Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Penyakit Hepatitis B disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) yang bersifat

akut atau kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibanding

dengan penyakit hati yang lain karena penyakit Hepatitis B ini tidak menunjukkan

gejala yang jelas, hanya sedikit warna kuning pada mata dan kulit disertai lesu.

Penderita sering tidak sadar bahwa sudah terinfeksi virus Hepatitis B dan tanpa

sadar pula menularkan kepada orang lain.[1]

Hepatitis B dianggap sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang harus

diselesaikan karena selain prevalensinya tinggi, virus hepattis B dapat

menimbulkan problema pasca akut bahkan dapat terjadi sirosis hepatis dan

karsinoma hepatoseluler primer. [1]

Secara epidemiologi penyakit ini tersebar di seluruh dunia, Indonesia

termasuk negara dengan kategori tingkat endemik yang tinggi dimana hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukan prevalensi penyakit

Hepatitis B sebesar 9,4% dan cenderung meningkat karena jumlah pengidapnya

terus bertambah terlebih lagi terdapat carrier atau pembawa penyakit dan dapat

menjadi penyakit pembunuh diam-diam (Silent Killer) bagi semua orang tanpa

kecuali.[2]

Resiko penyakit kronis pada penderita Hepatitis B jauh lebih besar bila

infeksi terjadi mulai dari awal kehidupan dibandingkan dengan infeksi terjadi

1
pada umur dewasa. Infeksi penyakit Hepatitis B pada masa bayi mempunyai

resiko untuk menjadi kronis sekitar 90% dan sebanyak 25%-30% diantaranya

akan berkembang menjadi sirosis hepatis atau primer carcinoma hepatocelluler.[3]

Di seluruh dunia, dua milyar orang telah terinfeksi virus hepatitis B (VHB),

360 juta mengalami infeksi kronis, dan 600.000 meninggal setiap tahun dari

penyakit hati terkait HBV atau karsinoma hepatoseluler. Sedangkan di Indonesia

diperkirakan terdapat lebih dari 10 juta pengidap penyakit Hepatitis B.[4]

Sampai saat ini infeksi hepatitis B (HBV) masih merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang serius di seluruh dunia. Sebagian besar individu yang

terinfeksi VHB tanpa gejala klinik yang nyata, terutama pada pengidap sehat. Dari

aspek epidemiologis yang paling berbahaya adalah pengidap sehat, karena status

pengidap tersebut sangat potensial sebagai sumber penularan.[5]

Pada penyakit infeksi Hepatitis B terutama dalam bentuknya yang kronik,

belum ada pengobatan yang memuaskan. Oleh karena itu sebaiknya perhatian

difokuskan kepada usaha pencegahan sedini mungkin yaitu imunisasi.[5]

Imunisasi merupakan suatu upaya pencegahan yang paling efektif dan paling

murah untuk mencegah penularan penyakit Hepatitis B. Di Indonesia program

imunisasi Hepatitis B dimulai pada Tahun 1987 dan telah masuk ke dalam

program imunisasi rutin secara nasional sejak Tahun 1997. Pada Tahun 1991

Indonesia dinyatakan telah mencapai Universal Child Immunization (UCI) secara

nasional, meskipun demikian tetap saja masih ditemukan kasus penyakit yang

dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti kasus Hepatitis. Kasus penyakit

Hepatitis B masih ditemukan di beberapa desa terutama desa dengan cakupan

imunisasi Hepatitis B rendah khususnya imunisasi Hepatitis B (0-7 hari).[5]

2
Imunisasi hepatitis B pada individu dimaksudkan agar individu membentuk

antibodi yang ditunjukan untuk mencegah infeksi oleh virus hepatitis B. Tujuan

utama pemberian imunisasi hepatitis B yaitu untuk menurunkan angka kesakitan

dan kematian yang disebabkan oleh infeksi hepatitis B dan manifestasinya, secara

tidak langsung menurunkan angka kesakitan dan kematian karena kanker hati dan

pengerasan hati. [5]

Hasil penelitian menunjukkan hanya 58% balita yang mendapat imunisasi

hepatitis B lengkap yaitu balita yang mendapat tiga dosis hepatitis B sebelum

umur satu tahun. Dengan tiga dosis ini, maka perlindungan terhadap ancaman

infeksi hepatitis B mencapai 95%.[5]

Selain karena tidak adanya riwayat imunisasi hepatitis B, kejadian hepatitis B

juga disebabkan karena penderita pernah mengalami kontak dengan penderita

hepatitis B sebelumnya. Sumber penularannya berupa darah, saliva, kontak

dengan mukosa penderita virus, feses, dan urine, pisau cukur, selimut, alat

makan, dan lain-lain yang terkontaminasi virus hepatitis B. Penularannya juga

bukan mustahil dapat terjadi melalui jarum suntik yang seharusnya sekali pakai

buang, namun dipakai ulang. Kejadian ini bisa berlangsung di Puskesmas, klinik,

atau di layanan kesehatan lain yang kurang terjaga sterilitas alat-alat medisnya.

Cara lain penyebaran virus ini adalah karena terbawa dari sejak kandungan dari

seorang ibu yang terinfeksi dan karena hubungan seks.[5]

Mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis ingin

melakukan penelitian tentang hubungan riwayat imunisasi dan riwayat kontak

dengan angka kejadian hepatitis B di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo.

3
Mengingat di daerah perkotaan penyakit Hepatitis B menduduki urutan ketiga

sebagai penyebab kematian pada semua golongan umur dari kelompok penyakit

menular. [5]

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah dalam penelitian ini dapat

dirumuskan yaitu Apakah ada hubungan riwayat imunisasi dan riwayat kontak

dengan kejadian hepatitis B?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum:

Untuk mengetahui hubungan riwayat imunisasi dan riwayat kontak dengan

kejadian hepatitis B di Poli Gastroentero Hepatologi RSUP Dr.Wahidin

Sudirohusodo, Makassar.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui hubungan antara karakteristik pasien (Umur dan jenis kelamin)

terhadap kejadian hepatitis B.

2. Memperoleh gambaran kejadian hepatitis B di Poli Gastroentero Hepatologi

RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2014

3. Mengetahui ada tidaknya riwayat imunisasi hepatitis pada pasien hepatitis B.

4. Mengetahui ada tidaknya riwayat kontak dengan penderita hepatitis B

sebelumnya pada pasien hepatitis B.

4
5. Mengetahui hubungan pemberian Imunisasi dan riwayat kontak dengan

angka kejadian hepatitis B di Poli Gastroentero Hepatologi RSUP

Dr.Wahidin Sudirohusodo.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Subyek penelitian : Penderita Hepatitis B

2. Obyek penelitian : Riwayat imunisasi dan riwayat kontak dengan

penderita Hepatitis B sebelumnya.

3. Lokasi penelitian : Poli Gastroentero Hepatologi RSUP Dr.Wahidin

Sudirohusodo

4. Waktu penelitian : Oktober Desember 2014

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi bermanfaat, yaitu:

1.5.1. Bagi Penulis

Dapat memberikan wawasan dan pengalaman dalam melakukan penelitian di

bidang kesehatan serta dapat dijadikan bekal untuk memberikan pelayanan

kesehatan kepada masyarakat.

5
1.5.2. Bagi Masyarakat

Dapat memberikan pengetahuan tentang bahaya hepatitis B, pentingnya imunisasi

hepatitis B, dan bagaimana mencegah penularan penyakit ini.

1.5.3. Instansi Terkait

1. Sebagai suatu strategi terhadap upaya penanggulangan penyakit Hepatitis B

di daerah penelitian pada program kerja selanjutnya.

2. Memberikan masukan kepada RS untuk meningkatkan pemberantasan

hepatitis di wilayah lain yang memiliki kondisi yang serupa dengan wilayah

penelitian.

3. Dapat memberikan informasi tambahan bagi pihak RS untuk lebih aktif

dalam promosi kesehatan khususnya mengenai penyakit hepatitis B.

1.5.4. Bagi peneliti lain

Sebagai bahan masukan dan bahan pembanding dalam penelitian lebih lanjut

mengenai Hepatitis B dan hal-hal yang belum terungkap dalam penelitian ini.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Tentang Imunisasi Hepatitis B

2.1.1 Definisi Imunisasi

Kata imun berasal dari bahasa latin imunitas yang berarti pembebasan

(kekebalan) yang diberikan kepada para senator Romawi selama masa jabatan

mereka terhadap kewajiban terhadap warga biasa dan terhadap dakwaan. Dalam

sejarah, istilah ini kemudian berkembang sehingga pengertiannya berubah menjadi

perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi terhadap penyakit menular.

Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel sel serta

produk zat zat yang dihasikannya, yang bekerja sama secara kolektif dan

terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman kuman penyakit atau

racunnya, yang masuk ke dalam tubuh.[6]

Kuman disebut antigen. Pada saat pertama kali antigen ke dalam tubuh,

maka sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat anti yang disebut antibodi. Pada

umumnya reaksi pertama tubuh untuk membentuk antibodi tidak terlalu kuat

karena tubuh belum mempunyai pengalaman terhadap antigen yang masuk, tetapi

pada reaksi yang kedua, ketiga dan seterusnya, tubuh sudah mempunyai memori

untuk mengenali antigen tersebut sehingga pembentukan antibodi terjadi dalam

waktu yang lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak, itulah sebabnya pada

beberapa jenis penyakit yang dianggap berbahaya dilakukan tindakan imunisasi

atau vaksinasi. Hal ini dimaksudkan sebagai usaha untuk memberikan kekebalan

terhadap penyakit infeksi pada bayi, anak maupun juga orang dewasa dan

7
merupakan tindakan pencegahan agar individu tersebut tidak terjangkit penyakit

infeksi atau seandainya terkenapun tidak akan menimbulkan akibat yang fatal.[6]
[7][6][7]

Saat individu diberi vaksin, sebenarnya dia menerima bagian dari kuman

yang telah dilemahkan sehingga, dapat merangsang tubuh untuk menghasilkan

antibodi sendiri untuk melawannya. Antibodi ini selanjutnya memberikan

perlindungan terhadap penyakit, apabila orang tersebut sudah pernah berkontak.[8]

Word Health Organization (WHO) melalui program The Expanded Program

on Immunisation (EPI) merekomendasikan pemberian vaksinasi terhadap 7 jenis

antigen penyakit sebagai imunisasi rutin di Negara berkembang, yaitu BCG, DPT,

Polio, Campak dan Hepatitis B. [8]

Imunisasi ada dua macam yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif.

Imunisasi aktif adalah pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahkan

(vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan memberikan suatu

ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat mengenali

dan meresponnya. Contohnya imunisasi hepatitis B, imunisasi polio, dan campak.

Sedangkan imunisasi pasif adalah suatu proses peningkatan kekebalan tubuh

dengan cara pemberian zat imunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu

proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manumur (kekebalan yang didapat

bayi dari ibu melalui plasenta). [8]

Contoh imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS (Anti Tetanus Serum) pada

orang-orang yang mengalami luka kecelakaan. Contoh lain adalah yang terdapat

pada bayi yang baru lahir di mana bayi tersebut menerima berbagai jenis antibodi

8
dari ibunya melalui darah plasenta, selama masa kandungan, misalnya antibodi

terhadap campak.[9]

2.1.2 Imunisasi hepatitis B

Imunisasi hepatitis B merupakan suatu upaya pencegahan yang paling

efektif untuk mencegah penularan penyakit hepatitis B. Program imunisasi

hepatitis B dapat berkontribusi menurunkan angka kesakitan dan kematian sebesar


[8]
80 -90% . Imunisasi ini memberikan stimulan kepada tubuh agar secara efektif

membentuk antibody terhadap virus hepatitis B (antiHBs). [9] [10]

Imunisasi dilakukan dengan cara pemberian suntikan dasar sebanyak 3 kali

dengan jarak waktu satu bulan antara suntikan pertama dan kedua, dan lima bulan

antara suntikan kedua dan ketiga. Imunisasi ulang diberikan 5 tahun setelah

imunisasi dasar. Cara pemberian imunisasi dasar tersebut dapat berbeda-beda,

tergantung dari rekomendasi pabrik pembuat vaksin hepatitis B mana yang kita

pergunakan. Misalnya imunisasi dasar vaksin hepatitis B buatan Pasteur, Perancis

berbeda dengan jadwal vaksinasi vaksin buatan MSD (Merck Sharp & Dohme),

Amerika Serikat. [9]

Khusus bagi bayi yang lahir dari seorang ibu pengidap virus hepatitis B,

harus dilakukan imunisasi pasif memakai immunoglobulin khusus anti hepatitis B

dalam waktu 24 jam setelah kelahiran mengingat vaksinasi hepatitis B merupakan

upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui

transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.[10]

9
Berikutnya bayi tersebut harus pula mendapat imunisasi aktif 24 jam setelah

lahir, dengan penyuntikan vaksin hepatitis B dengan cara pemberian yang sama

seperti biasa. Risiko penularan hepatitis B dari ibu ke bayinya sangat tinggi, oleh

karena itu ibu hamil sebaiknya melakukan pemeriksaan darah untuk mendeteksi

apakah ia mengidap virus hepatitis B, sehingga dapat dipersiapkan tindakan yang

diperlukan menjelang kelahiran bayi. [10]

Adapun jadwal imunisasi dasar yang merupakan imunisasi wajib yang

dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut: [4]

Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi Wajib Pada Bayi.

Vaksin Pemberian Interval Umur Keterangan


BCG 1x - 0-11 bulan Minimal, tidak ada
batasan minimal
DPT 3x 4 minggu 2-11 bulan -
Polio 4x 4 minggu 0-11 bulan Lengkapi sebelum
umur 1 tahun
(OPV) 1x - 9-11 bulan -
Campak
Hepatitis B 3x 1 dan 6 0-11 bulan -
bulan
dari
suntikan
pertama

a. Cara Pemberian Imunisasi Hepatitis B

Imunisasi Hepatitis ini diberikan melalui injeksi intramuscular dalam. Dosis

pertama (HB-0) diberikan segera setelah bayi lahir atau kurang dari 7 hari setelah

kelahiran. Vaksin ini menggunakan PID ( Prefilled Injection Device ), merupakan

jenis alat suntik yang hanya bisa digunakan sekali pakai dan telah berisi vaksin

10
dosis tunggal dari pabrik. Vaksin ini diberikan dengan dosis 0,5 ml. Vaksin tidak

hanya diberikan pada bayi. Vaksin juga diberikan pada anak umur 12 tahun yang

di masa kecilnya belum diberi vaksin Hepatitis B. Selain itu orang-orang yang

berada dalam rentan risiko Hepatitis B sebaiknya juga diberi vaksin ini.[11]

b. Reaksi Imunisasi Hepatitis B

Reaksi imunisasi yang terjadi biasanya berupa nyeri pada tempat suntikan,

yang mungkin disertai dengan timbulnya rasa panas atau pembengkakan. Reaksi

ini akan menghilang dalam waktu 2 hari. Reaksi lain yang mungkin terjadi ialah

demam ringan. [11]

c. Efek samping Imunisasi Hepatitis B

Selama pemakaian 10 tahun ini tidak dilaporkan adanya efek samping yang

berarti. Berbagai suara di masyarakat tentang kemungkinan terjangkit oleh

penyakit AIDS akibat pemberian vaksin hepatitis yang berasal dari plasma,

merupakan berita yang terlalu dibesar-besarkan. Maka melalui suatu penelitian

yang lebih luas WHO tetap menganjurkan pelaksanaan hepatitis B. [12]

d. Kontra Indikasi Pemberian Imunisasi Hepatitis B

Hipersensitif terhadap komponen vaksin. Sama halnya seperti vaksin-vaksin

lain, vaksin ini tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi berat yang disertai

kejang. Kehamilan dan laktasi bukan indikasi kontra imunisasi VHB. Vaksinasi

hepatitis B dapat diberikan kepada ibu hamil dengan aman dan tidak

membahayakan janin. Bahkan akan memberikan perlindungan kepada janin

selama dalam kandungan ibu maupun kepada bayi selama beberapa bulan setelah

lahir. [12]

11
e. Lama perlindungan vaksin hepatitis B [12]

Hampir semua anak yang menerima tiga dosis vaksin hepatitis B mencapai

kekebalan, namun sekitar 20% turun dibawah ambang batas antibody paling pada

tahun ke-15. Para peneliti Canada melaporkan pada Interscience Conference on

Antimicrobial Agents and Chemotherapy (ICAAC) ke-52 di San Francisco.

Imunisasi yang luas terhadap hepatitis B telah mengurangi insidensi infeksi

hepatitis B secara luas selama tiga dekade terakhir. Banyak Negara sekarang

memasukkan hepatitis B dalam rangkaian vaksin bayi yang direkomendasikan dan

vaksinasi tambahan direkomendasikan untuk remaja dan orang tua yang

beresiko.

Para peneliti mencatat sebagai latar belakang bahwa Hepatitis B vaksin

sangat imunogenik tetapi tidak selalu memberikan perlindungan seumur hidup.

Satu sampai 6 bulan setelah vaksinasi awal, tingkat permukaan hepatitis B

antibody adalah 10 sampai 100 kali lipat lebih tinggi daripada tingkat pelindung.

Tapi dengan 5 sampai 15 tahun setelah vaksinasi primer, beberapa individu

memiliki tingkat antibody pelindung di bawah ambang batas dan dalam beberapa

kasus, antibodinya tidak terdeteksi.

Analisis prospektif yang dimulai pada tahun 1995 ini mendaftarkan 1129

anak yang berumur delapan sampai 10 tahun yang telah menerima rangkaian

vaksin Engerix-B di sekolah, menurut rekomendasi jadwal dosis yang disarankan

sebesar 10mcg suntikan intramuskular pada saat lahir, satu bulan dan pada enam

bulan.

Para peserta kemudian diacak untuk menerima dosis booster (penguat) pada

tahun ke-5, 10 atau 15 dari studi. Tingkat antibodi diukur pada satu sampai dua

12
bulan setelah satu sampai bulan pertama setelah dosis vaksin ketiga; satu sampai

dua bulan sebelum dan sesudah vaksinasi penguat dan pada 5, 10 dan 15 tahun

setelah inisiasi awal. Sekitar 220 peserta dari kelompok vaksin penguat

dimasukkan dalam analisis akhir.

Hampir semua peserta dalam kelompok vaksin pen guat memiliki tingkat

antibodi permukaan hepatitis B setidaknya 1 IU/L sebelum mereka menerima

vaksin penguat. Hampir 90% dari anak-anak dalam kelompok dengan penguat

lima tahun dan sepuluh tahun memiliki tingkat antibodi setidaknya 10 IU/L, pada

umumnya dianggap sebagai memiliki antibodi pelindung. Namun, proporsi ini

menurun sampai 77% di antara kelompok yang menerima vaksin penguat pada

tahun ke 15.

2.2 Tinjauan Tentang Penyakit Hepatitis B

2.2.1. Definisi Penyakit Hepatitis B

Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat

disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta

bahan bahan kimia. Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik oleh virus disertai

nekrosis dan klinis, biokimia serta seluler yang khas.[13]

Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus

hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula

menyebabkan radang, gagal ginjal, sirosis hati, dan kematian.[14]

Hepatitis B merupakan penyakit yang banyak ditemukan di dunia dan

dianggap sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang harus diselesaikan. Hal ini

13
karena selain prevelensinya tinggi, virus hepatitis B dapat menimbulkan problema

pasca akut bahkan dapat terjadi cirrHOsis hepatitis dan carcinoma hepatocelluler

primer.[15]

Sepuluh persen dari infeksi virus hepatitis B akan menjadi kronik dan 20%

penderita hepatitis kronik ini dalam waktu 25 tahun sejak tertular akan mengalami

cirrHOsis hepatic dan carcinoma hepatoculler primer (hepatoma). Kemungkinan

akan menjadi kronik lebih tinggi bila infeksi terjadi pada umur balita dimana

respon imun belum berkembang secara sempurna. [15]

Pada saat ini diperkirakan terdapat kira kira 350 juta orang pengidap

(carrier) HBsAg dan 220 juta (78%) terdapat di Asia termasuk Indonesia. [15]

2.2.2. Etiologi Hepatitis B [16]

Hepatitis B disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB). Virus ini pertama kali

ditemukan oleh Blumberg tahun 1965 dan dikenal dengan nama antigen Australia

yang termasuk DNA virus.

Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm yang disebut

dengan Partikel Dane. Lapisan luar terdiri atas antigen HBsAg yang

membungkus partikel inti (core). Pada partikel inti terdapat hepatitis B core

antigen (HBcAg) dan hepatitis B antigen (HBeAg). Antigen permukaan (HBsAg)

terdiri atas lipoprotein. Bila mula-mula hanya ada 4 subtipe protein virus hepatitis

B menurut sifat imunologiknya, yaitu adw, adr, ayw, dan ayr. Sekarang ada

tambahan subtipe baru, yaitu ayw1-ayw4, adw2, adw4, adrq- dan adrq+. Bahkan

belakangan ini ada determinan subtipe yang baru yang terjadi karena penambahan

14
asam amino pada posisi 127, 144, 145, 158, 159, 177, dan 178. Arti perbedaan

subtipe HbsAg untuk kepentingan HBV sendiri sampai sekarang belum diketahui.

Namun secara praktis subtipe HbsAg ini dipakai untuk mempelajari epidemiologi

HBV antara lain dengan melihat distribusi geografik subtipe HbsAg ini. Sebagai

contoh Subtype adw terjadi di Eropa, Amerika dan Australia. Subtipe ayw terjadi

di Afrika Utara dan Selatan. Subtipe ayw dan adr terjadi di Malaysia, Thailand,

Indonesia. Sedangkan subtipe adr terjadi di jepang dan China.

2.2.3. Patogenesis [17]

Berbagai mekanisme bagaimana virus hepatotropik merusak sel hati dan

bagaimana peran yang sesungguhnya dari hal hal tersebut masih belum jelas.

Informasi dari kenyataanya ini meningkatkan kemungkinan adanya perbedaan

patogenetik. Ada dua kemungkinan : (1) Efek simptomatik langsung dan (2)

adanya induksi dan reaksi imunitas melawan antigen virus atau antigen hepatosit

yang diubah oleh virus, yang menyebabkan kerusakan hepatosit yang di infeksi

virus.

Pada hepatitis kronik terjadi peradangan sel hati yang berlanjut hingga

timbul kerusakan sel hati. Dalam proses ini dibutuhkan pencetus target dan

mekanisme persistensi. Pencetusnya adalah antigen virus, autogenetik atau obat.

Targetnya dapat berupa komponen struktur sel, ultrastruktur atau jalur enzimatik.

Sedangkan persistensinya dapat akibat mekanisme virus menghindar dari sistem

imun tubuh, ketidakefektifan respon imun atau pemberian obat yang terus -

menerus.

15
2.2.4. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemui dan didukung

oleh pemeriksaan laboratorium. Riwayat ikterus pada para kontak keluarga,

kawan-kawan sekolah, pusat perawatan bayi, teman-teman atau perjalanan ke

daerah endemi dapat memberikan petunjuk tentang diagnosis. [18]

Hepatitis B kronis merupakan penyakit nekroinflamasi kronis hati yang

disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B persisten. Hepatitis B kronis ditandai

dengan HBsAg positif (> 6 bulan) di dalam serum, tingginya kadar HBV DNA

dan berlangsungnya proses nekroinflamasi kronis hati. Carrier HBsAg inaktif

diartikan sebagai infeksi HBV persisten hati tanpa nekroinflamasi. Sedangkan

hepatitis B kronis eksaserbasi adalah keadaan klinis yang ditandai dengan

peningkatan intermitten ALT>10 kali batas atas nilai normal (BANN). [18]

Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi,

petanda virologi, biokimiawi dan histologi. Secara serologi pemeriksaan yang

dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi infeksi hepatitis B kronis adalah :

HBsAg, HBeAg, anti HBe dan HBV DNA.[18]

Adanya HBsAg dalam serum merupakan petanda serologis infeksi hepatitis

B. Titer HBsAg yang masih positif lebih dari 6 bulan menunjukkan infeksi

hepatitis kronis. Munculnya antibodi terhadap HBsAg (anti HBs) menunjukkan

imunitas dan atau penyembuhan proses infeksi. Adanya HBeAg dalam serum

mengindikasikan adanya replikasi aktif virus di dalam hepatosit. Titer HBeAg

berkorelasi dengan kadar HBV DNA. Namun tidak adanya HBeAg (negatif)

bukan berarti tidak adanya replikasi virus, keadaan ini dapat dijumpai pada

penderita terinfeksi HBV yang mengalami mutasi (precore atau core mutant).

16
Penelitian menunjukkan bahwa pada seseorang HBeAg negatif ternyata memiliki

HBV DNA >105 copies/ml. Pasien hepatitis kronis B dengan HBeAg negatif yang

banyak terjadi di Asia dan Mediteranea umumnya mempunyai kadar HBV DNA

lebih rendah (berkisar 104-108 copies/ml) dibandingkan dengan tipe HBeAg

positif. Pada jenis ini meskipun HBeAg negatif, remisi dan prognosis relatif jelek,

sehingga perlu diterapi. [18]

Secara serologi infeksi hepatitis persisten dibagi menjadi hepatitis B kronis

dan keadaan carrier HBsAg inaktif. Yang membedakan keduanya adalah titer

HBV DNA, derajat nekroinflamasi dan adanya serokonversi HBeAg. Sedangkan

hepatitis kronis B sendiri dibedakan berdasarkan HBeAg, yaitu hepatitis B kronis

dengan HBeAg positif dan hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif. [18]

Pemeriksaan virologi untuk mengukur jumlah HBV DNA serum sangat

penting karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus. Ada beberapa

persoalan berkaitan dengan pemeriksaan kadar HBV DNA. Pertama, metode yang

digunakan untuk mengukur kadar HBV DNA. Saat ini ada beberapa jenis

pemeriksaan HBV DNA, yaitu : branched DNA, hybrid capture, liquid

hybridization dan PCR. Dalam penelitian, umumnya titer HBV DNA diukur

menggunakan amplifikasi, seperti misalnya PCR, karena dapat mengukur sampai

100-1000 copies/ml. Kedua, beberapa pasien dengan hepatitis B kronis memiliki

kadar HBV DNA fluktuatif. Ketiga, penentuan ambang batas kadar HBV DNA

yang mencerminkan tingkat progresifitas penyakit hati. Salah satu kepentingan

lain penentuan kadar HBV DNA adalah untuk membedakan antara carrier

hepatitis inaktif dengan hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif : kadar <105

17
copies/ml lebih menunjukkan carrier hepatitis inaktif. Saat ini telah disepakati

bahwa kadar HBV DNA>105 copies/ml merupakan batas penentuan untuk

hepatitis B kronis. [18]

Salah satu pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan

keputusan terapi adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan

adanya aktifitas nekroinflamasi. Oleh karena itu pemeriksaan ini dipertimbangkan

sebagai prediksi gambaran histologi. Pasien dengan kadar ALT yang meningkat

menunjukkan proses nekroinflamasi lebih berat dibandingkan pada ALT yang

normal. Pasien dengan kadar ALT normal memiliki respon serologi yang kurang

baik pada terapi antiviral. Oleh sebab itu pasien dengan kadar ALT normal

dipertimbangkan untuk tidak diterapi, kecuali bila hasil pemeriksaan histologi

menunjukkan proses nekroinflamasi aktif. [19]

Tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat kerusakan hati,

menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan menentukan manajemen

anti viral. Ukuran spesimen biopsi yang representatif adalah 1-3 cm (ukuran

panjang) dan 1,2-2 mm (ukuran diameter) baik menggunakan jarum Menghini

atau Tru-cut. Salah satu metode penilaian biopsi yang sering digunakan adalah

dengan Histologic Activity Index score. [19]

Pada setiap pasien dengan infeksi HBV perlu dilakukan evaluasi awal. Pada

pasien dengan HBeAg positif dan HBV DNA > 105copies/ml dan kadar ALT

normal yang belum mendapatkan terapi antiviral perlu dilakukan pemeriksaan

ALT berkala dan skrining terhadap risiko KHS, jika perlu dilakukan biopsi hati.

18
Sedangkan bagi pasien dengan keadaan carrier HBsAg inaktif perlu dilakukan

pemantauan kadar ALT dan HBV DNA.[19]

Tabel 2: Definisi dan Kriteria Diagnostik Infeksi Hepatitis B.

Keadaan Definisi Kriteria Diagnostik


Hepatitis B kronis Proses nekro-inflamasi 1. HBsAg + > 6 bulan
kronis hati disebabkan oleh
2. HBV DNA serum > 105
infeksi persisten virus
copies/ml
hepatitis B.
Dapat dibagi menjadi 3. Peningkatan kadar
hepatitis B kronis dengan ALT/AST secara
HBeAg + dan HBeAg - berkala/persisten

4. Biopsi hati
menunjukkan hepatitis
kronis (skor
nekroinflamasi > 4)

Carrier HBsAg Infeksi virus hepatitis B 1. HBsAg + > 6 bulan


inaktif persisten tanpa disertai 2. HBeAg - , anti HBe+
proses nekro-inflamasi yang 3. HBV DNA serum < 105
copies/ml
signifikan.
4. Kadar ALT/AST normal
5. Biopsi hati
menunjukkan tidak
adanya hepatitis yang
signifikan (skor nekro
inflamasi < 4)

2.2.5. Manifestasi Klinis Hepatitis B [20]

Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis manefestasi klinis hepatitis B

dibagi dua, yaitu :

a. Hepatitis B akut

Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu yang

sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya virus hepatitis B

dari tubuh Hospes.

19
Terdiri atas 2, yaitu:

1) Hepatitis B akut yang khas

Bentuk hepatitis ini meliputi 95% penderita dengan gambaran ikterus yang

jelas. Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu: fase praikterik, gejala non spesifik,

permulaan penyakit tidak jelas, demam tinggi, anoreksia, mual, nyeri di daerah

hati disertai perubahan warna air kemih menjadi gelap. Pemeriksaan laboratorium

mulai tampak kelainan hati, fase ikterik, gejala demam dan gastrointestinal mulai

tambah hebat, disertai hepatomegali dan spinomegali. Timbulnya ikterus makin

hebat dengan puncak pada minggu ke dua. Setelah timbul ikterus, gejala menurun

dan pemeriksaan laboratorium tes fungsi hati abnormal dan fase penyembuhan,

ditandai dengan menurunya kadar enzim aminotransferase, pembesaran hati masih

ada tetapi tidak terasa nyeri, pemeriksaan laboratorium menjadi normal.

2) Hepatitis Fulminan

Bentuk ini sekitar 1% dengan gambaran sakit berat dan sebagian besar

mempunyai prognosa buruk dalam 7 10 hari, 50% akan berakhir dengan

kematian.

a. Hepatitis B kronik

Hepatitis B kronik yaitu kira kira 5 -10% penderita hepatitis B akut akan

mengalami hepatitis B kronik. Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak

menunjukan perbaikan yang memadai.

20
2.2.6. Sumber dan Cara Penularan

a. Sumber Penularan Virus Hepatitis B

Sumber penularan berupa darah, saliva, kontak dengan mukosa penderita virus,

feses, dan urine, pisau cukur, selimut, alat makan, alat kedokteran yang

terkontaminasi virus hepatitis B. [21]

b. Cara penularan Virus Hepatitis B

Penularan virus hepatitis B melalui berbagai cara yaitu parenteral dimana terjadi

penembusan kulit atau mukosa misalnya melalui tusuk jarum atau benda yang

susah tercemar virus Hepatitis B dan pembuatan tattoo, kemudian secara non

parenteral yaitu karena persentuhan yang erat dengan benda yang tercemar virus

hepatitis B. Secara epidemiologi penularan infeksi virus hepatitis B dari Ibu yang

HBsAg positif kepada anak dilahirkan yang terjadi selama masa perinatal, dan

secara HOrizontal yaitu penularan infeksi virus Hepatitis B dari seseorang

pengidap virus kepada orang lain disekitarnya, misalnya melalui hubungan

seksual.[21]

21
2.2.7. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Hepatitis B[22]

Faktor faktor yang mempengaruhi penyakit Hepatitis B dapat dibagi menjadi :

a. Faktor Host (Pejamu)

Faktor Host adalah semua faktor yang terdapat pada diri manumur yang dapat

mempengaruhi timbul serta perjalanan penyakit Hepatitis B yang meliputi:

1) Umur

Dimana penyakit Hepatitis B dapat menyerang semua golongan umur.

Paling sering bayi dan anak (25,45%). Resiko untuk menjadi kronis menurun

dengan bertambahnya umur, dimana bayi pada 90% menjadi kronis, pada anak

umur sekolah 23 46% dan pada orang dewasa 3 10%.[15]

2) Jenis Kelamin

Wanita tiga kali lebih sering terinfeksi Hepatitis B dibanding pria.

3) Mekanisme pertahanan tubuh

Bayi baru lahir atau bayi dua bulan pertama setelah lahir sering terinfeksi

Hepatitis B, terutama pada bayi yang belum mendapat imunisasi Hepatitis B. Hal

ini karena sistem imun belum berkembang sempurna.

4) Kebiasaan hidup

Dimana sebagian besar penularan pada masa remaja disebabkan karena

aktivitas seksual dan gaya hidup seperti HOmoseksual, pecandu obat narkotika

suntikan, pemakaian tattoo, dan pemakaian akupuntur.

5) Pekerjaan

Kelompok resiko tinggi untuk mendapatkan infeksi Hepatitis B adalah

dokter, dokter bedah, dokter gigi, perawat, bidan, petugas kamar operasi, petugas

22
laboratorium dimana pekerjaan mereka sehari hari kontak dengan penderita dan

material manumur (darah, tinja, air kemih).

b. Faktor Agent

Penyebab Hepatitis B adalah Virus Hepatitis B (VHB). Berdasarkan sifat

imunologik protein pada HBsAg, virus dibagi menjadi 4 subtipe yaitu adw, adr,

ayw dan ayr yang menyebabkan perbedaan geografi dalam penyebaranya.

c. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan merupakan keseluruhan kondisi dan pengaruh luar yang

mempengaruhi perkembangan hepatitis B, yang termasuk faktor lingkungan

adalah lingkungan dengan sanitasi jelek daerah dengan prevelensi virus hepatitis

B (VHB) tinggi, daerah unit pembedahan, daerah unit laboratorium, daerah bank

darah, daerah tempat pembersihan, transplantasi, dan daerah unit penyakit dalam.

2.2.8. Komplikasi [22]

Komplikasi hepatitis virus yang paling sering dijumpai adalah perjalanan

penyakit yang panjang hingga 4 sampai 8 bulan, keadaan ini dikenal sebagai

hepatitis kronik persisten, dan terjadi pada 5% hingga 10% pasien. Akan tetapi

meskipun kronik persisten dan terjadi pada 5 % hingga 10% pasien. Akan tetapi

meskipun terlambat, pasien-pasien hepatitis kronik persisten akan sembuh

kembali.

Pasien hepatitis virus sekitar 5% akan mengalami kekambuhan setelah

serangan awal. Kekambuhan biasanya dihubungkan dengan kebiasaan minum

alkoHOl dan aktivitas fisik yang berlebihan. Ikterus biasanya tidak terlalu nyata

23
dan tes fungsi hati tidak memperlihatkan kelainan dalalm derajat yang sama. Tirah

baring biasanya akan segera diikuti penyembuhan yang tidak sempurna.

Akhirnya suatu komplikasi lanjut dari hepatitis yang cukup bermakna adalah

perkembangan carcinoma hepatoselular, kendatipun tidak sering ditemukan,

selain itu juga adanya kanker hati yang primer. Dua faktor penyebab utama yang

berkaitan dengan patogenesisnya adalah infeksi virus hepatitis B kronik dan

sirosis terakit dengan virus hepatitis C dan infeksi kronik telah dikaitkan pula

dengan kanker hati.

2.2.9. Prognosis [22]

Dengan penanggulangan yang cepat dan tepat, prognosisnya baik dan tidak

perlu menyebabkan kematian. Pada sebagian kasus penyakit berjalan ringan

dengan perbaikan biokimiawi terjadi secara spontan dalam 1 3 tahun. Pada

sebagian kasus lainnya, hepatitis kronik persisten dan kronk aktif berubah

menjadi keadaan yang lebih serius, bahkan berlanjut menjadi sirosis. Secara

keseluruhan, walaupun terdapat kelainan biokimiawi, pasien tetap asimtomatik

dan jarang terjadi kegagalan hati.

Infeksi Hepatitis B dikatakan mempunyai mortalitas tinggi. Pada suatu

survey dari 1.675 kasus dalam satu kelompok, ternyata satu dari delapan pasien

yang menderita hepatitis karena tranfusi (B dan C) meninggal sedangkan hanya

satu diantara dua ratus pasien dengan hepatitis A meninggal dunia.

Di seluruh dunia ada satu diantara tiga yang menderita penyakit hepatitis B

meninggal dunia.

24
2.2.10. Penatalaksanaan Hepatitis B [22]

Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis virus, akan tetapi secara

umum penatalaksanaan pengobatan hepatitis adalah sebagai berikut :

a. Istirahat

Pada periode akut dan keadaan lemah diharuskan cukup istirahat. Istirahat

mutlak tidak terbukti dapat mempercepat penyembuhan. Kecuali mereka dengan

umur tua dan keadaan umum yang buruk.

b. Diet

Jika pasien mual, tidak ada nafsu makan atau muntah muntah, sebaiknya

diberikan infus. Jika tidak mual lagi, diberikan makanan cukup kalori (30-35

kalori/kg BB) dengan protein cukup (1 gr/kg BB), yang diberikan secara

berangsur angsur disesuaikan dengan nafsu makan klien yang mudah dicerna

dan tidak merangsang serta rendah garam (bila ada resistensi garam/air).

c. Medikamentosa

Kortikosteroid tidak diberikan bila untuk mempercepat penurunan bilirubin

darah. Kortikosteroid dapat digunakan pada kolestatis yang berkepanjangan,

dimana transaminase serum sudah kembali normal tetapi bilirubin masih tinggal.

Pada keadaan ini dapat dberikan prednisone 3 x 10 mg selama 7 hari, jangan

diberikan antimetik, jika perlu sekali dapat diberikan fenotiazin. Vitamin K

diberikan pada kasus dengan kecenderungan perdarahan. Bila pasien dalam

keadaan prekoma atau koma, penanganan seperti pada koma hepatik.

25
2.2.11. Pencegahan Penularan Hepatitis B [22]

Pencegahan merupakan upaya terpenting karena paling cost effective.

Selain uji tapis donor darah, upaya pencegahan umum mencakup sterilisasi

instrumen kesehatan, alat dialisis individual, membuang jarum disposable ke

tempat khusus dan pemakaian sarung tangan oleh tenaga medis. Mencakup juga

penyuluhan perihal safe sex, penggunaan jarum suntik disposable, mencegah

kontak mikrolesi (pemakaian sikat gigi, sisir), menutup luka. Selain itu idealnya

skrining ibu hamil (trimester ke-1 dan ke-3, terutama ibu risiko tinggi) dan

skrining populasi risiko tinggi (lahir di daerah hiperendemis dan belum pernah

imunisasi, HOmo-heteroseksual, pasangan seks ganda, tenaga medis, pasien

dialisis, keluarga pasien VHB, kontak seksual dengan pasien VHB).

Menurut Park ada lima pokok tingkatan pencegahan yaitu :

1) Health promotion

Health promotion yaitu dengan usaha penigkatan mutu kesehatan. Health

promotion terhadap HOst berupa pendidikan kesehatan, peningkatan kebersihan

perorangan, perbaikan gizi, perbaikan system tranfusi darah dan mengurangi

kontak erat dengan bahan-bahan yang berpotensi menularkan virus hepatitis B

(VHB).

2) Specific protection

Specific protection yaitu perlindungan khusus terhadap penularan hepatitis B

dapat dilakukan melalui sterilisasi bendabenda yang tercemar dengan pemanasan

dan tindakan khusus seperti penggunaan yang langsung bersinggungan dengan

darah, serum, cairan tubuh dari penderita hepatitis, juga pada petugas kebersihan,

penggunaan pakaian khusus sewaktu kontak dengan darah dan cairan tubuh, cuci

26
tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita pada tempat khusus selain

itu perlu dilakukan pemeriksaan HBsAg petugas kesehatan (unit onkologi dan

dialisa) untuk menghindarkan kontak antara petugas kesehatan dengan penderita

dan juga imunisasi pada bayi baru lahir.

3) Early diagnosis and prompt treatment

Diagnosis dan pengobatan dini merupakan upaya pencegahan penyakit tahap

II. Sasaran pada tahap ini yaitu bagi mereka yang menderita penyakit atau

terancam akan menderita suatu penyakit.

Tujuan pada pencegahan tahap II adalah :

a) Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui pemeriksaan berkala pada

sarana pelayanan kesehatan untuk mematiskan bahwa seseorang tidak

menderita penyakit hepatitis B, bahkan gangguan kesehatan lainnya.

b) Melakukan screening hepatitis B (pencarian penderita penyakit Hepatitis)

melalui suatu tes tertentu pada orang yang belum mempunyai atau

menunjukan gejala dari suatu penyakit dengan tujuan untuk mendeteksi secara

dini adanya suatu penyakit hepatitis B.

c) Melakukan pengobatan dan pearwatan penderita hepatitis B sehingga cepat

mengalami pemulihan atau sembuh dari penyakitnya.

4) Disability limitation

Disability limitation merupakan upaya pencegahan tahap III dengan tujuan

untuk mencegah terjadinya kecacatan dan kematian karena suatu penyakit.

Upaya mencegah kecacatan akibat penyakit hepatitis B dapat dilakukan dengan

upaya mencegah proses berlanjut yaitu dengan pengobatan dan perawatan secara

khusus berkisanambungan dan teratur sehingga proses pemulihan dapat berjalan

27
dengan baik dan cepat. Pada dasarnya penyakit hepatitis B tidak membuat

penderita menjadi cacat pada bagian tubuh tertentu. Akan tetapi sekali virus

hepatitis B masuk ke dalam tubuh maka seumur hidup akan menjadi carrier dan

menjadi sumber penularan bagi orang lainnya.

5) Rehabilitation

Rehabilitasi merupakan serangkaian dari tahap pemberantasan kecacatan

(disability limitation) dengan tujuan untuk berusaha mengembalikan fungsi fisik,

psikologis dan sosial.

2.3. Tinjauan Tentang Riwayat kontak dengan Hepatitis B

Penularan virus hepatitis B karena riwayat kontak dapat terjadi secara

disadari atau tidak disadari. Penularan virus hepatitis B melalui berbagai cara

yaitu parenteral dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya melalui

tusuk jarum atau benda yang susah tercemar virus Hepatitis B dan pembuatan

tattoo, kemudian secara non parenteral yaitu karena persentuhan yg erat dengan

benda yg tercemar virus hepatitis B.[22]

Orang-orang yang memiliki resiko tinggi untuk tertular antara lain : [22]

a. Orang dengan perilaku seksual beresiko tinggi

b. Kontak erat dengan anggota keluarga yang menderita hepatitis B

c. Pemakaian obat-obatan narkoba suntik

d. Pasien penerima transfusi darah

e. Resiko pekerjaan yang berhubungan dengan penyakit hepatitis B, termasuk

petugas kesehatan

f. Turis yang bepergian ke daerah endemis hepatitis B

28
2.4. Kerangka Teori

Riwayat Pemberian Imunisasi Riwayat Kontak dengan


Hepatitis B Penderita Hepatitis B

Faktor yang mempengaruhi: (Penularan dapat melalui


1. Faktor predisposisi
a. Kepercayaan/ darah, saliva, kontak dengan
budaya mukosa penderita, feses, dan
b. Sikap
c. Pengetahuan urine, pisau cukur, selimut,
2. Faktor Pendukung alat makan, alat kedokteran
Ketersediaan Fasilitas dan
Sarana yang terkontaminasi virus
3. Faktor Pendorong hepatitis B.)
a.Sikap petugas kesehatan

Lengkap Tidak Lengkap Ada Tidak Ada

HBsAg (+)

Hepatitis B

Gejala Klinis

Fase Praikterik Fase Ikterik Fase Post ikterik


Gejala non spesifik, Gejala demam dan Menurunnya kadar
demam tinggi. gastrointestinal enzim
Bilirubin serum, tambah hebat disertai aminotransferase,
SGOT dan SGPT ikterus hepatomegali menghilangnya
meningkat dan splenomegali. ikterus
Bagan 1: Kerangka Teori

29
2.5. Kerangka Konsep

Riwayat Pemberian
Imunisasi Hepatitis B

Penyakit Riwayat Kontak


dengan penderita
Hepatitis B Hepatitis B

Riwayat Ibu menderita


Hepatitis B

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

Bagan 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

2.6. Identifikasi Variabel

Menurut Suharsimi Arikunto, variabel disebut juga sebagai objek penelitian,

atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian.[23]Adapun variabel dalam

penelitian ini adalah:

a. Variabel Dependent : Kejadian hepatitis.

b. Variabel Independent : Riwayat imunisasi dan Riwayat kontak

dengan penderita Hepatitis.

30
2.7. Hipotesis

Hipotesa dalam penelitian ini adalah:

Hipotesis 1:

Terdapat hubungan negatif antara imunisasi hepatitis B dengan kemungkinan

menderita hepatitis B.

Hipotesis 2:

Ada pengaruh signifikan antara kontak langsung dengan penderita terhadap

penularan hepatitis B

31
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan pendekatan

Case control. Penelitian ini merupakan suatu penelitian (survey) analitik yang

menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan

retrospektif.[24] Dengan kata lain, efek (penyakit atau status kesehatan)

diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor risiko diidentifikasi adanya atau

terjadinya pada waktu yang lalu. Pada kasus ini akan diteliti apakah ada hubungan

antara penyakit hepatitis B yang diderita oleh pasien dengan riwayat imunisasi dan

riwayat kontak terhadap penderita lain pada waktu yang lalu. [25]

3.2. Lokasi dan Waktu penelitian

Lokasi dan waktu Penelitian direncanakan akan dilaksanakan pada:

Lokasi : Poli Gastroentero Hepatologi RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo, Makassar.

Waktu : Penelitian ini berlangsung selama 3 bulan. Terhitung dari

Oktober sampai Desember 2014.

32
3.3. Subjek Penelitian

3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah sejumlah kasus yang memenuhi seperangkat

kriteria yang ditentukan peneliti.[26] Populasi pada penelitian ini adalah

keseluruhan kasus Hepatitis B yang ditemukan saat penelitian.

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara

tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya. [27] Dalam kasus ini, sampel

penelitiannya adalah sebagian dari seluruh kasus penderita hepatitis B yang

ditemukan selama penelitian yang diseleksi berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria

sampel meliputi kriteria inklusi dan eksklusi, dimana kriteria tersebut menentukan

dapat atau tidaknya sampel digunakan.

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Kriteria Inklusi

- Pasien yang didiagnosis Hepatitis B berdasarkan gejala klinik dan

pemeriksaan laboratorium (HbsAg +)

- Berumur minimal 15 tahun dan maksimal 80 tahun

- Mengetahui riwayat imunisasi/vaksin hepatitis B serta riwayat kontak dengan

penderita Hepatitis B

- Bersedia menjadi informan

b. Kriteria Eksklusi

- Pasien hepatitis B dengan umur <15 tahun atau >80 tahun

- Penderita yang menolak menjadi informan

33
3.4. Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

purposive sampling yaitu sampel penelitian adalah sebagian dari seluruh kasus

penderita hepatitis B yang ditemukan selama penelitian yang dipilih berdasarkan

kriteria-kriteria yang ditentukan terlebih dahulu. [28]

3.5. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

Definisi operasional variabel dan kriteria objektif dalam penelitian ini

sebagai berikut :

1. Imunisasi hepatitis B merupakan usaha memberikan kekebalan pada seseorang

dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh untuk mencegah penyakit hepatitis

B yang diberikan sebanyak 3 kali (dosis) pemberian. Dosis pertama diberikan

pada bayi baru lahir (newborns) menggunakan vaksin monovalen (vaksin

antigen tunggal) sebelum pulang dari rumah sakit, dosis kedua diberikan saat

bayi berumur 1 2 bulan dan dosis ketiga diberikan pada umur 6 18

bulan. Booster diberikan setelah umur 15 tahun dan kepada kelompok dengan

resiko tinggi. [29]

Kriteria Objektif :

Sampel dengan umur <15 tahun:

Dapat : Jika pasien pernah mendapat 3 kali imunisasi

hepatitis B pada umur 0 18 bulan.

Tidak dapat : Jika pasien mendapat 3 kali imunisasi hepatitis B

pada umur 0 18 bulan.

34
Sampel dengan umur >15 tahun:

Dapat : Jika pasien pernah mendapat vaksin hepatitis B

setelah umur 15 tahun

Tidak dapat : Jika pasien tidak pernah mendapat vaksin hepatitis

B setelah umur 15 tahun

2. Riwayat kontak adalah kontak dengan penderita dan atau alat alat tertentu

secara langsung atau tidak langsung yang menjadi penyebab penularan

penyakit, seperti hubungan seksual, darah, cairan tubuh, dan penggunaan

jarum yang tidak steril. [29]

Kriteria objektif :

Ada riwayat kontak : Jika pasien pernah kontak dengan penderita

Hepatitis B (melalui hubungan seksual, darah,

cairan tubuh, penggunaan jarum yang tidak steril,

dll)

Tidak ada : Jika pasien tidak pernah kontak dengan penderita

Hepatitis B (melalui hubungan seksual, darah,

cairan tubuh, penggunaan jarum yang tidak steril,

dll).

3. Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh "Virus Hepatitis

B (HBV), suatu anggota famili Hepadnavirus yang dapat menyebabkan

peradangan hati akut atau menahun yang pada sebagian kecil kasus dapat

berlanjut menjadi kanker hati yang ditandai dengan HBsAg positif di dalam

serum. [30]

35
Positif : Jika hasil pemeriksaan serologic menunjukkan HBsAg

positif di dalam serum pasien.

Negatif : Jika hasil pemeriksaan serologic tidak menunjukkan

HBsAg positif di dalam serum pasien.

3.6. Sumber data[28]

Menurut sumber datanya, data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua

macam yakni:

1) Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung oleh orang

yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Data

primer ini disebut juga dengan data asli atau data baru.

2) Data Sekunder

Menurut Saifuddin Azwar, data sekunder atau data tangan kedua adalah data yang

diperoleh dari pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek

penelitiannya. Data sekunder biasanya berbentuk dokumentasi atau data laporan

yang telah tersedia.

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil data primer melalui data kuesioner,

observasi lapangan dan wawancara langsung meliputi pengetahuan tentang

hepatitis B, riwayat kontak dengan penderita hepatitis B sebelumnya dan

kelengkapan imunisasi hepatitis B dari catatan imunisasi (KMS/Kartu imunisasi)

terhadap para responden terpilih yaitu pasien hepatitis B di RSUP Dr.Wahidin

Sudirohusodo. Dan juga data sekunder berupa rekam medik periode Januari

Oktober 2104 yang diperoleh dari pihak RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo.

36
3.7. Instrumen Penelitian

Alat ukur atau instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan

peneliti untuk mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan lebih baik,

dalam arti lebih cermat dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. [28]

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kuesioner dan rekam

medik di RSUP Wahidin Sudirohusodo periode Januari Oktober 2104.

Kuesioner yaitu teknik pengumpulan data melalui formulir formulir yang berisi

pertanyaan pertanyaan yang diajukan secara tertulis pada seseorang atau

sekumpulan orang untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan dan informasi

yang diperlukan oleh peneliti. Kuesioner ini dibagikan kepada pasien hepatitis B

yang berada di poli Gastroentero-Hepatologi RSUP Wahidin Sudirohusodo saat

dilakukan penelitian. Sedangkan rekam medik digunakan untuk memperoleh data

pasien berupa nama, alamat, dan nomor telepon. Informasi ini digunakan oleh

peneliti untuk melakukan wawancara sesuai dengan isi kuesioner baik itu melalui

kunjungan ke rumah (HOme visit) atau melalui telepon.

3.8. Uji Kelayakan Kuesioner [28]

3.8.1 Uji Validitas

Validitas adalah tingkat keandalan dan kesahihan alat ukur yang digunakan.

Intrumen dikatakan valid berarti menunjukkan alat ukur yang dipergunakan untuk

mendapatkan data itu valid atau dapat digunakan untuk mengukur apa yang

seharusnya di ukur.

37
Jenis uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas

konstruk, yakni uji validitas untuk melihat konsistensi antara komponen konstruk

yang satu dengan yang lainnya. Jika semua komponen tersebut konsisten antara

yang satu dan yang lainnya maka komponen tersebut valid.

Uji validitas dapat dilakukan dengan menghitung korelasi antara masing-

masing pernyataan dengan skor total dengan menggunakan rumus tekni korelasi

product moment, yaitu:

Keterangan:

r : Korelasi product moment

X : Skor Pertanyaan

Y : Skor total seluruh pertanyaan

XY : Skor pertanyaan dikalikan skor total

N : Jumlah Responden

Kriteria validasi suatu pertanyaan dapat ditentukan jika :

rhitung > rtabel ,Maka pertanyaan yang diajukan valid

rhitung < rtabel , Maka pertanyaan yang diajukan tidak valid

38
3.8.2 Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas berguna untuk menetapkan apakah instrumen yang dalam hal

ini kuesioner dapat digunakan lebih dari satu kali, paling tidak oleh responden

yang sama akan menghasilkan data yang konsisten.

Reliabilitas juga dapat menunjukkan sejauh mana hasil alat ukur tersebut

dapat diandalkan dan terhindar dari kesalahan pengukuran. Tinggi rendahnya nilai

reliabilitas, secara empiris ditunjukkan oleh satu angka yang disebut koefisien

reliabilitas. Secara teoritis, besarnya koefisien reliabilitas berkisar antara 0,00

1,00 namun pada kenyataannya koefisien 1,00 tidak pernah tercapai dalam

pengukuran, hal tersebut disebabkan karena manumur sebagai objek pengukuran

psikologis merupakan sumber ketidak-konsistenan potensial.

Dalam perhitungan reliabilitas pada penelitian ini digunakan metode

koefisien Alpha Cronbach (). Adapun rumus alat ukur metode ini adalah :

Pengukuran validitas dan reliabilitas mutlak dilakukan, karena jika instrument

yang digunakan sudah tidak valid dan reliabel maka dipastikan hasil penelitiannya

pun tidak akan valid dan reliabel.

39
3.9. Pengolahan Data[28]

Data yang sudah terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan system

komputerisasi berupa software pengolah data statistik yaitu SPSS for Windows,

Version 20. Agar analisis menghasilkan informasi yang benar, adapun tahapan

dalam mengolah data tersebut, yaitu:

a. Editing. Pada tahap ini dilakukan pengecekan isi kuesioner apakah kuesioner

sudah diisi dengan lengkap, jawaban responden jelas, dan relevan antara

jawaban dengan pertanyaan.

b. Coding. Kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk

bilangan / angka. Kegunaan coding adalah mempermudah pada saat analisis

data dan juga pada saat entry data.

c. Processing. Yaitu memindahkan isi data atau memproses isi data dengan

memasukkan data atau entry data kuesioner kedalam computer dengan

menggunakan program statistik computer.

d. Cleaning. Pada tahap ini dilakukan pengecekan kembali data yang sudah di

entry apakah ada kesalahan atau tidak.

3.10. Analisis Data

Analisa data dilakukan secara deskriptif sederhana. Data angket yang telah

dikumpulkan akan dihitung dalam bentuk presentase untuk mengetahui hasil dari

setiap kategori. Data yang telah diperoleh, diedit, diseleksi, diolah, dan dianalisa

dengan menggunakan teori statistika. [28]

40
3.11. Etika Penelitian

Peneliti menerapkan prinsip etika penelitian dalam melaksanakan penelitian

ini. Etika menjamin perlindungan hak subjek dan peneliti selama kegiatan

penelitian. [28]

Secara garis besar, peneliti menerapkan prinsip dasar etika penelitian, yaitu:

a. Penghormatan pada harkat dan martabat manumur (respect for human dignity).

Peneliti memberikan pengHOrmatan atas hak hak subjek penelitian untuk

memperoleh informasi selengkap lengkapnya mengenai penelitian yang

dilakukan. Subjek penelitian bebas untuk menentukan kesediaan menjadi

responden atas dasar suka rela (self determination).

b. Penghormatan kepada privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for

privacy and confidentiality). Peneliti memahami bahwa setiap individu

memiliki wilayah privasi yang orang lain tidak boleh tahu. Peneliti akan

berusaha untuk menghindarkan pertanyaan yang menyinggung wilayah privasi

subjek penelitian. Selain itu aspek kerahasiaan pun dipegang. Peneliti juga akan

menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan responden, kecuali data tertentu

yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian (confidentiality). Keadilan dan

keterbukaan. Peneliti memberikan perlakuan yang sama kepada subjek

penelitian.

c. Pertimbangan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and

benefits). Peneliti berusaha meminimalkan dampak yang mungkin terjadi

karena penelitian ini dan berusaha memperoleh manfaat sebanyak banyaknya.

41
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo

4.1.1. Sejarah RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo [31]

Sebelum terbentuknya RSUP Dr. wahidin Sudirohusodo ini, tepatnya pada

tahun 1947 didirikan rumah sakit dengan meminjam dua (2) bangsal rumah sakit

jiwa yang telah berdiri sejak tahun 1942 sebagai bangsal bedah dan penyakit

dalam yang merupakan cikal bakal berdirinya Rumah Sakit Umum Dadi. Pada

awalnya ditahun 1957 RSU Dadi yang berlokasi di jalan Lanto Dg. Pasewang No.

43 Makassar ini berfungsi sebagai rumah sakit pemda Tingkat 1 Sulawesi

Selatan, yaitu rumah sakit yang manajemennya diatur oleh pemerintah daerah

sulawsi selatan. Hingga pada tahun 1992 rumah sakit dadi menjadi rumah sakit

dengan klasifikasi B. Pengembangan pembangunan rumah sakit inipun

dipindahkan ke Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 11 Makassar, Berdekatan dengan

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Pada tahun 1994 RSU Dadi berubah menjadi Rumah Sakit Vertical milik

departemen kesehatan dengan nama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr.

Wahidin Sudirohusodo berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan R.I. No.

540/SK/VI/1994 sebagai rumah sakit kelas A dan sebagai rumah sakit pendidikan

serta sebagai rumah sakit rujukan tertinggi di kawasan timur Indonesia.

Pada tanggal 10 Desember 1995 RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo ditetapkan

menjadi rumah sakit unit swadana dan pada tahun 1998 dikeluarkan Undang

42
Undang No. 30 Tahun 1997 berubah menjadi unit Pengguna Pendapatan Negara

Bukan Pajak ( PNBP ). Dengan terbitnya peraturan pemerintah R.I. No. 125 tahun

2000, RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo beralih status kelembagaan menjadi

Perusahaan Jawatan (PERJAN ). [31]

4.1.2. Visi Misi RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo [31]

Visi merupakan pandangan jauh kedepan, kemana dan bagaimana RSUP.

Dr.. Wahidin Sudirohusodo harus dibawa dan berkarya secara produktif, inovatif

konsisten serta antsipatif terhadap perubahan. Visi tidak lain adalah suatu

gambaran menantang tentang keadaan masa depan yang berisikan cita dan citra

yang ingin diwujudkan. Dengan mengacu pada batasan tersebut, visi RSUD Dr.

Wahidin Sudirohusodo adalah: Menjadi Rumah Sakit Bertaraf Internasional

pada tahun 2015.

Untuk mewujudkan visi tersebut, RSUD Dr. Wahidin Sudirohusodo

mencanangkan 3 misi sebagai berikut: [31]

1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan paripurna, berkualitas dan terjangkau

2. Menyelenggarakan pendidikan dan penelitian yang berkualitas

3. Menyelenggarakan usaha lain yang menunjang kegiatan pelayanan dan

pendidikan. Dan untuk memotivasi organisasi agar dapat mewujudkan

tujuannya, maka RSUD Dr. Wahidin Sudirohusodo membuat motto yaitu

Dengan Budaya Sipakatau Kami Melayani dengan Hati

43
4.1.3. Struktur Organisasi [31]

Pihak yang mengelola perusahaan diatur sedemikian rupa dalam suatu struktur

organisasi.

Pada gambar berikut ini kita akan dapat melihat bentuk struktur organisasi dari

RSUD Dr. Wahidin Sudirohusodo: [31]

DEWAN
PENGAWAS

DIREKTUR
UTAMA

DIREKTUR
ADMINISTRASI DIREKTUR
DIREKTUR PERENCANAAN
DAN KEUANGAN
DIREKTUR SARANA PENGEMBANGA
PELAYANAN DAN SDM N DAN FARMASI
DAN
PENDIDIKAN

DIVISI DIVISI
DIVISI
DIVISI

UNIT PELAYANAN DAN


INSTALASI

44
4.1.4. Pelayanan [31]

a. Pelayanan Rawat Jalan

b. Pelayanan Rawat Inap

c. Pelayanan Rawat Darurat

d. Pelayanan Intensif

e. Pelayanan Bedah Sentral

f. Pelayanan Rehabilitasi Medik

g. Pelayanan Laboratorium

h. Cardiac Center

i. Pelayanan Radiologi

j. Pelayanan Farmasi

k. Pendidikan dan Pelatihan

l. Pelayanan laundry

4.2. Gambaran Umum Poli Gastroentero Hepatologi RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo [31]

4.2.1. Sejarah

Sejak ditetapkannya RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai tempat

pusat pendidikan FK-UNHAS, maka pendidikan dan pelayanan gastrohepatologi

Sub Bagian GEH Bagian Ilmu Penyakit Dalam dipusatkan di rumah sakit tersebut.

Upaya selanjutnya tahun 2004 adalah mengusulkan kepada Direktur Utama

RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo pada waktu itu dr. Nurdin Perdana untuk

mendirikan satu center Gastroentero-Hepatologi dengan realisasi

pembangunannya yaitu pada tahun 2006 oleh Direktur Utama RSUP. Dr. Wahidin

45
Sudirohusodo pada waktu itu Dr. drg. Nurshanty. S. Andi Sapada, M.Sc yang

selesai pada tahun 2008. Center ini digunakan bersama dengan Sub Bagian

Gastroentero Hepatologi bagian lain dalam lingkungan FK-UNHAS / RSWS,

yang bertujuan sebagai pusat informasi, pelayanan, pendidikan dan penelitian

dalam bidang Gastroentero Hepatologi.

4.2.2. Fasilitas [31]

a. Rawat Jalan

b. Pemeriksaan Endoskopi

c. Elastografi Scan (Fibroscan)

d. Biopsi Hati

e. Endoscopic Retrograde CHOlangiopancreatography (ERCRP)

f. USG Abdomen

46
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Responden

Pada penelitian ini ditemukan sampel sebanyak 196 orang penderita hepatitis

B dalam periode Januari Oktober 2014. Sejumlah sampel tersebut kemudian

diseleksi menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi hingga didapatkan 31 orang

responden yang memenuhi syarat.

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data pada

penelitian ini adalah melalui kuesioner. Kuesioner yang digunakan berisi 11 item

pertanyaan yang sebelumnya telah melalui uji validitas, uji reliabilitas dan uji

prasyarat untuk dijadikan kuesioner.

5.1.1. Jenis Kelamin

Tabel di bawah ini merupakan karakteristik responden yang menjadi subjek

penelitian berdasarkan jenis kelamin :

Tabel. 5.1
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
NO Jenis Kelamin Jumlah Persentase
(orang)
1 Perempuan 10 32.3
2 Laki-laki 21 67.7
Total 31 100.0

Data pada tabel 5.1 di atas, menunjukkan bahwa dari 31 orang responden, yang

merupakan responden terbanyak adalah responden dengan jenis kelamin laki-laki

yaitu 21 orang dengan presentase sebesar 67.7%.

47
5.1.2. Umur

Tabel di bawah ini merupakan karakteristik responden yang menjadi subjek

penelitian berdasarkan umur.

Tabel. 5.2
Karakteristik responden berdasarkan umur
NO Umur Jumlah (orang) Persentase (%)
1 >30 tahun 14 45.2
2 16 - 30 tahun 15 48.4
3 < 15 tahun 2 6.5
Total 31 100.0

Data pada tabel 5.2 di atas menunjukkan bahwa dari 31 responden, kebanyakan

responden berada pada rentang umur 16 30 tahun, dengan jumlah persentase

58.4 % dan responden terkecil adalah responden dengan umur kurang dari 15

tahun dengan persentase sebesar 6.5%.

5.1.3. Status

Tabel di bawah ini merupakan karakteristik responden yang menjadi subjek

penelitian berdasarkan status.

Tabel. 5.3
Karakteristik responden berdasarkan status
Status Frekuensi(orang) Persentase (%)
Belum menikah 7 22.6
Menikah 24 77.4
Total 31 100.0

Data pada tabel 5.3 di atas menunjukkan bahwa dari 31 responden, 24 diantaranya

berstatus menikah dengan jumlah persentase 77.4 % sedangkan responden yang

belum menikah berjumlah 7 orang dengan persentase sebesar 22.6%

48
5.2. Hasil Penelitian

5.2.1. Analisis Bivariatif

a. Hubungan antara Umur responden dengan Imunisasi Hepatitis B

Tabel. 5.4
Hubungan antara umur dan imunisasi hepatitis B
Umur Responden Imunisasi Hepatitis B N
Ada Tidak ada
> 30 tahun 2 12 14 (45.2%)
16 30 tahun 5 10 15 (48.4%)
< 15 tahun 1 1 2 (6.5%)
Total 8 (25.8%) 23 (74.2%) 31 (100%)

Dari tabel 5.4 di atas didapatkan bahwa diantara 2 orang responden dengan

umur kurang dari 15 tahun, terdapat 1 orang yang mendapat imunisasi hepatitis B

dan 1 orang yg lain tidak mendapat imunisasi atau vaksin hepatitis B. Sedangkan

dari 15 orang responden dengan umur 16-30 tahun, hanya ada 5 orang yang

mendapat imunisasi hepatitis B dan 10 sisanya tidak mendapat imunisasi atau

vaksin hepatitis B. Dan dari 14 orang responden dengan umur lebih dari 30 tahun,

hanya ada 2 orang yang mendapat imunisasi hepatitis B dan 12 sisanya tidak

mendapat imunisasi atau vaksin hepatitis B

49
b. Hubungan antara Umur responden dengan Riwayat Kontak

Tabel. 5.5
Hubungan antara umur responden dan riwayat kontak
Umur Responden Riwayat Kontak N
Ada Tidak ada
> 30 tahun 9 5 14 (45.2%)
16 30 tahun 13 2 15 (48.4%)
< 15 tahun 1 1 2 (6.5%)
Total 23 (74.2%) 8 (25.8%) 31 (100%)

Dari tabel 5.5 di atas, diketahui bahwa dari 2 orang responden yg umurnya

kurang dari 15 tahun terdapat 1 orang yang memiliki riwayat kontak dan 1 orang

yang lain tidak memiliki riwayat kontak dengan penderita hepatitis B. Sedangkan

dari 15 responden dengan umur lebih 16-30 tahun tahun, 13 diantaranya memiliki

riwayat kontak dan 2 orang sisanya tidak memiliki riwayat kontak dengan

penderita hepatitis B sebelumnya. Dan dari 14 responden dengan umur lebih dari

30 tahun tahun, 9 diantaranya memiliki riwayat kontak dan 5 orang sisanya tidak

memiliki riwayat kontak dengan penderita hepatitis B sebelumnya.

5.2.2. Uji Hipotesis

Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis korelasi product moment dari

Pearson. Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara Riwayat

imunisasi dengan Hepatitis B (hipotesis 1) dan hubungan antara riwayat kontak

dengan Hepatitis B (hipotesis 2).

Angka korelasi berkisar antara -1 s/d +1. Semakin mendekati 1 maka

korelasi semakin mendekati sempurna. Sementara nilai negatif dan positif

50
mengindikasikan arah hubungan. Arah hubungan yg positif menandakan bahwa

semakin tinggi A menyebabkan kenaikan B. Arah hubungan yg negatif

menandakan bahwa Semakin tinggi A menyebabkan penurunan B. [28]

Interpretasi angka korelasi adalah sebagai berikut: [28]

0 0,199 : Sangat lemah

0,20 0,399 : Lemah

0,40 0,599 : Sedang

0,60 0,799 : Kuat

0,80 1,0 : Sangat kuat

Pada teknik analisis ini, jika harga R hitung > R tabel maka Ha diterima.

Sedangkan jika harga R hitung < R tabel maka yang diterima adalah H0.

Hipotesis 1 (Korelasi Riwayat Imunisasi dengan Hepatitis B)

H0 : Tidak terdapat hubungan negatif antara imunisasi hepatitis B dengan

kejadian hepatitis B.

Ha : Terdapat hubungan negatif antara imunisasi hepatitis B dengan kejadian

hepatitis B.

51
Uji hipotesis yang pertama dilakukan dengan menggunakan bantuan program

SPSS versi 20.0 for windows, yang hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.4 Rangkuman Hasil regresi imunisasi-Hepatitis B


Harga r dan r2 Harga t
Variabel r r Koef Konst Ket
R square tabel t hitung t tabel

Imunisasi
Adanya
0.906 0.821 0.355 11.533 1.309 0.458 2.359 hub.
Negatif
Hepatitis B

Dari data perhitungan di atas menunjukkan bahwa antara Riwayat Imunisasi

dan Hepatitis B memiliki nilai korelasi yang sangat kuat (0,821).

Sedangkan harga R hitung (0.906) yang lebih besar daripada r tabel (0.355)

menyebabkan Ha diterima. Dimana Ha yaitu Terdapat hubungan NEGATIF

antara imunisasi hepatitis B dengan kejadian hepatitis B.

Pada kolom koefisien dalam tabel di atas tampak nilai 0,458. Nilai tersebut

menunjukkan bahwa apabila variabel Imunisasi hepatitis B meningkat 1 poin

maka Kejadian Hepatitis akan menurun 0.458 poin.

Hipotesis 2 (Korelasi Riwayat Kontak dengan Hepatitis B)

H0 : Tidak ada hubungan positif antara kontak langsung dengan penderita

terhadap penularan hepatitis B

Ha : Ada hubungan positif antara kontak langsung dengan penderita terhadap

penularan hepatitis B

52
Uji hipotesis yang kedua dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi

20.0 for windows, yang hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.5 Rangkuman Hasil regresi Riwayat kontak-Hepatitis B

Harga r dan r2 Harga t


Variabel r t t Koef Konst Ket
R r square tabel hitung tabel
Riwayat
kontak Adanya
0.438 0.192 0.355 2.627 1.309 0.119 8.319 Hub.
Positif
Hepatitis B

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan bantuan SPSS, tampak

Riwayat kontak memiliki hubungan positif yang nilai korelasinya sangat lemah

yaitu 0,192. Harga r hitung (0.438) yang lebih dari harga r tabel (0.355)

menunjukkan bahwa Ha diterima yaitu Ada hubungan positif antara kontak

langsung dengan penderita terhadap penularan hepatitis B.

Pada tabel koefisien tampak nilai 0.119. Nilai tersebut menunjukkan bahwa

apabila variabel Riwayat kontak meningkat 1 poin maka kejadiah hepatitis akan

meningkat 0,199 poin.

5.3. Pembahasan

a. Hubungan antara Umur responden dengan Imunisasi Hepatitis B

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang diteliti baik itu

responden dengan umur dibawah 15 tahun maupun responden dengan umur

dibawah 15 tahun, sebagian besar tidak mendapat imunisasi hepatitis B dan vaksin

booster setelah umur 15 tahun.

53
Umur sangat berpengaruh terhadap infeksi hepatitis B setelah umur 15 tahun

karena menurut penelitian di Canada yang dilaporkan pada Interscience

Conference on Antimicrobial Agents and Chemotherapy (ICAAC) ke-52 di San

Francisco, walaupun anak menerima tiga dosis vaksin hepatitis B dan mencapai

kekebalan, tidak bisa dipungkiri bahwa sekitar 20% dari mereka mengalami

penurunan tingkat perlindungan antibody menjadi di ambang batas pada umur 15

tahun. Maka dari itu diperlukan booster vaksinasi hepatitis B setelah umur 15

tahun atau sebelum 15 tahun terutama bagi mereka yang memiliki resiko tinggi.

Kejadian hepatitis terhadap responden yang tidak memiliki riwayat

imunisasi/vaksinasi mendukung teori yang sudah ada sebelumnya yaitu seseorang

akan lebih mudah terinfeksi virus hepatitis B jika sebelumnya tidak mendapat

imunisasi dan vaksin hepatitis B sebelumnya.

b. Hubungan antara Umur responden dengan Riwayat kontak dengan penderita

Hepatitis B

Hasil penelitian yang tampak pada tabel 5.5 menunjukkan bahwa sebagian

besar responden yang berumur lebih dari 15 tahun maupun yang berumur kurang

dari 15 tahun memiliki riwayat kontak dengan penderita hepatitis B.

Umur sangat berpengaruh terhadap riwayat kontak dan infeksi hepatitis B.

Pada data yang didapatkan oleh peneliti jumlah penderita hepatitis B dengan umur

lebih dari 15 tahun lebih banyak daripada jumlah penderita dengan umur kurang

dari 15 tahun. Hal ini disebabkan karena penderita dengan umur lebih dari 15

tahun cenderung lebih banyak aktifitas dan kontak terhadap lingkungan sekitar

sehingga memiliki faktor resiko untuk tertular hepatitis B dan penyakit lainnya.

54
Kejadian hepatitis terhadap responden yang tidak memiliki riwayat

imunisasi/vaksinasi mendukung teori yang sudah ada sebelumnya yaitu, jika

seseorang memiliki riwayat kontak dengan pasien hepatitis B ataupun terpapar

dengan benda yang terkontaminasi virus hepatitis B maka resiko untuk menderita

hepatitis B menjadi lebih tinggi.

55
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis mengenai Analisis

Hubungan Antara Riwayat Imunisasi Dan Riwayat Kontak Terhadap Kejadian

Hepatitis B Di Poli Gastroentero Hepatologi RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo

pada tahun 2014, maka peneliti menyimpulkan:

a. Terdapat 31 sampel dalam penelitian ini. Sampel tersebut diperoleh dari

seleksi terhadap 196 sampel yang ditemukan.

b. Ada hubungan antara karakteristik responden dengan angka kejadian

penderita hepatitis B.

c. Sebagian besar data yang diperoleh dari responden menunjukkan bahwa

hampir semua responden yang mengidap hepatitis B adalah responden yang

tidak memiliki riwayat imunisasi hepatitis B serta responden yang memiliki

riwayat kontak terhadap penderita.

d. Persamaan garis regresi pengaruh Riwayat imunisasi terhadap hepatitis B

dapat dinyatakan dengan Y = 0.458 X2 + 2.359. Persamaan tersebut

menunjukkan bahwa apabila Riwayat imunisasi (X1) meningkat 1 poin maka

Kejadian Hepatitis (Y) akan menurun 0.458 poin.

56
e. Persamaan garis regresi pengaruh Riwayat kontak terhadap hepatitis B dapat

dinyatakan dengan Y = 0.119 X1 + 8.319. Persamaan tersebut menunjukkan

bahwa apabila Riwayat kontak (X2) meningkat 1 poin maka Kejadian

Hepatitis (Y) akan meningkat 0.119 poin.

B. Saran

Setelah mengkaji data-data di atas peniliti memandang perlu adanya

peningkatan program-program dalam upaya pencegahan Hepatitis B melalui :

1. Program vaksinasi Hepatitis B . Berdasarkan data diatas amat perlu

memprioritaskan program ini pada mereka yang beresiko tertular Hepatitis B,

diantaranya kepada keluarga yang mempunyai anggota keluarga penderita

Hepatitis B karena kesehariannya mereka hidup bersama atau berdekatan

dengan penderita Hepatitis B.

2. Bagi anggota keluarga yang tinggal serumah perlu untuk dilakukan

pemeriksaan darah (HbsAg) dalam rangka untuk deteksi dini dan uapaya

pencegahan Hepatitis B yang lebih aktif.

3. Bagi masyarakat, dibuatkan leaflet/poster yangn menjelaskan secara global

berkaitan Hepatitis B baik tentang gambaran singkat Hepatitis B, upaya

pencegahan yang dapat dilakukan dan tekhnik perawatan yang benar dengan

harapan berbekal pengetahuan tersebut masyarakat menjadi terbiasa dalam

berinteraksi dengan penderita Hepatitis B, sehingga diharapkan tidak akan

terjadi isolasi/pengucilan dari masyarakat terhadap penderita Hepatistis B.

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Misnadiarly. Penyakit Hati (liver). 2007. Available from URL:


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22569/5/Chapter. (Diakses
26 Mei 2013)

2. Harahap, J. Evaluasi Cakupan Imunisasi hepatitis B pada bayi umur 12 -


24 bulan di Kabupaten Asahan Propinsi Sumatera Utara. Jurnal
Penelitian Rekayasa. 2008.

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Imunisasi Hepatitis B,


Jakarta. 2002.

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Penanggulangan Penyakit


Hepatitis B. Jakarta : 2001.

5. Notoatmojo, H. Beberapa Model Imunisasi Hepatitis B pada Anak. 1998.

6. Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes). 2008.

7. Oswari, E. Perawatan Ibu Hamil dan Bayi. 2004, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

8. Shelov, S. Perawatan untuk Bayi dan Balita. 2004, Jakarta: Arcan.

9. Proverawati, A. Imunisasi dan Vaksinasi. 2010, Yogyakarta: Nuha Offset.

10. Idwar, Faktor - faktor yang berhubungan dengan Status Imunisasi


Hepatitis B pada Bayi di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Daerah
Istimewa Aceh. 2000.

11. Ranuh, I.G.N. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:


Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008.

12. Sujono, H. Gastroenterologi. Bandung.

13. Smeltzer, S.C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta:
EGC. 2001

14. Kusumawati, L. Faktor - faktor yang berhubungan dengan pemberian


imunisasi Hepatitis B (0-7 hari) di Kabupaten Bantul. Universitas Gadjah
Mada, 2006.

15. Aguslina, S. Hepatitis B Ditinjau dari Kesehatan Masyarakat dan Upaya


Pencegahan. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara,
1997.

58
16. Stanley, L.R. Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC. 1995.

17. Anonim. Hepatitis Virus. Available from URL:


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21371/4/Chapter%20II.pdf
. (Diakses 23 Mei 2013)

18. Noor, N.N. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta:


Rinekipta. 2006.

19. Price, S.A., dan Lorraine M. Wilson, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses
- Proses Penyakit. Vol. 2. Jakarta: EGC. 1995.
20. Tjokronegoro, A. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FK UI.

21. Organization, W.H., Introduction of hepatitis B vaccine into childHOod


immunization services: Management guidelines, including information for
health workers and parents, D.O.V. and and Biologicals, Editors. 2001:
Geneva.

22. Arif, M. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aeculapius. 2000

23. Arikunto, S. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta. 2002.

24. Dr.Siswojo, Kamus Riset. Vol. 3.

25. Hidayat, A.A. Metodologi Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis


Dat. Jakarta: Salemba Medika. 2007.

26. Mardalis, D. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Vol. 12.


Jakarta: Bumi Aksara. 2010.

27. Hasan, I. Analisis Data dengan Statistik. 2004.

28. Azwar, S. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998.


29. Soemoharjo, S. Hepatitis Virus .B. Jakarta : EGC
30. Gilca V et al. Antibody persistence and the effect of a booster dose given 5,
10, 15 years after vaccination with a recombinant hepatitis B vaccine. 52nd
Interscience Conference on Antimicrobial Agents and Chemotherapy, San
Francisco, Abstrak G-1047, 2012.

31. Available from URL: http://www.rsupwahidin.com (Diakses 29 November


2014)

59
60

Anda mungkin juga menyukai