Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Pneumomediastinum pertama kali dikemukakan oleh Laennec pada tahun


1819 sebagai akibat dari jejas traumatik. Pneumomediastinum didefinisikan
sebagai adanya udara atau gas bebas yang diketemukan pada mediastinum, yang
pada umumnya berasal dari rongga alveolar atau jalan nafas.

Etiologinya berasal dari multifaktorial, banyak para ahli yang


menyebutkan bahwa pneumomediastinum dapat diantaranya disebabkan oleh
spontan Pneumomediastinum (pneumomediastinum yang terjadi sebagai akibat
penyakit sekunder atau proses lainnya) dan dapat juga disebabkan oleh akibat
sekunder dari trauma dada, endobronkhial atau esophageal, ventilasi mekanis atau
bedah dada atau berbagai macam prosedur invasif lainnya.

Pneumomediastinum traumatik dilaporkan lebih banyak terjadi pada laki-


laki dewasa, ini mencerminkan banyaknya kecenderungan aktivitas laki-laki
dewasa yang akan meningkatkan resiko terjadinya barotrauma, misalnya sering
menyelam atau sering melakukan pekerjaan yang menahan nafas seperti aktivitas
atletik dan angkat berat. Berbeda dengan penelitian oleh Damore pada tahun 2001
yang melaporkan ada 29 kasus pneumomediastinum yang berlangsung selama
periode 10 tahun ternyata tidak ada hubungannya dengan trauma, intubasi atau
prosedur bedah, dan 69% dari pasien ini adalah laki-laki. Dalam penelitian lain
yang dilakukan oleh Adams tahun 2003, dilaporkan bahwa pneumomediastinum
lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita.

Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa kejadian pneumomediastinum


dapat terjadi pada anak-anak meskipun sangat jarang. Dari review yang dilakukan
oleh Chalumeau et al., menyebutkan prevalensi pneumomediastinum pada anak-
anak berkisar dari 1 per 800 sampai 1 per 42.000 pada pasien yang dirawat di unit
gawat darurat. Pada tahun 1996, Stack et al melaporkan adanya insidensi

1
Pneumomediastinum yang ada hubungannya dengan asma yang dirawat di rumah
sakit selama periode 10 tahun sebesar 0,3 %. Umur rata-rata dari pasien yang
diserang adalah 11 tahun, disini tak ada perbedaan seks. Dari 2000 studi yang
dilakukan oleh Briassoulis et al dari Athena, Yunani yang mengevaluasi frekuensi
kebocoran udara pada anak-anak yang mendapatkan ventilasi mekanik dilaporkan
prevalensi sekitar 27%.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI MEDIASTINUM


Rongga viseral di leher yang terletak diantara lapisan-lapisan tengah
dan di antara fasia servikalis melanjut melalui pintu atas rongga dada sebagai
mediastinum. Mediastinum merupakan daerah diantara paru kanan dan paru
kiri termasuk pleura mediastinalis. Di depan dibatasi oleh sternum, belakang
oleh vertebrae thoracalis, meluas dari aperture thoracicus superior sampai
aperture thoracicus inferior (diafragma). Mediastinum melanjut dari
permukaan belakang sternum ke permukaan anterior tulang belakang torakal.
Pada kedua sisinya, mediastinum dibatasi oleh pleura mediastinalis (pleura
parietalis) dan ke arah bawah dibatasi oleh diafragma. Mediastinum dibagi
dalam mediastinum superior dan inferior. Mediastinum inferior dibagi lagi
dalam mediastinum-mediastinum posterior, medium, dan anterior. Secara
garis besar mediastinum dibagi atas 4 bagian penting:

1. Mediastinum superior, mulai pintu atas rongga dada sampai ke vertebra


torakal ke-5 dan bagian bawah sternum.
2. Mediastinum anterior, dari garis batas mediastinum superior ke diafargma
didepan jantung.
3. Mediastinum posterior, dari garis batas mediastinum superior ke
diafragma dibelakang jantung.
4. Mediastinum medial (tengah), dari garis batas mediastinum superior ke
diafragma di antara mediastinum anterior dan posterior.

3
Gambar 2.1 Anatomi Mediastinum

Mediastinum superior meluas dari pintu atas rongga dada sampai


suatu dataran horisontal di atas jantung. Mediastinum posterior, medium dan
anterior terletak di bawah dataran tersebut. Mediastinum superior berisi
batang-batang saraf yang memasuki dan meninggalkan mediastinum
posterior. Mediastinum superior juga mengandung suatu alat dengan ciri-ciri
khas, yakni kelenjar timus. Mediastinum posterior meluas antara vertebra-
vertebra torakal dan perikardium posterior. Secara aksial, rongga ini berisi
batang-batang saraf besar dan alat-alat tubular, yang umumnya melalui
mediastinum posterior secara lurus.
Mediastinum posterior dilintasi mediastinum posterior dengan batang-
batang nervus vagus yang terletak di depan dan di belakangnya. Aorta
torasikus, vena asigos, dan vena hemiasigos. Trunkus simpatikus terletak
lateral terhadap tulang-tulang belakang dan di depan kepala-kepala iga. Batas
antara mediastinum-mediastinum posterior dan medium terletak pada bidang
frontal, anterior terhadap percabangan trakea, kira-kira setinggi hilus paru.
Mediastinum medium mengandung jantung yang terletak di dalam kantong
perikardial. Pleura mediastinalis melilputi perikardium dan diantara
keduanya, pada kedua sisi dapat ditemukan nervus frenikus dan arteri
perikardiokofrenika beserta venanya. Mediastinum anterior adalah celah
berbentuk belahan berisi jaringan ikat, terletak di depan jantung, antara
perikardium dan dinding dada.

4
2.2 DEFINISI
Pneumomediastinum atau mediastinal emfisema merupakan suatu
kondisi terdapatnya udara di dalam mediastinum.

2.3 EPIDEMIOLOGI
Pada serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Stack tahun 1996
tentang pneumomediastinum yang terjadi pada seseorang yang menderita
asma, ada sedikit dominansi pada laki-laki dalam prevalensi
pneumomediastinum.
Dalam penelitian kasus pneumomediatinum lainnya didapatkan lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita. Pada tahun 2001
Damore melaporkan ada 29 kasus pneumomediastinum yang berlangsung
selama periode 10 tahun tidak ada hubungannya dengan trauma, intubasi atau
prosedur bedah; 69% dari pasien ini adalah laki-laki.
Pada pneumomediastinum traumatik lebih banyak terjadi pada laki-
laki, ini mencerminkan kecenderungan aktivitas yang akan meningkatkan
resiko terjadinya barotrauma, misalnya sering menyelam atau sering
melakukan pekerjaan yang menahan nafas (misalnya aktivitas atletik, angkat
berat). Kejadian ini akan lebih hebat lagi bila disertai dengan batuk, muntah
dan melakukan gerakan valsalva (menahan nafas dengan menutup hidung)
semua itu akan cenderung menyebabkan pneumomediastinum yang akan
bekurang dengan pertambahan umur.
Pertambahan umur berkaitan dengan pneumomediastinum terjadi
bersamaan dengan proses penyakit yang lainnya dan akan bervariasi menurut
profil umur dari penyakit tersebut. Umur rata-rata dari pasien yang diserang
adalah 11 tahun; disini tidak tak ada perbedaan seks.
Studi terbaru dari Nashville, Tennese melaporkan frekuensi gas ekstra
abdominal untuk serangkaian pasien ini yang akan menjalani operasi
esofageal laparoskopik. Ada empat puluh tujuh persen pasien (N =45) yang
menunjukkan udara ekstra abdominal yang terlihat dalam radiografi thorax.
dari semua ini ada 86% yang mengalami pneumomediastinum.

5
Pneumomediastinum ini akan tetap bertahan sedikitnya 1 hari setelah operasi
pada dua pertiga kasus.
Dalam serangkaian pasien dengan sindroma sesak nafas akut yang
dipengaruhi oleh sepsis (ARDS), kebocoran udara dari berbagai macam jenis,
tidak termasuk dengan pneumothorax terjadi pada 3,7 % pasien. Tekanan
ventilator dan volume yang terjadi tidak ada hubungannya dengan terjadinya
kebocoran udara. Dalam serangkaian pasien dewasa yang mengalami trauma
dada, sekitar 10% dari mereka ini mengalami Pneumomediastinum.
Mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan Pneumomediastinum
biasanya dikarenakan oleh adanya penyakit ini. Pneumomediastinum
biasanya merupakan keadaan yang tidak akan menyebabkan kematian.
Tergantung pada keadaan jejas yang terjadi, rerata mortalitas yang ada
hubungannya dengan pneumomediastinum itu mungkin sangat tinggi sampai
50-70% pada sindroma Boerhaave (ruptura esophageal setelah muntah).
Terjadinya kebocoran udara ini, menurut studi yang dilakukan pada tahun
1998 oleh Weg et al, semua itu tak ada hubungannya dengan meningkatnya
rerata mortalitas pada pasien dengan ARDS yang dipengaruhi oleh sepsis.
Faktor predisposisi yang lainnya yang ada hubungannya dengan rerata
mortalitas yangtinggi meliputi trauma (baik trauma akibat benda tumpul atau
tusukan, terutama dengan jejas kecepatan tinggi), asma dan perforasi
trakheobronkhial.
Morbiditas yang paling sering disebabkan oleh pneumomediastinum
adalah gejala-gejala seperti nyeri dada, perubahan suara dan batuk. Kadang,
pseudotamponade akan menyebabkan penurunan cardiac output. Kompressi
laringeal biasanya menyebabkan terjadinya stridor. Emboli udara (gas) jarang
dilaporkan.

2.4 ETIOLOGI
Tiga penyebab terjadinya pneumomediastinum adalah :

1. Ruptur alveolus dengan diseksi udara ke dalam mediastinum.

6
2. Perforasi atau ruptur esophagus, trakea atau bronkus utama.
3. Diseksi udara dari leher atau abdomen ke dalam mediastinum.

Beberapa faktor pencetus yang dapat menimbulkan


pneumomediastinum diantaranya batuk yang frekuen, menangis, berteriak,
muntah, defekasi dan valsava yang dapat meningkatkan tekanan alveolar.
Beberapa penyakit pernafasan, diantaranya asma, bronkhiolitis, pasien
dengan tindakan intubasi dan ventilasi mekanik termasuk dalam resiko yang
tinggi mengalami pneumomediastinum.

Selain itu, aktivitas yang dapat menimbulkan barotrauma, misalnya


menyelam, merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya
pneumomediastinum. Sering melakukan pekerjaan yang menahan nafas
(misalnya aktivitas atletik, weight lifting). Memainkan alat musik tiup juga
merupakan faktor resiko pneumomediastinum.

2.5 PATOFISIOLOGI
Pneumomediastinum merupakan penyakit yang jarang menimbulkan
komplikasi klinis, yang lebih sering disini adalah kondisi-kondisi yang
memperburuk itu yang akan menyebabkan penyakitnya menjadi sangat
signifikan. Pada berbagai keadaan yang jarang, tekanan pneumomediastinum
ini dilaporkan disertai dengan perubahan tekanan mediastinum sehingga
menyebabkan penurunan cardiac output, baik oleh penekanan jantung secara
langsung atau karena menurunnya venous return. Bila ada gas mediastinum
atau subkutan yang sangat banyak, mungkin akan terjadi penekanan pada
jalan nafas.
Keterangan umum yang bisa diterima untuk terjadinya
pneumomediastinum adalah adanya gas bebas (biasanya udara, meskipun
kadangkala bukan) yang masuk melalui alveoli yang rusak disepanjang
lapisan vaskular peribronkhial kearah hilus paru. Dari daerah ini terus akan
meluas kearah mediastinum. Dengan sendirinya, jalur udara ini tak hanya
terjadi pada mediastinum; udara itu akan menyebar melalui bidang-bidang

7
jaringan ini sehingga menyebabkan pneumoperitoneum,
pneumoretroperitoneum, pneumoperikardium, pneumothorax dan emphysema
subkutan.
Efek Macklin sebagaimana pertama kali diterangkan pada tahun 1939,
adalah kondisi triad yang bisa menerangkan terjadinya berbagai kasus
pneumomediastinum. Proses ini dimulai dengan ruptura alveolar, setelah itu
udara akan menjalar disepanjang bungkus bronkhovaskular dan lama
kelamaan akan mencapai mediastinum.

2.6 GEJALA KLINIS


Gejala klinis yang menyertai pneumomediastinum berkisar dari tidak ada
gejala sampai gejala yang berat. Beberapa diantaranya :
Nyeri dada (50- 90%), khasnya terdapat nyeri dada substernum yang
berat dengan atau tanpa penyebaran ke leher dan lengan, diperberat
dengan inspirasi. Nyeri dada ini menyerupai gejala awal dari infark
miokard.
Dyspnea atau sesak nafas
Demam, kadang timbul menyertai gejala yang lain. Terjadi akibat
pelepasan sitokin.
Nyeri tenggorokan
Disfagia

2.7 PENEGAKKAN DIAGNOSA


Diagnosis pneumomediastinum ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang melalui radiografi dada.
a. Pemeriksaan Fisik
Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan :
Biasanya ditemukan emfisema subkutis. Meskipun bukan merupakan
tanda patognomonik dari pneumomediastinum udara di subkutis
menunjukkan adanya udara bebas di dalam rongga thoraks. Pada tahun

8
1996, Stack melaporkan adanya emfisema subkutis pada 73%
penderita pneumomediastinum.
Tanda Hamman merupakan tanda patognomik dari
pneumomediastinum. Tanda Hamman ini terdiri dari :
Precardial Systolic Krepitasi
Melemahnya bunyi jantung
Tanda hamman ini menimbulkan bunyi klik (oleh karena adanya
krepitasi) yang sinkron dengan denyut jantung dan akan lebih jelas
didengarkan pada posisi miring (dekubitus) lateral kiri.

b. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiografi dada
Pada pemeriksaan radiologi dada biasanya menunjukkan
pneumomediastinum (meskipun tidak selalu ditemukan, dapat dengan
menggunakan CT-scanning dada). Radiografi lateral dapat menunjang
diagnostik yang lebih tepat. Gambaran yang ada adalah adanya gas
pada ruang mediastinal. Pada penyakit-penyakit penyerta seperti
pneumothorax, pneumoperitoneum dan pneumopericardium mungkin
dapat ditemukan.

9
Gambar 2.2 Radiografi pada pasien perempuan berusia 3 tahun dengan riwayat
persalinan prematur, penyakit paru kronis, dan asma yang menderita pneumonitis
viral dan batuk persisten

Garis tipis radiolusen menunjukkan adanya gas bebas, yang mungkin


dapat terlihat vertikal (sepanjang sisi kiri jantung), retrosternal prekardial atau
mengelilingi trakea. Gambaran khas pneumomediastinum yang dapat terlihat
dari pemeriksaan radiografi dada tersebut, yaitu terlihat garis udara sepanjang
struktur anatomis sepanjang mediastinum termasuk thymic sail sign, tanda
cincin yang mengitari arteri, tubular artery sign, double bronchial sign,
diafragma yang menyambung dan tanda ekstrapleural.

Gambar 2.3 Pneumomediastinum

10
Pada gambar 2, radiograf dada menunjukkan pneumomediastinum
seperti subkutan emfisema pada wanita yang diintubasi karena gagal nafas.
Cincin yang mengelilingi arteri (artery tubular), sebuah area
radiolusen yang dapat terlihat mengelilingi arteri pulmonalis kanan
pada radiograf dada lateral.
Thymic sail (spinnaker) sign : lobus thymic terangkat ke atas
membentuk spinnaker yang penuh.

2. Radiografi Kontras
Dalam kasus suspek perforasi esophageal, pemeriksaan dengan kontras
sangat dianjurkan. Beberapa peneliti merekomendasikan untuk
menggunakan agen kontras cair yang mudah larut yang diikuti dengan
barium jika normal, tidak ditemukan kelainan dan untuk meningkatkan
sensitivitas pemeriksaan.

3. CT Scan

Gambar 2.4 Tampak udara pada mediastinum (panah merah) dan


emfisema subkutis (panah kuning)

11
4. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan gas darah arteri
- Gas darah arteri harus diperiksa pada pasien dengan distress
respirasi
- Gas darah mungkin normal atau bahkan menimbulkan
keadaan hipoksia atau hiperkarbia, tergantung dari toleransi
akut sistem respiratorik.
b. Enzim jantung
- Untuk menyingkirkan adanya infark miokard

5. Pemeriksaan Lainnya
a. Elektrokardiografi
Pemeriksaan elektrokardiografi dilakukan untuk menyingkirkan
infark miokardial, perikarditis dan miokarditis. Namun penurunan
tegangan, ST depresi dan gelombang T non spesifik mungkin dapat
muncul meski pada kasus tanpa pneumoperikardium.
b. Bronkoskopi diindikasikan pada suspek trakeobronkial yang
kemungkinan disebabkan oleh trauma dada.
c. Esofagoskopi diindikasikan pada suspek perforasi esophageal.

2.8 PENATALAKSANAAN

1. Perawatan Medis.

Perawatan medis tergantung pada status klinis pasien.

Ventilasi mekanik.
Meskipun ventilasi mekanik dapat menyebabkan kebocoran udara,
termasuk pneumomediastinum, namun dengan dilakukannya ventilasi
mekanik dan bahkan peningkatan penunjang respirasi mungkin
diperlukan, tergantung dari kegawatdaruratan distress respirasi dan
derajat toleransi yang disebabkan oleh kebocoran udara tersebut.
Prinsipnya termasuk dengan penggunaan tekanan terendah atau

12
volume tydal yang diperlukan untuk memperoleh pertukaran
karbondioksida dan oksigen yang cukup. Hiperkapnea permissive,
sebuah strategi ventilasi yang berdasar pada oksigenasi yang adekuat
dan pH darah. Ketika terjadi sebagian peningkatan karbondioksida
dengan bantuan ventilasi untuk meminimalisasi barotrauma.
Pada beberapa kasus dilaporkan tentang keberhasilan penggunaan
High- frequency oscillatory ventilation pada pasien anak- anak dengan
sindrom distress pernafasan akut dan pneumomediastinum.
Asynchronous independent lung ventilation telah dilaporkan sebagai
terapi pada pneumomediastinum.
Nitrogen washout dengan inhalasi oksigen 100%. Diyakini dapat
digunakan untuk terapi pneumomediastinum.

2. Penanganan dengan metode pembedahan

Intervensi bedah jarang dilaporkan pada kasus pneumomediastinum.


Intervensi bedah disiapkan untuk penanganan kardiorespiratorik.

Mediastinoscopy digunakan untuk meningkatkan usia harapan hidup


dan penatalaksanaan pneumomediastnum, dilaporkan hanya pada
sedikit kasus.
Precutaneus placement of mediastinal drainage tube telah dilaporkan.
CT- guide placement juga dapat dipertimbangkan.
Double mediastinotomy dilakukan dengan lokal anestesi, telah
digunakan sebagai usaha untuk mengalirkan udara mediastinal.

2.9 PERAWATAN LANJUT

1. Rawat Inap

Pasien harus dimonitoring dengan ketat (secara klinis dengan


cardiorespiratory monitor, pulse oximetry) untuk mengantisipasi

13
komplikasi lanjutan yang lebih serius pada pneumomediastinum seperti
tension pneumomediastinum, pneumothorax atau pneumoperikardium.
Pasien harus menghindari aktivitas fisik yang berat yang membutuhkan
kekuatan respiratorik. Fungsi paru harus selalu di cek.
Apabila ada kecurigaan terjadi perforasi esofagus dan beresiko tinggi
untuk terjadinya mediastinitis lanjut, maka pasien harus diobservasi
dengan ketat.

2. Rawat Jalan

Pasien harus menghindari faktor resiko yang berhubungan dengan


pneumomediastinum. Namun pedoman resmi tentang perawatan
pendukung masih belum jelas. Rekomendasi perawatan yang ada lebih
berhubungan dengan perawatan pneumothorax.
Aktivitas fisik yang berhubungan dengan resiko pneumomesdiastinum(
seperti lifting, scuba diving, memainkan alat musik tiup) harus
diminimalisasikan. Diving dapat menyebabkan kebocoran udara,
sehingga diving sering menjadi kontraindikasi. Penulis- penulis yang
menyarankan untuk tidak melakukan aktivitas- aktivitas yang telah
disebutkan di atas, minimal dalam waktu 6 bulan, jika
pneumomediastinum kambuh kembali maka pasien harus menghentikan
aktivitas- aktivitas tersebut.
Kondisi medis yang berhubungan dengan perkembangan
pneumomediastinum harus ditangani dengan cepat. Hal ini termasuk
asma dan muntah yang rekuren ( contoh dari GERD, kemoterapi,
bulimia).
Anak- anak dengan resiko pneumomediastinum atau dengan riwayat
perkembangan pneumomediastinum harus mendapatkan vaksinasi
penuh, termasuk vaksinasi influenza.

14
3. Terapi Pasien dalam dan luar

Tidak ada terapi medis yang spesifik diindikasikan untuk


pencegahan pneumomediastinum. Seperti diungkapkan di atas, keadaan
yang berhubungan dengan pneumomediastinum harus mendapatkan
perawatan dengan segera, bagi pasien dengan riwayat
pneumomediastinum dapat mendapat terapi antitusif saja jika sakit bersin-
bersin atau batuk.

4. Rujukan

Penanganan Intensif. Pasien- pasien dengan distress respirasi akut,


peningkatan kebutuhan oksigen, sindrom kebocoran udara lain atau
tanda- tanda kompensasi kardiovaskular perlu dirujuk ke unit
penanganan intensif untuk penanganan dan monitoring lebih lanjut.
Penanganan Pediatri Superintensif. Apabila pasien mempunyai
kompensasi atau kondisi serius yang berhubungan dengan
pneumomediastinum ( contoh perforasi esofageal ) dapat dirujuk ke unit
penanganan superintensif.

2.10 PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari aktivitas faktor resiko,
seperti memainkan alat musik tiup, scuba diving, termasuk aktivitas atletik
yang berat.

2.11 EDUKASI PASIEN

Edukasi pasien untuk menghindari faktor resiko atau pencetus yang dapat
menimbulkan pneumomediastinum.
Melakukan kontrol dan perawatan asma, melakukan vaksinasi pertusis
dan influenza.

15
Untuk informasi lebih lanjut disarankan untuk mengunjungi pusat
kesehatan jantung dan sistem pernafasan serta dengan menambah
pengetahuan melalui artikel- artikel.

2.12 KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat pneumomediastinum


diantaranya:

1. Tension pneumomediastinum

Meskipun jarang, tension pneumomediastinum dapat timbul,


menyebabkan kompresi pada vena- vena besar, menyebabkan venous
return, yang dapat mengakibatkan terjadinya hipotensi.

2. Mediastinitis

Pneumomediastinum disertai oleh muntah- muntah yang masif dan


frekuen dapat berhubungan dengan terjadinya sindrom Boerhaave
yang dapat beresiko berkembang menjadi mediastinitis

2.13 PROGNOSIS
Morbiditas atau mortalitas yang berhubungan dengan faktor
presipitasinya. Dengan pneumomediastinum rekuren sebagai faktor resiko,
namun pneumomediastinum terkadang tidak berakibat fatal

16
BAB III
KESIMPULAN

1. Pneumomediastinum adalah suatu kondisi dimana adanya udara atau gas


bebas pada mediastinum yang umumnya berasal dari rongga alveolar atau
jalan nafas dengan etiologi multifaktorial (lebih banyak berhubungan
dengan spontan pneumomediastinum dibandingkan dengan kejadian yang
berhubungan dengan trauma, intubasi atau prosedur bedah).
2. Prevalensi pneumomediastinum didominasi oleh laki-laki dibandingkan
wanita. Faktor predisposisi yang berhubungan dengan rerata mortalitas
meliputi trauma ( baik trauma akibat benda tumpul atau tusukan, terutama
dengan jejas kecepatan tinggi), asma, dan perforasi trakeobronkhial.
Morbiditas yang paling sering sebagai penyebab pneumomediastinum
adalah nyeri dada, perubahan suara dan batuk, pseudotamponade yang
dapat menyebabkan penurunan kardiak ouput, dan kompresi laringeal.
3. Diagnosis pneumomediastinum ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang melalui radiografi dada. Dengan gambaran
khas radiologi dada berupa:
o Adanya gas pada ruang mediastinal (Radiografi lateral).
o garis udara sepanjang struktur anatomis sepanjang mediastinum
termasuk thymic sail sign, tanda cincin yang mengitari arteri,
tubular artery sign, double bronchial sign, diafragma yang
menyambung dan tanda ekstrapleural.

4. Prognosis pneumomediastinum adalah morbiditas atau mortalitas yang


berhubungan dengan kondisi faktor presipitasinya. Dengan
pneumomediastinum rekuren sebagai faktor resiko, namun
pneumomediastinum terkadang tidak berakibat fatal

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Pneumomediastinum. Seputar Kedokteran (serial online) Februari


2009 (diakses 27 Mei 2012). http://medlinux.blogspot.com/2009/02/
pneumomediastinum.html

2. Diagnosis dan Penatalaksanaan pada Pneumomediastinum. Info


Kedokteran.com (serial online) November 2011 (diakses 27 Mei
2012). http://www.infokedokteran.com/info-obat/diagnosis-dan-
penatalaksanaan-pada-pneumomediastinum.html#more-378

3. Cahyono A, Rahmi H. Pneumotoraks dan Pneumomediastinum


sebagai Komplikasi Trakeostomi Darurat. Journal THT-FKUI. 2010:3.

4. Pneumomediastinum. Radiologyschools (serial online) 2009 (diakses


27 Mei 2012). http://www.radiologyschools.com/Radiology-
Courses/cxr/pathology15chest.html

5. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper, Harrisons


Principles of Internal Medicine, Edisi ke-16, Jakarta: EGC, 2005:
1565.

18

Anda mungkin juga menyukai