuh stressor. Hal
ini memicu terjadi strain resisten terhadap obat maupun perubahan status imunologik.
Bila HIV mendekati dan berhasil menggaet sel target melalui interaksi gp120
dengan CD4, ikatan semakin diperkokoh ko-reseptor CXCR4 dan CCR5, maka atas
peran protein transmembran gp41 akan terjadi fusi membran virus dan membran sel
target. Proses selanjutnya diteruskan melalui peran transkriptase reverse dan inegrase
serta protease untuk mendukung proses replikasi.

Gambar 2: struktur virus HIV-1


Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global
terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa
negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat. Beberapa pasien di Amerika
juga terinfeksi HIV-2, tetapi umumnya kurang patogenik serta memerlukan waktu
lebih lama untuk memunculkan gejala dan tanda penyakit (Merati TP dkk,2006).
III.2.4 Transmisi Virus
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui
mukosa genital (hubungan seksual) termasuk oro-genital, parenteral transmisi

3
langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui
komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC
pernah melaporkan adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.
Seseorang yang positif- HIV asimtomatis dapat menularkan virus, adanya
penyakit seksual lainnya seperti sifilis dan gonorhoe meningkatkan resiko penularan
seksual HIV sebanyak seratus kali lebih besar, karena peradangan membantu
pemindahan HIV menembus barier mukosa. Sejak pertama kali HIV ditemukan,
aktivitas homoseksual telah dikenal sebagai faktor resiko utama tertularnya penyakit
ini. Resiko bertambah dengan bertambahnya jumlah pertemual seksual dengan
pasangan yang berbeda.
Angka penularan ibu ke anaknya bervariasi dari 13 % sampai 48% pada wanita
yang tidak diobati. Bayi bisa terinfeksi di dalam rahim, selama proses persalinan atau
yang lebih sering melalui air susu ibu (ASI). Tanpa penularan melalui ASI, sekitar 30%
dari infeksi terjadi di dalam rahim dan 70% saat kelahiran. Data menunjukkan bahwa
sepertiga sampai separuh infeksi HIV perinatal di Afrika disebabkan oleh ASI.
Penularan selama menyusui biasanya terjadi pada 6 bulan pertama setelah kelahiran
(Jawetz, 2001).
Tabel : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh
Risiko tinggi Risiko masih sulit Risiko rendah selama tidak
ditentukan terkontaminasi darah
Darah, serum Cairan amnion Mukosa seriks
Semen Cairan Muntah
Sputum serebrospinal Feses
Sekresi vagina Cairan pleura Saliva
Cairan peritoneal Keringat
Cairan perikardial Air mata
Cairan synovial Urin
Sumber : Djauzi S, 2002

4
Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan cairan darah
sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat tusukan jarum
atau luka karena benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar 0,3% sedangkan risiko
penularan akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV pada mukosa sebesar
0,09%. (Djauzi S dkk, 2002).
III.2.5 Patogenesis
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai
afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif.
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi Simian
Imuunodeficeincy Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada
mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen-presenting cells ke kelenjar getah bening
(KGB) regional. Pada model ini, virus dideteksi pada KGB dalam 5 hari setelah
inokulasi. Sel individual di KGB yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan
hibridasi in situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21
hari setelah inokulasi. Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di KGB
berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel mengekspresikan virus
di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan sementara
dengan pembentukkan respon imun spesifik. Koinsidensi dengan menghilangnya
viremia adalah peningkatan sel limfosit CD 8. Walaupun demikian tidak dapat
dikatakan bahwa respons sel limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap
replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan steady-state bebebrapa bulan
setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relative stabil selama beberapa bulan setelah
infeksi. Kondisi ini bertahan relative stabil selama beberapa tahun, namun lamanya
bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV diantaranya kekebalan
tubuh pejamu, heterogenitas kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsik
pejamu.
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun
secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai

5
ke level steady-state. Walaupun antibody ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi
yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus
dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan melakukan adaptasi pada
amplopnya, termasuk kemampuannya mengubah situs glikosilasinya, akibatnya
konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantai antibody tidak
dapat terjadi.
III.2.6 Patofisiologi
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga
satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua
orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun
pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13
tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, da
kemudian meninggal. Perjalanan penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem
kekebalan tubuh yang juga bertahap.
Infeksi HIV tidak langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkangejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi,
seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan KGB, ruam, diare dan batuk. Setelah
infeksi akut, dimulai infeksi HIV asimtomatik umumnya berlangsung selama 8-10
tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat
sekitar 2 tahun ada pula yang lambat.
Seiring memburuknya kekebalan rubuh, ODHA mulai menampakkan gejala
akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah,
pembesaran KGB, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain. Manifestasi
awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel
KGB dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan
pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di KGB, bukan di
peredarahan darah tepi.
Saat masa tidak ada gejala, terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel sehari
disertai dengan mutase dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan
replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih

6
memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari. Infeksi secara bersamaan dengan
mikroorganisme lain menyebabkan virus HIV membelah lebih cepat serta
menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T sehingga perjalanan penyakitnya
lebih progresif.

Gambar 3 : Hubungan jumlah RNA virus dengan jumlah limfosit CD4+


Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan
hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+.
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV
menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai
dengan penurunan viremia.

7
Gambar 4 : Perjalanan alamiah HIV
sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi hingga
mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi
oportunistik.
III.2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama
kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis,
diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan
pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya.
Dari Anamnesis, perlu digali faktor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan,
daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).
Tabel . Faktor risiko infeksi HIV
- Penjaja seks laki-laki atau perempuan
- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

8
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender
(waria)
- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.
Sumber : Depkes RI 2007

9
2.7.2 Pemeriksaan fisik
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat
pada tabel 6
Tabel : Daftar tilik pemeriksaan fisik

Sumber :Depkes RI 2007

10
Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik atau kanker
yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma malignum dan karsinoma
serviks invasif. Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi
HIV dapat dilihat pada tabel 6. Di RS Dr. Cipto Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala
klinis yang sering ditemukan pada odha umumnya berupa demam lama, batuk, adanya
penurunan berat badan, sariawan, dan diare, seperti pada tabel 5 .
Tabel . Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
Gejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %
Ensefalopati 4,5 %
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005
II.7.3 Stadium Klinis
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I
(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV
(sakit berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T
CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi
profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.
AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja
merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut,
system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan mereka

11
terus menerus menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak mampu
memberikan pelayanan.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang
tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang
tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare.
Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak
memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang,
penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi
pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan tanpa penanganan
medis, gejala PMS akan berakibat fatal.
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum
yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal sampai
dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit
lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan
dapat lebih lama lagi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum
diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang ulang dan pemaparan
terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Menurunnya
hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk.
Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro globulin dan juga
peningkatan I9A.
Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :
1. Infeksi Akut : CD4 : 750 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala
yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise, gejala
kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber,
gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase ini
penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas
merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2
minggu.

12
2. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml
Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya sekitar
5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi replikasi
virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami pembengkakan
kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal
yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah
mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan
tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.
3. Infeksi Kronis Simtomatik
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala
penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas
pemderita.
a. Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 500
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya
reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total
atau hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase
yang lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya,
demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC).
b. Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200
Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa
penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase
yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh
sudah dalam kehilangan kekebalannya.
Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:
1) Limfadenopati Generalisata yang menetap
2) Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB
involunter > 10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.
3) Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis
aseptik, mielopati, neuropati perifer, miopati.

13
4) Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M.
Tuberculosis, Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus Herpes
simpleks
5) Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma limfoid
6) Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita TB
atau komplikasi.

Gambar 5 : Perjalanan penyakit infeksi HIV, penurunan CD4, dan infeksi oportunistik
serta keganasan (James Gita Hakim. Sount Sudan Medical Journal)
Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus
memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia
positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC
(AIDS Relative Complex) Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita
AIDS adalah:
Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan
satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor
a. Penurunan berat badan lebih dari 10%
b. Diare kronik lebih dari satu bulan
c. Demam lebih dari satu bulan
2. Gejala Minor
a. Batuk lebih dari satu bulan

14
b. Dermatitis preuritik umum
c. Herpes zoster recurrens
d. Kandidias orofaring
e. Limfadenopati generalisata
f. Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan dua
gejala minor, dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,
malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.
1. Gejala Mayor
a. Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
b. Diare kronik lebih dari 1bulan
c. Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor
a. Limfadenopati generalisata
b. Kandidiasis oro-faring
c. Infeksi umum yang berulang
d. Batuk parsisten
e. Dermatitis
Tabel . Stadium klinis HIV
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)

15
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Sumber : Depkes RI, 2007
II.7.4 Pemeriksaan penunjang
Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan
antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV (umumnya DNA atau
RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR untuk menentukan viral

16
load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk kepentingan surveilans,
diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik atau limfosit CD4+
kurang dari 200 sel/mm3 (Tabel 7) . ( Depkes RI, 2007)
Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha
Tes antibodi terhadap HIV (AI);
Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);
HIV RNA plasma (viral load) (AI);
Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin,
urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG,
dan pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko
penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi
(AIII);
Sumber : Yayasan Spiritia 2006.

Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya
dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak aman
atau penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka
dengan infeksi menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan
tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan
diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV
sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C yakni confidential (rahasia), disertai
dengan counselling (konseling), dan hanya dilakukan dengan informed consent.
(Djoerban Z dkk,2006)
Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki
sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang
reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk
memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini
adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan
adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes

17
positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum tentu berarti tertular mengingat
adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama
18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18 bulan.
(Djoerban Z dkk,2006)
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan
tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin.
WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan
penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia,
kombinasi yang digunakan adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan
menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak sama missal hasil tes pertama reaktif, tes
kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua
dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan
orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang
tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil
pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).

Sumber : Depkes,2007

18
Gambar :Alogaritma pemeriksaan HIV

1. Uji imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan digunakan
sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme linked
immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji Western blot
atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat hasil
reaktif dari test skrining. Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun
meliputi jumlah dan persentase CD4+ dan CD8+ T-limfosit absolute. Uji ini sekarang
tidak digunakan untuk diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi.
a. Deteksi anitbodi HIV
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV. ELISA
dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang sama, dan
hasilnya dikonfirmasikan dengan Western Blot atau IFA (Indirect
Immunofluorescence Assays). Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan
tes konfirmasi lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela
(window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan uji virologi pada
tanggal berikutnya. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada orang-orang yang
terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan HIV-1 (yaitu,
dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk semua tanda-tanda klinik
dan gejala dari sindrom retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada
individu yang telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan
transfer maternal imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir dari ibu yang
terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif ELISA pada seorang anak usia
kurang dari 18 bulan harus di konfirmasi melalui uji virologi (tes virus), sebelum
anak dianggap mengidap HIV-1.
b. Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi terhadap
HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot (dipstik),
imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk

19
mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus
dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.
c. Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes
sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan
antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik).
Western blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang
(ELISA atau rapid tes). Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil
positif ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien
tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan
keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.
d. Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)
Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan
sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan
penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada
sampel. Jika slide menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif
(reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.
e. Penurunan sistem imun
Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit, sebagian
besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan CD4 telah terbukti
dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4
menurun secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya
dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun.
2. Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes amplifikasi
asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk menemukan
asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk komponen virus
(seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24)).
a. Kultur HIV

20
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam plasma
dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji
cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptase
virus atau untuk antigen spesifik virus.
b. NAAT HIV-1 (Nucleic Acid Amplification Test)
Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk
diagnosis pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena asam nuklet virus
mungkin berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam sampel. Pengujian
RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR, menggunakan metode enzimatik
untuk mengamplifikasi RNA HIV-1. Level RNA HIV merupakan petanda
prediktif penting dari progresi penyakit dan menjadi alat bantu yang bernilai
untuk memantau efektivitas terapi antivirus.
c. Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau dalam
keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada
umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA
atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan
peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibodi
anti-p24 (Read, 2007).
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke layanan PDP
untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinis,
penilaian imunologis dan penilaian virologi. Hal tersebut dilakukan untuk: 1)
menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi antiretroviral; 2)
menilai status supresi imun pasien; 3) menentukan infeksi oportunistik yang pernah
dan sedang terjadi; dan 4) menentukan paduan obat ARV yang sesuai.
1. Penilaian Fisik Lengkap dan Lab untuk Mengidentifikasi IO

21
Gambar : Bagan Alur Layanan HIV
Dibawah ini adalah pemeriksaan laboratorium yang ideal sebelum memulai
ART apabila sumber daya memungkinkan:
Darah lengkap* Tes Kehamilan (perempuan usia
Jumlah CD4* reprodukstif dan perluanamnesis
SGOT / SGPT* mens terakhir)
Kreatinin Serum* PAP smear / IFA-IMS untuk
Urinalisa* menyingkirkan adanya Ca Cervix

HbsAg* yang pada ODHA bisa bersifat


progresif)

22
Anti-HCV (untuk ODHA IDU atau Jumlah virus / Viral Load RNA
dengan riwayat IDU) HIV** dalam plasma (bila tersedia
Profil lipid serum dan bila pasien mampu)
Gula darah
VDRL/TPHA/PRP
Ronsen dada (utamanya bila curiga
ada infeksi paru)
* adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum terapi ARV karena
berkaitan dengan pemilihan obat ARV. Tentu saja hal ini perlu mengingat
ketersediaan sarana dan indikasi lainnya.
** pemeriksaan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran untuk dilakukan
sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna (bila pasien punya data)
utamanya untuk memantau perkembangan dan menentukan suatu keadaan gagal
terapi.
2. Penentuan Stadium Klinis
Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan
untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.
3. Skrining TB
4. Skrining IMS, Sifilis, Malaria untuk ibu hamil
5. Pemeriksaan CD4 untuk menentukan PPK dan ART
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan
konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya.
Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di
bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol (1x960mg
sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk:
1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat,dan 2. Menyingkirkan
kemungkinan efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol dan obat ARV,
mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan
efek samping kotrimoksasol.

23
6. Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan
pemberian pengobatan profilaksis. Kotrimoksazole untuk pencegahan sekunder
diberikan setelah terapi PCP atau toksoplasmosis selesai dan diberikan selama
1 tahun. PPK dianjurkan bagi:
a. ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan
hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat
menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam
jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala
klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang
memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil harus melanjutkan
profilaksis kotrimoksasol.
b. ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia
pemeriksaan dan hasil CD4)
Tabel : Pemberian kotrimoksasol sebagai profilaksis primer

Kotrimoksasol untuk pencegahan sekunder diberikan setelah terapi PCP atau


Toxoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun. ODHA yang akan memulai terapi
ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3; dianjurkan untuk memberikan
kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal tersebut berguna untuk 1) mengkaji

24
kepatuhan pasien dalam minum obat dan 2) menyingkirkan efek samping yang
tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat
ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.
II.7.5 Tatalaksana pemberian ARV
1. Saat memulai terapi ARV
Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350 sel/ mm 3 tanpa
memandang stadium klinisnya
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi
Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
Tabel Saat memulai terapi pada ODHA dewasa

2. Memulai terapi ARV pada keadaan infeksi oportunistik (IO) yang aktif
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan atau
diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tatalaksana IO sebelum memulai terapi ARV

3. Panduan ARV lini pertama yang dianjurkan

25
Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV
berdasarkan pada 5 aspek yaitu:
Efektivitas
Efek samping / toksisitas
Interaksi obat
Kepatuhan
Harga obat
Prinsip dalam pemberian ARV adalah
1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada
dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan
obat.
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses
pelayanan ARV .
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan
manajemen logistik yang baik.
1. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama Paduan yang ditetapkan oleh
pemerintah untuk lini pertama adalah:
2 NRTI + 1 NNRTI

Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum
pernah mendapat terapi ARV (treatment-nave)

26
2. Berbagai pertimbangan dalam penggunaan dan pemilihan Paduan terapi ARV
1. Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
(NNRTI)
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari
pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila tidak
ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12 jam pada
hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah tersebut diperlukan
karena selama 2 minggu pertama terapi NVP menginduksi metabolismenya sendiri.
Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena
NVP yang muncul dini.
Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih dari 14
hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah tersebut.
Cara menghentikan paduan yang mengandung NNRTI
Hentikan NVP atau EFV
Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah penghentian
Nevirapine dan Efavirenz, (ada yang menggunakan 14 hari setelah
penghentian Efavirenz) kemudian hentikan semua obat. Hal tersebut guna
mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan risiko resistensi
NNRTI.
Penggunaan NVP dan EFV
NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara

27
Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat lain, dan
harga
NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom StevenJohnson dan
hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV.
Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus dihentikan
dan tidak boleh dimulai lagi
Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI jika NVP
dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama 3 bulan
lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama
Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD4 >250
sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan pada laki-laki dengan
jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya.
Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan satu
kali sehari selama 14 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan 2 kali sehari.
EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan baik,
hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia dibandingkan
NVP
Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat (SSP)
dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat teratogenik bila
diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester dua dan tiga) dan ruam
kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri tanpa harus menghentikan obat.
Gejala SSP cukup sering terjadi, dan meskipun biasanya hilang sendiri dalam
2-4 minggu, gejala tersebut dapat bertahan beberapa bulan dan sering
menyebabkan penghentian obat oleh pasien
EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik berat,
pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan trimester
pertama.
EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan ko-infeksi TB/HIV yang
mendapat terapi berbasis Rifampisin. Dalam keadaan penggantian sementara

28
dari NVP ke EFV selama terapi TB dengan Rifampisin dan akan
mengembalikan ke NVP setelah selesai terapi TB maka tidak perlu dilakukan
lead-in dosing.
2. Pilihan pemberian Triple NRTI
Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan obat
ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:
Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin
Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV
Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI
Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah
AZT+3TC +TDF
Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu
pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi virologisnya
kurang kuat.
3. Penggunaan AZT dan TDF
AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal
Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah CD4 yang
rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh penggunaan AZT
Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, yaitu antara lain
malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang lanjut
TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas dilaporkan
antara 1% sampai 4% dan angka Sindroma Fanconi sebesar 0.5% sampai 2%
TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit data
tentang keamanannya pada kehamilan
TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian satu
kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA
4. Perihal Penggunaan d4T
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan telah
digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun waktu yang
cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak membutuhkan data laboratorium awal

29
untuk memulai serta harganya yang relatif sangat terjangkau dibandingkan dengan
NRTI yang lain seperti Zidovudin (terapi ARV), Tenofovir (TDF) maupun Abacavir
(ABC). Namun dari hasil studi didapat data bahwa penggunaan d4T, mempunyai efek
samping permanen yang bermakna, antara lain lipodistrofi dan neuropati perifer yang
menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang menyebabkan kematian.
Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi dengan lama
penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan semakin besar kemungkinan timbulnya
efek samping). WHO dalam pedoman tahun 2006 merekomendasikan untuk
mengevaluasi penggunaan d4T setelah 2 tahun dan dalam pedoman pengobatan ARV
untuk dewasa tahun 2010 merekomendasikan untuk secara bertahap mengganti
penggunaan d4T dengan Tenofovir (TDF).
Berdasarkan kesepakatan dengan panel ahli, maka pemerintah memutuskan
sebagai berikut:
Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi dan belum
pernah mendapat terapi ARV sebelumnya
Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai efek samping
dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk diganti setelah 6 bulan
Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka sebagai obat
substitusi gunakan TDF.
Pada saat sekarang penggunaan Stavudin (d4T) dianjurkan untuk dikurangi
karena banyaknya efek samping. Secara nasional dilakukan penarikan secara
bertahap (phasing out) dan mendatang tidak menyediakan lagi d4T setelah stok
nasional habis.
5. Penggunaan Protease Inhibitor (PI)
Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan untuk terapi Lini
Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini Pertama
hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap golongan NNRTI
(Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak menghilangkan
kesempatan pilihan untuk Lini Kedua. mengingat sumber daya yang masih terbatas

30
Tabel Pemantauan klinis dan laboratoris yang dianjurkan selama pemberian
paduan ARV Lini Pertama

Pencegahan penularan HIV dari Ibu hamil ke bayi


Obat ARV juga diberikan pada kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis
pada orang yangt erpapar cairan tubuh yang mengandung HIV (post exposure
prodilaksis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi.
Menurut pedoman Nasional pelayanan kedokteran 2012, regimen yang
direkomendasikan adalah AZT +3 TC+EFV, AZT+3TC+NVP, TDF+3TC/FTC +
EFV, dan TDF +3 TC/FTC+NVP. Evafirenz (EFV) sebaiknya tidak diberikan pada
kehamilan trimester 1. Pemberian ARV pada bayi yang lahir dari ibu HIV adalah AZT
2x perhari sejak lahir hingga usia 4-6 minggu, dosis 4 mg/kgBB/kali.
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat
ARV penting untuk mendapat perhatian lebih besar mengingat sudah beberapa bayi di
Indonesia yang tertular HIV dari ibunya. Efektivitas penularan HIV dari ibu ke bayi
adalah sebesar 10-30% artinya dari 100 ibu hamil yang terinfeksi HIV, ada 10 30
bayi yang akan tertular. Sebagian besar penularan terjadi sewaktu proses melahirkan

31
dan sebagian kecil melalui plasenta selama kehamilan dan sebagian lagi melalui air
susu ibu.
Kendala yang dikhawatirkan adalah biaya untuk membeli ARV. Obat ARV yang
dianjurkan untuk PTMCT adalah zidofudina (AZT) atau nefirapin. Pemberian
nefirapin dosis tunggal untuk ibu dan anak dinilai sangat mudah untuk diterapkan dan
ekonomis. Sebetulnya pilihan yang terbaik adalah pemberian ARV yang
dikombinasikan dengan operasi Caesar, karena dapat menekan penularan sampai 1%.
Namun sayangnya di negara berkembang seperti Indonesia tidak mudah untuk
melakukan operasi section caesaria yang murah dan aman. Pemberian ASI oleh wanita
dengan HIV tidak direkomendasikan karena memiliki risiko transmisi sebesar 5-20%.
Alternatif pemberian susu pada bayi adalah dengan susu formula. Namun kendala
pemberian susu formula masih dialami di negara berkembang karena faktor budaya
dan ekonomi.
III.2 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada odha di
Indonesia.TB mempercepat progesivitas infeksi HIV dengan meningkatkan replikasi
HIV dan juga menjadi penyebab kematian tersering pada odha. (Yunihastuti E dkk,
2002)
TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada infeksi
HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/ L sedangkan TB ekstraparu atau
diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih rendah. (Yunihastuti E
dkk, 2002)
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu,
demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih, berkeringat pada
waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB ekstra paru yang
tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi pleura dan osteomielitis.
Sayangnya, gambaran klinis TB pada odha seringkali tidak khas dan sangat bervariasi
sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih sulit. (Yunihastuti E dkk, 2002)
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan
odha. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50% dan

32
tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran TB paru
pada odha dengan CD4>200 sel/L tidak berbeda dengan non HIV berupa infiltrat
pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD < 200 sel/L,
gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum dan infiltrat di
lobus bawah. Diagnosis definitif TB pada odha adalah dengan ditemukannya
M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya
berdasarkan ditemukannya BTA pada specimen dengan gejala sesuai TB atau
perbaikan gejala setelah terapi kombinasi OAT. Yunihastuti E dkk, 2002)
Tabel. Terapi ARV untuk Pasien Ko-infeksi TB-HIV

Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB pada


kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada tabel 16.
Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB dengan CD4 <
200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila tidak tersedia
pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha dengan TB.
Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama dengan ARV dengan tujuan
untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, dan ketidakpatuhan minum obat.
(Yunihastuti E dkk, 2002)
Tabel . Obat yang dipakai dan lama pengobatan
Klasifikasi Regimen Obat
Kasus TB baru 2HRZE / 6 HE (DOTS)

33
TB kambuh/ pengobatan ulang 2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2002

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV dan OAT
adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara terapi
berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17. Untuk itu, perlu dilakukan
tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB. (Yunihastuti E dkk, 2002)
Terapi ARV direkomendasikan pada semua pasien koinfeksi HIV/TB berapapun
jumlah CD4nya. Namun bagaimanapun terapi TB sendiri yaitu OAT tetap menjadi
prioritas utama. Sehingga untuk memulai terapinya, OAT diberikan dulu kemudian
diikuti ARV dalam waktu delapan minggu pertama. Berdasarkan pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran 2011, rekomendasi terapi ARV untuk pasien koinfeksi HIV/TB.
Tabel . Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV
Regimeen
terapi ARV Regimen terapi ARV saat muncul
Pilihan
lini pertama TB
atau kedua
Terapi ARV 2 NRTI + EFV Lanjutkan dengan 2 NNRTI
Lini pertama + EFV
2 NNRTI + NVP Ganti NVP le EFV atau
ganti ke regimen 3 NRTI
atau lanjutkan dengan 2
NRTI + NVP
Terapi ARV 2 NRTI + PI Ganti kea tau lanjutkan
Lini kedua (bila sudah mulai) regimen
yang berisi LPV dengan
dosis ganda
Sumber : PAPDI, 2014
Interaksi OAT dan ARV terutama efek hepatotoksisnya, harus sangat diperhatikan
pada ODHA yang telah mendapatkan ARV sewaktu diagnosis TB ditegakkan, maka

34
ARV tetap diteruskan dengan evaluasi ketat. Pada ODHA yang belum mendapat ARV
disesuaikan dengan kondisinya.

III.3 Sindrom Pulih Imun (SPI- Immune Reconstitution Syndrom + IRIS)


Sindrom Pulih Imun (SPI) atau Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome
(IRIS) adalah perburukan kondisi klinis sebagai akibat respons inflamasi berlebihan
pada saat pemulihan respons imun setelah pemberian terapi antiretroviral. Sindrom
pulih imun mempunyai manifestasi dalam bentuk penyakit infeksi maupun non
infeksi. Manifestasi tersering pada umumnya adalah berupa inflamasi dari penyakit
infeksi. Sindrom pulih imun infeksi ini didefinisikan sebagai timbulnya manifestasi
klinis atau perburukan infeksi yang ada sebagai akibat perbaikan respons imun spesifik
patogen pada ODHA yang berespons baik terhadap ARV.
Mekanisme SPI belum diketahui dengan jelas, diperkirakan hal ini merupakan
respon imun berlebihan dari pulihnya sistem imun terhadap rangsangan antigen
tertentu setelah pemberian ARV. Insidens sindrom pulih imun secara keseluruhan
berdasarkan meta analisis adalah 16.1%. Namun, insidens ini juga berbeda pada tiap
tempat, tergantung pada rendahnya derajat sistem imun dan prevalensi infeksi
oportunistik dan koinfeksi dengan patogen lain.
Pada saat ini dikenal dua jenis SPI yang sering tumpang tindih, yaitu sindrom
pulih imun unmasking (unmasking IRD) dan sindrom pulih imun paradoksikal. Jenis
unmasking terjadi pada pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat terapi untuk
infeksi oportunistiknya dan langsung mendapatkan terapi ARV-nya. Pada jenis
paradoksikal, pasien telah mendapatkan pengobatan untuk infeksi oportunistiknya.
Setelah mendapatkan ARV, terjadi perburukan klinis dari penyakit infeksinya tersebut.
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari bahan
infeksi atau non-infeksi yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah. Pada
waktu menegakkan diagnosis SPI perlu dicantumkan penyakit infeksi atau non infeksi
yang menjadi penyebabnya (misal IRIS TB, IRIS Toxoplasmosis).
International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat
konsensus untuk kriteria diagnosis sindrom pulih imun sebagai berikut.

35
1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:
a. mendapat terapi ARV
b. penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait dengan
inisiasi terapi ARV
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil
disembuhkan (Expected clinical course of a previously recognized and
successfully treated infection)
b. Efek samping obat atau toksisitas
c. Kegagalan terapi
d. Ketidakpatuhan menggunakan ARV
Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah saat
memulai terapi ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai terapi ARV,
banyak dan beratnya infeksi oportunistik, penurunan jumlah virus RNA HIV yang
cepat selama terapi ARV, belum pernah mendapat ARV saat diagnosis infeksi
oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai terapi infeksi oportunistik dan
memulai terapi ARV. Tatalaksana SPI meliputi pengobatan patogen penyebab untuk
menurunkan jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV. Terapi antiinflamasi seperti
obat antiiflamasi non steroid dan steroid dapat diberikan. Dosis dan lamanya pemberian
kortikosteroid belum pasti, berkisar antara 0,5- 1 mg/kg/hari prednisolon.

36
Tabel. Penyakit infeksi dan non infeksi penyebab SPI pada ODHA

37

Anda mungkin juga menyukai