Anda di halaman 1dari 20

Anatomi Gerakan Radikal Islam di Indonesia

M. Zaki Mubarak

Abstracts: Only in two years, Indonesia has been rocked by four suicide bombings. Legion Bali
bomb in October 2002 has killed over 200 people, followed a suicide bombing in Makassar in
Ramadan KFC in 2002, and bombings JW Marriot Jakarta that killed 13 people in August 2003,
and the last suicide bombing was terrible in front of Australian embassy in Jakarta last
September 2004 that killed 12 people. Islamic radical groups, Jamaah Islamiah, was mentioned
was behind this terrible act. What is actually taking place in the radical elements of Islam in
Indonesia ? This paper tried to explore anatomy (thoughts and movements) and the historical
development of Islamic radicalism in Indonesia today.
Kata Kunci: radikalisme, jihad, DI/TII,-teoris.
Pendahuluan

Pernah di suatu ketika beberapa sarjana asing, baik muslim maupun non muslim, menunjuk
kepada Indonesia sebagai contoh ideal kehidupan beragama yang sangat toleran dan penuh
kedamaian. Tidak hanya Fazlur Rahman, seorang intelektual muslim terkemuka, yang
memandang penuh empati dan optimisme praktek keberagamaan di negeri ini. 1 Bassam Tibi,
seorang analis politik dan kebudayaan Islam yang terdidik di Jerman, juga memiliki
pandangan yang serupa: indonesia adalah surga bagi toleransi antar umat beragama yang
patut dijadikan contoh negeri-negeri lainnya. Bahkan William E. Shepard dengan lugas
menyebut Indonesia sebagai sebuah negeri muslim yang telah berhasil mengatasi
permasalahan tarik ulur antara agama dengan sekularisme. Sebuah problem klise di
kebanyakan dunia Islam yang telah kerap kali menimbulkan ketegangan dan perselisihan
serius yang melibatkan pemerintah dan warga negaranya. Pendek kata, Indonesia sampai
dengan 1980-an telah dilihat oleh kalangan luas sebagai negeri dimana problem-problem
yang menyangkut hubungan antar umat beragama (Islam dan minoritas non-Islam), serta
relasi Islam dan negara dapat diselaraskan dengan sangat baik.

Meskipun penilaian-penilaiari tersebut terkesan berlebihan, tetapi suliflah disangkal bahwa


hubungan antar umat beragama di Indonesia cukup kondusif dan terjaga. Tidaklah salah
bahwa di bandingkan beberapa bagian dunia Islam lainnya, terutama negara-negara di
wilayah Arab yang tidak henti-hentinya dirudung konflik penuh kekerasan antara umat
beragama dan pemerintah dengan kelompok Islam, maka peristiwa semacam itu relatif
jarang terjadi di Indonesia. Meskipun pada pertengahan 1970-an hingga 1980-an beberapa
kali terjadi letupan yang dikaitkan dengan aksi kelompok radikal seperti munculnya Gerakan
Komando Jihad (Komji), Teror Warman, Jamaah Imron, dan sebagainya, namun eskalasinya
relatif sangat kecil.

Agaknya dengan alasan-alasan itupulalah kiranya, maka para para pemerhati gerakan radikal
Islam selama 1970-an hingga 1980-an lebih tertarik untuk menengok berbagai kejadian yang
berlangsung di sentrum gerakan fundamentalisme Islam di negara-negara kawasan Arab,
terutama di Mesir, Syiria, Yordania, dan belakangan di Aljazair pada awal 1990-an. Di
kawasan itulah dianggap dari mana asal muasal gerakan fundamentalisme Islam, antara lain:
Ikhwanul Muslimin, Takfir wal Hijra, Al Jihad, Hizbut Tahrir dan lainnya, bermunculan dan
menyebar ke beberapa wilayah disekitarnya. Disana juga pemikir dan ideolog Islam radikal
bermunculan, seperti al- Banna, Sayyid Qutb, Syukri Musthofa, An Nabhani, dan sebagainya.
Sebagaimana negeri-negeri muslim di Asia Tenggara lainnya, Indonesia, dari 1970-an hingga
1980-an berada diluar jangkauan pembicaraan para pemerhati radikalisme dan
fundamentalisme Islam.

Kejadian sporadis yang telah menggugah kesadaran akanbesarnya potensi Islam radikal di
Indonesia mulai terlihat ketika meletup serangkaian peledakan bom di gereja-gereja
bertepatan pada malam natal tahun 1999. Peristiwa yang kemudian banyak disebut sebagai
"Tragedi Malam Natal" ini, yang selain menyebabkan rusaknya beberapa gereja juga
mengakibatkan meninggalnya beberapa orang, adalah merupakan fase awal yang menandai
kehadiran kelompok-kelompok radikal ini secara amat nyata. Pada saat itulah mereka telah
benar-benar hadir, dan bukan merupakan bayang-bayang saja. Selanjutnya, berbagai
pengeboman dan peledakan gereja terus menjalar di berbagai tempat di Indonesia.
Kesibukan para elit politik yang teramat sangat dalam proses konsolidasi dan penataan
demokrasi yang sarat pertikaian dan melelahkan, telah menjadikan para elit tidak begitu
menghiraukan tanda-tanda datangnya bahaya radikalisme yang telah nampak di pelupuk
mata.

Terjadinya tragedi WTC11 September 2001 di Amerika Serikat telah menjadi titik balik yang
merubah segalanya. Aksi bunuh diri dengan menabrakkan pesawat terbang ke gedung pusat
bisnis pencakar langit dan tempat-tempat strategis lainnya, yang melibatkan beberapa orang
terkait jaringan Islam garis keras Timur Tengah, telah menjadi bagi berlangsungnya perang
meluas melawan apa yang dinamakan terorisme Islam. Seketika pemerintahan Amerika
mencanangkan kebijakan war agains terorist sebagai prioritas utama. Bin Laden, seorang
yang serba misterius, telah dianggap sebagai hantu yang bergentayangan yang menebar
teror dimana-mana. Korban pertama doktrin war againts teroris yang dikomandoi Amerika
adalah rezim Thaliban yang ditumbangkan kekuasaannya di Afghanistan melalui
penyerangan secara sporadis dan besar-besaran. Thaliban telah dianggap sarang kegiatan
teroris dimana Osama bin Laden bersembunyi. Kekuasaan Thalibanpun akhirnya rontok.
Tetapi perang melawan terorisme tidak dengan sendirinya berhenti, war againts teroris
semakin kencang dan meluas.

Ekses dari agenda penumpasan teroris (Islam radikal) yang telah menjadi agenda
internasional, kemudian menjalar ke Indonesia. Beberapa gembong teroris, yang sebagaian
diantaranya adalah eksodus dari Malaysia dan beberapa bekas "alumnus" Afghanistan,
disinyalir telah bermukim dan menjalakan operasinya di Indonesia. Kelompok Islam radikal
"jaringan asia tenggara" inilah yang sangat diincar karena aksi-aksinya yang sangat
membahayakan. Sementara pemerintahan Malaysia, Singapura, dan Filipina,
memperlihatkan tindakan yang tegas dan cekatan menangkap orang-orang yang diduga
aktor gerakan teroris, pemerintah Indonesia dirasakan sangat lamban sampai dengan
terjadinya peristiwa sporadis Bom Bali pada Oktober 2002 yang menewaskan lebih 200
orang.
Ledakan bom di Legian Bali pada kenyataannya bukanlah akhir dari teror yang dilakukan
kelompok Islam garis keras ini, tetapi merupakan awalan dari beberapa kejadian lain yan
tidak kalah mengerikan. Setelah pengeboman di Bali, menyusul kemudian aksi bom bunuh
diri yang tidak kalah dahsyat yang berlangsung di sekitar Hotel
J.W. Marriot Jakarta, sebuah hotel yang sering dihuni oleh pejabat, pelaku bisnis dan
wisatawan asing, pada Agustus 2003. 5Selain meluluh lantakkan bangunan, aksi bom bunuh
diri ini juga mengakibatkan beberapa orang tewas. Inipun ternyata bukan merupakan kali
terakhir bom bunuh diri, sebab pada pertengahan September 2004 terjadi lagi tindakan bom
bunuh diri yang lebih dahsyat di depan kantor Kedubes Australia di Jakarta. Sebagaimana
kejadian sebelumnya, aksi terakhir ini juga mengakibatkan beberapa orang tewas dan
terluka parah.6

Bukan persoalan yang mudah kenyataannya untuk melacak dan membongkar secara penuh
jaringan radikal yang bergerak secara under ground ini. Dari beberapa orang yang kini telah
tertangkap sedikit demi sedikit terkuak asal muasal gerakan dan sel-sel jaringan yang mereka
bangun. Nama almarhum Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir kemudian paling santer
disebut sebagai tokoh utama yang menjadi pemimpin spiritual para pelaku aksi-aksi teror.
Banyak diantara yang telah ditangkap membangun basis keradikalannya di malaysia, tempat
dimana Abdullah Sungkar dan Ba'asyir bermukim setelah "ekstradisi" dari Indonesia
pertengahan 1980-an. Dalam kepemipinan dua figur itulah, para pelaku aksi-aksi radikal
banyak merumba inspirasi. Sebuah tempat di Malaysia, dimana Sungkar dan Ba'asyir
mengajar dianggap sebagai pusat jaringan terorisme Islam Asia Tenggara. Selain unsur
koneksi Malaysia, beberapa diantara pelaku merupakan "alumnus" Afghanistan dan Moro.
Fase-Fase Kemunculan Islam Radikal di Indonesia

Dengan menilisik kembali ke belakang, dapat ditelusuri bahwa fundamentalisme Islam


(dalam hal ini adalah kelompok Islam yang memperjuangkan terwujudnya sebuah negara
Islam dan memperjuangkan dengan segala macam cara, termasuk dengan mengangkat
senjata) telah memiliki akar yang cukup panjang. Fase Pertama dari gerakan radikalisme
Islam berlangsung pada awal 1950-an hingga pertengahan 1960-an, diusung dan dipelopori
oleh Imam Kartosoewirjo melalui gerakan Darul Islam pi)/ Tentara Islam Indonesia (TH) yang
berpusat di Jawa Barat. Gerakan DI/TH semakin meluas seiring dengan bergabungnya
beberapa kelompok lain di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Selain di
Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, aksi-aksi DI/TU juga mencakup beberapa wilayah di Jawa
Tengah. Fase pertama gerakan DI/TII mulai berakhir dengan ditandai ditangkapnya Imam
Kartosoewirjo yang kemudian dihukum mati dan tewasnya Kahar Muzakkar.
Fase Kedua radikalisme Islam di Indonesia muncul pada

pertengahan 1970-an hingga pertengahan 1980-an. Para aktor yang terlibat dalam
radikalisme periode ini, terutama mereka yang dikaitkan dengan Gerakan Komando Jihad,
masih memiliki mata rantai dengan kelompok Nil yang dipimpin oleh Kartosoewirjo.
Setidaknya mereka memiliki hubungan khusus dengan beberapa tokoh Nil "kader"
Kartosoewirjo. Fase Ketiga, adalah radikalisme Islam belakangan yang kehadirannya mulai
dirasakan akhir 1990-an hingga saat ini. Kelompok-kelompok yang berkiprah belakangan jauh
lebih kompleks, dari yang bergerak under ground hingga yang secara terang-terangan.
Beberapa kelompok radikal Islam yang tumbuh akhir 1990-an yang berkiprah secara terbuka
dapat disebut antara lain: Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)yang dipimpin oleh Abu Bakar
Baasyir dan beberapa bekas anggota Nil, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Laskar Jihad
Ahlussunnah Wal Jamaah (LJAWJ) yang dipimpin Ja'far Umar Thalib.
Aspek-aspek gerakan separatisme DI/Tn selama 1950-an hingga 1960-an telah diteliti oleh
beberapa sarjana, antara lain dilakukan C. Van Dijk dan juga Karl D. Jackson . Banyak aspek
yang menarik terkait dengan dinamika gerakan DI/ TO yang menjalar dari tahun 1950-an
hingga 1960-an. Namun begitu, tulisan lebih memfokuskan kepada dimensi pertumbuhan
dan perkembangan gerakan radikal Islam di Indonesia dari pertengahan 1970-an (fase
kedua) hingga yang muncul kembali pada 1990-an sampai dengan saat ini (fase ketiga
radikalisme Islam di Indonesia).

Pergeseran kekuasaan dari Soekarno dan Soeharto telah membawa beberapa perubahan
kebijakan, termasuk tentang kedudukan Islam dalam negara Orde Baru. Di mata sementara
pemuka Islam, Soeharto dengan kebijakan-kebijakannya mencoba untuk memperlemah
peranan Islam dalam urusan kenegaraan. Dalam konteks inilah domestikasi Islam oleh
Soeharto telah memunculkan beberapa insiden. Umumnya insiden dipicu oleh
ketidakpuasan beberapa kalangan Islam terhadap produk-produk kebijakan pemerintah
yang dinilainya sebagai mengebiri nilai dan prinsip-prinsip Islam. Contoh yang paling jelas"
ialah terkait dengan dimajukannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan tahun
1973-1974 yang menuai gelombang protes dari kelompok-kelompok Islam. Ketegangan
hampir serupa yang melibatkan organisasi-organisasi Islam masih berlangsung kemudian,
ketika pemerintah memaksakan dimasukkannya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P-4) dalam GBHN dalam Sidang Umum MPR tahun 1978. Agenda tersebut
ditentang keras oleh beberapa elemen Islam, sebab disitu terdapat hal krusial terkait dengan
diakuinya aliran kepercayaan. Demikian halnya, keinginan pemerintah untuk menjadikan
Pancasila sebagai satu-satunya asas (asas tunggal) keormasan dan kepartaian yang telah
berulang kali dilontarkan, telah menghasilkan ekses kurang harmonisnya relasi antara
pemerintah dengan kelompok Islam. Sebab, ketika awal mula gagasan-gagasan itu
dikampanyekan Presiden Soeharto, kelompok-kelompok Islam di Indonesia pada umumnya
merasa berkeberatan.

Sepanjang 1970-an pola interaksi yang muncul adalah menguatnya perasaan curiga (curious)
diantara kalangan Islam dengan rezim Soeharto. Bagi sementara kalangan Islam, terutama
tokoh-tokoh muslim garis keras, kebijakan Soeharto yang terlalu melimitasi dan mengekang
gerakan-gerakan islam, dipandang sebagai pukulan yang menyakitkan. Soeharto dan
koleganya di sentrum kekuasaan terlihat memiliki kekhawatiran yang teramat akan tendensi
tersembunyi kelompok garis keras Islam untuk memperjuangkan agenda-agenda ke depan
meraka, seperti menjadikan islam sebagai dasar negara dan bahkan, keinginan untuk
mendirikan sebuah negara Islam. Dalam periode yang kurang harmonis inilah, berbagai isyu-
isyu seputar teror-teror yang dilakukan oleh kelompok radikal Islam mulai kembali
bermunculan.
Dalam pernyataan politik yang mendapat publisitas luas media massa pada tahun 1981,
Pangkopkamtib. Soedomo menyebutkan ada beberapa gerakan besar teror yang dilakukan
oleh kelompok Islam berhaluan ekstrim sepanjang pertengahan 1970-an hingga awal 1980-
an. Kelompok radikal muslim ini dianggap telah mengganggu stabilitas nasional karena
berbagai tindakan subversif yang mereka lakukan. Soedomo menyebut antara lain: Gerakan
Komando Jihad yang dipimpin Haji Ismail Pranoto, bekas anggota Nil. Tindakan subversif
Komando Jihad ini antara lain dengan melakukan peledakan beberapa gereja pada tahun
1976-1977. Selain itu, Soedomo juga menyebut Kelompok Pola Perjuangan Revolusioner
Islam dengan tokoh utamanya Abdul Qadir Djaelani. Kemudian disebut pula Gerakan Teror
Warrnan. Gerakan teror Warman ini merupakan satu bagian-dari Komando Jihad yang
ditengarai telah melakukan berbagai aksi brutal sepanjang 1978 hingga 1980. Warman, tokoh
utama gerakan itu sendiri tewas setelah di tembak mati. Terakhir, Pangkopkamtib. Soedomo
menyebut Dewan Revolusioner Islam Indonesia pimpinan Imran. Kelompok ini dianggap
paling kontroversial dan menjadi perhatian masyarakat umum karena aksi-aksinya yang
terbilang nekad, misalnya tindakan mereka menyerang kantor kepolisian Cicendo yang
menewaskan tiga orang polisi serta pembajakan terhadap pesawat terbang DC-9 yang
sangat menggemparkan.

KOMANDO JIHAD. Gerakan ini tidak dapat dipisahkan dari tokoh utamanya, Haji Ismail
Pranoto atau biasa disebut HISPRAN. Dalam penjelasan resmi pemerintah, tuduhan aksi
subversif yang dialamatkan kepada Komando Jihad atau Komji, antara lain: percobaan
peledakan rumah sakit Baptis Bukti Tinggi pada Oktober 1976, peledakkan terhadap Mesjid
Nurul Iman di Padang pada Nopember 1976. Juga rangkaian aksi peledakan berantai yang
mereka lakukan di Medan yang diantaranya meledakkan Gereja Eka Budi Murni, Gereja
Methodis, Restaurant Apollo dan Bioskop Raing, Selain itu, kelompok Komando Jihad
terlibat dalam penyebaran selebaran yang menghasut, "momok revolusi", pada Desember
1976. Dalam persidangan, Haji Ismail Pranoto (HISPRAN) yang dianggap sebagai dalang
gerakan ekstrim Islam itu dijatuhi vonis hukuman seumur hidup.

Pola Perjuangan Revolusioner Islam (PPRI). Gerakan ekstrim ini terutama dimotori oleh
Gerakan Pemuda Islam (GPI) yang ketuanya pada saat itu adalah Abdul Qadir Djaelani. GPI
dan aiiansi beberapa organisasi Islam lainnya melalui Pola Perjuangan Revolusioner Islam
dituduh mencoba mengacaukan jalannya Sidang Umum (SU) MPR tahun 1978 melalui aksi-
aksi yang anarkis dan menjurus teror. Sebagaimana diketahui, GPI dibawah kepemimpinan
A.Q. Djaelani menyuarakan secara lantang penolakan terhadap masuknya P-4 dalam GBHN,
termasuk diakuinya aliran kepercayaan. GPI juga dengan keras menolak rencana pemerintah
untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Karena aksi-aksi yang tidak mau kompromi
dan agak konfrontatif inilah, kemudia pemerintah membekukan GPI. A.Q. Djaelani sendiri
kemudian dijatuhi hukuman selama 2,5 tahun penjara.

Gerakan Teror Warman. Kelompok ini merupakan bagian dari Komando Jihad. Dalam
menjalankan aksinya, kelompok Islam ekstrim yang dipimpin Warman ini tergolong paling
nekat. Dalam pernyataan pemerintah dikemukakan bahwa Kelompok Teror Warman terlibat
dalam berbagai tindakan pembunuhan, antara lain pembunuhan terhadap Djaja Soepardi
mantan anggota DI/TH pada tahun 1978, pembunuhan terhadap pembantu rektor UNS awal
1979, serta pembunuhan terhadap seorang mahasiswa IAIN Suinan Kali Jaga bernaa Hassan
Bauw. Selain itu, kelompok Warman juga terlibat dalam rencana pembunuhan terhadap para
hakim dan jaksa yang mengadili kasus Haji Ismail Pranoto. Selain aksi-aksi pembunuhan yang
mereka lakukan, kelompok Warman juga terlibat dalam berbagai perampokan dan
penggarongan sejumlah toko emas. Warman sendiri, tokoh yang memimpin gerakan ekstrim
tersebut, akhimya tewas dalam aksi baku tembak dengan kepolisian.
Gerakan Radikal Jamaah Imron. Gerakan ini oleh pemerintah dinamakan juga sebagai Dewan
Revolusi Islam Indonesia. Sepanjang 1979-1981, aksi-aksi yang dilakukan kelompok Imron
menjadi perhatian
luas masyarakat dan media massa. Sebab, tindakannya yang terlalu radikal dan berani.
Kelompok ekstrim pimpinan Imron menjadi sangat terkenal setelah mereka terlibat dalam
aksi pembajakan atas pesawat terbang Garuda DC-9 pada 28 Maret 1981. Para pembajak itu
sendiri pada akhirnya terbunuh setelah terjadi bentrok singkat dengan aparat kemanan
khusus. Sebelumnya, kelompok Imron juga terlibat dalam tindakan-tindakan yang tergolong
berani. Mereka terlibat dalam peristiwa Cicendo pada tahun 1980. Peristiwa itu sendiri
berupa penyerangan atas salah satu pos kepolisian di Cicendo Bandung yang mengakibatkan
3 orang polisi tewas. Setelah itu mereka merampas beberapa pucuk senjata melalui aksinya
tersebut. Kelompok Dewan Revolusi Islam Indonesia pimpinan Imran dalam jangka
panjangnya, sebagaimana dinyatakan Pangkopkamtib ketika itu, ialah untuk mendirikan
negara berdasarkan Islam dengan cara terlebih dahulu menggulingkan pemerintahan
Soeharto.
Istilah Komando Jihad sendiri tidak memiliki pengertian yang jelas. Justru pemerintahlah
yang awak mulanya memunculkan sebutan tersebut untuk dikaitkan dengan aksi-aksi radikal
gerakan Islam yang mulai marak pertengahan 1970-an. Namun demikian, istilah Komando
Jihad ini atau biasa juga disebut sebagai Komdji selalu dikaitkan dengan gerakan-gerakan
yang mencoba untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia. Mencuatnya radikalisme
gerakan Islam pada saat itu, ditengah hubungan antara pemerintah dengan kelompok Islam
yang masih kurang harmonis, bukannya tidak memunculkan persoalan. Elit-eHt Islam sendiri
dengan penuh kecurigaan menengarai bahwa merunyaknya kelompok-kelompok radikal
Islam ini tidak dapat dilepaskan dari tindakan rekayas yang dilakukan oleh pemerintah
sendiri untuk tujuan memojokkan dan memerosotkan citra umat Islam dan tokoh-tokoh
Islam yang kerap kali mengambil sikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Setelah menuai keberatan dari kalangan Islam seputar rajinnya pemerintah menggunakan
sebutan Komando Jihad untuk menyebut kelompok-kelompok ektrim tersebut, pada
akhirnya disepakati bahwa pemerintah tidak lagi menggunakan istilah tersebut.
Dalam merespons munculnya kelompok-kelompok sempalan radikal tersebut, pemerintah
mengambil jalan sangat repressif. Ini dapat dilihat misalnya dengan tindakan tembak di
tempat terhadap beberapa orang yang dianggap sebagai dalang gerakan, misalnya
tewasnya Warman. Demikian halnya, dalam peristiwa pembajakan pesawat terbang yang
dilakukan anggota jamaah Imron, semua pembajak di tembak mati. Beberapa orang lain
yang tertangkap dijatuhi hukuman penjara yang sangat berat, beberapa dijatuhi hukuman
mati. Misalnya, Haji Ismail
Pranoto yang dianggap sebagai pemimpin utarna gerakan Komando Jihad (Komji) yang
menghebohkan selama pertengahan 1970-an tersebut. Akibat tindakan repressif tersebut
serta penangkapan-penangkapan yang meluas maka praktis gerakan-gerakan radikal Mam
mengalami pukulan yang sangat berat, dan hampir-hampir menjadi lumpuh. Selanjutnya,
terjadilah semacam evolusi dari gerakan-gerakan radikal tersebut dengan jalan membentuk
sel-sel gerakan yang lebih kecil dan bergerak secara under ground. Bentuk baru gerakan
ekstrim inilah yang kemudian dikenal dengan ushroh atau yang berarti keluarga. Hanya
mereka yang telah diseleksi dan dalam jumlah yang sangat terbatas yang dapat masuk
sebagai anggota usroh tersebut. Melalui ushroh inilah indoktrinasi doktrin radikal Islam,
termasuk keharusan mendirikan pemerintahan Islam (ad- daulah islamiyyah), diajarkan.
Meskipun demikian, pembentukan sel-sel kecil melalui ushroh ini tidak dengan sendirinya
menjadikan kelompok-kelompok ini aman. Aparat kepolisian berhasil membongkar dan
menangkap beberapa aktifis usroh di berbagai daerah, yang diantara anggotanya
kebanyakan adalah para mahasiswa.
Meskipun secara umum gerakan ekstrim dan radikal Islam menjadi rapuh setelah aksi-aksi
repressif pemerintah sampai dengan awal 1980-an, beberapa insiden kecil yang melibatkan
kelompok-kelompok radikal masih juga bermunculan. Insiden Tanjung Priok 1984 misalnya,
telah menyeret beberapa namatokoh yang memiliki trocfc record sebagai pemain lama
bagian gerakan Islam radikal, seperti A.Q. Djaleani. Lalu, pada akhir 1980-an terjadi insiden di
Lampung yang melibatkan antara kelompok kecil jamaah Islam pimpinan Warsidi yang
berhaluan ekstrim dengan aparat keamanan. Insiden ini selain menyebabkan tewasnya
seorang aparat kepolisian berakhir dengan di tembak matinya beberapa orang anggota
jamaah tersebut.
Memasuki awal 1990-an, mulai jarang terdengar lagi aksi-aksi yang cukup berarti yang
melibatkan kelompok-kelompok sempalan Islam. Kelompok bernama Angkatan Mujahidin
Islam Nusantara (AMIN) sempat mencuat karena disebut dalam beberapa peristiwa. Tetapi
secara umum dapat dinyatakan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, gerakan-gerakan
radikal Islam tidak lagi menjadi ancaman potensial bagi stabilitas politik. Redupnya
redikalisme Islam ini dapat dipahami juga karena pada saat itulah mulai berlangsung arus
balik relasi kekuasaan, dalam hal ini pemerintah yang menjadi lebih "islami". Pendulum arah
kebijakan pemerintah sejak awal 1990-an yang lebih aspiratif terhadap kepentingan kaum
muslimin, yang secara simbolis ditandai dengan lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI), menjadikan masa-masa tersebut sebagai f ase bulan madu antara negara
dan kelompok-kelompok Islam.
Gelombang Ketiga Islam Radikal.
Fase ketiga kebangkitan kelompok-kelompok Islam radikal berjalan seiring dengan
mengalirnya arus demokratisasi di Indonesia pasca kejatuhan Soeharto tahun 1998. Sebelum
terjadinya insiden WTC tahun 2001, sesungguhnya mulai bermunculan suara-suara yang
mengkhawatirkan ancaman gejombang radikalisme Islam ini. Abdurrahman Wahid sebagai
misal, presiden pertama hasil pemilu demokratis, telah berulang kali mengingatkan ancaman
serius yang bakal dimunculkan keolompok-keolompok ini apabila mereka dibiarkan
berkeliaran. Transisi ke arah demokrasi di Indonesia pada kenyataannya bersifat dilematis.
Pada satu sisi, demokratisasi berarti memberikan ruang yang lebih bebas bagi munculnya
organisasi-organisasi dan perkumpulan sosial politik-kemasyarakatan, tetapi pada saat
bersamaan elemen-elemen yang mengusung agenda kontra demokrasi juga mendapat
ruang untuk berkembang subur. Tidaklah mengherankan kemudian, organisasi atau
perkumpulan Islam dengan berbagai latar belakang, termasuk mereka-mereka yang
menyuarakan penentangan terhadap demokrasi itu sendiri, tumbuh berkecambah. Tidak
terkecuali, munculnya kelompok-kelompok yang secara terbuka ataupun samar-samar
mencita-citakan lahirnya 'sebuah negara Islam di negeri ini dengan segala macam cara.
Pendek kata, kebangkitan radikalisme Islam gelombang ketiga dalam pelataran politik
nasional pada masa transisi demokrasi telah menjadi problematika sendiri bagi
pemerintahan yang berkuasa.
Selain ditandai dengan kehadiran berbagai kumpulan Islam yang mengusung agenda garis
keras, sebagaimana diperlihatkan dianut oleh perkumpulan-perkumpulan yang telah disebut
di atas, arah radikalisme Islam telah dapat diraba dengan rhenguatnya aspirasi-aspirasi untuk
formalisasi Islam. Selang beberapa waktu lengsernya Soeharto misalnya, beberapa politikus
muslim formalis dengan bersemangat kembali menggelorakan soal Piagam Jakarta.
Demikian halnya, beberapa anggota legislatif muslim juga menuntut supaya Pasal 29 UUD
1945 dikembalikkan kedalam bentuk lama yang kental nuansa "lebih islami". Agenda
formalisasi Islam bergerak bagaikan bola salju, beberapa elit daerah mencoba memanf
aatkan kebijakan otonomi daerah meluncurkan aspirasi pemberlakukan syariat Islam. Hal ini
berlangsung misalnya di Banten, Tasikmalaya, Indramayu, Pamekasan, hingga beberapa
kabupatan di Sulawesi Selatan (Maros, Sinjai, Gowa). Formalisasi syariat Islam ini di
wujudkan melalui pembuatan peraturan daerah (perda) yang mengatur tentang tata cara
kehidupan Islami yang harus dipatuhi oleh masyarakat daerah, seperti keharusan
berkerudung (jilbab) bagi para pegawai

perempuan, larangan keluar malam seorang perempuan tanpa didampingi muhrimnya,


pelarangn peredaran minuman keras, penutupan tempat-tempat kemaksiatan (diskotik,
pelacuran, perjudian, karaoke, dan
sebagainya).
Untuk mendorong formalisasi Islam misalnya, di Sulawesi Selatan para aktifis muda
membentuk Komite Persiapan Penegakkan Syariat Islam (KPPSI) yang dipimpin oleh Abdul
Azis Kahar Muzakkar. Selain menggelar apel akbar pro pemberlakukan syariat Islam, KPPSI
juga mengadakan jajak pendapat dalam rangka memperkuat dukungan agenda formalisasi
ini. Bahwa derasnya animo masyarakat yang menginginkan pemberlakukan syariat Islam,
bukan sekedar rekayasa segelintir aktifis radikal, tetapi benar-benar keinginan yang nyata
dapat dibaca dari beberapa hail jajak pendapat yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam
dan Masyarakat (PPIM) IAIN Syarif Hidayatullah tahun 2001. Dari jajak pendapat PPIM,
dimana anggotanya adalah intelektual-intelektual modernis terkemuka, dapat dicatat
hasilnya: dari 2000 responden, 57,8 % menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa
pemerintahan Islam merupakan pemerintahan terbaik, 61,4 % setuju negara harus
mewajibkan pelaksanaan syariat Islam, 54, 7% menyatakan setuju dengan pemberlakuan
hukum rajam. Dalam jajak pendapat setahun kemudian tahun 2002, angka yang setuju
formalisasi syariat Islam lebih meningkat. Dimana didapat hasil dari 2500 responden: 71%
setuju pemerintah mewajibkan pelaksanaan syariat Islam, 67% setuju pemerintahan Islam
adalah pemerintahan terbaik, 51% setuju perempuan berjalan harus disertai mahramnya, 46%
setuju pemilu harus memilih calon yang memperjuangkan pelaksanaan syariat Islam. Dari
hasil-hasil tersebut dapat dibaca bahwa pada tingkat paling basis komunitas masyarakat
muslim derajat "islamisasi" juga meningkat, selain ditandai dengan merunyaknya ormas-
ormas garis keras.
Pada hemat saya, energi yang memberikan angin kehadiran kelompok-kelompok ekstrim ini,
selain dari masih rapuhnya konsolidasi demokrasi yang berjalan, juga tidak dapat dipisahkan
dengan peristiwa-peristiwa krusial di tingkat domestik. Bersamaan dengan transisi politik,
berbagai gejolak lokal turut meletup. Terutama, kerusuhan dan konflik sara yang
berlangsung di Maluku dan sekitarnya. Pertikaian ini bersifat sangat sensitif, sebab
melibatkan dua kelompok besar masyarakat berbeda agama, yakni kubu muslim dan kristen.
Pada kenyataannya, konflik dan perseteruan yang berlangsung sengit ini makin saja meluas
dan pemerintahan baru reformasi, dibawah kepemimpinan transisional Habibie dan
Abdurrahman Wahid, tidak mampu menyelesaikan secara tuntas. Perselisihan semakin
berlarut-larut dan memunculkan kejengkelan
di kedua belah pihak. Ekses lebih jauh dari konflik yang tak kunjung selesai ini antara lain
munculnya milisi-milisi atau lasykar-lasykar muslim di Jawa dan sekitarnya yang melakukan
mobilisasi untuk turut terlibat dalam perseteruan yang terus membara.
Terdapat beberapa kelompok atau perkumpulan Islam pasca Soeharto yang menyuarakan
pandangannya secara radikal. Beberapa kelompok Islam lain memunculkan dirinya melalui
aksi-aksi yang terbilang brutal. Elemen-elemen yang bergerak secara terbuka dan memiliki
pandangan yang radikal, dapat disebut antara lain: Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan juga
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Yang lainnya, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan
Laskar Jihad yang merupakan sel dari Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jamaah
(FKAWJ), menjadi naik daun namanya sebagai gerakan Islam radikal lebih diakibatkan karena
aksi-aksinya yang terbilang ekstrim.
HIZBUT TAHRIR INDONESIA. Gerakan Hizbut Tahrir didirikan oleh Taqiuddin an Nabhani pada
awal 1950-an di Yordania. Keruntuhan kekhilaf ahan Islam dan hilangnya Yerusalem dari
tangan kaum muslimin ke tangan zionis Israel merupakan inspirasi berdirinya partai
pembebasaan ini. Di Indonesia, Hizbut Tahrir mulai naik daun seiring dengan reformasi
politik. Di era kekuasaan Orde Baru, Hizbut Tahrir bergerak secara under ground. Dalam
kondisi pada sat itu, tidak sedikit anggota Hizbut Tahrir yang menyembunyikan nama aslinya
untuk menghilangkan identitas dengan cara memakai nama-nama samaran seperti; Abu
Fatih, Abu Usaid, Abu Fuad, Abu Raihan, Abul Izza, dan sebagainya. Tetapi perubahan politik
yang berlangsung di Indonesia telah memberanikan Hizbut Tahrir untuk berkiprah secara
terbuka, termasuk dalam menyampaikan visi dan pemikirannya yang sangat radikal. Bahkan,
pada tahun 2000 Hizbut Tahrir Indonesia berhasil menyelenggarakan pertemuan akbar
berskala internasional, yakni "Konferensi Khilafah Islamiah" di Jakarta. Basis massa Hizbut
Tahrir utamanya adalah mahasiswa. Tidak mengherankan bahwa kantong-kantong terbesar
gerakan Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI ini berada beberapa kota sentra pendidikan tinggi,
misalnya: Bogor, Bandung, Surabaya, Jakarta, Yogyakarta, dan lainnya. Jumlah massa HTI
yang telah menyebar di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Sumatera, Sulawesi, dan
Kalimantan, setidaknya dapat dilihat dari aksi-aksi demonstrasi serentak yang melibatkan
para aktifis mahasiswa di wilayah-wilayah tersebut. HTI pada saat ini agaknya merupakan
elemen pergerakan Islam yang paling intens menggelar aksi unjuk rasa di kota-kota yang
diikuti dengan jumlah massa yang cukup besar. Tokoh paling penting HTI pada saat ini adalah
Ismail Yusanto. la dianggap aktor pal-

ing berjasa dalam membangun dan mengembangkan HTI menjadi organisasi terkemuka.
Dalam pentas nasional kiprah HTI semakin berkibar ketika perkumpulan ini menggelar
diskusi-diskusi publik dan kampanye berangkai di Jakarta dan beberapa kota besar di
Indonesia pada pertengahan 2002 hingga akhir 2002. Dalam acara bertajuk Kampanye
Penegakkan Syariat Islam tersebut HTI dengan lugas menyodorkan konsep bahwa shariah
adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan bangsa. Bagi HTI, solusi-
solusi lain selain penyelesaian shariah adalah solusi kafir. Selain mengangkat shariah sebagai
isyu-isyu pokoknya, aksi-aksi yang dilakukan HTI selalu mengusung isyu pembentukan
Khilafah Islamiah. Isyu-isyu inipulala, pemberlakukan shariah dan penegakkan khilafah, yang
diusung ribuan massa Hizbut Tahrir Indonesia dalam aksi massa besar-besaran di Istana
Negara pada 24 Oktober 2004 lalu. Pilihan isyu ini telah memberi ciri khas kepada HTI yang
membedakan dengan elemen-elemen gerakan muslim lainnya. Dalam pandangan HTI,
masalah khilafah islamiah dan pemberlakukan syariah islam adalah persoalan pokok yang
paling mendesak umat Islam saat ini. Hanya dengan membentuk khilafah islamiah, setelah
keruntuhan kekhilafahan Turki Usmaniah awal 1920-an, umat Islam akan kembali
menemukan kejayaannya yang hilang dan bebas dari dominasi negara-negara kafir.
Dari segi doktrin dan konsepsinya maka HTI jelas bersifat ekstrim dan radikal. Tentang
kekuasaan politik dan pemerintahan misalnya, Hizbut Tahrir membaginya hanya ada dua
macam: pemerintahan Islam (darul Islam) atau pemerintahan kafir (darul kafur). Yang dapat
dimasukkan dalam kategori Darul Islam adalah negeri yang didalamnya diterapkan hukum-
hukum Islam dan keamanannya di dasarkan pada Islam. Darul Islam hanya bisa berdiri ketika
kekhilafahan Islam telah tegak. Dengan demikian, kekosongan kekhilafahan saat ini
menyebabkan tiadanya negeri yang masuk kategori Darul Islam. Sebaliknya, karena yang
berlaku adalah hukum dan sistem kufur, maka seluruh negeri saat ini termasuk dalam Darul
Kufur. Tidak terkeaiali negara-negara yang mengklaim sebagai negara Islam, mereka masuk
dalam Darul Kufur karena mereka tidak sepenuhnya menerapkan hukum Islam.
Lalu, bagaimana Hizbut Tahrir dalam menghadapi realitas negeri-negeri yang masih kufur
tersebut? Pada titik inipulalah Hizbut Tahrir memberikan jalan pemecahan yang bersifat
sangat ekstrim. Dalam kondisi Hizbut Tahrir yang telah matang dan siap maka langkah yang
akan mereka ambil adalah merebut atau mengambil alih kekuasaan (marhalah istilaam al
hukm). Untuk tahapan itu, Hizbut Tahrir membolehkan
perjuangan bersenjata. Dengan mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan kufur inilah,
risalah Islam akan disebar luaskan keseluruh penjuru dunia. Sehingga darul kufur akan
rontok dan beralih ke dayul Islam dibawah kekuasaan seorang khalifah. Dengan menganut
ideologi yang demikian radikal, tidaklah begitu mengherankan apabila beberapa
pemerintahan di dunia Arab menjadikan Hizbut Tahrir sebagai gerakan illegal karena terlibat
dalam beberapa kali usaha mengambil alih kekuasaan atau kudeta.
MAJELIS MUJAHIDIN INDONESIA. Perkumpulan ini tidak dapat dilepaskan dari para mantan
aktifis DI/ Nil. Kalau ditelusuri ke belakang, gagasan untuk mendirikan organisasi semacam
itu telah tumbuh semenjak awal 1990-an bersamaan dengan pembebasan massal beberapa
topkoh yang terlibat dalam peristiwa Komando Jihad dan Nil. Irfan S. Awwas salah seorang
penggagasnya, yang kemudian menjabat ketua tanfidzaah MMI, adalah bekas narapidana
kasus NIT. Setelah beberapa kali usaha pembentukan gagal, kejatuhan Soeharto telah
memberikan inspirasi untuk mencobanya kembali. Kepulangan Abdullah Sungkar dan
Ba'asyir dari "hijrahnya" di Malaysia telah memberi dorongan yang kuat untuk berdirinya
Majelis Mujahidin Indonesia. Untuk diketahui, Sungkar dan Ba'asyir pada awal 1980-an telah
diseret kepengadilan karena tuduhan terlibat dalam komplotan komando jihad, keduanya
dianggap menentang pemerintah dan ingin mengganti dasar negara Pancasila. Pada 1985,
keduanya melarikan diri ke Malaysia setelah mendengar vonis 4 tahun penjara dijatuhkan.
Tidak semua elemen pro- Nil menyetujui berdirinya Majelis Mujahidin. Kelompok Afghanist
misahiya, menolak dipakainya kata "mujahidin" dalam organisasi yang akan di benruk. Kata
"mujahidin" menurut mereka hanya layak dipakai bagi orang-or-ang muslim yang pernah
berjuang dan bertempur mati-matian. Karena alasan itupulalah maka kelompok Afghanist
menolak bergabung dalam MMI. Sebaliknya, mereka yang pro pendirian MMI memiliki
pandangan yang berbeda. Selain lebih fleksibel, para pendukung berdirinya MMI lebih
memiliki kedekatan dengan Ba'asyir, dari pada kubu Afghanist yang berafiliasi ke Abdullah
Sungkar yang ultra radikal.
Selain Ba'asyir dan Irfan Awwas, nama-nama lain yang merupakan bekas tahanan Orde Baru
akibat terlibat NQ antara lain: Shobiran Syakur yang menjabat Sekjen MMI, Abdul Qadir
Baraja, dan sebagainya. Abu Jibril (kakak kandung Irfan Awwas) yang pernah diduga terlibat
radikalisme Islam di Malaysia, juga tercatat sebagai pengurus MMI. Agus Dwikarna pimpinan
Laskar Mujahidin dan KPPSI Sulawesi Selatan juga "masuk dalam struktur MMI. Dengan
masuknya orang-orang tersebut, tidaklah mengejutkan kalau kemunculan MMI sering
disebut sebagai kehadiran Nil baru atau Neo-NII. Seperti halnya Hizbut Tahrir maka Majelis
Mujahidin juga menyuarakan perlunya didirikannya kekhalifahan Islam. Bahkan, salah
seorang anggotanya yakni Abdul Qadir Baraja pada awal 1990-an telah mendeklarasikan diri
sebagai khilafatul muslimin dengan bermarkas pusat di sebuah desa di Lampung. Namun
demikian, isyu-isyu utama yang diusung oleh MMI lebih kepada perjuangan ke arah
menegakkan syariat Islam di Indonesia. Penegakkan syariat Islam inilah yang menjadi
ideologi Majelis Mujahidin. Dalam ikrar tersebut, anggota Majelis Mujahidin harus
menyatakan komitmennya untuk memperjuangkan penegakkan syariat Islam dalam semua
aspek kehidupan (termasuk kenegaraan), mengutamakan perjuangan penegakkan syariah
Islam diatas kepentingan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa serta siap membantu
setiap perjuangan penegakkan syariah Islam oleh kaum muslimin dibelahan bumi dengan
segenap kemampuan yang dimiliki.

Selain itu, Majelis Mujahidin juga memiliki berbagai agenda perjuangan untuk penegakkan
syariah Islam yang bersifat lintas negara dan pembentukan kekhalifahan. Dalam point-point
hasil kesepakatan Kongres MMI tersebut antara lain dinyatakan: kewajiban untuk
melaksanakan syariah Islam bagi umat islam di Indonesia dan di dunia pada umumnya,
membangun satu kesatuan shaff (barisan) mujahidin yang kuat, baik dalam negeri, regional
maupun internasional (antar bangsa), serta menyusun langkah-langkah menuju terwujudnya
imamah (khalifah)/ kepemimpinan ummat, baik di dalam negeri maupun dalam kesatuan
ummat islam sedunia.

Nama Baasyir kembali mencuat kepermukaan bersamaan dengan tuduhan keterlibatannya


dalam Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) yang telah dilarang karena aksi-aksi terornya,
serta kelompok Jama'ah Islamiah (JI). Baasyir dianggap sebagai amir atau pimpinan tertinggi
Jamaah Islamiah yang telah dimasukkan dalam daftar organisasi teroris internasional.
Jamaah Islamiah sendiri disebut-sebut menjadi sel atau bagian dari jaringan Al-Qaeda
pimpinan Osama bin Laden yang dianggap paling bertanggung jawab dalam berbagai aksi
teror. Penangkapan atas Umar al- Faruq dan Faiz Abu Bakar Bafana, aktifis Jamaah Islamiah,
semakin menguatkan tuduhan atas Ba'asyir. Bahkan, al- Faruq dan Bafana dengan lugas
menyebut Baasyir bertangungjawab terhadap berbagai aksi pengeboman gereja-gereja di
malam natal tahun 2000, serta merencanakan pembunuhan atas Presiden Megawati. Hingga
saat ini, berbagai dugaan yang melibatkan Ba'asyir masih simpang siur. Al Faruq dan Bafana
sendiri dianggap sebagai sosok yang misterius. Bahkan ada yang menyebut sebagai agent
CIA.

LASKAR JIHAD. Laskar Jihad adalah bagian dari gerakkan salafiah pimpinan Ja'far Umar
Thalib. Organisasi ini sendiri dideklarasikan berdirinya pada April 2000 dalam sebuah rapat
akbar untuk membela kaum muslimin dalam konflik di Ambon. Akar histories dari gerakan
salafiah dapat dirunut asal muasalnya dalam gerakan puritanisme wahabiah yang didririkan
oleh Muhammad bin Abdul Wahab pada akhir abad 19 di Saudi Arabia. Semangat asar
gerakan salafiah adalah pemurnian tauhid dari segala macam syirik dan bid ah. Pemahaman
keberagamaan kelompok salafiah ini, banyak dinilai oleh beberapa kalangan, terlalu bersifat
skripturalistik dan literalistik. Sehingga memunculkan berbagai perilaku keberagamaan yang
kaku dan serba hitam-putih.

Keberadaan LJ tidak dapat dilepaskan berlarut-larutnya konflik antara agama di Maluku. Para
anggota Laskar Jihad yang selalu berpakaian khas dan menggunakan berbagai senjata tajam:
baik tongkat. LJ menjadi tokoh utama dibalik apel-apel akbar, latihan perang-perangan dan
mobilisasi massa Laskar Jihad. Meskipun pemerintahan Abdurrahman Wahid menentang
keras tindakan Laskar Jihad memobilisasi relawannya, tetapi Laskar Jihad tetap bersikeras
melanjutkan rencana jihadnya tersebut. Ideologi perlawanan yang diusung oleh Laskar Jihad
adalah perang melawan kaum salibis dan zionis. Dalam melihat konflik di Maluku misalnya,
Ja'far melihat peristiwa tersebut tidak hanya usaha meminggirkan umat Islam, melainkan
juga manuver untuk membentuk Negara Maluku Merdeka yang disponsori Republik Maluku
Selatan (RMS) yang didukung oleh komunitas Nasrani Internasional. Musuh-musuh Islam
inilah yang disebutnya sebagai kaum salibis dan zionis yang ingjn mendirikan Negara Kristen.
Selain terlibat dalam konflik di Maluku, Laskar Jihad juga mengerahkan para relawannya
dalam konflik yang berlangsung di Poso.

Umat Islam di Indonesia sendiri bersifat pro dan kontra terhadap keterlibatan Laskar Jihad di
Maluku dan Poso. Beberapa pihak melihat campur tangan Laskar Jihad tersebut tidak dapat
dilepaskan dari kelambanan pemerintah dalam menangani kasus tersebut. Pemerintah telah
dianggap gagal menyelesaikan perselisihan tersebut. Selain itu, Laskar Jihad menilai bahwa
berlarutnya konflik di Maluku akibat adanya ketidaknetralan dari angkatan bersenjata yang
merugikan umat Islam. Beberapa insiden yang melibatkan Laskar Jihad dan angkatan
bersenjata beberapa kali terjadi. Kejadian paling sporadis terjadi ketika sekelompok tentara
yang tergabung dalam batalion gabungan (Yongab) melakukan serangan membabi buta ke
markas relawan Laskar Jihad di Maluku pada Juni 2001 yang menewaskan 24 orang- anggota
Laskar.

Tindakan Laskar Jihad lain yang memunculkan kontroversi terkait dengan hukuman mati
yang dijatuhkan kepada anggotanya. Aksi rajam yang dipimpin Ja'f ar Umar Thaiib sendiri
terhadap salah seorang anggota Laskar, Abdullah, karena dituduh melakukan pemerkosaan
telah menimbulkan silang pendapat. Tindakan nekad Laskar Jihad ini dianggap mengarah
kepada 'mendirikan negara dalam negara". Oleh beberapa tokoh kristen, pemberlakuan
hukuman rajam ini dilihat sebagai salah satu bukti bahwa Laskar Jihad berhasrat untuk
mendirikan negara Islam. Laskar Jihad juga terlibat dalam beberapa aksi menolak
kemaksiatan. Di Solo, aksi yang dilakukan Laskar Jihad telah menimbulkan kericuhan.
Tindakan para anggota Laskat dan beberapa eksponen muslim di Solo yang dianggap kasar
karena menghancurkan kafe-kafe yang masih buka di malam ramadhan telah memunculkan
aksibalasan. Beberapa kelompok yang dirugikan dari tindakan anarkis Laskar Jihad ini
membalas dengan menyerang para Laskar dan membakar mobil milik komandan korps
Hizbullah.

Insiden yang hampir sama terjadi pada November 2001 ketika para anggota Laskar Jihad
yang dilengkapi dengan berbagai senjata tajam melakukan penggerebekan terhadap lokasi-
lokasi perjudian di kota Ngawi Jawa Timur. Selain melakukan aksi tersebut, anggota Laskar
Jihad telah dituding melakukan penculikkan terhadap Yuwono Susetyo, seorang backing
perjudian yang juga Ketua PAC PDI-Perjuangan Ngawi. Tindakan Laskar Jihad ternyata tidak
berjalan dengan mulus. Beberapa saat kemudian muncul massa dalam jumlah ratusan yang
melakukan serangan balasan. Bahkan, massa tersebut sempat merusak dan membakar
rumah salah seorang pimpinan Laskar Jihad setempat. Ekses dari rangkaian peristiwa itu
beberapa anggota Laskar Jihad ditangkap dan ditahan oleh pihak kepolisian.

FRONT PEMBELA ISLAM. Sebuah organisasi Islam lain yang sering disebut-sebut sebagai
kelompok radikal adalah Front Pembela Islam atau FPI yang dipimpin oleh Habieb Rizieq.
Cikal bakal FPI dapat ditelusuri pada 1998 ketika Pam Swakarsa terbentuk. Beberapa
pimpinan FPI adalah bekas koordinator gerakan Pam Swakarsa yang menjadi pendukung
gigih Habibie. Gerakan FPI bersifat khas. FPI selama kiprahnya dari 1998 hingga saat ini lebih
perjuangannya pada aksi-aksi melawan kemaksiatan. Terutama pada bulan ramadhan, para
laskar anggota FPI dalam jumlah ratusan sangat intens menyatroni tempat-tempat yang
dianggap sebagai ajang kemaksiatan, seperti diskotik, pub, karaoke, tempat perjudian,
lokalisasi, dan berbagai arena hiburan lainnya. Kegigihan FPI dalam memerangi kemaksiatan
juga ditunjukkan dengan secara intensnya FPI melakukan aksi-aksi unjuk rasa menuntut
segera dibuamya peraturan daerah (perda) anti kemaksiatan.
FPI yang bermarkas di Petamburan Tanah Abang ini dinilai sebagai organisasi muslim yang
ekstrim dan radikal tidak dapat dipisahkan dari cara-cara yang dilakukan ketika "memerangi"
kemaksiatan. Tindakan FPI memberi kesan yang brutal, misalnya berbagai aksi perusakan
terhadap kafe-kafe dan tempat hiburan malam yang dilakukan dalam setiap aksi-aksinya.
Dalam menjalankan aksinya pula para anggota FPI selalu mempersiapkan diri dengan
menggunakan berbagai senjata tajam, seperti bambu runcing, pedang, golok dan
sebagainya. Aksi paling sporadis FPI berlangsung pada tahun 2000. Dalam rangka
menegakkan "amar makruf nahi mungkar" FPI menggelar aksi secara besar-besaran dengan
marazia tempat-tempat hiburan "high class". Di Dan Mogot sekitar 300-an massa FPI
menyerbu dan merusak tempat diskotik, botol-botol minuman keras dihancurkan dan
beberapa perlengakapan didalamnya dibakar habis. Aksi kemudian dilanjutkan dengan
membongkar dua kontainer minuman keras senilai 800 juta. Sehari kemudian massa FPI
membongkar tiga truk berisi penuh minuman keras seniali 1 milyar di Tanah Abang. Beberapa
hari kemudian, massa FPI menyerbu dan merusak tempat adu ketangkasan di Pluit Jaya. Aksi
serupa dilakukan di tempat hiburan kelas atas seperti di Kafe Pasir Putih dan Kafe Salsa di
Kawasan Kemang. Dalam aksi yang anarkis ini, laskar FPI menghancurkan meja-kursi, sound
system, mixer, drum, komputer-komputer, mesin foto copy, dan sebagainya.

Meskipun pada 2003 FPI menyatakan diri membekukan laskarnya tetapi aksi-aksi serupa
terus berlanjut hingga sekarang. Pada ramadhan 2004, dengan alasan serupa: menegakkan
amar makruf dan nahi mungkar, massa FPI kembali bergerilya merusak berbagai tempat
hiburan yang dianggap sarang kemaksiatan. Tidak seluruh aksi yang dilakukan FPI berjalan
dengan sukses. Berbagai perlawanan bermunculan dan kerap kali memunculkan insiden.
Konflik yang terjenal adalah Peristiwa Ketapang dimana massa FPL terlibat perseteruan
dengan para preman yang menjadi backing tempat kemaksiatan yang sedang mereka
sweeping. Tindakan brutal yang dilakukan FPI juga sangat beresiko, termasuk bagi para
anggotanya sendiri. Salah seorang pimpinan FPI, KH. Cecep Bustomi, tewas menjadi korban
penembakkan misterius. Peristiwa .penembakan ini terjadi selang beberapa hari setelah aksi-
aksi sweeping yang dilakukan FPI di berbagai tempat hiburan menyebabkan salah seorang
anggota TNI meninggal. Selain itu, pada tahun 2003 sendiri Habieb Rizieq secara marathon
menjadi pesakitan: sebagai terdakwa di pengadilan dan sempat harus mendekam ke penjara
akibat tindakan- tindakannya yang dianggap melawan hukum.

Selain perkumpulan-perkumpulan yang telah diuraikan di atas, terdapat kelompok-kelompok


radikal lain yang menjalankan aksinya di Indonesia. Apabila ke empat kelompok radikal
muslim di atas bergerak secara terang-terangan, maka sel-sel radikal yang umumnya lebih
kecil memilih jalan under ground. Kelompok-kelopok muslim ekstrim ini antara lain;
kelompok Darul Islam (DI)/ Negara Islam Indonesia (Nil) KW IX yang berafiliasi dengan Abu
Toto atau Syeikh Panji Gumilang. Kelompok DI ini membangun sel-sel baru melalui
indoktrinasi dan bergerak ke semua segmen, baik dikalangan mahasiswa hingga pembantu
rumah tangga. Sepanjang 2001-2003 beberapa kumpulan Nil sempat dibongkar oleh
kepolisian. Beberapa aksi yang dilakukan oleh para anggota DI/ NH ini antara lain melakukan
pemerasan, hingga pencurian-pencurian. Tindakan ini dikenal, dalam istilah Nn sebagai "fa'i"
atau mengambil harta rampasan perang. Fa'i boleh dilakukan ketika negeri ini masih berada
dalam taraf negara kufur, belum masuk dalam fase negara Islam. Namun demikian, sel-sel
yang terkait dengan KW IX sejauh ini belum menjalankan aksi-aksi yang lebih' brutal, selain
tindakan-tindakan sebagaimana disebut di atas: pencurian dan pemerasan-pemerasan.
Kelompok lain yang paling radikal adalah elemen-elemen yang sepanjang tahun 2001-2004
terlibat dalam aksi pengeboman berskala besar, termasuk bom bunuh diri di Legian Bali,
Hotel J. W. Mariot dan terakhir di depan Kedutaan Australia di Indonesia bulan September
2004 lalu. Di banding elemen-elemen muslim garis keras lainnya yang beroperasi di
Indonesia, maka sayap ini adalah yang paling radikal. Jaringan-jaringannya tidak dapat
dengan mudah ditelusuri. Namun demikian, beberapa tokoh dari kelompok ekstrim ini tetap
tidak dapat dipisahkan keberadaannya dengan jaringan radikalisme yang berporos di
Malaysia dengan tokoh sentralnya ketika itu adalah Abdullah Sungkar dan Ba'asyir.
Sebagaimana diketahui, dualisme ini kemudian kurang akur dan membawa imbas kepada
keretakan dalam sel-sel dibawahnya. Kelompok Abdullah Sungkar, yang antara lain terdapat
didalamnya: Imam Samudera, Muchlas, dan para pelaku lain peledakan bom Bali yang
tertangkap menganggap Ba'asyir sebagai sosok yang lemah. Hambali, Fathurrahman al
Ghazi (aim), Dr. Azhari dan beberapa buron aksi-aksi teror diyakini sebagai bagian dari
kelompok yang beraf filiasi ke almarhum Abdullah Sungkar.

Kelompok ini jugalah, yang juga disebut kelompok "Afghanist" yang tidak setuju dengan
pembervtukan Majelis Mujahidin. Disebut Afghanist sebab diantara mereka banyak yang
merupakan "alumni" di medan pertempuran Afgan ketika menghadapi tentara Soviet yang
komunis. Karena itupulalah tidak sedikit diantara mereka yang memiliki kemahiran dalam
membuat bom dan teknik persenjataan lainnya. Kelompok Afghanist memilih jalan
perjuangan melalui konfrontasi dengan -pemerintahan yang dianggapnya masih kufur.
Berbagai penangkapan besar-besaran pasca Bom Bali telah membuat kelompok ini kocar
kacir dan beberapa selnya berhasil di lumpuhkan. Meskipun demikian, elemen yang
jumlahnya semakin kecil ini terus secara aktif merekrut anggota-anggota baru. Peristiwa
bom bunuh diri yang menghancurkan hotel J.W. Marriot dan Kedutaan Australia
membuktikan bahwa sel ini masih aktif dan membahayakan. Apabila ditelusuri, sel gerakan
pimpinan Noordin M Top dan Dr Azhari ini memilih anggota baru dari kalangan awam dan
lemah secara ekonomis. Hal ini dianggap lebih menguntungkan karena relatif mudah untuk
diindoktrinasi. Dalam beberapa saat ke depan, elemen ini agaknya masih menjadi ancaman
yang paling serius sebab setiap saat dapat merekrut anggota baru yang siap mengorbankan
nyawanya untuk melakukan aksi bom bunuh diri.

Islam, Negara dan Kekuasaan: Pemikiran-pemikiran Kelompok Radikal Islam

Dari segi konsepsi pemikiran, elemen-elemen radikal Islam di Indonesia ditautkan dengan
spektrum gagasan dan pemikiran yang hampir-hampir sama. Dalam pandangan mereka,
Islam adalah sebuah totalitas yang memberi jawaban atas semua aspek kehidupan: sosial,
politik, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Selain itu, kerangka pemahaman mereka
sering kali bersifat oposisi biner atau dua sisi saling berlawanan, yang satu aspek bersifat
Islam dan yang lain bersifat tidak Islami, karenanya harus di tolak. Konstruksi berpikir yang
serba hitam putih ini terlihat dengan begitu terang ketika mereka menilai tentang berbagai
dimensi sosial dan politik, misalnya tentang demokrasi, negara dan kekuasaan.

Perihal demokrasi misalnya, mereka memiliki pandangan seragam: menolak demokrasi.


Penilaian paling tegas disuarakan oleh Hizbut Tahrir yang menyatakan demokrasi sebagai
sistem kufur yang bertentangan secara diametral dengan sistem Islam. Pandangan politik
Hizbut Tahriri banyak mendasarkan kepada magnus corpus karya An Nabhani, takattul hizbi
dan mafahim hizbut tahrir. Hizbut Tahrir Indonesia juga selalu merujuk garis pemikiran Abdul
Qadim Zallum yang mengutuk habis demokrasi karena lahir dari akidah sekularisme dan
produk akal manusia. Demokrasi menempatkan akal manusia sebagai Tuhan dan
mengenyampingkan wahyu Allah SWT. Padahal, dalam Islam yang berhak dan berwenang
mengatur serta mengeluarkan hukum hanyalah Allah, bukan manusia. Kekufuran demokrasi
disebabkan juga karena meletakkan kedaulatan ditangan manusia, bukan ditangan Allah.
Dalam ungkapan yang lain, seorang aktifis HTI: Ahmad Sajid, menyatakan demokrasi tidak
lebih sebagai peradaban sampah.

Dalam penalaran yang hampir sama, Ja'far Umar Thalib menolak demokrasi. Dalam
pandangannya, karakteristik politik Islam bertolak belakang dengan sistem demokrasi,
sebab dalam Islam kekuasaan hanyalah ditangan Allah dan hukum yang berlaku juga hukum
Allah dan rasulnya meskipunbertentangan dengan kehendak mayoritas rakyat. KetunDukan
kepada mayoritas tidak ada dalam Islam, sebab kepatuhan kepada hukum mayoritas
hanyalah demi kepentingan hawa nafsu belaka. Dengan pertimbangan semacam itupula,
Umar As Sewed (tokoh gerakan salafi kolega Ja'far Umar Thalib), mengharamkan pemilihan
umum (pemilu). Demikian halnya dengan berpartai, hukumnya adalah haram karena sama
artinya dengan memisahkan diri dari kesatuan jamaah muslimin. Penolakan Majelis
Mujahidin terhadap demokrasi secara jelas tertuang dalam rekomendasi hasil Kongres
Yogya. Disitu demokrasi dilihat tidak lebih sebagai produk paham kafir yang harus ditolak.
Termasuk juga bentuk pemerintahan demokrasi, oleh karena kekafirannya itu harus
digantikan dengan pemerintahan syura dengan bentuk negara
khilafah.

Dalam soal kepemimpinan politik, baik Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, FPI ataupun Laskar
Jihad, telah mengharamkan tampilnya seorang perempuan sebagai pemegang kekuasaan
(kepala negara). Mereka melihat bahwa kepala negara haruslah berasal dari kaum pria telah
merupakan syar' i. Dalambutir-butir rekomendasi Kongres Yogya, Majelis Mujahidin
menyatakan menolak dengan tegas ideologi gender dan menolak perempuan sebagai kepala
negara atau kepala pemerintahan, serta jabatan imamatul ummah. FPI sendiri dengan alasan
hampir sama telah menegaskan sikapnya secara terang-terangan menjelang pelaksanaan
pemilu 1999 dan pemilu 2004 dengan perihal haramnya memilih presiden perempuan.
Dasarnya tetap saja bersandar kepada ayat berbunyi "or rijalu qowwamuuna ala nisa". Habieb
Rizieq juga menegaskan berlepas diri dari kepemimpinan Megawati sebab mereka juga tidak
bersedia terlibat dalam
pemilu.
Bagi Hizbut Tahrir, jabatan khalifah hanya dapat dipegang oleh laki-laki. Untuk jabatan-
jabatan dibawahnya masih memungkinkan adanya peran perempuan. Meskipun begitu,
dalam panilaian Hizbut Tahrir yang terpenting adalah sistem kenegaraannya. Sebab, sistem
kenegaraan selain khilafatul islamiyyah adalah sistem kufur. Jadi siapapun yang memimpin
Indonesia, karena masih dalam tahap negara kufur, adalah juga pemimpin yang kufur/"
Kelompok salafiah memiliki pandangan yang sejajar, haram hukumnya perempuan jadi
pemimpin. Lebih jauh dinyatakan keharaman kaum wanita menjadi pemimpin atas kaum
lelaki berlaku umum, baik dalam urusan rumah tangga maupun urusan pemerintahan. Dalam
soal kepemimpinan negara, Ja'far Umar Thalib memegang pandangan yang ketat bahwa
untuk menjabat posisi tersebut disyarakatkan hars sehat jasmani dan rohani. Dengan dasar
ini kemudian Ja'far menganggap kepresidenan Gus Dur tidak sah menurut syar'i. Dan
bahkan, karena kebijakan-kebijakan Gus Dur yang dianggapnya banyak merugikan umat
Islam terutama dalam hal konflik Maluku, Ja'far Umar Thalib sempat menjatuhkan vonis kafir
kepada Abdurrahman Wahid,

Dalam kaitannya dengan kekuasaan politik yang harus ditegakkan antara Hizbut Tahrir dan
Majelis Mujahidin memiliki kesamaan pandangan. Muara dari perjuangan umat Islam adalah
demi menegakkan kekhalifahan umat Islam. Daulah Islamiyyah inilah yang memimpin
kesatuan umat Islam diseluruh dunia. Cita-cita untuk menegakkan kekhilafahan Islam ini
terkait dengan runtuhnya kekuasaan Khilafah Utsmaniyyah pada 1924 yang menjadikan umat
Islam tercerai berai. Pentingnya membangun Daulah Khilafah Mamiah sejatinya merupakan
tujuan dasr berdirinya Hizbut Tahrir. Dalam risalah "Mengenal Hizbut Tahrir" dinyatakan
bahwa maksus dan tujuan Hizbut Tahrir adalah untuk membangkitkan kembali umat Islam
dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundangan
dan hukum-hukum kufur. Hizbut Tahrir bermaksud membangun kembali Khilafah Islamiah di
muka bumi sehingga hukum yang diturunkan Allah dapat diberlakukan.

Aspirasi mewujudkan sebuah Daulah Islamiyyah tidak terdapat dalam pandangan kelompok
salafiah Laskar Jihad maupun Habieb Rizieq selaku pimpinan FPI. Dalam pandangan
keduanya, yang terpenting adalah berlakunya syariat Islam. Dalam pandangan orang-orang
salafiah, pengertian imam, bai'at dan daulah telah ditafsirkan secara lebih fleksibel. Abu
Usamah, seorang anggota gerakan salafiah, misalnya menyatakan bahwa imam atau
pemimpin pemerintahan yang harus dibaiat tsangat mungkin berada disetiap negeri atau
pemerintahan, tidak selalu merupakan penguasa tunggal seluruh kaum muslimin diseluruh
dunia. Jamaah salafi menolak konsepsi keharusan adanya sebuah daulah khilafah islamiyyah
yang dipimpin oleh seorang khalifah saja. Dalam pandangan Rizieq, pemerintahan yang
bersifat nasional dengan label apapun ataupun internasional, bukan soal yang mendasar.
Yang paling penting adalah jaminan bahwa umat Islam dapat menjalankan syariahnya.

Karena bagi Hizbut Tahrir pendirian kekhilafahan Islamiah merupakan prinsip paling utama,
maka segala macam cara harus ditempouh untuk mewujudkannya. Sebab dalam doktrin
Hizbut Tahrir, sebelum kekhilafahan islamiah berdiri maka sistem-sistem kekuasaan yang ada
semuanya bersifat kufur. Apabila Majelis Mujahidin mengikhtiarkan lahirnya kekhalifahan
Islam melalui jalur bertahap dengan cara membentuk Negara Islam terlebih dahulu maka
Hizbut Tahrir mengambil jalan berbeda, langsung ke arah pembentukan kekhilafahan Islam.
Selama kekhilafahan masih kosong, negara yang mengklaim sebagai negara Islam masih
dianggapnya kufur. Untuk menggapai angan-angannya itulah, Hizbut Tahrir mendeklarasikan
wajibnya merebut kekuasaan termasuk dengan konfrontasi bersenjata, apabila dirasakan
telah memiliki cukup kekuatan, demi lahimya sebuah surga Utopia di dunia: Daulah Khilafah
Islamiah.

Kenyataan adanya berbagai paham dan gerakan Islam yang berhaluan radikal ini tentu saja
menjadi problematika pemerintah dan kaum muslimin sendiri di Indonesia. Spektrum yang
begitu beragam yang berkembang dikalangan radikal Islam menjadikan musykil untuk
membangun sebuah titik temu dengan kelompok-kelompok lain yang lebih moderat.
Demikian halnya, fenomena gerakan-gerakan radikal Islam yang merunyak menjadi
tantangan yang serius bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia. Apakah laju demokratisasi
dapat mengatasi berbagai krikil tajam yang menghadang ini untuk kemudian tumbuh secara
mantab atau malahan kehabisan energi hingga terhempas di tengah jalan. Hasil pesta
demokrasi atau pemilu 2004 lalu, ditengah isyu-isyu dan ancaman bom kelompok-kelompok
ekstrim, yang melibatkan lebih 80% rakyat Indonesia setidaknya memberikan secercah
optimisme, bahwa ternyata demokrasi yang mengusung kebebasan, persamaan dan
toleransi telah hidup dalam sanubari rakyat. Hasil suara rakyat dalam pemilu yang
demokratis dengan tegas menunjukkan matinya gerakan garis keras yang mengusung
ekstrimisme, radikalisme dan menebarkan teror dengan mengatas namakan perjuangan
Islam

Catalan Akhir:
2 Lihat dalam; Fazlur Rahman, Islam an Modernitas, (Bandung, Pustaka, 1988).

3 Bassam Tibi, Fundamentalisms Islam, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002) William E. Shepard,
Islam and Ideology: Towards A Typobgi, (International Journal of Midlle East Studies Vol.
19,1987)
Karya agung Sayyid Qutb yang banyak memberi inspirasi bagi gerakan radikal terutama: Ma
alim fi at- Tharieq , sedangkan risalah An Nabhani yang terkenal
5 antaranya: Mafahhim Hizbut Tahrir dan Takattul Hizbi. Asmar Sard, anggota Jamaah Islamiah
Kelompok Semarang, diduga kuat sebagai
6 pelaku bom bunuh diri di Hotel J.W. Mariot yang menewaskan 13 orang tersebut. Pelaku
bom bunuh diri di Kedubes Australis di identifikasi bernama Heri Golun berasal dari
Sukabumi yang beberapa waktu sebelumnya telah direkruit oleh kelompok Dr. Azhari.
8 C. van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, (Jakarta, Gdafity, 1989)
Karl D. Jackson, Islam, Kewibawaan Tradisional dan Pemberontakan, (Jakarta, Grafity, 1987).
Kebijakan Soeharto menjinakkan Islam ini dengan cara memisahkan "islam politik" dan
"islam a-politis" menurut Vatikiotis, mirip dengan kebijakan yang dilakukan pemerintahan
kolonial Belanda. Akibat peminggiran terhadap politik Islam ini, tokoh-tokoh Islam
merasakan suatu komplek psykologis, sebagaimana dinyatakan Wertheim, "Indonesia's
muslim majority with a minority mentality" Lihat, Michael RJ.
ifl Vatikiotis, Indonesian Politics Under Soeharto, (London, Roudletge, 1992), him. 121.
Penjelasan Pangkopkamtib Soedomo ini secara rinci termuat dalam; Majalah Panji
Masyarakat No. 23,1981 dan Majalah RMA Vol. 15 No. 2,1981. Soedomo juga memasukkan
gerakan separatis Aceh pimpinan Hassan Tiro dalam gerakan-
n gerakan subversif Islam yang telah menggangu stabilitas nasional.
. Mereka yang terlibat dalam aksi pembajakan dan kemudian di tembak mati itu adalah:
Mahriozal, Zulfikar, Wendy, Abu Sofyan, dan Abdullah Mulyono. Mereka dikenal sebagai
kelompok jamaah pengajian Irnron. Lihat, Majalah Tempo, 4 April 1981. Motif dari gerakan
Imron adalah untuk pemberlakukan hukum Islam di dunia
12 yang dimulai dari Indonesia.
Dikalangan tokoh-tokoh Islam ketika itu berhembus isyu yang kencang bahwa kemunculan
gerakan-gerakan radikal ini tidak lepas dari adanya rekayasa-rekayasa pemerintah sendiri,
termasuk melalui gerakan intelejen, yang dimaksudkan untuk mencemarkan dan
melemahkan peran politik Islam. Lihat, David Jenkins, Soeharto and His Generals: Indonesia
Military Politics 1975-1983, (Ithaca, Cornell Modern Project, 1984), him. 56-58.
Nama Angkatan Mujahidin Islam Nusantara (AMIN) banyak disebut-sebut oleh pemerintah
terkait tuduhan sebagai dalang peledakan Masjid Istiqlal serta
M percobaan pembunuhan atas Matori Abdul Jalil.
Hasil temuan PPIM ini dapat dibaca dalam: Jurnal Islam and Good Governance, (PPIM LAIN
Jakarta, Edisi 3, Juli 2002). Baca juga, reportase Majalah Tempo, 29 Desember
is 2002-Lihat, Mengenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologis, (tt, tp) Penterjemah:
16 Nurkholish. Agus Afandi, Melihat Sisi-Sisi Kelompok Keagamaan Yang Berkembang di

17 Perguruan Tinggi Umum, (Depdiknas Universitas Negeri Surabaya, 2000) Kumpulan naskah
hasil-hasil diskusi publik Hizbut Tahrir ini dapat dibaca dalam, Bunga Rampai Syarlat Islam,
(Hizbut Tahrir Indonesia, 2002)

19Baca, Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2001)
Ada tiga tahapan perjuangan Hizbut Tahrir: pembinaan dan pengkaderan (marhalah
at tatsqif), berinteraksi dengan umat (marhalah tafa'ul ma'a al ummah), dan terakhir;
pengambil alihan kekuasaan (marhalah istilaam al hukm). Lihat lagi, Strategi Dakwah..,
him. 9. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) saat ini baru memasuki fase yang kedua,
wawancara dengan Ismail Yusanto, Maret 2003.
Wawancara dengan Irfan S. Awwas, Maret 2003.
Abdul Qadir Baraja, Gambaran Global Pemerintahan Islam, (Surabaya, RAP, 2001) " Lihat,
Risalah Mengenal Majelis Mujahidin, (MM, 2001), him 30.
Lihat Irfan s. Awwas (peny.), Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakkan Syariah Islam, u
(Yogyakarta, Wihdah Press, 2001)
Pengakuan kontroversial al Faruq dimuat dalam Majalah Time, 23 September 2002.
Solahudin, Menelusuri Kelompok Sempalan (3): Jemaah Pengelana dan Laskar Jihad, dalam
www.detik.com, Rabu 10 Januari 2001. . 6 Ja'far Umar Thalib, Intrik-Intrik Seputar Jihad,
Buletin Laskar Jihad Ahlussunnah Wal
Jamaah, edisi 10 tahun 2001. Lihat pula, Diamod CXSullivan, Indonesia: Radicals Have
Homegrown Causes, International herald Tribune (IHT), 26 December 2001. ^ 7 Tempo, 19 Mei
2004.
Jamhari, Indonesian Fundamentalism, dalam Studia Islamika Vol. 9 No. 3 Tahun 2002, 29 him.
187.
29
Aksi-aksi FPI selama 1999-2001 dapat dibaca dalam Hasil Laporan Penelitian Pusat
30 Bahasa dan Budaya (PBB) IAIN Jakarta (2001). Baca juga, Gatra 23 Desember 2000.
Baca, Umar Abduh, Al Zaytun Gate: Investigasi Mengungkap Misteri, (Jakarta, LPDI, 3]2002)
Wawancara dengan al Chaidar, Januari 2003. " Abdul Qadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur,
(Bogor, PTJ, 2001)
Ahmad Sajid, Demokrasi: Peradaban Sampah, Majalah el-Waie No. 14 Tahun n, Oktober
34 200L Ja'far Umar Thalib, Menyoal Demokrasi, dalam Majalah Salary Edisi XXX/1420 H/
351999 M.
Muhamad Umar as Sewed, Beberapa Kerusakan Pemilu, Majalah Salafy, Edisi XXX/
361420H/1999M.
Wawancara dengan Habieb Rizieq, Januari 2002.
Lihat, Upaya Mensahkan Kepemimpinan Wanita dalam Negara: Pemelintiran Terhadap
Islam, bulletin al Islam, edisi 66.
Lihat bulletin al Islam, edisi 66.
Dalam sebuah wawancara yang dimuat Majalah Sabili No. 22, Tahun VII, 19 April
40 2000'
Bulletin al Islam, edisi 66., Mengenal Hizbut...
Wawancara dengan Habieb Rizieq, Januari 2002.
Abu Usamah, Hubungan Antara Rakyat dan Pemerintah, Majalah Salafy edisi khusus H No.
401422 H/2001. 43 Baca, Musthafa A. Murtadlo, Paradigma Baru Reformasi, dalam Majalah el-
Waie, No.
13 Tahun II, September 2001.
M. Zaki Mubarak adalah Dosen Fakultas Syari'ah dan Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai