PENDAHULUAN
1
Pneumomediastinum yang ada hubungannya dengan asma yang dirawat di rumah
sakit selama periode 10 tahun sebesar 0,3 %. Umur rata-rata dari pasien yang
diserang adalah 11 tahun, disini tak ada perbedaan seks. Dari 2000 studi yang
dilakukan oleh Briassoulis et al dari Athena, Yunani yang mengevaluasi frekuensi
kebocoran udara pada anak-anak yang mendapatkan ventilasi mekanik dilaporkan
prevalensi sekitar 27%.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 2.1 Anatomi Mediastinum
4
2.2 DEFINISI
Pneumomediastinum atau mediastinal emfisema merupakan suatu
kondisi terdapatnya udara di dalam mediastinum.
2.3 EPIDEMIOLOGI
Pada serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Stack tahun 1996
tentang pneumomediastinum yang terjadi pada seseorang yang menderita
asma, ada sedikit dominansi pada laki-laki dalam prevalensi
pneumomediastinum.
Dalam penelitian kasus pneumomediatinum lainnya didapatkan lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita. Pada tahun 2001
Damore melaporkan ada 29 kasus pneumomediastinum yang berlangsung
selama periode 10 tahun tidak ada hubungannya dengan trauma, intubasi atau
prosedur bedah; 69% dari pasien ini adalah laki-laki.
Pada pneumomediastinum traumatik lebih banyak terjadi pada laki-
laki, ini mencerminkan kecenderungan aktivitas yang akan meningkatkan
resiko terjadinya barotrauma, misalnya sering menyelam atau sering
melakukan pekerjaan yang menahan nafas (misalnya aktivitas atletik, angkat
berat). Kejadian ini akan lebih hebat lagi bila disertai dengan batuk, muntah
dan melakukan gerakan valsalva (menahan nafas dengan menutup hidung)
semua itu akan cenderung menyebabkan pneumomediastinum yang akan
bekurang dengan pertambahan umur.
Pertambahan umur berkaitan dengan pneumomediastinum terjadi
bersamaan dengan proses penyakit yang lainnya dan akan bervariasi menurut
profil umur dari penyakit tersebut. Umur rata-rata dari pasien yang diserang
adalah 11 tahun; disini tidak tak ada perbedaan seks.
Studi terbaru dari Nashville, Tennese melaporkan frekuensi gas ekstra
abdominal untuk serangkaian pasien ini yang akan menjalani operasi
esofageal laparoskopik. Ada empat puluh tujuh persen pasien (N =45) yang
menunjukkan udara ekstra abdominal yang terlihat dalam radiografi thorax.
dari semua ini ada 86% yang mengalami pneumomediastinum.
5
Pneumomediastinum ini akan tetap bertahan sedikitnya 1 hari setelah operasi
pada dua pertiga kasus.
Dalam serangkaian pasien dengan sindroma sesak nafas akut yang
dipengaruhi oleh sepsis (ARDS), kebocoran udara dari berbagai macam jenis,
tidak termasuk dengan pneumothorax terjadi pada 3,7 % pasien. Tekanan
ventilator dan volume yang terjadi tidak ada hubungannya dengan terjadinya
kebocoran udara. Dalam serangkaian pasien dewasa yang mengalami trauma
dada, sekitar 10% dari mereka ini mengalami Pneumomediastinum.
Mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan Pneumomediastinum
biasanya dikarenakan oleh adanya penyakit ini. Pneumomediastinum
biasanya merupakan keadaan yang tidak akan menyebabkan kematian.
Tergantung pada keadaan jejas yang terjadi, rerata mortalitas yang ada
hubungannya dengan pneumomediastinum itu mungkin sangat tinggi sampai
50-70% pada sindroma Boerhaave (ruptura esophageal setelah muntah).
Terjadinya kebocoran udara ini, menurut studi yang dilakukan pada tahun
1998 oleh Weg et al, semua itu tak ada hubungannya dengan meningkatnya
rerata mortalitas pada pasien dengan ARDS yang dipengaruhi oleh sepsis.
Faktor predisposisi yang lainnya yang ada hubungannya dengan rerata
mortalitas yangtinggi meliputi trauma (baik trauma akibat benda tumpul atau
tusukan, terutama dengan jejas kecepatan tinggi), asma dan perforasi
trakheobronkhial.
Morbiditas yang paling sering disebabkan oleh pneumomediastinum
adalah gejala-gejala seperti nyeri dada, perubahan suara dan batuk. Kadang,
pseudotamponade akan menyebabkan penurunan cardiac output. Kompressi
laringeal biasanya menyebabkan terjadinya stridor. Emboli udara (gas) jarang
dilaporkan.
2.4 ETIOLOGI
Tiga penyebab terjadinya pneumomediastinum adalah :
6
2. Perforasi atau ruptur esophagus, trakea atau bronkus utama.
3. Diseksi udara dari leher atau abdomen ke dalam mediastinum.
2.5 PATOFISIOLOGI
Pneumomediastinum merupakan penyakit yang jarang menimbulkan
komplikasi klinis, yang lebih sering disini adalah kondisi-kondisi yang
memperburuk itu yang akan menyebabkan penyakitnya menjadi sangat
signifikan. Pada berbagai keadaan yang jarang, tekanan pneumomediastinum
ini dilaporkan disertai dengan perubahan tekanan mediastinum sehingga
menyebabkan penurunan cardiac output, baik oleh penekanan jantung secara
langsung atau karena menurunnya venous return. Bila ada gas mediastinum
atau subkutan yang sangat banyak, mungkin akan terjadi penekanan pada
jalan nafas.
Keterangan umum yang bisa diterima untuk terjadinya
pneumomediastinum adalah adanya gas bebas (biasanya udara, meskipun
kadangkala bukan) yang masuk melalui alveoli yang rusak disepanjang
lapisan vaskular peribronkhial kearah hilus paru. Dari daerah ini terus akan
meluas kearah mediastinum. Dengan sendirinya, jalur udara ini tak hanya
terjadi pada mediastinum; udara itu akan menyebar melalui bidang-bidang
7
jaringan ini sehingga menyebabkan pneumoperitoneum,
pneumoretroperitoneum, pneumoperikardium, pneumothorax dan emphysema
subkutan.
Efek Macklin sebagaimana pertama kali diterangkan pada tahun 1939,
adalah kondisi triad yang bisa menerangkan terjadinya berbagai kasus
pneumomediastinum. Proses ini dimulai dengan ruptura alveolar, setelah itu
udara akan menjalar disepanjang bungkus bronkhovaskular dan lama
kelamaan akan mencapai mediastinum.
8
1996, Stack melaporkan adanya emfisema subkutis pada 73%
penderita pneumomediastinum.
Tanda Hamman merupakan tanda patognomik dari
pneumomediastinum. Tanda Hamman ini terdiri dari :
Precardial Systolic Krepitasi
Melemahnya bunyi jantung
Tanda hamman ini menimbulkan bunyi klik (oleh karena adanya
krepitasi) yang sinkron dengan denyut jantung dan akan lebih jelas
didengarkan pada posisi miring (dekubitus) lateral kiri.
b. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiografi dada
Pada pemeriksaan radiologi dada biasanya menunjukkan
pneumomediastinum (meskipun tidak selalu ditemukan, dapat dengan
menggunakan CT-scanning dada). Radiografi lateral dapat menunjang
diagnostik yang lebih tepat. Gambaran yang ada adalah adanya gas
pada ruang mediastinal. Pada penyakit-penyakit penyerta seperti
pneumothorax, pneumoperitoneum dan pneumopericardium mungkin
dapat ditemukan.
9
Gambar 2.2 Radiografi pada pasien perempuan berusia 3 tahun dengan riwayat
persalinan prematur, penyakit paru kronis, dan asma yang menderita pneumonitis
viral dan batuk persisten
10
Pada gambar 2, radiograf dada menunjukkan pneumomediastinum
seperti subkutan emfisema pada wanita yang diintubasi karena gagal nafas.
Cincin yang mengelilingi arteri (artery tubular), sebuah area
radiolusen yang dapat terlihat mengelilingi arteri pulmonalis kanan
pada radiograf dada lateral.
Thymic sail (spinnaker) sign : lobus thymic terangkat ke atas
membentuk spinnaker yang penuh.
2. Radiografi Kontras
Dalam kasus suspek perforasi esophageal, pemeriksaan dengan kontras
sangat dianjurkan. Beberapa peneliti merekomendasikan untuk
menggunakan agen kontras cair yang mudah larut yang diikuti dengan
barium jika normal, tidak ditemukan kelainan dan untuk meningkatkan
sensitivitas pemeriksaan.
3. CT Scan
11
4. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan gas darah arteri
- Gas darah arteri harus diperiksa pada pasien dengan distress
respirasi
- Gas darah mungkin normal atau bahkan menimbulkan
keadaan hipoksia atau hiperkarbia, tergantung dari toleransi
akut sistem respiratorik.
b. Enzim jantung
- Untuk menyingkirkan adanya infark miokard
5. Pemeriksaan Lainnya
a. Elektrokardiografi
Pemeriksaan elektrokardiografi dilakukan untuk menyingkirkan
infark miokardial, perikarditis dan miokarditis. Namun penurunan
tegangan, ST depresi dan gelombang T non spesifik mungkin dapat
muncul meski pada kasus tanpa pneumoperikardium.
b. Bronkoskopi diindikasikan pada suspek trakeobronkial yang
kemungkinan disebabkan oleh trauma dada.
c. Esofagoskopi diindikasikan pada suspek perforasi esophageal.
2.8 PENATALAKSANAAN
1. Perawatan Medis.
Ventilasi mekanik.
Meskipun ventilasi mekanik dapat menyebabkan kebocoran udara,
termasuk pneumomediastinum, namun dengan dilakukannya ventilasi
mekanik dan bahkan peningkatan penunjang respirasi mungkin
diperlukan, tergantung dari kegawatdaruratan distress respirasi dan
derajat toleransi yang disebabkan oleh kebocoran udara tersebut.
Prinsipnya termasuk dengan penggunaan tekanan terendah atau
12
volume tydal yang diperlukan untuk memperoleh pertukaran
karbondioksida dan oksigen yang cukup. Hiperkapnea permissive,
sebuah strategi ventilasi yang berdasar pada oksigenasi yang adekuat
dan pH darah. Ketika terjadi sebagian peningkatan karbondioksida
dengan bantuan ventilasi untuk meminimalisasi barotrauma.
Pada beberapa kasus dilaporkan tentang keberhasilan penggunaan
High- frequency oscillatory ventilation pada pasien anak- anak dengan
sindrom distress pernafasan akut dan pneumomediastinum.
Asynchronous independent lung ventilation telah dilaporkan sebagai
terapi pada pneumomediastinum.
Nitrogen washout dengan inhalasi oksigen 100%. Diyakini dapat
digunakan untuk terapi pneumomediastinum.
1. Rawat Inap
13
komplikasi lanjutan yang lebih serius pada pneumomediastinum seperti
tension pneumomediastinum, pneumothorax atau pneumoperikardium.
Pasien harus menghindari aktivitas fisik yang berat yang membutuhkan
kekuatan respiratorik. Fungsi paru harus selalu di cek.
Apabila ada kecurigaan terjadi perforasi esofagus dan beresiko tinggi
untuk terjadinya mediastinitis lanjut, maka pasien harus diobservasi
dengan ketat.
2. Rawat Jalan
14
3. Terapi Pasien dalam dan luar
4. Rujukan
2.10 PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari aktivitas faktor resiko,
seperti memainkan alat musik tiup, scuba diving, termasuk aktivitas atletik
yang berat.
Edukasi pasien untuk menghindari faktor resiko atau pencetus yang dapat
menimbulkan pneumomediastinum.
Melakukan kontrol dan perawatan asma, melakukan vaksinasi pertusis
dan influenza.
15
Untuk informasi lebih lanjut disarankan untuk mengunjungi pusat
kesehatan jantung dan sistem pernafasan serta dengan menambah
pengetahuan melalui artikel- artikel.
2.12 KOMPLIKASI
1. Tension pneumomediastinum
2. Mediastinitis
2.13 PROGNOSIS
Morbiditas atau mortalitas yang berhubungan dengan faktor
presipitasinya. Dengan pneumomediastinum rekuren sebagai faktor resiko,
namun pneumomediastinum terkadang tidak berakibat fatal
16
BAB III
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
18