Anda di halaman 1dari 26

PANCASILA SEBAGAI MODUS VIVENDI TRANSENDETAL

OLEH :
ARIEF BUDIONO
NIM. 200160001
TUGAS MATA KULIAH FILSAFAT ILMU
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAKSI.............................................................................................................................................iii
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................iv
Pembahasan..............................................................................................................................................vii
PENUTUP.................................................................................................................................................xx
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................xxi

ii
ABSTRAKSI

Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sebagai sebuah


negara yang merdeka dari penjajahan maka Indonesia memperkenalkan Pancasila sebagai dasar
negara. Pancasila menempati posisi sebagai dasar dari negara-bangsa Indonesia dan sebagai
sebuah dasar negara maka pancasila sekaligus menjadi salah satu sumber hukum utama yang
berlaku di Indonesia. Setiap hukum atau aturan haruslah dijiwai oleh pancasila dan tidaklah
boleh bertentangan dengan pancasila.
Pancasila tidak saja sebagai sebuah Ideologi negara tetapi juga merupakan falsafah
negara atau staatsfundamentalnorm. Pancasila sebagai ideologi adalah seperangkat sistem nilai
yang diyakini kebenarannya oleh bangsa dan digunakan sebagai dasar untuk menata masyarakat
dalam negara. Ideologi juga mengandung nilai-nilai dasar yang hidup dalam masyarakatnya.
Pancasila dirumuskan oleh para founding fathers dalam sebuah modus vivendi yaitu
kesepakatan luhur atau gentlements agreement yang mana kesepakatan luhur tersebut
merupakan titik temu yang mempersatukan sebuah bangsa. Perumusan Pancasila dilakukan oleh
para founding fathers dengan mempertimbangkan kepribadian bangsa Indonesia yang plural
dengan beragam suku maupun beragam agama dan keyakinan.

iii
Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm sekaligus ideologi negara telah mengambil
garis yang jelas tentang transendensi. Transendensi tersebut merupakan keyakinan yang menjadi
pedoman dari setiap manusia Indonesia yaitu keyakinan dan keimanan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.

Kata kunci: Pancasila, Modus Vivendi, Transendental

iv
v
vi
PENDAHULUAN

PANCASILA SEBAGAI MODUS VIVENDI TRANSENDETAL

Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan


sebuah momen yang radikal dalam usaha pembebasan diri dari belenggu penjajahan sehingga
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang setara dengan bangsa bangsa lain serta menghapuskan
diskriminasi yang diterapkan penjajah. Momen Proklamasi merupakan Momen yang harus
disyukuri oleh segenap bangsa Indonesia sehingga dengan rasa syukur itulah bangsa Indonesia
ini memanfaatkan kemerdekaan dengan penuh manfaat.
Menurut B. Arief Sidharta sebagaimana dikutip oleh Jazim Hamidi proklamasi 17
Agustus 1945 itu merupakan tindakan hukum revolusioner yang memunculkan keberadaan
negara RI. Makna tindakan hukum di sini adalah tindakan pengaturan yang sekali selesai
(einmahlig), di mana implikasinya membawa perubahan sistem hukum dan perubahan status
politik. Dengan proklamasi tersebut, terbentuklah sebuah negara baru, yakni negara Indonesia
yang merdeka, dan dengan itu tatanan hukum kolonial Hindia Belanda terhapus dengan
sendirinya, dan di atasnya terbentuk tatanan hukum baru.1
Makna proklamasi kemerdekaan menurut Yamin lebih berorientasi pada lingkup
pengertian hukum, yaitu proklamasi kemerdekaan merupakan sarana hukum untuk
mengumumkan kepada dunia bahwa Indonesia telah merdeka. Konsekuensi hukumnya, negara
Indonesia telah berdiri dan berdaulat (de facto maupun de jure), serta telah menjadi subyek
hukum yang mempunyai derajat sama tinggi dengan negara-negara merdeka di belahan dunia
yang lain. kemerdekaan kita yang diakui oleh segala bangsa. Proklamasi pada waktu itu, baru

1
Jazim Jamidi, 2016, Akar Masalah Negara Hukum Indonesia, Perspektif Hermeneutika
Hukum, UMM, Malang, Hal. 4

vii
berlaku bagi kita sendiri, sebagai kebulatan tekad untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka di
tengah-tengah bangsa-bangsa lain.2
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah negara atau bangsa yang berdaulat pastilah
memiliki ideologi sebagai falsafah bernegara dan ideologi tersebut menjadi pedoman sebuah
bangsa atau sebuah negara dalam menjalankan pemerintahan atau berinteraksi, terlebih lagi
untuk bangsa Indonesia yang merdeka maka memiliki ideologi adalah keniscayaan yang pasti
karena tidak mungkin sebuah bangsa zonder ideologi
Jorge Larrain, dalam tulisannya tentang The Concept of Ideologi (2002) sebagaimana
dikutip dalam Pasaribu menjelaskan bahwa ideologi as a set of beliefs yaitu setiap individu
atau kelompok masyarakat memiliki suatu sistem kepercayaan mengenal sesuatu yang dipandang
bernilai dan menjadi kekuatan motivasi bagi perilaku individu atau kelompok masyarakat. Nilai-
nilai yang dipandang itu sebagai cita-cita yang menjadi landasan bagi cara pandang,cara fikir,
dan cara tindak seseorang atau bangsa dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ideologi adalah seperangkat sistem nilai yang
diyakini kebenarannya oleh suatu bangsa dan digunakan sebagai dasar untuk menata masyarakat
dalam negara. Ideologi mengandung nilai-nilai dasar yang hidup dalam masyarakatnya dan
terkristalisasi dalam falsafah negara3
Ideologi itu, menurut Oesman dan Alfian berintikan serangkaian nilai (norma) atau
sistem nilai dasar yang bersifat menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh
suatu masyarakat atau bangsa sebagai wawasan atau pandangan hidup bangsa mereka. Ideologi
merupakan kerangka penyelenggaraan Negara untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Ideologi
bangsa adalah cara pandang suatu bangsa dalam menyelenggarakan negaranya. Ideologi adalah
suatu sistem nilai yang terdiri atas nilai dasar yang menjadi cita-cita dan nilai instrumental yang
berfungsi sebagai metode atau cara mewujudkan cita-cita tersebut.Menurut Alfian kekuatan
ideologi tergantung pada kualitas tiga dimensi yang terkandung di dalam dirinya.
Pertama, adalah dimensi realita, bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi
itu secara riil berakar dan hidup dalam masyarakat atau bangsanya, terutama karena nilai-nilai
dasar tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya.
Kedua, dimensi idealisme, bahwa nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung
idealisme, bukan lambungan angan-angan, yang memberi harapan tentang masa depan yang
2
Muhammad Yamin, 1997, Sapta Darma, Indonesia, Jakarta.Hal 27
3
Payerli pasaribu, 2015, Pendidikan Kewarganegaraan, Unimed, Jakarta hal 59
viii
lebih baik melalui perwujudan atau pengalamannya dalam praktik kehidupan bersama mereka
sehari-haridengan berbagai dimensinya. Ketiga, dimensi fleksibilitas atau dimensi
pengembangan, bahwa ideologi tersebut memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan
merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya, tanpa
menghilangkan atau mengingkari hakikat atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai
dasarnya.4
Ideologi dari bangsa Indonesia yang telah menjadi modus vivendi adalah pancasila dan
ideologi Pancasila memiliki cirikhas dan pembeda dengan ideologi yang lain, yaitu memiliki
cakupan daya yang luas dan mendalam. Sehingga Ideologi Pancasila mampu berperan disemua
dimensi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.5
Pancasila sebagai Ideologi bangsa dan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD
1945 sebagai sebuah falsafah yang menjadi ideologi negara sehingga dengan demikian menjadi
dasar negara sehingga dalam hal hukum maka seluruh aktivitas pengembangan hukum nasional
haruslah selaras dengan nilai nilai yang termuat didalam ideologi negara6 .
Sebuah fakta yang sangat jelas tentang ciri dan karakteristik bangsa dan negara
Indonesia adalah tentang religiusitas dan spiritualitas dalam artian bahwa bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang religious dan mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa yang
tercermin dalam pancasila sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga dengan
demikian secara otomatis dan jelas bahwa negara Indonesia bukanlah negara yang sekuler
apalagi atheis. Pengakuan secara eksplisit tentang keimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa
merupakan faktor transendensi.
Pancasila sebagai dasar sekaligus ideologi negara telah mengambil garis yang jelas
tentang transendensi sebagai salah satu keyakinan yang menjadi pedoman dari setiap manusia
Indonesia yaitu keyakinan dan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dari Uraian tersebut maka dapat ditentukan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Mengapa Pancasila merupakan Modus Vivendi Transendental bagi bangsa Indonesia
Dari rumusan permasalahan tersebut maka tujuan dari penulisan adalah
4
Oesman, Oetojo dan Alfian. 1990. Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. BP-7 Pusat. Jakarta
5
Ubaedillah dan Abdur Rozaq, 2013, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat. Madani.
Jakarta. Hal 43
6
Meuwessen, 2007. Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat
Ilmu. Refika aditama. Jakarta. Hal VII
ix
1. Untuk mengetahui mengapa pancasila merupakan modus vivendi transcendental.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah aplikasi pancasila sebagai modus vivendi
Dengan Tujuan tersebut maka manfaat penulisan adalah sebagai berikut
1. Secara teoritis dapat menambah dan memperdalam khasanah keilmuan
2. Dapat digunakan sebagai konsep aplikasi pancasila

Pembahasan
1. Pancasila Sebagai Modus Vivendi Transcendental bagi bangsa Indonesia
Pancasila berasal dari istilah yang berasal dari Sansekerta yang berasal dari India dari
India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Menurut
Muhammad Yamin sebagaimana dikutip oleh Fifi, dalam bahasa sansekerta perkataan
Pancasila memilki dua macam arti secara leksikal yaitu Panca yang artinya adalah lima dan
syilla yang artinya alas atau dasar atau syiila yang artinya peraturan tingkah laku yang baik, yang
penting atau senonoh.
Kata-kata tersebut Syilla kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa
diartikan susila yang memilki hubungan dengan moralitas maupun tata etika. Oleh karena itu
secara etimologis kata Pancasila yang dimaksudkan adalah adalah istilah Panca Syilla
dengan vokal i pendek yang memilki makna leksikal berbatu sendi lima atau secara harfiah
dasar yang memiliki lima unsur. Adapun istilah Panca Syiila dengan huruf Dewanagari i
bermakna 5 aturan tingkah laku yang penting.7
Pancasila memiliki yang terdiri dari 5 unsur Pancasila adalah cerminan dari perjalanan
nilai budaya dan karakter bangsa Indonesia yang telah berlangsung selama berabad-abad
lamanya. Dengan ungkapan lain, Pancasila lahir bersumber dari kehidupan masyarakat asli
Indonesia yang telah mengalami akulturasi dan persinggungan dengan banyak kultur, budaya dan
agama yang ada atau hidup di Indonesia.
Pancasila adalah dasar negara Indonesia atau staatsfundamentalnorm sekaligus ideologi
dari negara-bangsa Indonesia sebagaimana disampaikan oleh nugroho yang dikutip oleh jimly 8
yang memiliki fungsi dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia tidak saja sebagai dasar

7
Fifi Purnama, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Citra Pustaka. Semarang, hal 2
8
Jimly ashsidiqi, 2011. Ideologi, Pancasila dan Konstitusi, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal
11
x
negara RI, tetapi juga alat untuk mempersatukan bangsa, kepribadian bangsa, pandangan hidup
bangsa, sumber hukum positif dan sumber ilmu pengetahuan di Indonesia.9
Ideologi juga dapat didefinisikan sebagai aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai dengan
melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan dari manusia. Di sini
akidah ialah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup; serta tentang apa
yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan sebelum dan sesudah
alam kehidupan. Dari definisi di atas, sesuatu bisa disebut ideologi jika memiliki dua syarat,
yakni: Ide yang meliputi aqidah 'aqliyyah dan penyelesaian masalah hidup. Ideologi harus unik
karena harus bisa memecahkan problematika kehidupan.10
Ideologi juga harus memiliki epistimologi yang meliputi bagaimana penerapan,
penjagaan dan penyebarluasan dari ideologi tersebut. Jadi, ideologi harus memiliki sifat khas
karena ideologi harus disebarluaskan ke wilayah lahirnya ideologi itu. Jadi, suatu ideologi bukan
semata berupa pemikiran teoretis belaka, melainkan ideologi haruslah dapat dijelmakan secara
operasional dalam kehidupan. Menurut definisi kedua tersebut, apabila sesuatu tidak memiliki
dua hal di atas, maka tidak bisa disebut ideologi, melainkan sekedar paham atau teori. Terlepas
dari perdebatan-perdebatan para pemikir di atas, namun pada kenyataannya ideologi itu selalu
menentukan arah hidup masyarakat.
Pancasila berperan sebagai ideologi dan falsafah negara Indonesia adalah diawali
dengan sebuah kesepakatan luhur yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan mempersatukan
beragam suku kedalam satu nation state yang berdasar persatuan serta menjadi nilai integratif.11
Pancasila sendiri juga sebagai sebuah modus vivendi atau merupakan suatu konsensus
atau kesepakatan yang luhur dan bersifat transendental diantara para founding fathers bangsa
Indonesia sejak masa awal menjelang atau selama proklamasi dimana Pancasila sebagai dasar
negara untuk pertama kali mendapatkan rumusnya dari pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni
1945 dab dirumuskan yang lengkap pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan pada tanggal 22
Juni 1945 di rumah Ir. Soekarno dan disetujui Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 10-16 Juli 1945. Melalui proses pembahsan yang
9
Poespowardojo, Soeryanto, 1991, Pancasila Sebagai Ideologi ditinjau dari Segi Pandangan
Hidup Bersama, dalam Pancasila sebagai Ideologi, BP-7 Pusat Jakarta, hal 70
10
Achmad Reza, Pengertian Ideologi, http://sospol.pendidikanriau.com/2009/11/dalam-
pembicaraan-sehari-hari-sering.html, diunduh tanggal 16 November 2016
11
Abdul Kadir dan Fathul Muin,.2009, Ikhtisar Dalam Memahami Pendidikan dan
Kewarganegaraan, Suatu Pendekatan Yang Bersifat holistic, Deepublish, Yogyakarta. Hal 23
xi
melibatkan dua perwakilan kelompok bangsa yang berpengaruh saat itu, kelompok nasionalis
Islam dan kelompok nasionalis sekular.
Panitia Sembilan itu sendiri merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI.
Rumusan pertama teresebut dikenal sebagai Piagam Jakarta yang juga memuat rumusan sila sila
Pancasila ini, selanjutnya menjadi cikal bakal lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 . Konsep
pertama tentang rumusan pancasila itu ada dalam satu dokumen yang disusun dan ditandatangani
sebuah panitia yang terdiri atas sembilan anggota Badan Penyelidik (Soekarno, Mohammad
Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Mudzakkir, Haji Agus Salim, Achmad
Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin). Rumusan Pancasila yang pertama itu
kemudian terkenal dengan nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter yang memiliki redaksional
yang sedikit berbeda dari pancasila yang kemudian disepakati.
Piagam Jakarta sebagai rumusan pertama bukan hanya sekadar dokumen sejarah belaka.
Piagam Jakarta adalah merupakan dokumen kenegaraan yang vital dan urgen karena memuat
modus vivendi berupa konsensus nasional dan gentlement's agreement oleh para founding fathers
tentang dasar negara (Staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia sekaligus merupakan ideologi
bangsa, modus vivendi itu merupakan consensus yang luhur antara kaum nasionalis islami
yang menginginkan negara ini berdasarkan Islam bagi pemeluk agama islam dan antara
nasionalis sekuler yang menginginkan negara kebangsaan dengan pemisahan secara mutlak
urusan agama dari negara.
Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa dan dasar falsafah negara mempertemukan
kedua cita-cita kenegaraan yang seakan saling bertolak belakang menjadi sebuah titik temu. Titik
temu atau kesepakatan luhur tersebut yaitu bahwa negara dan bangsa Indonesia ini bukanlah
negara dan bangsa yang sekuler dalam arti memisahkan sepenuhnya urusan negara dengan
religiusitas serta agama dan bukan pula negara atheist yang menolak agama dan keimanan
kepada Tuhan tetapi merupakan negara-bangsa yang bersifat transedental yang mengakui
keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Soekarno berpidato pada tanggal 1 Juni 1945 tentang lima prinsip dasar negara, yaitu
tentang kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi,
kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Lima konsep prinsip dasar negara ini yang pada awalnya
disampaikan oleh Ir. Soekarno ini mengalami proses dan perjalanan dalam tahap tertentu untuk

xii
kemudian disempurnakan oleh dan bersama para founding fathers lain sehingga tercapai titik
temu yang berupa kesepakatan luhur.
Rumusan Pancasila Ir. Soekarno disempurnakan sebuah tim yang bernama Panitia
Sembilan. Prinsip Ketuhanan yang oleh ir. Soekarno ditempatkan dalam urutan kelima, dalam
rumusan Piagam Jakarta ditempatkan sebagai prinsip yang pertama sekaligus yang utama.
Seperti dikatakan Bung Hatta, Panitia Sembilan mengubah urutan fundamen Pancasila itu, yakni
meletakkan fundamen Ketuhanan dan moral di atas dan fundamen politik di bawahnya. Dengan
urutan dan rumusan yang baru itu, dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang
memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk melaksanakan segala yang baik bagi rakyat dan
masyarakat Indonesia. 12
Transendental merupakan sesuatu yang berhubungan dengan transenden atau sesuatu
yang melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa dan penjelasan ilmiah. Hal-hal yang
transenden bertentangan dengan dunia materi. Dalam pengertian tersebut, transenden dapat
disamakan dengan metafisika.
Immanuel Kant menggunakan kata transendental ketika menyebut transendental adalah
prinsip dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas pengalaman.
Hal-hal transendental mengungkapkan ciri universal dan tidak terjangkau inderawi dari yang ada.
Tanda-tanda tersebut ditangkap melalui intuisi yang mendahului pengalaman apapun.
Transendental sebagai ruh metafisik menurut mulla sadr sebagaimana dikutip oleh
amirullah asyarie, yaitu menjadi gerbang memahami keagungan Allah dengan segala eksistensi
yang tercipta dari-Nya. Transendental menjadi sumber nalar rasional dan empirisme sekaligus
keberagamaan dan keberkemausiaan dengan kesadaran batin pada Tuhan dan semesta.
Memahami hakikat kebenaran yang absolut dari kebenaran-kebenaran yang relatif. Memandang
semesta bukan sebagai eksistensi yang terlepas dari penciptanya. 13 Sedangkan secara bahasa
maka transcendental adalah menonjolkan kerohanian atau ghaib, atau sukar dipahami atau
bersifat abstrak.14
Pancasila sebagai ideologi basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan
(consensus) yang luhur di antara para founding fathers mengenai bangunan yang diidealkan
12
Prawoto Mangkusasmito, 1970, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara Dan Sebuah
Proyeksi, Hudaya, Jakarta halaman 49
13
Amirallah Asyarie, 2008, Filsafat Transendental dan Problematika keilahian, Afkar. Kairo
halaman 6
14
Lorens Bagus, 1996, Kamus filsafat, Gramedia, Jakarta halaman 1118-1119
xiii
berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar
kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan
penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kuncinya adalah konsensus atau general
agreement. Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara
yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi.
Pancasila diakui sebagai suatu consensus yang luhur diantara para founding fathers
tentang dasar negara dan ideologi negara yang menjadi grundnorm di Indonesia. Konsensus yang
menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar
pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu:
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or
general acceptance of the same philosophy of government).
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau
penyelenggaraan negara (the basis of government).
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan
(the form of institutions and procedures).15
Bukan tanpa alasan para founding fathers berkonsensus tentang staatsfundamental norm
karena itu merupakan fondasi dasar sekaligus cita cita dari sebuah negara-bangsa yang konsensus
tersebut merupakan wujud cita-cita bersama yang pada puncak abstraksinya paling mungkin
mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam
kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, di suatu
masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan pe-
rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah
kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai atau kalimatun sawa di antara
sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.16
Kemajemukan dan keberagaman yang ada di Indonesia memiliki persamaan yaitu bahwa
rakyat Indonesia merupakan masyarakat yang beriman dan ber-Tuhan dan oleh karena itu aspek
transendensi berupa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi aspek yang sangat
fundamental dalam modus vivendi (kesepakatan luhur) diantara para founding fathers. Aspek

15
Walton H. Hamilton, 1931 Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences, Washington
Univercity. Washington. hal. 255
16
Jimly, Opcit hal 6
xiv
transendensi pancasila dirumuskan dalam rumusan pertama sila Pancasila merupakan pengakuan
dan keimanan akan keberadaan dan Keesaan dari Tuhan.
Berdasarkan rumusan pancasila tersebut maka peradaban yang hendak diwujudkan
dalam konstruksi Indonesia merdeka paska proklamasi 17 Agustus 1945 adalah peradaban atau
negara-bangsa yang dibangun dalam kerangka kepasrahan kepada Tuhan, pengakuan akan
keberadaan dan Keesaan dari Tuham dan perjanjian kontraktual antar sesamanya yang tidak
melanggar hukum Tuhan, tanpa pemaksaan atau penistaan agama tertentu kepada warganya.
Negara mengakui secara jelas hak hak keberagamaan di Indonesia untuk semua kelompok
dengan tanpa ada diskriminasi.
Sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa itu merupakan rujukan yang transendental
atau sumber nilai etis-religius bagi sila-sila berikutnya dan Sila Ketuhanan YME berperan
sebagai Leitstar atau bintang pembimbing yang akan membimbing bangsa Indonesia dalam
mengejar kebijakan dan kebaikan. Pendapat ini dinyatakan oleh bung Karno. Menurut
Moehammad Hatta yaitu bahwa Sila ketuhanan YME berperan sebagai Dasar Moral Bangsa dan
Negara RI, Sejalan dengan itu M Natsir juga menyatakan bahwa sila Ketuhanan YME berperan
sebagai dasar rohani, moral dan susila dari bangsa dan negara sebagaimana dikutip dari A.B
Kusuma.17
Konsepsi transendensi masyarakat Indonesia dalam ber-Tuhan sebagaimana terkandung
dalam Pancasila berbeda dengan sistem teokrasi maupun liberal. Penyelenggaraan negara dalam
sistem teokrasi didasarkan pada dominasi satu agama tertentu dengan mendiskriminasikan agama
lain. Sedangkan Konsepsi transendensi rakyat Indonesia menekankan kemerdekaan bagi
masyarakatnya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing dengan tetap
menempatkan jiwa agama sebagai sumber nilai etis dan kebajikan penyelenggaraan negara.
Dukungan negara untuk terwujudnya masyarakat religious dan transenden
sebagaimana diamanatkan Pancasila sejiwa dengan budaya masyarakat Indonesia yang
religius (memiliki orientasi transendensi dalam semua aspek kehidupan). Falsafah hidup
masyarakat Indonesia menekankan religiusitas sebagai ultimate goal keseluruhan perjuangan
hidup. Kesempurnaan hidup dapat dicapai apabila kehidupan dijalankan dalam kerangka
harmonisasi antara manusia dengan Tuhan dan konsekwensinya ketika terjadi harmonisasi

A.B. Kusuma, 2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Pusat Studi Hukum Tata Negara
17

FH Universitas Indonesia hal. 117, 121


xv
tersebut akhirnya juga memunculkan harmonisasi antara manusia dengan manusia maupun alam
sekitarnya dan menekankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dunia dengan
kehidupan kematian.
Pancasila sebagai modus vivendi transendental dapat dilihat dari sejarah penyusunan
Piagam Jakarta, Pancasila, Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 diliputi oleh pandangan
yang sangat transenden didalamnya. Kesadaran akan kekuasaan dan keesaan Allah dalam
kehidupan bernegara dari para tokoh pendiri bangsa (founding fathers) ketika itu menjadi suatu
cerminan yang nyata dari kondisi riil masyarakat Indonesia yang berketuhanan dan
transendental.
Para founding fathers berharap agar segala pemikiran, sikap dan tindakan bernegara di
Indonesia selalu dinaungi oleh keimanan dan pengakuan kepada Tuhan YME. Terbukti dari
perumusan Piagam Jakarta yang sekarang disebut Pancasila, menyebutkan Allah SWT sebagai
kalimat pertama dan utama yang kemudian diikuti oleh kalimat-kalimat yang lain yang dijiwai
oleh sila Pertama. Dalam pembukaan UUD 1945 juga disebutkan kata Allah SWT sebagai
pemberi rahmat atas negara Indonesia sehingga bangsa Indonesia dapat memiliki daya juang
dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan.
Piagam Jakarta sebagai rumusan lengkap pertama pada akhirnya dalam proses
permusyawarahan diantara para founding fathers terdapat beberapa perubahan kata dalam sila
pertama rumusan Piagam Jakarta yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban
melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya sehingga menjadi rumusan menjadi Ketuhanan
Yang Maha Esa, tetapi maksud dan ruh transenden dari perumusan kalimat tersebut diatas tetap
sama dan tidak berubah, yaitu spiritualitas dan pengakuan terhadap keimanan kepada Tuhan
yang Maha Esa yaitu Allah SWT. Dasar alasan perubahan itu tidak menghapuskan esensi
transendensi dari pancasila sama sekali tetapi justru hal itu sebagai bentuk sikap bijak dan
merupakan cara pandang yang sepenuhnya transenden dari para founding fathers.18
Pada saat kemerdekaan, sekularisme dan pemisahan agama dari negara ternyata tidak
didefinisikan atau dimasukkan dalam konsepsi Pancasila. Ini penting untuk dicatat karena
Pancasila tidak memasukkan kata sekularisme yang secara jelas menyerukan untuk memisahkan
agama dan politik atau menegaskan bahwa negara harus tidak memiliki agama serta
menyudutkan agama semata hanya menjadi urusan privat dari warga negara. Akan tetapi, justru
Yogi Prasetyo, 2011, Konvergensi Lintas Kepentingan Perspektif Islam, LPPM Unmuh,
18

Ponorogo, halaman 11
xvi
bahwa dalam pancasila lah tersebut terlihat pengakuan terhadap prinsip Ketuhanan yang Maha
Esa dan bahwa Pancasila pun tidak mengakui satu agama pun sebagai agama yang
diistimewakan kedudukannya oleh negara dan dari hal tersebut tampak bahwa negara yang
hendak dibentuk adalah negara yang menjamin pengakuan terhadap kondisi masyarakat yang
plural dan sekaligus egaliter
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kerangka Pancasila mencerminkan komitmen yang
transenden dari bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan public dalam bernegara
berlandaskan nilai-nilai moralitas dan budi pekerti yang luhur. Menurut Penjelasan tentang
Undang-Undang Dasar 1945 sendiri disebutkan bahwa salah satu dari empat pokok pikiran yang
terkandung dalamp pembukaan UUD ialah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Berdasarkan pokok pikiran ini, UUD
mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk
bersikap yang luhur dan memegang teguh keyakinan dan spiritualitas yang luhur.
Sebagai negara yang telah melaksanakan kesepakatan luhur diantara para founding
fathers secara bersama-sama dalam wadah Pancasila, maka negara Indonesia Pancasila adalah
bentuk final dan ideal bagi Indonesia yang majemuk dan plural. Bangsa Indonesia telah mampu
menyikapi keadaan perbedaan yang ada dengan bijak dan berpandangan luas. Karena ada tujuan
utama yang lebih pokok dan fundamental daripada yaitu pengakuan akan prinsip prinsip
transendental dalam proses berbangsa dan bernegara.
Pancasila menjadi falsafah dan ideologi yang merupakan dasar negara Indonesia yang
dihasilkan dari kesepakatan luhur (modus vivendi) para pendiri bangsa yang berasal dari
kristalisasi falsafah kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia yang yang telah berinteraksi
dengan beragam idiologi, agama maupun keyakinan. Pancasila melalui kontemplasi dan
consensus diantara para founding fathers menjadi dasar negara atau staatsfundamentalnorm
Indonesia dan menjadi sumber hukum di Indonesia dimana seluruh aturan hukum yang ada
haruslah dijiwai oleh falsafah pancasila dan tidak boleh bertentangan dengan semangat
pancasila.
Ludigdo menyampaikan bahwa pancasila sebagai falsafah bangsa dan negara merupakan
sumber jati diri, kepribadian, moralitas dan haluan keselamatan bangsa. Pancasila memiliki
landasan ontologis, epistimologis dan aksiologis yang kuat dimana setiap sila memiliki justifikasi

xvii
historis.19 Pancasila sebagai modus vivendi bersifat transenden, rasional dan actual yang dapat
dipahami dapat berperan sebagai penopang atau landasan untuk pencapaian dan kemajuan
peradaban Indonesia.
Tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa dalam negara Indonesia modern yang
menuntut rasionalisasi dan logis, Prinsip Transendental dijadikan salah satu landasan
pengelolaan ruang publik-politik? Apa hubungannya antara nilai-nilai transenden dalam
pancasila dengan kemajuan suatu bangsa? Jawaban adalah, karena secara historis bahwa prinsip
prinsip transendensi berupa Ketuhanan Yang Maha Esa telah menyejarah dan menjadi bagian
dalam perkembangan masyarakat Nusantara.
Transendensi menjadi aspek yang penting dalam kehidupan sehari hari bangsa
Indonesia dimana justru pola perilaku dari bangsa Indonesia didasarkan atas kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan motif untuk maju sebagai bekal untuk masa setelah hidup
berakhir. Perjuangan dalam meraih dan memperjuangkan kemerdekaan ini jelas dipengaruhi oleh
hal tersebut dimana bangsa Indonesia meyakini bahwa Indonesia sebagai negara-bangsa juga
berhak atas kemerdekaan.
Nilai-nilai transendensi merupakan sesuatu yang fundamental dan alamiah terdapat
dalam kehidupan manusia Indonesia untuk menjalankan tugas mulia menuntaskan visi hidupnya.
Di Indonesia, Tuhan dianggap mempunyai peran penting untuk mempromosikan sikap dan
perilaku yang bijak. Untuk itu bangsa Indonesia harus selalu didorong untuk menjaga komitmen
dirinya kepada Tuhan dan kemudian menghasilkan sikap dan perilaku menghindari perbuatan
yang dilarang oleh Tuhan, serta sekaligus menyebarkan rahmat atau kebajikan kepada semesta.
Seharusnyalah dengan disemangati oleh nilai-nilai transendensi Ketuhanan seperti ini, bangsa
Indonesia akan merealisasikan visi mulia kehidupannya melalui dan menjadi mercusuar bagi
kemajuan.
Pancasila sebagai ideologi negara telah mencerminkan kondisi spiritualitas dan
transendensi yang dianut oleh bangsa Indonesia. Nilai-nilai ketuhanan merupakan sumber
moralitas dan spiritualitas (yang bersifat vertikal- transendental) bagi Bangsa Indonesia. Ini
sudah merupakan kenyataan yang hakiki dalam mana Tuhan telah hadir dalam relung jiwa
manusia Indonesia sejak lampau, sekaligus menjadi motivasi untuk berbuat kebajikan meski
usaha-usaha untuk mencerabutnya terus menerus dilakukan oleh para kolonialis
Unti Ludigdo, 2013, Nilai nilai Luhur Pancasila Dalam Mencegah Kecurangan, FE Bisnis
19

Unibraw, Malang hal 5


xviii
Sejarah panjang perjuangan para pendahulu dan founding fathers dalam mencapai dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia, banyak dilandasi oleh semangat transenden yang
mengakui keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Etos perjuangan para pendahulu dan pendiri
bangsa ternyata sangat kuat dilandasi oleh semangat transendensi ini, antara lain dapat
diperhatikan dalam pernyataan Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga yang berbunyi, Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa .20
Sila pertama pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan suatu keyakinan
atau keimanan atas keberadaan dan keesaan Tuhan. Keyakinan terhadap tuhan Yang Maha Esa
ini menjadi Suatu keyakinan esensial bagi Bangsa Indonesia karena Tuhan adalah puncak dari
segala puncak. Bagi bangsa Indonesia, keyakinan atas Tuhan ini diikuti dan didapatkan dari
pengaruh ajaran agama yang dianut oleh bangsa Indonesia, oleh karena itu keberadaan dan
identitas agama juga merupakan warna tersendiri yang esensial dalam ketatalaksanaan negara. 21
Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa manusia Indonesia harus
mengabdi kepada satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan mengalahkan ilah-ilah atau
Tuhan-Tuhan lain yang bias mempersekutukannya. Dalam bahasa formal yang telah disepakati
bersama sebagai perjanjian bangsa sama maknanya dengan kalimat Tiada Tuhan selain Tuhan
Yang Maha Esa. Di mana pengertian arti kata Tuhan adalah sesuatu yang kita taati perintahnya
dan kehendaknya walaupun Ia ada tidak mampu di tangkap dengan panca indera.
Prinsip dasar pengabdian menurut Mulyantoro adalah tidak boleh punya dua tuan, hanya
satu tuannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi itulah yang menjadi misi utama tugas para
pengemban risalah untuk mengajak manusia mengabdi kepada satu Tuan, yaitu Tuhan Yang
Maha Esa.22
Nilai-nilai Ketuhanan yang dikehendaki Pancasila adalah nilai Ketuhanan yang positif,
yang digali dari nilai-nilai profetik agama-agama yang bersifat inklusif, membebaskan,
memuliakan keadilan dan persaudaraan. Ketuhanan yang lapang dan toleran yang memberi
semangat kegotong-royongan dalam rangka pengisian etika sosial dalam kehidupan berbangsa
20
(Unti Ludigdo, 2012, Memaknai Etika Profesi Akuntan Indonesia Dengan Pancasila,
Disampaikan dalam Pengukuhan Jabatan Guru Besar Bidang Etika Bisnis dan Profesi
Universitas Brawijaya. Malang. Hal 16
21
Latif Y, 2011, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan aktualitas pancasila,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal 41-42
22
Mulyantoro, Heru. 2012. Quantum Leap Pancasila, Membangun Peradaban Bangsa dengan
Karakter Tuhan Yang Maha Esa, Makalah pada Kongres Pancasila IV di UGM Yogyakarta
tanggal 31 Mei-1 Juni 2012.hal 5
xix
dan bernegara. Dengan penempatan sila Ketuhanan di atas sila-sila yang lain, politik negara
mendapat akar transendensi dan dasar moral yang kuat. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi
hanya dasar hormat-menghormati agama masing masing seperti yang dikemukakan oleh Bung
Karno pada 1 Juni 1945melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan,
kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan.
Ketuhanan dalam kerangka Pancasila merupakan usaha pencarian titik temu dalam
semangat gotong-royong untuk menyediakan landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik
berdasarkan moralitas Ketuhanan. Dalam kerangka pencarian titik temu ini, Indonesia bukanlah
negara sekular yang ekstrem, yang berpretensi menyudutkan agama ke ruang privat belaka,
karena sila pertama Pancasila (sebagai konsensus publik) jelas-jelas menghendaki agar nilai-nilai
Ketuhanan menadi dasar yang transenden bagi kehidupan publik-politik.
Sila Ketuhanan memberikan dimensi agama pada kehidupan politik serta
mempertemukan dalam hubungan simbiosis antara konsepsi daulat Tuhan dan daulat rakyat,
yang disebut oleh Sartono Kartodirdjo sebagai teodemokrasi Dengan Pancasila, kehidupan
kolektif yang berorientasi pada penghayatan nilai-nilai itu terangkat dari tingkat sekular ke
tingkat moral atau sakral. Di sini, terdapat perpaduan antara teosentrisme dan antroposentrisme;
terdapat pula rekonsiliasi antara tendensi ke arah sekularisasi dan sakralisasi. Dalam peristilahan
politikologi orang memakai konsep religi politik.23
Negara juga diharapkan melindungi dan mendukung pengembangan kehidupan
beragama dan berkeyakinan, sebagai wahana untuk meyuburkan nilai-nilai etis dan transenden
dalam kehidupan public. Tidak diragukan lagi bahwa di Indonesia terdapat kondisi plural atau
keragaman agama yang diakui di Indonesia, semuanya sepakat bahwa semua agama menuntut
dan menuntun pada perbuatan baik maupun kebaikan hidup bagi para penganutnya.
Pancasila yang merupakan modus vivendi telah mencerminkan kondisi transenden dari
bangsa Indonesia dalam segenap aspeknya, darn menunjukkan kondisi yang sangat penuh
filosofi dan merupakan solusi dari pendiri negara untuk sebuah negara plural dan mengakui
keberagaman agama maupun keyakinan daripada sebuah negara yang sekuler sebagaimana
disampaikan Michael Densmore Pancasila was proposed as a uniquely Indonesia solution to
this issue of religions relationship to the state. framed the first sila as the preferable alternative
to either a purely secular state. In doing so, chose the multiconfessional state over the

23
Kartodirdjo, 2005, Sejak Indische sampai Indonesia, Kompas, Jakarta, 115
xx
nationalists nonconfessional state (Michael Densmore, 2013, thesis The Control And
Management Of Religion In Post-Independence, Pancasila Indonesia. Georgetown Univercity,
Washington)
Pancasila dengan seluruh silanya dengan sila pertama sebagai leitstar mengajak bangsa
Indonesia untuk mengembangkan etika sosial dalam kehidupan publik-politik dengan memupuk
rasa kemanusiaan dan persatuan, mengembangkan hikmah permusyawaratan dan keadilan sosial
yang kesemuanya. Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai Ketuhanan yang transenden
diharapkan bisa memperkuat pembentukan karakter, melahirkan bangsa dengan etos yang positif.
Kelima sila pancasila pada dasarnya masing masing sila tersebut adalah prinsip yang
merupakan satu kesatuan sehingga saling berhubungan dan saling bekerjasama untuk satu tujuan
tertentu sehingga Pancasila yang berisi lima sila, yaitu Sila Ketuhanan yang Maha Esa, Sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Sila Persatuan Indonesia, Sila Kerakyatan yang dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dan Sila Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia, saling berhubungan membentuk satu kesatuan yang dalam proses
bekerjanya saling melengkapi dalam mencapai tujuan. Meskipun setiap sila pada hakikatnya
merupakan suatu asas sendiri, memiliki fungsi sendiri-sendiri, namun memiliki tujuan tertentu
yang sama, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Susunan secara hirarkis mengandung pengertian bahwa sila-sila Pancasila memiliki
tingkatan berjenjang, yaitu sila yang ada di atas menjadi landasan sila yang ada di bawahnya.
Sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa melandasi sila kedua, sila kedua melandasi sila
ketiga, sila ketiga melandasi sila keempat, dan sila keempat melandasi sila kelima. struktur
piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hirarkis sila-sila Pancasila menurut urut-
urutan luas (kuantitas) dan juga dalam hal sifat-sifatnya (kualitas). Dengan demikian, diperoleh
pengertian bahwa menurut urut-urutannya, setiap sila merupakan pengkhususan dari sila-sila
yang ada dimukanya.
Dalam susunan hirarkis dan piramidal, sila Ketuhanan yang Maha Esa yang bersifat
transcendental menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial.
Sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang
membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan Indonesia, yang berkerakyatan dan
berkeadilan sosial. Demikian selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila-
sila lainnya.

xxi
Kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem yang bersifat hirarkis dan berbentuk
piramidal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, sebagaimana diungkapkan oleh
Notonagoro24, bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai
causa prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan
Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya Tuhan (sila pertama). Adapun manusia adalah
sebagai subjek pendukung pokok negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan, negara
adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (sila kedua).
Dengan demikian, negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (sila ketiga).
Selanjutnya terbentuklah persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Rakyat pada
hakikatnya merupakan unsur negara di samping wilayah dan pemerintah. Rakyat adalah totalitas
individu-individu dalam negara yang bersatu (sila keempat). Adapun keadilan yang pada
hakikatnya merupakan tujuan bersama atau keadilan sosial (sila kelima) pada hakikatnya sebagai
tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara.
Transendensi dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Menjiwai dan menjadi hal yang utama
bagi bangsa Indonesia untuk menebar kebajikan dan sekaligus sebagai sifat alami dari bangsa
Indonesia yang berinteraksi dengan agama, maupun beragam keyakinan yang ada di Indonesia
yang menjadi sumber yang jernih bagi bangsa Indonesia dan terefleksikan oleh para founding
fathers bangsa Indonesia yang pada akhirnya dalam musyawarah teraih konsensus nasional dan
menjadi sebuah modus vivendi yang transenden bagi bangsa Indonesia.

24
Notonagoro, 1983, Pancasila Sebagai Ilmiah Popular, Bina Aksara, Jakarta, hal 52
xxii
PENUTUP

Kesimpulan
1. Pancasila Merupakan dasar negara sekaligus falsafah negara yang menjadi salah
satu sumber utama Hukum di Indonesia.
2. Pancasila merupakan suatu modus vivendi atau kesepakatan luhur diantara para
founding fathers yang merupakan dalam upaya penyusunan dari dasar negara
maupun falsafah negara yang diambil dari nilai nilai yang dianut bangsa Indonesia
yang plural dan terdiri dari beragam suku, agama maupun keyakinan.
3. Pancasila sangat kental bernuansa Transendental. Transendensi yang terutama
adalah keimanan dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi
faktor utama dari pancasila dan mengilhami serta menjadi landasan bagi keempat
sila lain
5.2 Saran
1. Agar generasi muda memahami konsep dari pancasila
2. Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara perlu untuk dijadikan sebagai
sumber perenungan bagi para stake holder dalam membuat atau memutuskan
sesuatu dan bukan berdasar pragmatisme semata
3. Perlunya bagi bangsa indonesia menghayati keimanan dan kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa sebagai suatu prinsip utama bagi pengelolaan negara
sehingga akan mencapai peradaban yang transenden dan manusiawi

DAFTAR PUSTAKA

xxiii
Abdul Kadir dan Fathul Muin, 2009, Ikhtisar Dalam Memahami Pendidikan dan
Kewarganegaraan, Suatu Pendekatan Yang Bersifat holistic, Deepublish, Yogyakarta
Achmad Reza, Pengertian Ideologi, http://sospol.pendidikanriau.com/2009/11/dalam-
pembicaraan-sehari-hari-sering.html, diunduh tanggal 16 November 2016
Amirallah Asyarie, 2008, Filsafat Transendental dan Problematika keilahian, Afkar.
Kairo
Fifi Purnama, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, citra pustaka. Semarang.
Jazim Jamidi, 2016, Akar Masalah Negara Hukum Indonesia, Perspektif
Hermeneutika Hukum, UMM Press, Malang.
Jimly ashsiddiqi, 2011. Ideologi, Pancasila dan Konstitusi, Mahkamah konstitusi,
Jakarta.
Kartodirdjo, 2005, Sejak Indische sampai Indonesia, Kompas, Jakarta.
Kusuma, AB, 2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Pusat Studi Hukum Tata
Negara FH Universitas Indonesia, Jakarta
Latif Y, 2011, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan aktualitas pancasila,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lorens Bagus, 1996, Kamus filsafat, Gramedia, Jakarta.
Michael Densmore, 2013, thesis, The Control And Management Of Religion In Post-
Independence, Pancasila Indonesia. Georgetown Univercity, Washington.
Mulyantoro, Heru, 2012, Quantum Leap Pancasila, Membangun Peradaban Bangsa
dengan Karakter Tuhan Yang Maha Esa, Makalah pada Kongres Pancasila IV di UGM
tanggal 31 Mei-1 Juni 2012, Yogyakarta
Meuwessen, 2007. Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan
Filsafat Ilmu. Refika aditama. Jakarta.
Muhammad Yamin, 1997, Sapta Darma, Indonesia, Jakarta.
Oesman, Oetojo dan Alfian. 1990. Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. BP-7. Jakarta
Payerli pasaribu, 2015, Pendidikan Kewarganegaraan, Unimed, Jakarta.
Poespowardojo, Soeryanto, 1991, Pancasila Sebagai Ideologi ditinjau dari Segi
Pandangan Hidup Bersama, dalam Pancasila sebagai Ideologi, BP-7 Pusat, Jakarta.

xxiv
Prawoto Mangkusasmito, 1970, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara Dan
Sebuah Proyeksi, Hudaya, Jakarta.
Unti Ludigdo, 2013, Nilai Nilai Luhur Pancasila Dalam Mencegah Kecurangan, FE
Bisnis Unibraw, Malang
Unti Ludigdo, 2012, Memaknai Etika Profesi Akuntan Indonesia Dengan Pancasila,
Disampaikan dalam Pengukuhan Jabatan Guru Besar Bidang Etika Bisnis dan Profesi
Universitas Brawijaya, Malang)
Ubaedillah, Abdul Rozaq, 2013, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat. Madani.
Jakarta.
Walton H. Hamilton, 1931, Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences,
Washington Univercity, Washington
Yogi Prasetyo, 2011, Konvergensi Lintas Kepentingan Perspektif Islam, LPPM Unmuh,
Ponorogo

Afrianti, Leni Harliana. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. Bandung. Alfabeta


A. Sonny Keraf. 2002. Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya. Kanisius.
Yogyakarta.
Buchari Alma. 2001. Pengantar Bisnis. Bandung : Alfabeta.
Damayanti. 2014. Corporate Social Responsibility Dalam Perspektif Islam

xxv
Mazahib. Samarinda
Husamuddin. 2013. Ensiklopedi Aqiqoh. Yogyakarta. Pro U Media
Padmono Joko. 2005. Alternatif Pengolahan Limbah. P3TL BBTT. Jakarta

xxvi

Anda mungkin juga menyukai