Anda di halaman 1dari 11

POLA KONSUMSI PANGAN DAN TINGKAT SOSIAL EKONOMI

DALAM KAITANNYA DENGAN STATUS GIZI DI DAERAH


ENDEMIK MALARIA KABUPATEN MAMUJU
PROPINSI SULAWESI BARAT
Nurhaedar Jafar1,3, Nurpudji Astuti2,3, Ansar Mursaha3
1)Bagian Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
2)Bagian Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin
3)Puslitbang Ilmu-Ilmu Kesehatan LP2M Universitas Hasanuddin
E-mail : eda.jafar@yahoo.co.id ; pudji_taslim@yahoo.com ; ansar.mursaha@yahoo.com

Abstrak
Hubungan kausal antara status gizi dan malaria merupakan hal yang rumit. Sebagian hasil
penelitian menunjukkan bahwa kekurangan gizi meningkatkan kerentanan terhadap malaria
dan pada sisi yang lain, hasil penelitian menunjukkan bahwa malaria meningkatkan
kemungkinan terjadinya gizi kurang/gizi buruk. Selain faktor infeksi, berbagai macam faktor
lain turut berkontribusi terhadap status gizi pada wilayah endemik malaria seperti pola
konsumsi pangan dan tingkat sosial ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pola
konsumsi pangan dan tingkat sosial ekonomi dalam kaitannya dengan status gizi di daerah
endemik malaria, Kabupaten Mamuju, Propinsi Sulawesi Barat, Indonesia. Penelitian ini
merupakan bagian dari Baseline Penelitian PHKI Tema-D UNHAS yang merupakan hibah
bersaing yang dibiayai oleh DIKTI. Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik
dengan desain cross-sectional yang dilaksanakan di 15 kecamatan di Kabupaten Mamuju
Propinsi Sulawesi Barat dengan total sampel adalah 4401 orang. Pengambian sampel
menggunakan metode multi-stages random sampling. Pengumpulan data menggunakan
kuesioner terstruktur (data keluarga dan sosek), food frekuensi (pola konsumsi pangan), dan
pengukuran antropometri (status gizi). Analisis data dilakukan dengan program SPSS ver.16.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi balita pendek sebesar 38,5%, status gizi
kurus pada balita, anak sekolah, remaja dan orang dewasa berturut-turut 5,6%, 9,4%, 8,9%,
dan 10,1%, status gizi gemuk pada orang dewasa sebesar 44,2% dan wanita usia subur KEK
sebesar 17,1%. Pola konsumsi pangan yang tidak bervariasi sebesar 85,4% dan sosek rendah
sebesar 41,1%. Hasil uji statistik bivariat (=0,05) memperlihatkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara pola konsumsi pangan dengan status gizi (IMT/U) pada anak usia 6-12 tahun
(p=0,002). Sampel usia 13-18 thn dengan tingkat sosial ekonomi rendah ditemukan berstatus
gizi kurus sebesar 20,8% lebih besar dibandingkan dengan tingkat sosial ekonomi tinggi
(7,0%) dengan nilai p=0,000. Hal yang serupa ditemukan pula pada kelompok dewasa dimana
yang berstatus sosial ekonomi rendah lebih besar (13,9%) yang kurus dibandingkan dengan
sampel berstatus sosial ekonomi tinggi (9,1%) dengan nilai p=0,012. Perbaikan status gizi di
Kabupaten Mamuju memerlukan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan edukasi
mengenai konsumsi makanan yang bervariasi.

Kata Kunci : Status Gizi, Endemik malaria, pola konsumsi pangan, tingkat sosial ekonomi.
Abstract
Causal relationship between nutritional status and malaria is complex. Some research indicate
that malnutrition increases susceptibility to malaria and on the other hand, the results showed
that malaria increases the likelihood of malnutrition. In addition to the infection, a variety of
other factors contributing to nutritional status in malaria-endemic areas such as food
consumption patterns and socioeconomic levels. This study was aimed to assess the patterns
of food consumption and socioeconomic level in relation to nutritional status in malaria
endemic areas, Mamuju, West Sulawesi, Indonesia. This study is a part of the Baseline
Research PHKI-D Hasanuddin University which is funded by competitive grants of DIKTI.
This study was an observational analytic with cross-sectional design conducted in 15
subdistricts in Mamuju Regency West Sulawesi Province with total sample were 4401
peoples. Sampling using multi-stages random sampling. Collecting data using a structured
questionnaire (family data and socio-economic status), food frequency (consumption pattern),
and anthropometric measurements (nutritional status). Data analysis was performed with
SPSS ver.16. The results showed that the prevalence of stunting of child under five was
38.5%, wasting of infants, school children, adolescents and adults respectively 5.6%, 9.4%,
8.9%, and 10.1%, overweight among adults was 44.2% and CED (chronic energy deficiency)
among women of childbearing age was 17.1%. Food consumption patterns are not varied by
85.4% and 41.1% with lower socio-economic. The results of the bivariate statistical test ( =
0.05) showed that there is a significant relationship between food consumption patterns and
nutritional status (BMI /A) in children aged 6-12 years (p = 0.002). Samples were aged 13-18
year with lower socioeconomic levels was found with wasting by 20.8% greater than the high
socioeconomic level (7.0%) with a value of p = 0.000. Similar things is also found in the adult
group in a lower socioeconomic status which greater (13.9%) were underweight compared
with a sample of high socioeconomic status (9.1%) with a value of p = 0.012. Improving the
nutritional status in Mamuju require efforts to improve social welfare and education on
various food consumption.

Keywords :Nutritional Status, Malaria-endemic, Food consumption pattern,Socio-economic level.


Pendahuluan

Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, di lebih dari 107 negara,
yang dihuni oleh sekitar 2,4 milyar penduduk, atau 40% dari total penduduk dunia.
(Greenwood, 2004). Sebagian besar dari penderita malaria ini bermukim di wilayah yang
endemis malaria, yang memungkinkan terjadinya infeksi kronis atau infeksi berulang. Pada
beberapa wilayah di Afrika pada waktu tertentu, hampir 100% anak menunjukkan fase
aseksual parasit malaria dalam darah mereka. (Ghosh, 2007).
Berdasarkan Riskesdas Nasional tahun 2007, penyakit malaria menempati urutan ke
enam dari mortalitas penyakit menular yaitu sebesar 4,6%, dan menempati urutan ke tiga
pada proporsi penyebab kematian kelompok umur 5 14 tahun di daerah perdesaan
(Litbangkes RI, 2007).
Di luar Jawa-Bali, insiden malaria klinis (annual malaria incidence/AMI) dilaporkan
jauh lebih tinggi dibandingkan malaria di Jawa-Bali yaitu 16 per 1.000 penduduk pada tahun
1997 dan cenderung terus meningkat. Pada masa krisis ekonomi tahun 2000, AMI meningkat
hampir dua kali lipat yaitu menjadi 31 per 1.000 penduduk, dan kemudian menurun perlahan
menjadi 22 per 1.000 penduduk pada tahun 2003 . (Depkes RI, 2004).
Umumnya penderita malaria ditemukan pada daerah-daerah terpencil dan sebagian
besar penderitanya dari golongan ekonomi lemah. Di Indonesia, malaria tersebar di seluruh
pulau dengan derajat endemisitas yang berbeda-beda dan dapat berjangkit di daerah dengan
ketinggian sampai 1800 meter di atas permukaan laut.(Soedarmo SS, 2008).
Lebih dari separuh kematian anak yang terkait dengan penyakit infeksi utamanya
disebabkan oleh kekurangan gizi (Caulfield L, 2006). Pada kasus malaria, 57,3% kematian
yang terjadi disebabkan karena kekurangan gizi (Guinovart C, 2006; WHO, 2008). Lebih jauh
lagi, kekurangan gizi ditemukan memberikan dampak terhadap manifestasi malaria maupun
kerentanan terhadap malaria (Caufield, 2004).
Hubungan kausal antara status gizi dan malaria merupakan hal yang rumit. Sebagian
hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan gizi meningkatkan kerentanan terhadap
malaria (Caufield, 2004). Pada sisi lain, hasil penelitian menunjukkan bahwa malaria
meningkatkan kemungkinan anak-anak menjadi gizi kurang/buruk (Nyakeriga AM, 2004).
Infeksi malaria tidak selalu memperlihatkan gejala atau penyakit yang jelas. Anak-
anak yang mengalami infeksi malaria tetapi tidak memperlihatkan gejala-gejala akut, disebut
memiliki parasitemia asimptomatik (Crookston B, 2010). Malaria asimptomatik ini sangat
umum ditemukan pada wilayah endemik malaria seperti di Afrika yang beberapa wilayahnya
memiliki prevalensi parasitemia malaria sebesar 90% (Njama-Meya D, 2004). Sejauh ini,
sebagian besar penelitian mengenai parasitemia asimptomatik dan kekurangan gizi telah
menandai adanya hubungan antara malaria asimptomatik dan berbagai indikator kekurangan
gizi (Holding, 2004; Friedman, 2005; Mamiro, 2005).
Propinsi Sulawesi Barat termasuk daerah endemik malaria. Di Propinsi Sulawesi Barat
ini ada dua kabupaten yang mempunyai prevalensi malaria klinis di atas angka nasional, yairu
Kabupaten Mamuju dan Mamuju Utara. Prevalensi malaria klinis di Mamuju adalah 3,5 %
,berada di atas angka prevalensi nasional sebesar 2,9% ( rentang : 0,2 - 26,1 %).(Litbangkes,
2007). Penelitian ini bertujuan untuk menilai pola konsumsi pangan dan tingkat sosial
ekonomi dalam kaitannya dengan status gizi di daerah endemik malaria, Kabupaten Mamuju,
Propinsi Sulawesi Barat, Indonesia.
.
Bahan Dan Metode

Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Seluruh Kecamatan (15 Kecamatan) di Kabupaten
Mamuju Propinsi Sulawesi Barat yang merupakan salah satu kabupaten yang endemis
malaria.
Desain dan Variabel Penelitian
Penelitian ini merupakan bagian dari baseline penelitian Program Hibah Kompetisi
berbasis Institusi (PHKI) Tema D dari DIKTI yang dimenangkan oleh Universitas
Hasanuddin. Rancangan penelitian yang digunakan dalam baseline survey ini adalah
observasional analitik dengan desain cross-sectional. Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah status gizi, sedangkan variabel independen adalah pola konsumsi pangan keluarga dan
tingkat sosial ekonomi.
Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penduduk yang berada di Kabupaten
Mamuju, Propinsi Sulawesi barat. Sampel pada penelitian ini adalah penduduk yang terpilih
pada lokasi desa yang menjadi tempat pengambilan sampel. Perhitungan sampel untuk
penelitian ini disesuaikan dengan yang digunakan oleh PHKI-Tema D UNHAS (Astuti N,
dkk., 2010) yang berdasarkan pada besaran populasi 285.528 orang, prevalensi malaria
sebesar 3,5% (Riskesdas, 2007) dengan confidence interval 95%, relative presisi 15%
sehingga diperoleh jumlah sampel sebesar 4631 yang dibulatkan menjadi 4700 responden.
Responden ini dipilih pada 47 desa yang tersebar pada 15 kecamatan, dimana pada setiap desa
akan diambil 100 responden. Setelah dilakukan restriksi data, jumlah sampel yang memenuhi
kriteria untuk penelitian ini adalah 4401 sampel.
Pengumpulan data
Pengumpulan data meliputi data primer dan sekunder. Data primer menggunakan
kuesioner terstruktur, formulir Food Frekuensi dan pengukuran antropometrik, sedangkan
data sekunder bersumber dari Dinas kesehatan dan puskesmas. Uraian pengumpulan data
primer sebagai berikut:
a. Kuesioner terstruktur, meliputi kuesioner Rumah Tangga dan Individu melalui wawancara.
Termasuk di dalamnya data tingkat sosial ekonomi.
b. Formulir Food Frekuensi untuk memperoleh informasi pola konsumsi pangan keluarga.
c. Pengukuran antropometrik untuk status gizi yang mencakup pengukuran berat badan,
tinggi badan / panjang badan, dan Lingkar lengan atas (LLA) berdasarkan prosedur WHO.
Analisis data
Analisis data dimulai dari pemeriksaan data isian pada instrumen, kemudian
dilanjutkan dengan pemberian kode, entry data, dan cleaning data. Data yang telah diolah
dengan benar selanjutnya dilakukan analisis yang meliputi analisis univariat dan bivariat.
Analisis bivariat menggunakan uji chi-square dengan nilai =0,05.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik sampel
Sebagian besar sampel dalam penelitian ini adalah wanita (56,3%) dengan kelompok umur
terbanyak adalah dewasa muda (39,3%). Tingkat pendidikan responden tergolong rendah,
hanya 2,1% yang menamatkan perguruan tinggi. Cukup tinggi angka pengangguran yang
ditemukan dalam penelitian ini yaitu sebesar 20,9%. Untuk responden yang bekerja, sebagian
besar sebagai petani/buruh (63,9%) (Tabel 1).
Tabel 1 Distribusi karakteristik umum responden di daerah endemik malaria, Kabupaten Mamuju, Propinsi
Sulawesi Barat

Variabel n %
Jenis Kelamin (n=4401)
Laki-laki 1925 43,7
Perempuan 2476 56,3
Kelompok Umur (n=4401)
5 tahun 533 12,1
6 12 tahun 986 22,4
13 18 tahun 554 12,6
19 45 tahun 1729 39,3
46 60 tahun 396 9,0
> 60 tahun 203 4,6
Status Pendidikan Tertinggi (n=4401)
Tidak pernah sekolah 626 14,2
Tidak/Belum tamat SD dan belum sekolah 1409 32,0
Tamat SD 1183 26,9
Tamat SMP 611 13,9
Tamat SMA 478 10,9
Tamat Perguruan Tinggi 94 2,1
Status Bekerja (n=4401)
Bekerja 1220 27,7
Belum bekerja 1404 31,9
Tidak bekerja 921 20,9
IRT 856 19,5
Jenis Pekerjaan/Profesi (n=1220)
PNS / TNI / POLRI 88 7,2
BUMN / Pegawai Swasta 27 2,2
Wiraswasta / Pedagang / Jasa 198 16,2
Petani/buruh 779 63,9
Lainnya 128 10,5

Status sosial ekonomi keluarga


Berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) Propinsi Sulawesi Barat, ditemukan sebagian
besar responden (71,9%) memiliki pendapatan perbulan yang kurang dari UMR
(Rp.1.270.000). Status kemiskinan yang diukur dari pengeluaran rumah tangga untuk pangan
ditemukan responden yang tergolong miskin sebesar 15,8%. Sedangkan status sosial ekonomi
yang dinilai dari pendapatan, pengeluaran dan tingkat pendidikan responden ditemukan
sebagian besar (41,1%) responden tergolong sosial ekonomi rendah, dan hanya 19,7% yang
termasuk sosial ekonomi tinggi (Tabel 2).
Pola konsumsi pangan keluarga
Walaupun umumnya di Indonesia setiap keluarga makan rata-rata 3 kali sehari, namun dalam
penelitian ini ditemukan sebesar 23,2% keluarga responden yang makanan utama kurang dari
tiga kali sehari. Terdapat 20,2% keluarga responden yang tidak terbiasa makan pagi namun
40,8 keluarga responden biasa menyajikan makanan selingan. Masih ada 5,2% keluarga yang
tidak menggunakan garam beryodium. Berdasarkan penilaian komponen kelengkapan
kelompok makanan yang dikonsumsi responden, ditemukan sebagian besar (85,4%)
responden memiliki mengkonsumsi makanan yang kurang bervariasi (Tabel 3).
Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan status sosial ekonomi keluarga di daerah endemik malaria, Kabupaten
Mamuju, Propinsi Sulawesi Barat

Variabel n %
Pendapatan Keluarga
< UMR 3161 71,9
UMR 1238 28,1
Pengeluaran Keluarga
80% untuk pangan 695 15,8
< 80% untuk pangan 3706 84,2
Tingkat Sosial Ekonomi
Rendah 1811 41,1
Menengah 1723 39,2
Tinggi 867 19,7
* : UMR Prop.Sulbar = Rp. 1.270.000

Tabel 3. Gambaran pola konsumsi pangan penduduk di daerah endemik malaria, Kabupaten Mamuju, Propinsi
Sulawesi Barat

Variabel n %
Makanan Utama
< 3 kali sehari 1019 23,2
3 kali sehari 3382 76,8
Kebiasaan makan pagi
Tidak 889 20,2
Ya 3512 79,8
Konsumsi makanan selingan
Tidak 2607 59,2
Ya 1794 40,8
Yodium Garam
Tidak mengandung yodium 230 5,2
Tidak cukup 1368 31,1
Cukup 2803 63,7
Pola konsumsi pangan
Kurang Bervariasi 3760 85,4
Bervariasi 641 14,6

Status Gizi
Masalah status gizi utama yang dihadapi oleh balita di lokasi penelitian adalah pendek dan
BB kurang. Prevalensi kedua masalah ini terlihat cukup tinggi terutama masalah pendek yang
ditemukan ada yang mencapai angka 40%. Untuk kelompok anak dan remaja ditemukan pula
masalah yang sama yaitu maslaah stunting (pendek), namun prevalensi pendek ini terlihat
semakin meningkat seiring dengan peningkatan usia. Sedangkan untuk kelompok dewasa
ditemukan masalah yang sekarang ini menjadi masalah global yaitu kegemukan. Prevalensi
gemuk dalam penelitian ini ditemukan cukup tinggi dengan rentang 27% sampai 55%.
Masalah KEK ditemukan cukup tinggi pula hampir pada semua kecamatan, namun masih jauh
dibawah stunting dan kegemukan (Tabel 4).
Tabel 4. Distribusi status gizi antropometri penduduk berdasarkan kelompok umur di daerah endemik malaria,
Kabupaten Mamuju, Propinsi Sulawesi Barat

Indikator Status Gizi n %


Balita (0-5 th) (n=533)
BB kurang (BB/U) 130 24,4
Pendek (TB/U) 205 38,5
Kurus (BB/TB) 30 5,6
Anak (6-12 th) (n=986)
Pendek (TB/U) 434 44,0
Kurus (IMT/U) 93 9,4
Remaja (13-18 th) (n=554)
Pendek (TB/U) 293 52,9
Kurus (IMT/U) 49 8,9
Dewasa (19 th) (IMT) (n=2328)
Kurus 235 10,1
Gemuk 1029 44,2
WUS (15-45 thn) (n=1309)
KEK 224 17,1

Status gizi, Pola Konsumsi Pangan dan Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga
Perbandingan balita laki-laki dan perempuan yang mengalami masalah gizi, baik gizi
kurang maupun gizi lebih memiliki proporsi yang seimbang dengan perbedaan yang tidak
terlampau jauh. Untuk pola konsumsi pangan terlihat ada kecenderungan bahwa balita yang
bervariasi makanannya lebih sedikit yang mengalami gangguan gizi dibandingkan dengan
yang tidak bervariasi. Hasil yang cukup menarik terlihat pada hubungan tingkat sosial
ekonomi dengan status gizi balita. Seiring peningkatan status sosial ekonomi maka prevalensi
gangguan gizi semakin berkurang, namun pada tingkat sosial ekonomi rendah tidak hanya
lebih banyak yang menderita masalah gizi kurang tetapi juga masalah gizi lebih (Tabel 5).
Untuk status gizi pendek pada kelompok anak usia 6-12 tahun terlihat bahwa
perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki tetapi untuk status gizi kurus justru
ditemukan lebih banyak laki-laki dengan perbedaan prevalensi yang cukup jauh dengan anak
perempuan. Anak dengan pola makan bervariasi dan tingkat sosial ekonomi yang tinggi lebih
sedikit yang menderita stunting (pendek). Hasil uji statistic (chi-square) menunjukkan
hubungan yang signifikan (p<0,05) antara pola konsumsi pangan dengan status gizi IMT/U
pada anak usia 6-12 tahun (Tabel 6).
Hampir sama dengan kelompok anak-anak, kelompok remaja yang memiliki pola
konsumsi pangan kurang bervariasi lebih tinggi yang pendek dan sangat kurus. Status sosial
ekonomi secara statistic berhubungan dengan status gizi TB/U dan IMT/U pada kelompok
remaja (p<0,05) (Tabel 7).
Status gizi obesitas pada kelompok dewasa didominasi oleh wanita tetapi sebaliknya
untuk status gizi sangat kurus ditemukan lebih banyak pada laki-laki. Kelompok yang
makanannya kurang bervariasi lebih banyak yang kurus dibandingkan degan yang bervariasi,
namun obesitas ditemukan lebih tinggi pada kelompok yang makanannya bervariasi. Obesitas
ditemukan semakin meningkat seiring dengan peningkatan status sosial ekonomi (Tabel 8).
Tabel 5. Distribusi status gizi antropometri responden usia 0 5 tahun di daerah endemik malaria, Kabupaten Mamuju, Propinsi Sulawesi Barat

Variabel BB/U TB/U BB/TB

BB kurang
BB sangat

P value

P value

P value
BB lebih

Obesitas

Obesitas
Normal

Normal

Normal
Pendek

Gemuk
kurang

Sangat

Kurus
kurus
Jenis Kelamin
Laki-laki 4,8 18,8 74,5 1,5 0,4 0,873 39,1 60,9 0,051 1,5 8,5 86,0 1,8 2,2 0,022
Perempuan 4,6 20,6 73,3 0,8 0,8 37,8 62,2 2,7 2,7 92,4 1,5 0,8
Pola konsumsi pangan
Kurang bervariasi 4,8 19,6 73,8 1,1 0,7 0,949 39,4 60,0 0,272 2,2 5,9 88,1 2,0 1,8 0,386
Bervariasi 3,8 20,3 74,7 1,3 0,0 32,9 67,1 1,3 3,8 94,9 0,0 0,0
Tingkat sosial ekonomi
Rendah 5,4 20,5 72.5 0,9 0,7 39,3 60,7 2,5 6,0 88,2 1,8 1,6
Menengah 1,2 14,3 82,1 0,0 0,0 0,205 33,3 66,7 0,264 0,0 3,6 94,0 1,2 1,2 0,904
Tinggi 0,0 100,0 0,0 0,0 0,0 100,0 0,0 0,0 0,0 100,0 0,0 0,0
* : Chi Square

Tabel 6. Distribusi status gizi antropometri responden usia 6 12 tahun di daerah endemik malaria, Kabupaten Mamuju, Propinsi Sulawesi Barat

TB/U IMT/U
Variabel Sangat
Pendek Normal P value Kurus Normal Gemuk Gemuk P value
kurus
Jenis Kelamin
Laki-laki 43,2 56,8 0,657* 4,0 6,1 88,7 0,6 0,6 0,726*
Perempuan 44,8 55,2 3,1 5,7 90,6 0,4 0,2
Pola konsumsi pangan
Kurang bervariasi 44,8 55,2 0,227* 3,7 5,6 90,2 0,4 0,1 0,004*
Bervariasi 39,5 60,5 2,7 7,5 86,4 1,4 2,0
Tingkat sosial ekonomi
Rendah 45,1 54,9 3,4 5,9 90,0 0,4 0,3
Menengah 42,6 57,4 0,228* 3,6 6,0 89,2 0,4 0,8 0,485*
Tinggi 30,0 70,0 6,7 3,3 86,7 3,3 0,0
* : Chi Square
Tabel 7. Distribusi status gizi antropometri responden usia 13 18 tahun di daerah endemik malaria, Kabupaten Mamuju, Propinsi Sulawesi Barat

TB/U IMT/U
Variabel Sangat
Pendek Normal P value Kurus Normal Gemuk Gemuk P value
kurus
Jenis Kelamin
Laki-laki 51,2 48,8 0,499* 4,2 7,5 87,5 0,4 0,4 0,100*
Perempuan 54,1 45,9 2,2 4,5 91,4 1,9 0,0
Pola konsumsi pangan
Kurang bervariasi 54,3 45,7 0,098* 3,1 5,0 90,1 1,5 0,2 0,317*
Kurang 44,2 55,8 2,6 10,4 87,0 0,0 0,0
Tingkat sosial ekonomi
Rendah 66,7 33,3 6,3 14,6 79,2 0,0 0,0
Menengah 51,5 48,5 0,008* 2,0 4,0 91,7 2,3 0,0 0,000*
Tinggi 47,1 52,9 3,2 3,8 92,4 0,0 0,6
* : Chi Square

Tabel 8. Distribusi status gizi antropometri responden usia 19 tahun di daerah endemik malaria, Kabupaten Mamuju, Propinsi Sulawesi Barat

IMT
Variabel P value
Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas
Jenis Kelamin
Laki-laki 4,5 7,3 56,1 15,2 17,0 0,000*
Perempuan 3,7 5,3 38,7 17,0 35,2
Pola kons. pangan
Kurang bervariasi 4,2 6,2 46,2 16,2 27,3 0,523*
Bervariasi 3,3 5,6 42,9 16,9 31,4
Tingkat sosek
Rendah 6,1 7,9 45,2 14,3 26,6
Menengah 3,4 5,4 46,6 17,3 27,4 0,059*
Tinggi 3,4 5,8 44,7 16,4 29,8
* : Chi Square
Untuk variabel status gizi KEK (kekurangan energi kronis), pola konsumsi pangan
dan tingkat sosial ekonomi tidak bermakna terhadap kejadian KEK. Akan tetapi, dapat dilihat
adanya kecenderungan bahwa WUS (wanita usia subur) yang pola konsumsi pangannya
kurang bervariasi lebih tinggi yang mengalami KEK (Tabel 9).

Tabel 9. Distribusi status gizi KEK (kurang energi kronis) responden wanita usia subur (15-45 tahun) di daerah
endemik malaria, Kabupaten Mamuju, Propinsi Sulawesi Barat

KEK
P value
Variabel Ya Tidak
Status Malaria
Positif 12,5 87,5 1,000*
Negatif 17,2 82,8
Pola konsumsi pangan
Kurang bervariasi 17,7 82,3 0,205*
Bervariasi 13,9 86,1
Tingkat sosial ekonomi
Rendah 17,6 82,4
Menengah 16,7 83,3 0,910*
Tinggi 17,6 82,4
* : Chi Square

Hasil penelitian ini menunjukkan tingginya kejadian stunting (pendek) di lokasi


penelitian. Kejadian stunting ini menunjukkann bahwa di kabupaten mamuju telah terjadi
masalah gizi kronis yang telah berlangsung lama. Selain diduga karena faktor infeksi malaria,
peranan status sosial ekonomi dan pola konsumsi pangan juga sangat dipertimbangkan.
Berdasarkan hasil tabulasi silang diperoleh bahwa pada kelompok anak usia 0-5 tahun
ditemukan kejadian stunting (pendek) dan kurus lebih besar pada kelompok yang
mengkonsumsi makanan kurang bervariasi. Sedangkan untuk status gizi gemuk ditemukan
bahwa semakin tinggi status sosial ekonominya maka semakin tinggi pula proporsi yang
gemuk.
Untuk status gizi IMT/U pada kelompok anak usia 6-12 tahun ditemukan bahwa anak
yang gemuk semakin besar proporsinya seiring dengan peningkatan social ekonomi.
Ditemukan hubungan yang signifikan antara pola konsumsi pangan keluarga dengan status
gizi IMT/U pada anak usia 6-12 tahun (p<0,05). Sedangkan untuk kelompok remaja (usia 13-
18 tahun) hubungan yang signifikan hanya ditemukan antara tingkat sosial ekonomi dengan
status gizi IMT/U (p<0,05).
Pada kelompok dewasa, terlihat hasil yang cukup mengejutkan dimana prevalensi
gemuk ditemukan sangat tinggi. Untuk variabel pola konsumsi pangan nampaknya tidak
berkorelasi kuat dengan gemuk melainkan dengan kurus dimana pada kelompok yang
konsumsi pangannya kurang bervariasi lebih besar yang berstatus gizi kurus. Sedangkan
untuk tingkat sosial ekonomi tergambar bahwa semakin tinggi tingkat social ekonomi, maka
proporsi orang gemuk semakin tinggi pula (p<0,05).
Beban gemuk pada orang dewasa di Indonesia pada umumnya memang telah
menjadi sebuah trend masalah dalam bidang gizi dan kesehatan. Keberadaan double burden
gizi di Indonesia ini membuat penanganan masalah gizi di Indonesia menjadi cukup rumit
untuk diselesaikan. Pada kelompok social ekonomi menengah ke atas, gemuk sangat terkait
dengan pola hidup yang kurang sehat.

10
Kesimpulan dan Saran

Ada hubungan yang signifikan antara pola konsumsi pangan dengan status gizi pada anak usia
6-12 tahun di kabupaten mamuju. Ada hubungan yang signifikan antara tingkat sosial
ekonomi dengan status gizi pada remaja usia 13-18 tahun dan orang dewasa usia 19 tahun di
Kabupaten Mamuju. Perbaikan status gizi di Kabupaten Mamuju memerlukan upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan edukasi mengenai konsumsi makanan yang
bervariasi berdasarkan pedoman umum gizi seimbang.

Ucapan Terima kasih


Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada peneliti PHKI-D UNHAS, Dinkes Propinsi
Sulbar dan Dinkes Kabupaten Mamuju

Daftar Pustaka

1. Caulfield L, Richard SA, Black RE: Undernutrition as an underlying cause of malaria morbidity and
mortality in children less than five years old. Am J Trop Med Hyg 2004, 71(Suppl 2):55-63.
2. Caulfield L, Richard S, Rivera J, Musgrove P, Black R. Stunting, Wasting, and Micronutrients deficiency
disorder. Disease Control Priorities in Developing Countries. Washington, DC: Oxford University Press.
2006, 551-567.
3. Crookston B, et.al. Exploring the relationship between chronic undernutrition and asymptomatic malaria
in Ghanaian children. Malaria Journal 2010, 9:39.
4. Depkes RI, 2004. Profil PPM-PL Tahun 2004. Dit jend PPM-PL, Jakarta.
5. Friedman JF, Kwena AM, Mirel LB, Kariuki SK, Terlouw DJ, Philips-Howard PA, Hawley WA, Nahlen
BL, Shi YP, Ter Kuile FO. Malaria and Nutritional Status among Pre-School Children: Results from
Cross-Sectional Surveys in Western Kenya. Am J Trop Med Hyg 2005, 73:698-704.
6. Ghosh, Kanjaksha & Ghosh Kinjalka. Pathogenesis of anemia in malaria: a concise review. Parasitol Res
(2007) 101:1463-1469.
7. Greenwood. "Editorial: Treating Malaria in Africa," British Medical Journal - BMJ 2004;328:534-535 (6
March), doi:10.1136/bmj.328.7439.534.
8. Guinovart C, Navia MM, Tanner M, Alonso PL. Malaria: burden of disease. Curr Mol Med 2006, 6:137-
140.
9. Holding PA, Kitsao-Wekulo PK: Describing the burden of malaria on child development: what should we
be measuring and how should we be measuring it?. Am J Trop Med Hyg 2004, 71:71-79.
10. Litbangkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar 2007.
11. Mamiro PS, Kolsteren P, Roberfroid D, Tatala S, Opsomer AS, Van Camp JH: Feeding practices and
factors contributing to wasting, stunting, and iron-deficiency anemia among 3-23 month old children in
Kilosa district, rural Tanzania. J Health Popul Nutr 2005, 23:222-230.
12. Njama-Meya D, Kamya MR, Dorsey G: Asymptomatic parasitaemia as a risk factor for symptomatic
malaria in a cohort of Ugandan children. Trop Med Int Health 2004, 9:862-868.
13. Nyakeriga AM, Troye-Blomberg M, Chemtai AK, Marsh K, Williams TN: Malaria and nutritional status in
children living on the coast of Kenya. Am J Clin Nutr 2004, 80:1604-1610.
14. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Malaria. Dalam:Buku ajar infeksi & pediatric tropis.
Edisi ke-2. Jakarta: IDAI; 2008. H.408-37.
15. World Health Organization. World Malaria Report 2008. Geneva: WHO 2008.

11

Anda mungkin juga menyukai