Anda di halaman 1dari 86

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA

PEMBERDAYAAN KEPEMIMPINAN INFORMAL


GUNA MENDORONG PEMBANGUNAN NASIONAL
DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEUTUHAN NKRI

XECUTIVE SUMMARY)

Oleh :

DEDI ACHMAD DJUBAEDI


KOMISARIS BESAR POLISI NRP. 52010121

KERTAS KARYA PERORANGAN (TASKAP)


KURSUS REGULER ANGKATAN XXXVII LEMHANNAS RI
TAHUN 2004
KATA PENGANTAR

Dengan senantiasa memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha

Esa, maka atas rahmat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan Kertas Karya

Perorangan (TASKAP) ini, sesuai dengan jadwal dan waktu yang telah ditentukan.

Penulisan TASKAP ini adalah merupakan salah satu tugas yang harus dibuat

oleh Kami selaku peserta Kursus Reguler Angkatan XXXVII (KRA XXXVII) Lemhannas

RI Tahun 2004, dengan judul : PEMBERDAYAAN KEPEMIMPINAN INFORMAL

GUNA MENDORONG PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM RANGKA

MEMPERTAHANKAN KEUTUHAN NKRI

Dalam kesempatan ini perkenankan kami mengucapkan rasa terima kasih yang

mendalam kepada Bapak Adi Suyatno, BcIP, SH, MH, sebagai Tutor yang telah

membantu dan membimbing penulis menyelesaikan penulisan TASKAP ini. Ungkapan

terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak/Ibu yang telah bertindak selaku

Moderator, Pendamping dan Pembantu Pendamping pada saat penyajian TASKAP ini.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada :

1. Bapak Gubernur Lemhannas RI

2. Bapak Wakil Gubernur Lemhannas RI

3. Bapak Sekretaris Utama Lemhannas RI

4. Para Deputi, Direktur dan staf Lemhannas RI

5. Bapak/Ibu Widyaiswara Lemhannas RI

6. Pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu

atas segala arahan, bimbingan serta bantuan sehingga memudahkan penulis

dalam menyelesaikan TASKAP ini.

1
Selain itu juga kami mengucapkan rasa terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang telah memberikan ijin

dan dukungan kepada kami guna mengikuti Kursus Reguler Angkatan XXXVII

(KRA XXXVII) Lemhannas RI tahun 2004.

2. Rekan-rekan peserta KRA XXXVII Lemhannas RI tahun 2004, yang

berperan sebagai teman senasib dan sepenanggungan, teman diskusi yang

saling mengisi dengan memberikan saran, tukar menukar informasi dan berbagi

pengalaman selama mengikuti pendidikan, oleh karena dirasakan sangat

bermanfaat dalam memperkaya substansi dalam penulisan TASKAP ini.

3. Istri tercinta Hj. Niniek Suryawati beserta anak-anak yang kami sayangi

Afan Priambodo dan Niken Larasati atas kesabaran dan pengorbanan waktu

yang diberikan selama ini, oleh kami dijadikan sebagai pemicu dan motivasi

dalam mengikuti pendidikan dan penyelesaian TASKAP ini.

Kami menyadari bahwa TASKAP ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, kami mengharapkan tanggapan, saran, koreksi serta masukan yang membangun

dari semua pihak untuk penyempurnaannya.

Akhirnya kami berharap semoga TASKAP ini memberi manfaat yang seluas-

luasnya bagi semua pihak yang terkait.

Sekian dan terima kasih.

Jakarta, Nopember 2004


Penulis

DEDI ACHMAD DJUBAEDI


KOMBES POL NRP. 52010121

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN
1. Umum 1

2. Maksud Dan Tujuan 5

3. Ruang Lingkup Dan Tata Urut 6

4. Metode Dan Pendekatan 8

5. Pengertian-Pengertian 9

BAB II LANDASAN PEMIKIRAN


6. Umum 12

7. Pancasila Sebagai Landasan Idiil . 14

8. UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional 15

9. Wawasan Nusantara Sebagai Landasan Visional . 16

10. Ketahanan Nasional Sebagai Landasan Konsepsional 18

11. GBHN/Propenas Sebagai Landasan Operasional 20

BAB III KONDISI PEMBERDAYAAN KEPEMIMPINAN INFORMAL

SAAT INI

3
12. Umum 23

13. Pemberdayaan Kepemimpinan Informal Saat Ini 24

14. Dampak Pemberdayaan Kepemimpinan Informal

Terhadap Pembangunan Nasional 30

15. Permasalahan Yang Dihadapi 37

BAB IV PENGARUH PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS


16. Umum 39

17. Lingkungan Global ....... 41

18. Lingkungan Regional ..... 42

19. Lingkungan Nasional ....... 43

20. Peluang dan Kendala 50


BAB V KONDISI PEMBERDAYAAN KEPEMIMPINAN INFORMAL

YANG DIHARAPKAN
21. Umum 54
22. Pemberdayaan Kepemimpinan Informal Yang
Diharapkan 56
23. Konstribusi Pemberdayaan Kepemimpinan Informal
Terhadap Pembangunan Nasional .. 64
24. Pemberdayaan Kepemimpinan Informal Dalam
Mempertahankan Keutuhan NKRI 68
BAB VI KONSEPSI PEMBERDAYAAN KEPEMIMPINAN INFORMAL

GUNA PEMBANGUNAN NASIONAL


25. Umum 71

26. Kebijaksanaan 72

27. Strategi 76

28. Upaya 76

4
BAB VII PENUTUP
29. Kesimpulan 83
30. Saran .. 84

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN :
ALUR PIKIR
POLA PIKIR

5
BAB I

PENDAHULUAN

1. Umum

Negara Indonesia sebagai salah satu negara besar di dunia, menjalani

sejarahnya dengan proses perjuangan panjang dan teramat berat. Berkat rahmat Tuhan

Yang Maha Esa, akhirnya bangsa ini memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17

Agustus 1945 dan dideklarasikan oleh kepemimpinan Dwi Tunggal, yakni Soekarno

Hatta. Terlepas dari apapun kedua figur kepemimpinan bangsa ini harus diakui sebagai

bapak bangsa yang mengentaskan negara ini meraih kebebasannya dari penjajahan.

Padahal sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan

berpedoman pada Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928,

para pendiri negara menyadari bahwa keberadaan masyarakat yang majemuk dan

heterogen merupakan suatu kekayaan bangsa Indonesia yang harus diakui, diterima,

dihormati dan kemudian terpatri dalam sesanti Bhineka Tunggal Ika.

Namun sangat disadari bahwa ketidak mampuan untuk mengolah kemajemukan

dan heterogenitas ini telah dijadikan kesempatan oleh pihak-pihak yang tidak

bertanggung jawab menghidupkan kembali politik gaya kolonial seperti masa lampau

yaitu hidupnya kembali politik memecah belah atau devide et impera, yang telah

mengakibatkan berbagai kerawanan masyarakat yang cenderung membahayakan

persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk itulah diperlukan adanya kesadaran bersama

serta komitmen dari seluruh warga masyarakat untuk memantapkan kesatuan dan

persatuan. Namun juga disadari bahwa hal ini hanya akan dicapai manakala setiap

1
warga masyarakat yang hidup di dalam kemajemukan mampu hidup berdampingan

secara damai yang dikelola dengan baik, di antaranya melalui pendekatan nilai agama

serta budaya bangsa secara sungguh-sungguh disertai komitmen yang kuat untuk

memantapkan langkah nyata melalui visi dan misi yang benar serta etika dan moral

yang tepat.

Selain itu, kondisi dan konstelasi geografis yang demikian strategis serta bentuk

negara kepulauan dengan jumlah + 17.845 pulau besar dan kecil dengan suku bangsa

+ 300, telah memberikan isyarat kepada kita bahwa masyarakat Indonesia yang

majemuk serta heterogen ini sangat rentan dan rawan terhadap kemungkinan

terjadinya benturan kepentingan, terlebih dengan diberlakukannya UU No. 22/1999

tentang Otonomi Daerah yang belum mampu diwujudkan dalam satu pemahaman

dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kondisi semacam ini telah

dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab dengan melakukan

provokasi dan hasutan serta pengaruh yang dapat mendorong timbulnya sikap-sikap

sektoral kedaerahan yang mengarah kepada kemungkinan terjadinya disintegrasi

bangsa.

Berdasarkan atas tinjauan sejarah kepemimpinan bangsa Indonesia tersebut,

maka tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh Pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945, alinea ke 4 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tanah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan perdamaian dunia yang abadi

dan keadilan sosial menjadi terganggu. Demikian pula mewujudkan kukuh-kuatnya

NKRI yang merupakan berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh rakyat

2
Indonesia secara keseluruhan dan dilaksanakannya pembangunan di segala bidang

kehidupan menjadi sulit dilaksanakan.

Dalam hubungan ini sejarah bangsa Indonesia telah mencatat bahwa dalam

memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaannya, banyak sekali melibatkan

dan mengedepankan kepemimpinan informal, baik sebagai tokoh agama, tokoh adat

maupun sebagai tokoh-tokoh masyarakat lainnya baik pada tingkat lokal maupun

nasional dalam menjalankan kepemimpinannya tentunya tidak akan keluar dari budaya,

adat dan agama yang hidup dalam kehidupan masyarakatnya. Selain itu dalam

menjalankan kepemimpinannya, para pemimpin informal sangat memperhatikan hukum

dan peraturan yang berlaku di masyarakat secara serasi dan selaras.

Kepemimpinan informal yang telah melekat dan lebih dekat dengan masyarakat,

memiliki daya magnit yang tinggi karena kemampuannya dalam merefleksikan

kehendak yang dipimpin. Meskipun dalam anggota masyarakat yang dipimpin sangat

majemuk, namun karena sikap empati dan simpatik yang dimilikinya membuat dirinya

mampu menjadi perekat dan sekaligus sanggup menghadapi berbagai masalah dan

tantangan serta mampu menyelesaikan masalah secara arif dan bijaksana.

Pemberdayaan kepimpinan informal yang selama ini hanya digunakan untuk

membentuk penciptaan kondisi mantap di berbagai wilayah dirasakan tidak efektif. Hal

ini dikarenakan keberadaannya kurang diperhitungkan dan dianggap sebagai

pelengkap yang secara otomatis selalu dapat berbuat baik untuk kepentingan orang

banyak. Padahal kita semua memahami, bahwa kepemimpinan informal merupakan

pemimpin di dalam kelompok-kelompok masyarakat, keberadaannya sebagai panutan

serta penggerak masyarakat yang dihargai, dicintai, disegani dan memiliki kharisma.

3
Manakala hal ini dapat dikuasai oleh pemerintah melalui pendekatan manusiawi yang

terencana, terarah, teratur, terukur dan berkesinambungan, maka diharapkan berbagai

kerawanan yang mengarah terjadinya benturan/konflik yang muncul di wilayah

nusantara dapat diminimalisasi dan bahkan ditiadakan.

Berkaitan dengan hal itu, keberadaan segenap komponen masyarakat

khususnya komunitas kepimpinan informal, perlu mendapatkan perhatian yang lebih

serius. Berbaurnya komponen masyarakat khususnya komunitas kepemimpinan

informal ini secara langsung dalam interaksi atau dinamika kehidupan masyarakat luas

merupakan peluang dan potensi yang harus dimanfaatkan melalui pembinaan secara

konsisten dan berkelanjutan. Komunitas komponen kepemimpinan informal perlu

dikondisikan agar dapat berperan aktif dalam membantu pemerintah dan lembaga

kenegaraan formal lainnya, melalui langkah-langkah konkrit yang rasional dan terukur

guna mendorong pembangunan nasional dalam rangka mempertahankan keutuhan

NKRI.

Sementara itu berdasarkan uraian tersebut di atas, peran kepemimpinan informal

dengan segala sifat dan ciri kepemimpinan yang dimiliki, merupakan faktor penting dan

telah memberikan kontribusi yang cukup besar, serta akan tetap dapat memainkan

perannya dalam penyaluran aspirasi rakyat, sekaligus mendorong partisipasi

masyarakat dalam pembangunan. Kendati demikian peran kepemimpinan informal,

sebagai akibat dari dinamika perubahan jaman dan akibat dari perubahan-perubahan

sosial, disamping merupakan perwujudan, dari pergeseran aspirasi dan tuntutan

masyarakat. Permasalahannya adalah, bagaimana menemukenali upaya-upaya

pemberdayaan kepemimpinan informal, sehingga diharapkan hasil penemukenalan

4
mampu mendorong pembangunan nasional dalam rangka mempertahankan keutuhan

NKRI.

2. Maksud dan Tujuan

a. Maksud

Maksud dari penulisan TASKAP ini sebagai wahana pemikiran konseptual

untuk menemukenali dalam memberdayakan kepemimpinan informal sebagai

bagian dari kepemimpinan nasional guna mendorong terlaksananya

pembangunan nasional yang lancar, mantap dan aman sehingga pada gilirannya

dapat mempertahankan keutuhan NKRI.

b. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan TASKAP ini adalah untuk memberikan sumbangan
pemikiran kepada berbagai pihak yang terkait dalam pemberdayaan
kepemimpinan informal sebagai bagian integral guna mendorong pembangunan
nasional serta memberikan kontribusi positif dalam mempertahankan keutuhan
NKRI.
3. Ruang Lingkup dan Tata Urut

a. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penulisan TASKAP ini adalah analisis terhadap


pemberdayaan kepemimpinan informal saat ini dan problematikanya, serta
menemukenali upaya peningkatan peran kepemimpinan informal guna
mendorong pembangunan nasional dalam rangka mempertahankan keutuhan
NKRI.
b. Tata Urut

Guna memudahkan pembahasan serta penyajian Kertas Karya Perorangan


(TASKAP) ini, perlu disusun dengan tata urut sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan;

Bab ini membahas tentang latar belakang pemberdayaan kepemimpinan

informal, maksud dan tujuan penulisan serta metode dan pendekatan, ruang

5
lingkup dan tata urut serta beberapa pengertian yang digunakan dalam

penulisan.

Bab II : Landasan Pemikiran;

Dalam bab ini membahas landasan pemikiran yang menempatkan

paradigma nasional sebagai acuan dasar dalam setiap langkah analisis tulisan

yang mencakup Pancasila sebagai landasan Idiil; UUD 1945 sebagai landasan

Konstitusional; Wawasan Nusantara sebagai landasan Visional; Ketahanan

Nasional sebagai landasan Konsepsional; serta; GBHN/PROPENAS sebagai

landasan Operasional.

Bab III : Kondisi Pemberdayaan Kepemimpinan Informal saat ini;

Dalam bab ini menguraikan tentang kondisi pemberdayaan kepemimpinan

informal saat ini dan dampaknya kepemimpinan informal terhadap pembangunan

nasional serta permasalahan yang dihadapi dalam rangka mempertahankan

keutuhan NKRI.

Bab IV : Pengaruh Perkembangan Lingkungan Strategis;

Dalam Bab ini berisi tinjauan terhadap perkembangan lingkungan

strategis baik lingkungan global, lingkungan regional maupun lingkungan

nasional yang dalam pemberdayaan kepemim-pinan informal, serta peluang

maupun kendala yang ditimbulkannya terhadap peningkatan pemberdayaan

kepemimpinan informal.

Bab V : Kondisi Pemberdayaan Kepemimpinan Informal Yang Diharapkan;

Bab ini membahas tentang pemberdayaan kepemimpinan informal yang

diharapkan, konstribusi pemberdayaan kepemimpinan informal terhadap

6
pembangunan nasional serta pemberdayaan kepemimpinan informal dalam

mempertahankan keutuhan NKRI.

Bab VI : Konsepsi Pemberdayaan Kepemimpinan Informal Guna

Mendorong Pembangunan Nasional;

Bab ini membahas tentang Kebijaksanaan, strategis dan upaya-upaya

yang dilakukan secara tepat dalam meningkatkan pemberdayaan kepemimpinan

informal guna mendorong pembangunan nasional dalam rangka

mempertahankan keutuhan NKRI.

Bab VII : Penutup

Bab ini berisi beberapa kesimpulan tentang analisis yang telah dilakukan,

serta saran-saran yang disampaikan untuk pertimbangan langkah tidak lanjut

dalam pemberdayaan kepemimpinan informal secara nyata dan operasional.

4. Metode dan pendekatan

a. Metode

Penulisan Kertas Karya Perorangan (TASKAP) ini disusun dengan metode

deskriptif analitis, diskusi-diskusi, studi kepustakaan dan pengalaman di

lapangan melalui observatif dengan tetap memperhatikan obyektivitas kajian

sehingga tetap mengikuti kaidah-kaidah penulisan.

b. Pendekatan

Adapun pendekatan yang digunakan di dalam menyusun Kertas Karya

Peorangan (TASKAP) ini adalah komprehensif integral dan menyeluruh pisau

analisis Wawasan Nusantara dan ketahanan Nasional.

7
5. Pengertian-Pengertian

a. Pemberdayaan, adalah kemampuan seseorang mempengaruhi pihak lain

dengan cara, sehingga pihak lain secara sadar mau berbuat untuk mendukung

keinginannya.

b. kepemimpinan, adalah proses mempengaruhi orang lain agar mau

melaksanakan secara ikhlas untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok

c. Kepemimpinan formal, adalah mempengaruhi komponen bangsa dalam

pelaksanaan pembangunan nasional oleh para pemimpin di dalam struktur

kepemerintahan

d. Pemimpin formal adalah seseorang yang oleh organisasi tertentu

(pemerintah/swasta) ditunjuk (berdasarkan surat keputusan dari organisasi yang

bersangkutaan) untuk memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi yang

ada, dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya, untuk

mencapai sasaran-sasaran organisasi yang telah ditetapkan.

e. Kepemimpinan informal

Orang yang tidak mendapatken pengangkatan formal sebagai pemimpin namun

karena ia memiliki sejumlah kualitas unggulan, dan mencapai kedudukan

sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu

kelompok atau masyarakat. (DR. Kartini Kartono 1999:19)

Dengan kata lain bahwa kepemimpinan informal adalah kemampuan seorang

pemimpin untuk mempengaruhi suatu kelompok atau masyarakat karena

sejumlah kualitas unggulan, bukan karena suatu kedudukan formal atau

kekuasaan yang melekat seperti pada setiap pemimpin formal.

8
f. Tokoh Masyarakat

Orang terkemuka, orang yang disegani masyarakat dan mempunyai pengaruh

sangat besar bagi kehidupan masyarakat baik di bidang politik, ekonomi,

pendidikan, kebudayaan/adat istiadat, maupun kemampuan dalam penyelesaian

permasalahan-permasalahan yang timbul dalam masyarakat.

Jadi tokoh masyarakat, adalah orang terkemuka karena ketokohannya, sehingga

dianggap dan diakui sebagai pemimpin masyarakatnya, misalnya tokoh agama,

adat, pemuda, mahasiswa/ pelajar, pendidikan, dapat melaksanakan fungsi dan

perannya di dalam masyarakat secara baik.

g. Pembangunan Nasional, adalah rangkaian upaya pembangunan yang

berkesinambungan, yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan

negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang tercantum

dalam Pembukaan UUD 1945.

h. NKRI, adalah suatu definisi negara yang dianut oleh Indonesia seperti

tertuang pada Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Negara Indonesia

adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.

i. Wawasan Nusantara, adalah cara pandang bangsa Indonesia,

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tentang diri dan lingkungannya, dalam

keberadaannya yang sarwa nusantara, dimana perwujudannya memerlukan satu

kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan di seluruh

kepulauan Nusantara.

j. Ketahanan Nasional, adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang berisi

keuletan dan ketangguhan, yang memiliki kemampuan mengembangkan

9
kekuatan nasional untuk menghadapi dan mengatasi segala tantangan,

ancaman, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari dalam maupun dari

luar negeri, secara langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas,

identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta perjuangan

mengejar tujuan nasional.

10
BAB II

LANDASAN PEMIKIRAN

6. Umum

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, hal ini di tandai dengan banyaknya
penduduk yang sudah mencapai lebih dari 220 juta jiwa, terdiri dari berbagai suku,
budaya, ras, agama. Kemajemukan ini satu pihak merupakan potensi yang sangat
besar dalam membangun bangsa dan negara, namun di pihak lain juga merupakan
tantangan yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus, karena keaneka ragaman
dan kemajemukan ini akan dapat berdampak negatif berupa perpecahan bangsa, untuk
itu di perlukan kebersamaan dan persatuan yang benar-benar solid untuk mengatasi
berbagai permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dari kenyataan yang terjadi saat ini menunjukkan adanya erosi wawasan

kebangsaan yang sangat mengkhawatirkan, hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai

perbedaan padangan antara golongan maupun partai, konflik-konflik yang terjadi baik

vertikal maupun horizontal, pertikaian antar suku yang pada akhirnya akan berkaitan

dengan konflik SARA. Tantangan masa depan bangsa Indonesia, mengisyaratkan

sangat diperlukan kemantapan dan kokohnya integritas nasional. Dengan terwujudnya

integritas nasional yang mantap, maka sudah merupakan suatu kondisi yang sangat

kondusif untuk mengimplementasikan konsepsi ketahanan nasional dalam menangkal

disintergasi bangsa.

Karena demikian kompleksnya permasalahan bangsa Indonesia, maka

keberadaan kepemimpinan informal baik secara langsung maupun tidak langsung telah

mempengaruhi berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sejalan

dengan hal tersebut maka peran kepemimpinan informal diharapkan mampu

mendorong, membimbing, serta menggerakan penyelenggaraan kehidupan bangsa

guna mendorong pembangunan nasional. Oleh karenanya, pemberdayaan

11
kepemimpinan informal sangatlah diperlukan dengan mempedomani peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai suatu proses manajemen yang sangat kompleks meliputi pembinaan

terhadap seluruh komponen yang sangat majemuk, dengan latar belakang sosial

budaya yang beraneka ragam, dengan beragam kondisi dan potensinya, serta berada

pada lingkungan strategis yang senantiasa berubah, maka keberhasilan

penyelengaraan pembangunan sangat ditentukan oleh kemampuan kepemimpinan

informal untuk menumbuhkan partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat,

disamping menjamin arah pembangunan nasional agar senantiasa berada pada

kerangka paradigma nasional yang meliputi : Pancasila sebagai landasan Idiil; UUD

1945 sebagai landasan Konstitusional; Wawasan Nusantara sebagai landasan Visional;

Ketahanan Nasional sebagai landasan Konsepsional, dan GBHN/ PROPERNAS

sebagai landasan Operasional.

7. Pancasila Sebagai Landasan Idiil

Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, telah mewarnai sejarah kehidupan bangsa Indonesia.

Sejarah Indonesia telah mencatat pasang surutnya kehidupan berbangsa dan

bernegara khususnya bangsa Indonesia terlibat dalam pergulatan membahas dan

berdebat dalam menentukan bentuk dan dasar negara. Perdebatan tersebut wajar

karena Indonesia sebagai negara baru merdeka mencari bentuk jati dirinya. Karena

Indonesia terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang beragam, maka dasar

negara harus ditetapkan atau dipilih tentunya yaitu ideologi atau nilai yang dapat

12
diterima dan dapat menjadi perekat sesama komponen bangsa dalam wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Bangsa Indonesia harus merasa bersyukur karena telah mempunyai Pancasila

sebagai landasan hidup. Falsafah yang terkandung di dalam Pancasila memiliki nilai-

nilai luhur yang mendasari etika dan moral kebangsaan. Aktualisasi norma dan etika

kebangsaan bukan saja berfungsi sebagai faktor yang dapat meningkatkan

kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan informal, tetapi berfungsi pula untuk

membangkitkan komitmen bersama seluruh manusia Indonesia dalam mendorong

terwujudnya pembangunan nasional.

Dalam kaitanya dengan Pancasila tersebut, nilai-nilai luhur yang tercantum

dalam sila-sila Pancasila, merupakan landasan moral bagi pemimpin informal yang

harus benar-benar diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat,

sehingga mampu memandang suatu persoalan secara obyektif dengan memperhatikan

kepentingan nasional.

8. UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional

UUD 1945 merupakan landasan konstitusional negara Republik Indonesia dan

merupakan hukum dasar tertulis. Sebagai negara berdasar atas hukum, kekuasaan

pemerintah tidak bersifat absolud atau tidak tak terbatas. Kedaulatan berada di tangan

rakyat yang dipresentasikan oleh MPR. Sedangkan penyelenggara kekuasaan

pemerintah dituangkan lebih lanjut ke dalam tata kelembagaan tinggi negara dan tata

kelembagaan negara. Sistem kenegaraan bersifat demokratis, tercermin dalam proses

pengambilan keputusan yang bersumber dari aspirasi rakyat serta mengacu kepada

13
kepentingan rakyat. Hal ini mengandung makna bahwa penyelenggara pemerintah

harus berorientasi pada kepentingan rakyat dan memberikan pelayanan kepada rakyat.

Pemimpin informal dalam melaksanakan setiap usahanya hendaknya senantiasa

berdasarkan pada nilai-nilai instrinsik UUD 1945, dimana pada pasal 18 b ayat (2)

menyatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum dapat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang

diatur undang-undang , berarti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Negara hukum yang mengandung arti bahwa setiap pemimpin dalam mengaplikasikan

kepemimpinannya harus senantiasa berdasar atas hukum.

Setiap produk hukum, seperti undang-undang, peraturan, atau putusan

pemerintah harus berlandas dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi dan tidak

boleh bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, UUD 1945 dalam kerangka

atau tata tingkatan norma hukum yang berlaku merupakan hukum yang menempati

kedudukan tertinggi. Selain itu UUD 1945 juga mempunyai fungsi sebagai alat kontrol

terhadap norma yang lebih rendah apakah sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan

yang ada dalam UUD 1945.

Dalam rangka pemberdayaan dan pendayagunaan kepemimpinan informal guna

mendorong pembangunan nasional, UUD 1945 memadukan dengan formulasi hukum

sebagai payung yang bersifat memayungi setiap penentuan kebijaksanaan, strategi dan

upaya yang dilaksanakan. Melalui bela negara diharapkan setiap warga negara

umumnya dan pemimpin informal khususnya diharapkan memberikan kontribusi positif

14
dan konkrit dalam implementasinya sehingga pada akhirnya dapat mempertahankan

keutuhan NKRI.

9. Wawasan Nusantara Sebagai Landasan Visional

Sementara itu berdasarkan tinjauan sejarah kepemimpinan bangsa Indonesia,

maka tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 dalam bentuk

melindungi segenap tanah tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta mewujudkan perdamaian dunia yang

abadi menjadi terganggu. Pada tanggal 26-28 Oktober 1928, berbagai tokoh dari

bermacam-macam organisasi pemuda itu menyelenggarakan kongres pemuda di

Jakarta, dengan tujuan untuk menyatukan gerakan pemuda di seluruh Indonesia.

Kongres pemuda yang bersifat lintas-agama, lintas-suku, lintas-aliran poltik itu

akhirnya mencetuskan ikrar bersama yang amat besar artinya bagi perjuangan rakyat

Indonesia kemudian, yaitu Sumpah Pemuda. Ikrar bersama yang bersejarah ini

dikumandangkan tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda itu berbunyi : Kami putra

dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami putra dan

putri Indonesia, mengaku bertanah-air yang satu, tanah-air Indonesia; Kami putra dan

putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Sumpah Pemuda mempunyai peran penting untuk mempersatukan rakyat, baik

semasa pemerintahan kolonial Belanda maupun selama revolusi. Karena itu, sumpah

pemuda harus tetap menjiwai bangsa Indonesia dalam berbagai bidang.

Intisari Sumpah Pemuda adalah Bhineka Tunggal Ika, yang mengandung

pengertian bahwa walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, ras

dan aliran politik, tetapi tetap merupakan kesatuan bangsa, atau bangsa yang satu.

15
Dengan kalimat lain, tercermin di situ satu konsep besar yang indah : kesatuan dalam

perbedaan, atau berbeda-beda tetapi satu, atau persatuan dalam keragaman.

Wawasan Nusantara sebagai landasan visional merupakan cara pandang

bangsa Indonesia tentang eksistensinya sebagai bangsa yang mampu memberikan

orientasi dan semangat dalam mengambil langkah-langkah kepada masa depan yang

dinamis untuk mencapai tujuan nasional. Wawasan Nusantara mengamanatkan

persatuan dan kesatuan bangsa dengan memantapkan sikap kebersamaan yang tinggi,

senasib sepenanggungan sebagai suatu tekad dengan lebih mengutamakan

kepentingan nasional daripada kepentingan pribadi atau golongan.

Wawasan Nusantara juga merupakan pedoman dan pemberi motivasi bagi

segenap warga negara Indonesia dalam berpikir, bersikap dan bertindak yang meliputi

segenap kehidupan kebangsaan yaitu : politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan

keamanan. Oleh karena itulah, pemberdayaan kepemimpinan informal sebagai

penyalur aspirasi masyarakat harus mampu menghadapi setiap ancaman dan

tantangan terhadap setiap perubahan, sebab Wawasan Nusantara tidak lain adalah

konsepsi ruang bangsa Indonesia yang mengamanatkan agar seluruh kepulauan

nusantara dan segenap isinya dibangun untuk mewujudkan kesatuan dalam segenap

aspek kehidupan baik yang alamiah maupun aspek sosial yang tertuang dalam

astagatra, kondisi ini diharapkan mampu untuk serta mewujudkan suatu kebahagiaan,

ketertiban dan perdamaian bagi seluruh umat manusia sehingga hak hidup bangsa

untuk mencapai tujuan nasionalnya dapat eksis di tengah-tengah lingkungan yang

serba nusantara.

16
10. Ketahanan Nasional Sebagai Landasan Konsepsional

Keanekaragaman ras, agama, kultur dan etnik dalam suatu negara biasanya

dianggap sebagai faktor negatif yang merugikan dan dapat mengganggu baik saat ini

maupun masa depan. Ketidak mampuan bangsa dan negara dalam menangani

perbedaan yang ada dalam masyarakat dapat menimbulkan berbagai gejolak dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara yang berada dalam posisi yang rentan terhadap

disintegrasi dan mengancam ketahanan nasional.

Keanekaragaman tersebut digambarkan dengan semboyan yang dimiliki yaitu

Bhineka Tunggal Ika. Adanya keanekaragaman tidak menghalangi terwujudnya cita-

cita satu bangsa dan satu negara. Dengan perkataan lain didalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara walaupun beranekaragam ras, agama, kultur

dan etnik dan hidup tersebar diantara beribu-ribu pulau di nusantara tetap

melaksanakan tekadnya untuk hidup bersatu sebagai satu bangsa yaitu bangsa

Indonesia.

Ketahanan Nasional yang merupakan kondisi dinamis bangsa Indonesia yang

terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk

mengembangkan kekuatan nasional untuk menghadapi dan mengatasi tantangan,

ancaman, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam

yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas serta

kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mewujudkan tujuan nasional.

Ketahanan Nasional tersebut mengandung asas : kesejahteraan dan keamanan;

komprehensif integral atau menyeluruh terpadu; mawas ke dalam mawas ke luar.

Ketahanan Nasional mempunyai sifat yang terbentuk dari nilai-nilai yang terkandung

17
dalam landasan dan asas-asasnya yaitu : mandiri; dinamis; wibawa; konsultasi dan

kerjasama. Manusia dalam hidupnya mempunyai dua hubungan yang erat, selain

hubungannya dengan Tuhan, yaitu hubungan dengan alam sekitar (trigatra) dan

hubungannya dengan sesama manusia (pancagatra). Oleh karena itu Ketahanan

Nasional juga ditentukan sampai seberapa kuat keadaan hubungan manusia dengan

dua hal tersebut.

Dalam konteks pemberdayaan kepemimpinan informal guna mendorong

pembangunan nasional, Ketahanan Nasional umumnya dan ketahanan sumber daya

manusia pada khususnya sangat berperan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara. Pemberdayaan kepemimpinan informal pada dasarnya sama dengan

pemberdayaan sumber daya manusia untuk meningkatkan Ketahanan Nasional

khususnya dan mendorong pembangunan nasional umumnya. Dengan Ketahanan

Nasional yang mantap dapat mendorong pembangunan nasional sehingga pada

gilirannya dapat mempertahankan keutuhan NKRI.

11. GBHN/Propenas Sebagai Landasan Operasional

Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah haluan penyelenggaraan

negara guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dan merupakan pencerminan

pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan oleh

Majelis Permusyawarptan Rakyat selama lima tahun. GBHN sebagai landasan

operasional memberikan arah kebijaksanaan bagi penyelenggaraan negara dalam

rangka mewujudkan suatu kehidupan yang demokratis dan berkeadilan sosial yang

merupakan perpaduan dari tata nilai, struktur, fungsi dan proses penyelenggaraan

negara serta pembangunan nasional secara keseluruhan untuk mencapai tujuan

18
nasional. Dalam Tatanan Pengambilan Keputusan Berkewenangan (TPKB), maka

Sistem Manajemen Nasional (SISMENNAS) adalah merupakan rangkaian upaya

pengambilan keputusan, kebijaksanaan dalam melaksanakan seluruh fungsi

manajemen yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,

pengendalian dan penilaian dengan kewenangan pembuatan aturan, penerapan aturan

dan pengujian aturan dalam rangka mencapai tujuan dengan efektif dan efisien. Dalam

TPKB menyangkut unsur-unsur SISMENNAS berupa Tata Kehidupan Masyarakat

(TKM) dan Tata Politik Negara (TPN) yang merupakan tatanan luar serta Tata

Administrasi Negara (TAN) dan Tata Laksana Pemerintahan (TLP) yang merupakan

tatanan dalam. Sifat nasional dari SISMENNAS meliputi cakupan keseluruhan aspek

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta seluruh bidang tatanan

wilayah dan tingkatan administrasi pemerintahan yang termasuk dalam sistem

administrasi negara.

Arah penyelenggaraan negara ini perlu dituangkan dalam rencana

pembangunan nasional yang bersifat strategis. Sesuai dengan amanat GBHN 1999,

penyelenggaraan negara tersebut dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional

(Propenas) yang ditetapkan oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Selanjutnya, Propenas dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta)

yang memuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan oleh

Presiden bersama DPR.

Untuk tahun pertama pelaksanaan GBHN 1999, kepada Presiden diberi

kesempatan untuk melakukan langkah-langkah persiapan, penyesuaian guna

menyusun Propenas dan Repeta dengan tetap memelihara kelancaran

19
penyelenggaraan pemerintah negara. Selama belum ditetapkan rencana pembangunan

tahunan berdasarkan GBHN 1999, pemerintah dapat menggunakan rencana anggaran

pendapatan dan belanja negara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Berdasarkan

pertimbangan tersebut, untuk tahun 2000 digunakan APBN yang telah disusun

sebelumnya, karena acuan yang baru tengah dipersiapkan. Guna menghindari

kekosongan acuan seperti sekarang ini, Propenas disusun untuk kurun waktu tahun

2001-2005.

Kondisi tersebut menuntut seluruh komponen bangsa Indonesia, terutama para

penyelenggara negara, elit politik dan pemuka masyarakat, termasuk didalamnya para

pemimpin informal untuk menyatukan visi dan bekerja keras dalam segala bidang

kehidupan guna mengembalikan harkat, martabat dan kesejahteraan bangsa Indonesia

yang telah terkikis, bahkan hilang karena hanyut dalam eforia reformasi

Dengan demikian, kepemimpinan informal sangat diperlukan dalam rangka

mensukseskan GBHN secara menyeluruh dan berkesinambungan sehingga mampu

menempatkan bangsa Indonesia berada sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Dalam rangka itu, para pemimpin informal harus terlebih dahulu mengerti, memahami

dan menghayati Visi, Misi dan Arah GBHN tahun 1999-2004, serta kaidah-kaidah

pelaksanaan operasionalnya.

20
BAB III
KONDISI PEMBERDAYAAN KEPEMIMPINAN INFORMAL SAAT INI

12. Umum

Bangsa Indonesia sebagian besar masyarakatnya yang paternalistik sangat

menghargai peran kepemimpinan informal, menempatkan mereka sebagai panutan

bagi kehidupan bermasyarakat, serta menjadi tempat bagi masyarakat untuk

bertanya, mengadu, bahkan berlindung. Namun masuknya arus globalisasi secara

tidak langsung mempengaruhi terhadap peran yang mereka ambil. Akibatnya

pengaruh globalisasi tersebut berdampak pada semakin banyak kasus-kasus

pertentangan di masyarakat baik yang bersumber dari kesukuan maupun

keagamaan. Hal ini disebabkan menenangkan masyarakat pada saat timbulnya

konflik, terbawa arus oleh pertentangan yang ada, ini nampak pada kasus-kasus

yang berunsur agama, suku/etnis.

Tidaklah heran apabila tingkah laku pemimpin informal selalu mendapat

perhatian atau sorotan, pembicaraannya telah mendapat tanggapan dan respon dari

masyarakat. Hal ini menempatkan kepemimpinan informal lebih berada pada nuansa

moral, sehingga menuntut untuk mampu menjadi panutan. Dengan posisi demikian

maka keberadaan kepemimpinan informal saat ini perlu diberdayakan terutama dalam

pelaksanaan pembangunan nasional yang pada gilirannya mempertahankan keutuhan

NKRI.

13. Pemberdayaan Kepemimpinan Informal Saat Ini

Untuk menjembatani pemahaman atau batasan tentang pengertian kepemimpinan

informal, perlu terlebih dahulu mencari formulasi atau pengertian kepemimpinan

21
secara umum. Secara sederhana pengertian kepemimpinan adalah seni, ilmu

(kemampuan seseorang) untuk mempengaruhi orang atau pihak lain agar mau

menuruti kemauannya.

Dalam setiap langkah dan permasalahan kepemimpinan, selalu terdapat 3 (tiga)

unsur yang paling berkait. Pertama : unsur manusia, yaitu manusia yang memimpin

dan yang dipimpin; Kedua : unsur sarana, yaitu prinsip dan teknik kepemimpinan yang

digunakan; Ketiga : unsur tujuan, yaitu sarana yang hendak dicapai bersama. Dalam

implementasinya jenis kepemimpinan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu Kepemimpinan

Formal dan Kepemimpinan Informal.

Kepemimpinan informal merupakan suatu komunitas individu atau komponen

masyarakat yang mampu mempengaruhi interaksi kehidupan sosial dengan masyarakat

luas, namun tidak memiliki legitimasi formal dan keterkaitan hukum dalam menerapkan

kepemimpinannya. Sebaliknya kepemimpinan formal adalah kelompok elit bangsa atau

komunitas pemimpin yang diatur dengan hukum atau legitimasi formal, terwadahi oleh

suatu organisasi dan harus memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu serta masuk

dalam koridor penerapan reward and punishment. Peranan pemimpin formal terhadap

masyarakat dan lingkungannya, hanya terbatas pada pemberian pengaruh berupa

sugesti, larangan dan dukungan untuk menggerakkan atau berbuat sesuatu. Dengan

demikian, pengaruhnya dapat bersifat positif dapat pula negatif.

Kepemimpinan informal umumnya dilatar belakangi oleh beberapa hal seperti :

faktor status, keturunan, kekayaan, pendidikan, pengalaman dan kharisma serta jasa

tertentu. Adapun dilihat dari wujud kepemimpinan informal antara meliputi :

22
a. Tokoh Agama, meliputi : wali, kiyai, ustadz, pastur, pendeta, biksu, alim

ulama, guru agama dan lain-lain.

b. Tokoh Adat, meliputi : Kepala suku, pemuka adapt dan lain-lain;

c. Tokoh Profesional, meliputi : pendidik/guru, keamanan (Hansip, Kamra),

pengusaha, dll;

d. Tokoh-tokoh lainnya, meliputi : anggota TNI/Polri, tokoh pemuda,

cendekiawan, mantan Kepala Desa/Lurah yang masih mempunyai pengaruh.

Untuk mengetahui sejauhmana peran kepemimpinan informal saat ini, dapat

ditinjau dari aspek peran pemimpin informal dalam interkoneksitas dengan masyarakat

dan lingkungan, aspek legitimasi, serta aspek hubungan antara supra dan infra struktur,

antara lain :

a. Aspek Peran Pemimpin Informal dalam Interkoneksitas dengan

Masyarakat dan Lingkungan

Dalam melaksanakan perannya, pemimpin informal dengan masyarakat saat ini

tidak dapat melepaskan dirinya dari situasi serta kondisi yang mempengaruhi

cara berpikir, bersikap dan bertindak. Sebagai penyalur aspirasi rakyat maupun

ikut melaksanakan kontrol sosial terhadap berbagai ragam situasi dan kondisi

yang juga menjadi filter dari berbagai macam kondisi sosial yang tidak sesuai

dengan masyarakat pada umumnya. Ini semua merupakan implementasi dari

interkoneksitas antara pemimpin informal dengan komunitas masyarakatnya dan

atau lingkungannya. Dengan kata lain, kepemimpinan informal harus mampu

mendinamisasi proses pembangunan nasional.

23
Proses munculnya kepemimpinan informal dari masyarakat justru bermula

dari kepercayaan masyarakat/kelompok lingkungan dikarenakan adanya

kelebihan yang dimilikinya, sehingga yang bersangkutan dihormati, disegani dan

berwibawa. Hal ini disebabkan karena dia mampu membawa lingkungannya ke

dalam situasi yang lebih baik walaupun secara terbatas melalui cara membujuk

sehingga timbul suatu kesadaran dari lingkungannya dengan iklas.

Di sisi lain, ketika terjadi reformasi dan tuntutan masyarakat menjadi lebih

dominan dibandingkan kepentingan penguasa, peran kepemimpinan informal

tersebut menjadi seperti kehilangan orientasi. Terhadap pejabat pemerintah tidak

ada gantungan lagi, sedangkan kepada masyarakat pendukungnya pijakan

mereka telah goyah. Ini merupakan kenyataan sejarah yang tentunya menjadi

beban yang sangat berat untuk dipikul oleh para pemimpin informal itu, yang

selama ini telah berperan secara tidak sepatutnya sebagai pemimpin non

informal.

Apabila dikaji hubungan sebab akibat dari berbagai fenomena dan isu-isu

tentang interkoneksitas antara pemimpin informal dengan komunitas

masyarakatnya dan atau dengan lingkungannya, maka dapat dipertanyakan

kualitas peran kepemimpinan informal saat ini. Dari ilustrasi di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa peran kepemimpinan informal belum berjalan sebagaimana

mestinya.

b. Aspek Legitimasi

Pengakuan bagi para pemimpin informal pada dasarnya datang dari masyarakat

lingkungannya sendiri, hal ini disebabkan karena yang bersangkutan mampu

24
untuk menggerakkan atau berbuat sesuatu dalam memberikan pengaruh berupa

sugesti, larangan, dukungan, pencegahan dan keberadaannya tidak

mendapatkan imbalan jasa dari pihak manapun. Dan di dalam menjalankan

kepemimpinannya mereka tidak mendapatkan dukungan dari suatu organisasi

formal. Dengan demikian dapat dikatakan pada umumnya legitimasi untuk

kepemimpinan informal tidak ada masalah karena sifatnya yang bottom up. Ini

disebabkan karena proses munculnya pemimpin informal justru bermula dari

adanya kepercayaan masyarakat yang dipimpin pada kelompoknya terhadap

kelebihan yang dimiliki oleh pemimpin yang dipilih.

Dengan legitimasi yang dimiliki oleh pemimpin informal selalu diberikan

penuh dari masyarakat yang dipimpinnya. Namun pada era orde baru sering

terjadi adanya rekayasa legitimasi terhadap pemimpin informal pada kelompok

tertentu apabila pemimpin kelompok yang dipilih tidak sesuai dengan kehendak

pemerintah, yang berakibat pada terjadinya gejolak yang berkepanjangan pada

kelompok tertentu akibat legitimasi yang selalu digoyang oleh rekayasa

pemerintah.

Berkurangnya kadar legitimasi kepemimpinan informal dapat ditinjau dari

dua aspek, yaitu dari pribadi pemimpin serta dari kelompok sosialnya. Dalam

ungkapan yang lazim dipakai di lingkungan kegiatan politik praktis, pemimpin

informal yang lebih mementingkan tuntutan pemerintah dibandingkan

mengutamakan rakyat adalah pemimpin yang sudah terkooptasi. Para pemimpin

informal tersebut berdasarkan pengamatan, cenderung melupakan kewajiban

25
untuk memenuhi kepuasan batin, kepuasan jasmani dan bahkan tidak

memberikan kepastian hukum.

Dari sisi masyarakatnya, melemahnya legitimasi kepemimpinan informal

disebabkan adanya perubahan sosial yang begitu cepat. Sehingga kultural fokus,

lapangan yang mendapat perhatian khusus dari kehidupan masyarkat seperti

politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan dengan cepat beralih.

Hal ini antara lain disebabkan karena adanya migrasi antar daerah, urbanisasi,

diferensiasi kerja, kompetisi usaha dan kedudukan birokrasi, dan sebagainya.

c. Aspek Hubungan antara Supra dan Infra Struktur

Kepemimpinan informal sebagai infra struktur politik secara garis besar

terdiri dari organisasi kemasyarakatan dan lembaga informal seperti lembaga

keagamaan, lembaga adat, perkumpulan keluarga dan lain-lain perkumpulan

yang tidak masuk rumusan organisasi kemasyarakatan, namun keberadaannya

diakui oleh masyarakat. Di samping kelompok kepentingan, maka infra struktur

politik adalah partai politik.

Pada masa sebelum era reformasi, infra struktur kepemimpinan informal

tidak dapat tumbuh sebagaimana mestinya, yang mencerminkan keberagaman

kepentingan yang tumbuh di masyarakat. Hal ini disebabkan besarnya kontrol

supra struktur/ pemerintah terhadap tumbuhnya lembaga informal, baik yang

berbentuk organisasi masyarakat maupun yang berbentuk non formal, sehinga

hanya lembaga/organisasi masyarakat yang membawa aspirasi yang sesuai

dengan keinginan pemerintah saja yang dapat tumbuh dengan wajar. Sedangkan

26
yang membawa aspirasi yang bertentangan dengan keinginan pemerintah tidak

diberi kesempatan untuk tumbuh berkembang.

Penyelenggaraan pemerintah yang sentralistis dan keterlibatan para

pemimpin informal dalam praktek pemerintahan yang cenderung memaksakan

kehendak tersebut, telah menyebabkan pemimpin informal berpartisipasi dalam

pembangunan secara setengah hati. Rasa takut dan keterpaksaan yang

berlangsung bertahun-tahun selama pemerintahan yang sentralistis itu telah

menyebabkan pemimpin informal kehilangan harkat dan martabat sebagai

komunitas orang-orang yang merdeka di negara merdeka. Mereka lantas merasa

terjajah oleh kepentingan politik pemerintah. Kehidupan pemimpin informal

dengan kualitas interaksi seperti itu jelas tidak sehat, karena interaksi-interaksi

sosial terjadi dalam keterpaksaan, sehingga ketidakjujuran perilaku menjadi

seperti hal yang biasa. Salah satu akibat langsung dari kondisi ini adalah

meregangnya ikatan-ikatan di antara sesama para pemimpin informal.

14. Dampak Pemberdayaan Kepemimpinan Informal Terhadap Pembangunan

Nasional

Berbicara masalah kepemimpinan informal, tidak terlepas dari pembangunan

nasional. Tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945

diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan

rakyat yang demokratis, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. penyelenggaraan negara dilaksanakan

melalui pembangunan nasional dalam segala aspek kehidupan nasional, oleh

seluruh aparatur pemerintah bersama dengan seluruh rakyat Indonesia.

27
Pembangunan nasional adalah pembangunan dari, oleh dan untuk rakyat,

dilaksanakan di semua aspek kehidupan bangsa yang meliputi aspek politik, ekonomi,

sosial budaya dan pertahanan keamanan, yang diselenggarakan dengan membangun

bidang-bidang pembangunan diselaraskan dengan sasaran jangka panjang yang ingin

diwujudkan. Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus

menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil

dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggara negara

yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila.

Pembangunan nasional diarahkan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan

rakyat lahir dan batin, termasuk terpenuhinya rasa aman, tenteram dan adil serta

terjaminnya kebebasan mengeluarkan pendapat. Pembangunan nasional menghendaki

keselarasan hubungan antara manusia dengan TuhanNya, antara sesama manusia dan

antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.

Pemberdayaan kepemimpinan informal secara aktif dalam pembangunan sangat

diperlukan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan dan

pengendaliannya. Saat ini merupakan masa transisi dari pembangunan dengan nuansa

era Orde Baru ke nuansa Reformasi telah mengalami perubahan. Perubahan mendasar

antara lain adalah wujud peran kepemimpinan informal pada Orde Baru lebih banyak

hanya menerima saja, sedangkan era Reformasi menuju pada peran pemerintah yang

dikurangi dan hanya memfasilitasi.

Pemberdayaan kepemimpinan informal dalam pembangunan tidak lepas dari

tatanan politik yang digunakan, di mana pada saat yang lalu pemerintah sebagai supra

struktur politik yang kuat. Disadari atau tidak posisi ini tidak menguntungkan bagi

28
pembangunan nasional. Demokratisasi yang sudah mendunia menuntut peran serta

pemimpin informal yang lebih besar dan mengurangi peran pemerintah (government)

pada hal-hal yang dapat dilakukan pemimpin informal.

Apabila kita berbicara tentang pemberdayaan, maka yang dimaksud adalah

keterlibatan secara aktif dan langsung kepemimpinan informal dalam berbagai kegiatan

pembangunan, yang meliputi pembangunan aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial

budaya dan pertahanan keamanan, baik dalam skala kecil maupun besar sebagai

wujud peran sertanya memberikan kontribusi terhadap kelangsungan pembangunan

nasional menuju tercapainya tujuan nasional.

a. Pemberdayaan Kepemimpinan Informal di Bidang Ideologi

Dalam konteks idoelogi, sebagian besar pemimpin informal masih belum

memahami dengan benar arti adanya perbedaan- pendapat dan sebaliknya yang

terjadi adalah berusaha memaksakan kehendak dan menganggap

pandangannya sebagai pandangan yang paling benar.

Pancasila yang digali dari kepribadian bangsa, telah diakui dan dibuktikan

keampuhannya sebagai dasar negara. Namun dengan berkembangnya tuntutan

zaman, Pancasila pada tataran nilai operasional harus dapat menyesuaikan.

Nampaknya tidaklah mudah mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam

pembangunan nasional dewasa ini sebagai wujud peran serta pemimpin

informal. Sebagian pemimpin informal belum dapat mengamalkan kedalam

kehidupannya sehari-hari, tetapi baru sekedar menghafal arti harfiahnya.

Disadari atau tidak, nilai-nilai liberalisme yang datang dari barat telah

masuk dan memberi warna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

29
bernegara. Sebagai indikasinya adalah lunturnya sikap kegotong royongan dan

lebih menonjolkan individualisme yang nampak dari pemimpin informal selama

ini.

b. Pemberdayaan Kepemimpinan Informal di Bidang Politik

Proses reformasi dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia oleh para elit politik

masih disalah artikan, sehingga berdampak kepada pemimpin informal dalam

menjalankan kepemimpinannya. Kebebasan menyalurkan aspirasinya ternyata

tidak dilakukan dengan cara-cara yang demokratis, bahkan sering menjurus

kepada tindakan-tindakan anarkhis yang justru menodai demokrasi itu sendiri.

Pemberdayaan kepemimpinan informal dalam pembangunan politik yang

pada masa lalu bahkan diwarnai rekayasa, dalam tekanan dan tidak berani

mengeluarkan aspirasi, sekarang mulai bergeser ke arah tuntutan

pemberdayaan yang benar. Dalam infra struktur politik yang bernuansa

reformatif, peran pemimpin informal nampak berlebihan dan terjadi euphoria.

Saluran aspirasi yang pada jaman orde baru seolah-lah tersumbat, saat ini

terjadi perubahan yang luar biasa. Partai-partai politik yang ada bahkan

bertambah terus, seolah-olah tidak dapat menampung peran serta pemimpin

informal dalam menyalurkan aspirasinya. Aspirasi-aspirasi yang dimunculkan,

dalam lembaga-lembaga perwakilan lebih berbau mewadahi kepentingan

kelompok dari pada kepentingan nasional. Demikian kuatnya suara-suara di

lembaga perwakilan, sehingga seolah-olah pemerintah sulit mendapatkan ruang

gerak.

30
Pers sebagai media kontrol, selama ini berada dalam posisi dilematis.

Kebebasan yang diberikan pemerintah telah dimanfaatkan secara optimal.

Dengan dibubarkannya Departemen Penerangan dengan alasan departemen

tersebut dituduh sebagai alat kontrol pemerintah terhadap pers yang dapat

membelenggu kebebasan, maka pers telah mendapatkan hak-haknya secara

baik. Harus diakui pada saat yang lalu pemerintah telalu ketat mengontrol pers,

sehingga pemberdayaan kepemimpinan informal sangat kurang.

c. Pemberdayaan Kepemimpinan Informal di Bidang Ekonomi

Krisisi ekonomi berkepanjangan yang dampaknya menyentuh ke semua aspek

kehidupan. Pengelolaan pembangunan tidak berlangsung secara transparan

sehingga membuka peluang terjadinya KKN, kebocoran dana pembangunan,

pemborosan dan lain sebagainya, kondisi ini memperkuat rasa apatisme para

pemimpin informal dalam berpartisipasi pada pembangunan.

Peran serta pemimpin informal dalam mengembangkan usaha kecil dan

menengah yang mulai diberdayakan nampaknya akan dapat berkembang. Pada

saat terjadi krisis, di mana industri besar mengalami kebangkrutan, justru usaha

kecil dan menengah tidak terpengaruh. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah

memberikan arah dan bimbingan agar usaha kecil dan menengah sebagai wujud

peran serta pemimpin informal di bidang ekonomi mempunyai daya saing yang

tinggi. Konsep ekonomi kerakyatan yang digulirkan beberapa tahun lalu dapat

memberikan ruang yang cukup luas bagi peran pemimpin informal dalam

pembangunan ekonomi, sekaligus memperkokoh fondasi ekonomi nasional

dalam rangka pembangunan nasional.

31
d. Pemberdayaan Kepemimpinan Informal di Bidang Sosial Budaya

Pada bidang sosial budaya, peran pemimpin informal masih sangat kental

terhadap fanatisme kesukuan, agama, ras dan sifat etnosentrisme yang

menganggap budaya miliknya adalah yang paling benar dan baik. Masih terdapat

sikap eksklusifisme sosio kultural dari sekelompok kecil pemimpin informal kelas

atas yang dapat memicu tumbuhnya kecemburuan sosial pada mayoritas

masyarakat miskin serta lemahnya supremasi hukum. Masyarakat Indonesia yang

pada masa lalu terkenal akrab dengan budaya gotong royong saat ini nampaknya

adanya penipisan. Salah satu penyebabnya adalah pengaruh budaya lain. model-

model pemberdayaan kepemimpinan informal yang dilaksanakan di daerah-

daerah pedesaan mulai tidak nampak, tergeser dengan individu dan materialistik.

Pemberdayaan pemimpin informal dalam bidang pendidikan dapat

dikategorikan belum tinggi. Dua penyebab yang mempengaruhi hal tersebut

adalah pertama berkaitan dengan biaya, dan kedua adalah kesadaran atau

pandangan menatap masa depan. Biaya sekolah saat ini terbilang cukup tinggi,

apalagi sampai di perguruan tinggi, sehingga hanya kelompok kecil masyarakat

yang dapat memanfaatkannya. Sebagian lagi baru sampai Sekolah Lanjutan

Tingkat Atas, bahkan masih banyak yang putus selagi masih di Sekolah Dasar

dengan alasan membantu mencari nafkah orang tua. Di pedesaan masih banyak

masyarakat yang buta huruf, bahkan di wilayah timur Indonesia lebih banyak

lagi.

32
Pemberdayaan pemimpin informal dalam bidang sosial budaya saat ini

belum dalam berperan secara optimal dan maksimal untuk mengatasi

permasalahan yang muncul di masyarakat.

e. Pemberdayaan Kepemimpinan Informal di Bidang Pertahanan

Keamanan

Pemberdayaan kepemimpinan informal di bidang pertahanan dan keamanan

khususnya bela negara masih rendah. Upaya bela negara bagi pemimpin informal

masih ditafsirkan keliru, sehingga menimbulkan pro dan kontra, sebagai contoh

para pembentukan Pamswakarsa yang memperoleh tanggapan bersama

menolak, hal ini merupakan indikasi sikap curiga pemimpin informal terhadap

aparat keamanan yang berlebihan dan tidak relevan.

Upaya-upaya TNI/POLRI melakukan reformasi internal yang menyangkut

kultur, struktur dan doktrin masih belum diterima secara wajar oleh simpul-simpul

pemimpin informal tertentu. Kondisi keamanan dalam negeri masih belum

kondusif bagi pembangunan nasional. Pelanggaran-pelanggaran yang disertai

kekerasan masih banyak terjadi, demonstrasi-demonstrasi yang dimotori oleh

pemimpin informal cenderung tidak terkendali dan mengarah pada tindakan

anarkhis.

15. Permasalahan yang dihadapi

Permasalahan pembahasan di atas dapat ditemukan beberapa permasalahan yang

dapat diidentifikasikan sebagai kelemahan dalam proses pemberdayaan kepemimpinan

informal guna mendorong pembangunan nasional, antara lain :

33
a. Hilang atau rendahnya kepercayaan masyarakat khususnya

komunitas kepemimpinan informal kepada pemerintah/birokrasi terutama

menyangkut kepastian hukum akan mempersulit upaya pemberdayaan

kepemimpinan informal termasuk pencapaian sasaran dalam mendorong

pembangunan nasional.

b. Tidak atau belum terciptanya hubungan kemitraan yang

simbiosis mutualistis antara birokrasi dengan pemimpin-pemimpin informal dapat

mendorong berkembangnya sikap apatisme komunitas kepemimpinan informal

terhadap upaya-upaya untuk mendorong pembangunan nasional.

c. Apabila kesenjangan atau perbedaan persepsi antara

pemerintah dengan komunitas kepemimpinan informal tentang berbagai hal

berkaitan dengan pembangunan nasional tidak dapat dihilangkan atau

setidaknya diminimalisasi, maka pemberdayaan kepemimpinan informal tidak

akan optimal bahkan pengaruhnya dapat tergiring ke arah yang berseberangan

dengan tujuan serta sasaran yang diharapkan.

d. Keberadaan pemimpin informal apabila tidak terdata dan tidak

terbina dengan baik, sehingga keberadaannya kurang termonitor dan manakala

akan dibutuhkan pihak pemerintah sulit menghubungi karena terkesan

kehilangan jejak.

e. Pengakuan dan penghargaan serta itikad baik dari pihak

pemerintah kepada pemimpin informal tidak ditindaklanjuti secara berjenjang dan

berkesinambungan, sehingga timbul rasa masa bodoh.

34
f. Hubungan tali silahturahmi atau ikatan tali persaudaraan dan tali

persahabatan yang diharapkan dapat menjadi jembatan penghubung yang efektif

tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.

35
BAB IV
PENGARUH PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS

16. Umum

Perkembangan kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara tidak akan

terlepas dengan dinamika interaksinya dengan kecenderungan perkembangan

lingkungan strategis global, regional maupun nasional. Berkaitan dengan hal

tersebut, maka langkah-langkah pembinaan kehidupan sosial budaya masyarakat

melalui peningkatan kinerja komunitas kepemimpinan informal sebagai mitra

kepemimpinan formal, tidak akan terlepas pula dari kecenderungan perkembangan

lingkungan strategis.

Akibat dari dampak perkembangan lingkungan strategis serta fenomena yang sedang

terjadi telah menimbulkan kecenderungan yang mengarah kepada perubahan sikap

yang cukup mendasar terhadap seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegera. Di sisi lain pada era refomasi, Indonesia selalu melakukan interaksi

dengan perkembangan global dan regional menjadi kekuatan-kekuatan yang baru yang

tidak mengenal batas negara dan mengalir dari satu kawasan ke kawasan yang lain

dengan kecepatan canggih, Indonesia tidak bisa mengelak dari dampak baik positif

maupun negatif akibat arus informasi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka langkah-

langkah pembinaan diarahkan pada pemberdayaan kepemimpinan informal sebagai

mitra kepemimpinan formal, tidak akan terlepas pula dari variabel kecenderungan

perkembangan lingkungan strategis.

Lingkungan strategis akan sangat menentukan arah dan gerak kebijaksanaan

pembangunan bangsa pada saat ini, tepatnya sebagai sumber inspirasi untuk

36
menyelesaikan segala krisis yang sedang melanda bangsa ini. Atau bisa menjadi

sumber krisis yang tidak terselesaikan oleh ketahanan nasional kita yang berupa

kemampuan untuk menghadapi pengaruh negatif dalam kehidupan berbangsa. Untuk

menjaga kelangsungan kehidupan bangsa maka perkembangan lingkungan strategis

harus dapat terdeteksi dan teridentifikasi sejak dini guna mengatasi peluang dan

kendala untuk dimanfaatkan dalam mewujudkan tujuan nasional.

Diwarnai dengan kemajuan teknologi informasi dan transportasi, ketergantungan

hubungan antara negara makin nampak saling membutuhkan satu sama lain sehingga

dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif. Hal ini juga berpengaruh pada

sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pergeseran nilai akan senantiasa merupakan faktor berpengaruh baik terhadap

masyarakat luas sebagai objek pembangunan, maupun terhadap pemimpin-pemimpin

masyarakat non formal selaku komunitas kepemimpinan informal sebagai mitra subjek.

Oleh karena itu, perlu mencermati lebih mendalam terhadap kecenderungan

perkembangan lingkungan yang bersifat strategis, sebagai variabel peluang dan

kendala dalam pemberdayaan kepemimpinan informal.

Kondisi kehidupan bangsa Indonesia belakangan ini khususnya kepemimpinan

informalnya tidak dapat dilepaskan dari dinamika perkembangan lingkungan strategis,

yang apabila dicermati berbagai kecenderungan yang berkembang akan terasa bahwa

perubahan yang terjadi itu tidak berdiri sendiri, maupun merupakan suatu rangkaian

yang mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi.

Lingkungan strategis merupakan suatu kondisi yang selalu berubah setiap waktu yang

meliputi kondisi global, serta nasional yang berdampak dalam kelangsungan kehidupan

37
berbagai bangsa dan negara. Perubahan tersebut saat ini dirasakan semakin cepat

dikarenakan proses transformasi terjadi begitu cepat seiring dengan perkembangan

teknologi di era globalisasi.

17. Lingkungan Global

Berlakunya perkembangan telekomunikasi, informasi dan transportasi telah

mendorong terjadinya perubahan dengan munculnya fenomena globalisasi.

Walaupun globalisasi difasilitasi oleh perkembangan teknologi seperti teknologi

komunikasi dan informasi, tetapi yang paling penting adalah bahwa proses

globalisasi terutama didorong oleh berbagai keputusan politik baik pada level global

maupun nasional yang lebih didominasi oleh negara-negara maju. Sehingga

globalisasi merupakan suatu proses yang tidak seimbang dengan pembagian

manfaat dan kerugian yang kurang adil. Ketidak seimbangan ini telah menyebabkan

terjadinya suatu polarisasi di antara kelompok negara yang memperoleh manfaat

besar dari proses tersebut dan sekelompok negara yang mengalami kerugian.

Globalisasi melahirkan berbagai pengaturan internasional dan regional yang

mencerminkan kuatnya kaitan transnasional, dan saling penetrasi kebijaksaan

domestik. Dalam keadaan kondisi demikian, negara seolah-olah tidak lagi otonom

dalam menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaannya. Dorongan kemajuan teknologi

informasi, komunikasi dan transportasi menyebabkan terintegrasinya segenap aspek

kehidupan dunia.

Atas dasar hal-hal seperti tersebut diatas, issue-issue global di bidang HAM,

demokratisasi dan lingkungan hidup melanda di seluruh dunia dan seolah-olah sudah

merupakan suatu tuntutan atau kebutuhan bersama. Negara-negara maju dalam

38
mengembangkan pengaruhnya cenderung melakukan upaya-upaya dengan bentuk

kerjasama dan bantuan ekonominya terhadap negara-negara berkembang dengan

menerapkan issue global tersebut bahkan dapat berlanjut dengan diterapkannya sanksi

ekonomi. Kondisi demikian, diperhitungkan dapat menimbulkan suatu permasalahan

baru yang pada gilirannya dapat menghambat upaya pemberdayaan kepemimpinan

informal terhadap kesinambungan pembangunan nasional.

18. Lingkungan Regional

Perubahan yang terjadi di lingkungan regional telah membawa pengaruh pada

kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Khususnya krisis moneter yang

menyebabkan krisis ekonomi di beberapa negara di kawasan ini. Krisis ekonomi

dalam dua tahun terakhir ini menunjukkan bahwa kinerja ekonomi yang selama ini

menakjubkan di kawasan ini masih memiliki kelemahan sehingga perlu restruksi dan

reformasi secara subtansial. Negara-negara Asia yang tadinya mempunyai

kemampuan daya saing yang kompetitif sebagai kekuatan ekonomi yang

diperhitungkan dan sekaligus berperan penting dalam percaturan ekonomi, sedang

menghadapi kendala yang serius.

Perkembangan situasi politik dan ekonomi negara-negara maju baru di kawasan

tersebut juga akan membawa dampak terhadap negara sekitarnya seperti Filipina,

Thailand, Brunei Darussalam, Malaysia dan Indonesia, respon negara-negara ini

bila tidak menimbulkan komitmen bersama akan menimbulkan ketimpangan yang

pada gilirannya akan berpengaruh terhadap pembangunan nasional. Terbentuknya

kerjasama regional dalam bidang politik, ekonomi maupun kebudayaan, seperti

APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) atau ASEAN, telah membawa pengaruh

39
yang sangat signifikan terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara terutama pemberdayaan kepemimpinan informal guna mendorong

pembangunan nasional.

19. Lingkungan Nasional

Kecenderungan global dan regional sekaligus akan mempengaruhi kehidupan

bangsa Indonesia, kondisi obyektif di dalam negeri dapat mempengaruhi mekanisme

kepemimpinan informal. Kondisi objektif tersebut dapat ditinjau dari beberapa aspek,

yaitu :

Aspek Geografi

Kecenderungan geografis Indonesia yang berada di antara dua samudera

dan dua benua, serta di lintasi selat-selat penting yang merupakan jalur lalu

lintas ekonomi telah menempatkan posisi Indonesia sangat penting dalam

percaturan ekonomi dunia, dan menimbulkan perhatian banyak negara terutama

negara maju yang kepentingan nasionalnya sangat dipengaruhi oleh posisi

strategis Indonesia tersebut. Kondisi geografis ini membawa dampak positif

maupun negatif bagi pelaksanaan pembangunan di Indonesia termasuk

pembangunan di daerah. Dampak positif antara lain apabila Indonesia

memanfaatkan posisi strategis tersebut untuk meningkatkan posisi tawar dalam

percaturan dunia, serta apabila Indonesia dapat memanfaatkan besarnya arus

ekonomi yang melewati Indonesia untuk mendorong pembangunan nasional.

Sebaliknya, aspek negatif akan timbul apabila Indonesia tidak dapat menjaga

keseimbangan kepentingan negara maju terhadap posisi strategis tersebut,

40
maka dampak yang ditimbulkan adanya campur tangan, intervensi sampai

dengan invasi dari negara maju yang merasa terganggu kepentingannya.

Kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang

terbentang dari Sabang Merauke, dengan jumlah pulau + 17.845, dan 2/3 bagian

wilayah terdiri dari laut, telah menimbulkan beragam potensi dan tantangan

pemberdayaan kepemimpinan informal dalam pembangunan yang berbeda pada

setiap daerah, sehingga memerlukan kebhinekaan dalam kebijakan

pembangunan daerah, namun tetap dalam kerangka pembangunan nasional

dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI.

Aspek Demografi

Jumlah penduduk Indonesia yang pada tahun 2004 telah mencapai + 220

juta jiwa merupakan modal dasar yang sangat potensial untuk melaksanakan

pembangunan nasional. Namun akibat penyebaran penduduk tidak merata pada

setiap daerah, dimana sebagian besar penduduk terkonsentrasikan di Pulau

jawa, serta kualitas pendidikan maupun sosial ekonomi sebagian besar masih

rendah, justru akan menimbulkan masalah dan menjadi hambatan dalam

pelaksanaan pembangunan nasional, peran kepemimpinan formal dan informal

menjadi sangat kompleks.

Aspek Sumber Kekayan Alam

Kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan merupakan negara

kepulauan telah memungkinkan Indonesia memiliki sumber kekayaan alam yang

sangat beragam dan sangat melimpah serta bervariasi pada setiap daerah, yang

siap dikelolah demi kemakmuran rakyat melalui pembangunan nasional. Namun

41
sumber kekayaan alam tersebut juga dapat mengundang masyarakat negara

asing untuk memanfaatkannya secara tidak sah apabila negara Indonesia tidak

mampu memanfaatkan kepemimpinan formal dan informal dalam

pengawasannya.

Aspek Ideologi

Pancasila sebagai satu-satunya asas yang dijadikan panduan dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara telah diterima oleh sebagian

warga bangsa Indonesia. Hal ini misalnya dapat dilihat dari adanya kesepakatan

untuk tidak merubah Pembukaan UUD 1945. namun di balik semua ini masih ada

sebagian kecil oknum warga negara yang masih berusaha memperjuangkan

paham-paham sendiri dengan mengembangkan primordialisme sempit

berdasarkan agama, etnis, dan golongan serta adanya pemaksaan paham-

pahamnya itu kepada publik, sehingga tidak hanya mengancam proses

demokratisasi, tetapi juga membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara,

maka pemberdayaan kepemimpinan informal sangat diharapkan.

Aspek Politik

Keterpurukan bangsa Indonesia yang menjadi krisis nasional semakin

diperparah oleh munculnya berbagai kerusuhan yang bernuasa SARA

diantaranya di Banyuwangi (pembantaian dukun santet), Semanggi

(penembakan mahasiswa Trisakti), Ambon (pertikaian antar agama), Aceh

(penumpasan gerakan Aceh merdeka) dan lain-lain yang kesemuanya

menimbulkan kerugian harta dan jiwa yang tidak sedikit. Disamping itu, berbagai

42
tuntutan masyarakat semakin bermuncunlan dan menetapkannya sebagai

agenda reformasi.

Sistem politik pada era reformasi ini dengan dibebaskannya pendirian

partai-partai telah memberikan dorongan terciptanya kehidupan demokrasi yang

cukup signifikan dan relatif dapat menyerap aspirasi pemimpin-pemimpin

informal dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

Kebebasan pers yang ditandai dengan dicabutnya perijinan SIUPP telah

membuahkan + 1.200 penerbitan media cetak. Penyampaian pendapat dengan

unjuk rasa, dan lain sebagainya relatif dibebaskan dan diatur dengan undang-

undang Nomor 9 / 1999 tentang penyampaian pendapat dimuka umum. Desakan

masyarakat untuk mewujudkan otonomi daerah telah dijelaskan dengan undang-

undang Nomor 22/1999 tentang otonomi daerah dan nomor 25 / 1999 tentang

perimbangan keuangan pusat dan daerah. Namun disisi lain masih terdapat

beberapa daerah (Aceh, Riau dan Irian Jaya) yang sebagian masyarakatnya

menutut untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal

tersebut dipicu oleh tidak berimbangnya pembagian penghasilan daerah yang

tersedot ke pemerintah pusat, sehingga kehidupan perekonomian di daerah-

daerah tersebut masih jauh dari layak.

Aspek Ekonomi

Tanda-tanda membaiknya perekonomian masyarakat masih samar,

mengingat masih lemahnya nilai tukar rupiah dengan mata uang asing (US $),

43
walaupun berbagai kebijakan pemerintah telah menimbulkan peluang yang

leluasa, khususnya menghapuskan sistem monopoli (kecuali beras) dan

membiarkan dengan sistem pasar, serta disisi lain memberikan otonomi kepada

Bank Indonesia dalam mengatur peredaran keuangan di masyarakat. Namun

membengkak-nya hutang pemerintah senantiasa menjadi issue yang hangat

dikalangan masyarakat.

Aspek Sosial Budaya

Kehidupan pemimpin informal yang seolah baru lepas dari keterpasungan,

telah memunculkan fenomena baru, berupa konflik-konflik yang berdimensi

menyatukan (dalam bentuk ikatan kesukuan, keagamaan yang bercirikan

primordial) namun sekaligus juga memisahkan (dalam bentuk merenggangnya

hubungan batin antar golongan, antar suku, angar agama bahkan terhadap

pemerintah).

Moral dan etika kebangsaan yang bersumber dari nilai-nilai kekeluargaan,

gotong royong, tenggang rasa dalam kehidupan pemimpinan informal, dirasakan

cenderung melemah. Arogansi, kebrutalan, sikap kekerasan di luar batas moral,

muncul sebagai pelampiasan akibat sistem kekuasaan yang diciptakan masa

lalu. Penyelesaian masalah yang diwarnai oleh rekayasa politik, perlu dibenahi

dan ditinjau melalui pendekatan aspek kultura dan aspek struktural.

Aspek Pertahanan Keamanan

Kesadaran bela negara pemimpin informal belum sesuai sebagaimana

diamanatkan dalam Undang-undang Pokok Pertahanan Keamanan Negara.

Perwujudan kelembagaan hukum negara berdasarkan Sishankamrata sebagaian

44
terbesar baru sampai tingkat konsepsi. Akibat krisis politik, ekonomi, hukum,

kepercayaan kepada pemerintah menjadi berkurang dan selanjutnya berdampak

kondisi keamanan nasional mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Jaminan

rasa aman masih belum pulih sepenuhnya dan hal ini ditandai belum pulihnya

Indonesia sebagai tujuan pariwisata para turis manca negara maupun

tersendatnya para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia,

walaupun mereka umumnya berdalih masih menunggu sampai selesainya

Pemilu 2004. walaupun POLRI dipisahkan dari TNI, namun hujatan-hujatan yang

disuarakan oleh pemimpin-pemimpin informal kelompok-kelompok masyarakat

kepada aparat keamanan masih sering muncul dengan dalih pelanggaran HAM.

Hal tersebut mambuat TNI dan POLRI ekstra hati-hati dan kelompok-kelompok

yang menginginkan terjadinya kerusuhan semakin berani mengambil

kesempatan.

20. Peluang dan Kendala

a. Peluang

Kemajuan teknologi komunikasi berguna untuk kepemimpinan informal

dalam memperluas wawasan, sekaligus memperluas jaringan dalam

upaya meningkatkan kualitas pemimpin informal dan masyarakatnya,

karena kemajuan teknologi komunikasi dan informasi memperlebar akses

setiap pimpinan informal untuk mendapatkan tambahan pengetahuan

45
sebanyak-banyaknya, sesuai dengan kemampuan daya nalar masing-

masing.

Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara masih relevan dan mampu mempersatukan

berbagai kepentingan masyarakat Indonesia secara umum.

Kesadaran politik kepemimpinan informal cukup baik, hal ini ditandai

dengan meningkatnya tuntutan untuk berpartisipasi baik dalam peran

sosial budaya, politik maupun ekonomi

Globalisasi ekonomi yang diwarnai dengan semangat perdagangan

bebas, sebagaimana tersurat melalui kerjasama APEC dan WTO (Word

Trade Orgnization), memberikan peluang kepada Indonesia untuk

memperbesar pangsa pasar bagi produk-produk unggulannnya, sehingga

menjadi pendorong untuk meningkatkan produktivitas.

Toleransi kehidupan antar sesama umat beragama, suku, ras dan antar

golongan cukup baik, hal ini merupakan soko guru tetap tegaknya NKRI

Keberadaan tokoh informal seperi tokoh agama, pemuka adat / suku,

tokoh pemuda dan masyarakat lainnya, keberadaannya di tengah-tengah

lingkungan masyarakat masih didengar.

Kesadaran bela negara pemimpin informal dalam rangka

mempertahankan keutuhan NKRI cukup tinggi, hal ini terbukti dengan

adanya kesadaran para pemimpin informal dalam mengamankan wilayah

lingkungannya masing-masing cukup tinggi baik melalui kegiatan Pam

Swakarsa maupun Siskamling.

46
Selain itu kemanunggalan antar TNI - Rakyat pasca reformasi semakin

membaik dan menggembirakan. Hal ini merupakan kekuatan tangkal dini

bagi terciptanya pertahanan dan keamanan negara.

b. Kendala

1) Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi di satu pihak

memang memberikan manfaat, tetapi di pihak lain dapat menimbulkan

kendala bagi penyebaran nilai-nilai budaya dan pemikiran-pemikiran baru

yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Penyebaran nilai

budaya asing sangat berpotensi mempengaruhi dinamika suatu tatanan

dan perubahan nilai di masyarakat yang bertentangan dengan budaya

lokal. Dampak negatif semacam ini dapat menjadi penghambat terhadap

proses pemberdayaan kepemimpinan informal dan pembangunan

nasional.

2) Masih adanya pemimpin informal dan kelompok masyarakat yang

menghendaki diberlakukannya Piagam Jakarta di dalam UUD 1945,

sehingga menimbulkan fanatisme sempit terhadap agama tertentu dan

membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

3) Budaya primodalisme masih banyak diikuti masyarakat. Hal

tersebut menyulitkan bagi kemajuan daerah sekaligus menghambat

lajunya pembangunan nasional, juga dapat menjadikan lahan yang empuk

bagi para provokator untuk memecah belah elemen-elemen perekat suatu

tatanan sosial di daerah.

47
4) Bahaya disintegrasi yang di wujudkan oleh konflik vertikal antara

masyarakat dengan pemerintah dan konflik horizontal antara ikatan

elemen pendukung dalam tatanan masyarakat, adalah dua corak dari

kerawanan sosial yang dihadapi. Akibatnya beberapa daerah harus

menghadapi masalah pengungsian yang mau tidak mau pasti

mempengaruhi daerah itu sendiri dan memberikan beban persoalan baru

didaerah tersebut tempat mereka mengungsi.

5) Kesenjangan ekonomi antara masyarakat golongan atas dengan

golongan bawah yang sangat mencolok dapat memicu terjadinya

kecemburuan sosial yang cukup tinggi yang pada gilirannya akan

menyebabkan konflik di masyarakat.

6) Agama dan etnis yang dijadikan alat komoditi politik untuk

menekan pihak lain, dapat menimbulkan terjadinya konflik horizontal yang

bernuansa SARA, serta adanya tingkat pengangguran yang cukup tinggi

dan lapangan pekerjaan yang sangat terbatas juga dapat menimbulkan

kecemburuan sosial dan dapat memicu terjadinya terjadinya kerusuhan.

7) Sosialisasi UU No.22/ 1999 tidak tuntas, menimbulkan faham

sektoral yang kental dapat menjadi embiro terjadinya disintergrasi

bangsa. Terlebih konflik vertikal di daerah masih terjadi di antara para

pejabatnya dan hal ini memberikan pembelajaran negatif terhadap

masyarakatnya di daerah masing-masing.

8) Dengan tidak pahamnya kepemimpinan informal tentang

reformasi TNI, terlebih dahulu paradigmanya yang berkaitan dengan TAP

48
MPR No. VIII / 2000, sehingga terkesan TNI masih menjadi alat

kekuasaan dan musuh dari masyarakat yang lemah, peran kepemimpinan

informal sebagai pensosialisasian tidak berperan memberikan

pemahaman kepada lingkungan.

49
BAB V

KONDISI PEMBERDAYAAN KEPEMIMPINAN INFORMAL

YANG DIHARAPKAN

21. Umum

Dalam rangka melanjutkan pelaksanaan pembangunan nasional dalam tekanan

pengaruh perkembangan lingkungan strategis, sebagaimana diuraikan dalam bab

sebelumnya, maka perlu adanya suasana yang kondusif dalam berbagai aspek

kehidupan nasional. Kepentingan dalam mengatasi berbagai aspek kehidupan nasional,

terutama adalah menghindari tidak efisiennya pelaksanaan pembangunan nasional dan

kemungkinan terjadinya disintegrasi bangsa. Disadari bahwa kesenjangan tersebut

tidak mungkin dihilangkan sama sekali namun tetap harus diupayakan untuk dapat

diminimalkan agar tetap berada dalam batas-batas toleransi. Sehubungan dengan hal

ini diharapkan dapat diwujudkan kondisi-kondisi tertentu dalam segenap aspek

kehidupan nasional dalam rangka mempertahankan ketutuhan NKRI.

Usaha mencari perpaduan terbaik untuk menjadi seorang pemimpin yang sukses

tidaklah mudah. Dan, usaha untuk bisa menemukan nilai, gaya dan aktivitas atau apa

pun yang relevan untuk disebut sebagai pemimpin yang sukses merupakan proses

yang panjang.

Ada pemimpin yang sukses karena mampu bertindak sebagai seorang pengarah

tugas, pendorong yang kuat, dan berorientasi pada hasil sehingga mendapatkan nilai

kepemimpinan yang tinggi. Ada pemimpin yang sukses karena mampu memberi

wewenang kepada para pegawainya untuk membuat keputusan dan bebas

50
memberikan saran, mampu menciptakan jenis budaya kerja yang mendorong serta

menunjang pertumbuhan. Pendeknya, untuk menjadi pemimpin yang sukses haruslah

memiliki dorongan yang kuat dan integritas yang tinggi.

Kepemimpinan adalah sebuah proses yang melibatkan seseorang untuk

mempengaruhi orang lain dengan memberi kekuatan motivasi, sehingga orang tersebut

dengan penuh semangat berupaya menuju sasaran. Ahli manajemen, Peter F Drucker

secara khas memandang kepemimpinan adalah kerja. Seorang pemimpin adalah

mereka yang memimpin dengan mengerjakan pekerjaan mereka setiap hari. Pemimpin

terlahir tidak hanya dalam hirarki managerial, tetapi juga dapat terlahir dalam kelompok

kerja non formal.

Sementara itu, mengenai kepemimpinan informal mempunyai peran strategis

dimana pengaruhnya sangat kuat di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu,

kepemimpinan informal diharapkan berperan aktif bersama-sama pemerintah dalam

membangun bangsa dan negara. Kepemimpinan informal sangat dibutuhkan untuk

menjembatani kepentingan masyarakat dengan pemerintah dan sebaliknya, namun

karena berbagai hal maka kondisi kepemimpinan informal saat ini masih perlu

ditingkatkan guna mendorong pembangunan nasional. Dengan meningkatnya peran

kepemimpinan informal dalam segenap aspek kehidupan akan dapat membantu

pemerintah untuk memantapkan stabiltais politik sehingga pada gilirannya akan dapat

mempertahankan keutuhan NKRI.

Kepemimpinan informal yang diangkat oleh masyarakt, didengar dan diikuti

nasehatnya oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu,

kepemimpinan informal mendapatkan pengangkatan formal sebagai pemimpin, akan

51
tetapi ia memiliki sejumlah kualitas unggulan sehingga ia dapat mencapai kedudukan

sebagai orang yang mampu berperan untuk mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku

suatu kelompok atau masyarakat. Oleh karenanya, apabila ingin tetap bertahan,

tumbuh dan berkembang sesuai tuntutan jaman, maka konsep kepemimpinan informal

harus dijadikan sebagai acuan dalam merumuskan program-program pembangunan

nasional yang sesuai dengan era reformasi yang sedang dijalankan bangsa Indonesia

dewasa ini.

22. Pemberdayaan Kepemimpinan Informal yang diharapkan

Berbicara tentang pemimpin, ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa a

good leader is a good follower. Mungkin ini sejalan dengan prinsip kepemimpinan

tradisional yang bersemboyan, ing ngarso sung tulodo, ing madya mbangun karso, tut

wuri handayani. Jadi, pemimpin perlu berperan di depan, bersama, dan di belakang

pengikutnya.

Pemimpin dalam perjalanan selalu belajar untuk menjadi yang terbaik dan

belajar untuk mengikuti ajaran dan petunjuk dari pemimpin yang lebih besar.

Kepemimpinan mempunyai nilai tingkatan, yaitu pemimpin yang tingkat

kepemimpinannya enam, tidak mungkin memimpin orang dengan tingkat kepemimpinan

tujuh atau bahkan empat. Dengan menjadi follower, seorang pemimpin dapat

mengetahui sejauh apa tingkat kepemimpinannya dan siapa saja yang dipimpinnya.

Kalau kita menengok dari sisi agama maka setiap agama memiliki pemimpin yang

patuh pada pemimpin yang lebih besar dari mereka. Prinsip ini pernah dijelaskan oleh

John dalam bukunya, The 21 Irrefutable Laws of Leadership.

52
Untuk menjadi panutan sebagai seorang pemimpin yang baik harus memiliki

kehandalan berkomunikasi yang baik juga. Sebab kemampuan komunikasi yang

menjembatani antara pemimpin dengan yang dipimpinnya. Irham Dilmy (partner dari

Amrop Hever International) menyatakan bahwa pemimpin adalah komunikator yang

baik. Kekuatan dari seorang pemimpin adalah seberapa kuat para pengikutnya setia

pada diri pemimpin ini. Pemimpin yang baik juga memiliki visi jelas akan masa

depannya.

Untuk menjawab gaya kepemimpinan yang dibutuhkan Indonesia saat ini

sebaiknya kita lihat beberapa gaya kepemimpinan. Dalam buku Strategy for Success,

Jim Dornan dan John Maxwel menyimpulkan ada lima gaya. Pertama, ada pemimpin

dengan gaya mendominasi, membutuhkan kepatuhan para pengikutnya. Hasilnya

adalah tindakan yang cepat. Kedua, gaya musyawarah, sangat menjunjung tinggi

keuntungan bagi semua pihak. Hasil yang didapat adalah kemandirian organisasi yang

dipimpinnya. Gaya berikutnya ketiga adalah membujuk, membutuhkan kemampuan

motivasi orang lain. Hasilnya adalah sikap-sikap yang menguntungkan para

pengikutnya. Gaya keempat adalah panutan membutuhkan waktu memperlihatkan

pada para pengikutnya, namun hasilnya adalah kesetiaan mendalam.

Terakhir kelima adalah gaya memberdayakan. Ini adalah gaya kepemimpinan

tertinggi. Pemimpin dengan gaya ini selalu mengambil kemampuan yang dimiliki dan

memberikannya pada pengikutnya. Gaya pemimpin ini memiliki visi luas dan jauh ke

depan sehingga membutuhkan orang lain untuk membantu mewujudkan visinya

tersebut.

53
Ibaratkan sebuah bisnis, Indonesia adalah perusahaan besar yang memiliki

sumber daya dan kemampuan produksi tidak terbatas. Karena itu, untuk menjalankan

perusahaan ini, maka dibutuhkan seorang pemimpin yang sedikitnya memiliki kelima

gaya di atas, terutama adalah pemimpin dengan gaya memberdayakan

(empowerment).

Pemberdayaan kepemimpinan informal sangat penting, mengingat

kepemimpinan informal dengan segala keberadaannya, sangat diperlukan untuk

menggerakkan partisipasi berbagai lapisan masyarakat terutama dalam mendorong

pembangunan nasional dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI.

Dengan demikian, maka upaya pemberdayaan kepemimpinan informal yang

diharapkan ditinjau dari aspek peran pemimpin informal dalam interkoneksitas dengan

masyarakat dan lingkungan, aspek legitimasi, serta aspek hubungan antara supra dan

infra struktur dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Aspek Peran Pemimpin Informal dalam Interkoneksitas dengan

Masyarakat dan Lingkungan.

Bertolak dari konsep kepemimpinan informal saat ini dan diharapkan pada upaya

mempertahankan keutuhan NKRI, maka perlu diformulasikan dalam kerangka

acuan kondisi kinerjanya yang mampu menjembatani pencapai sasaran sesuai

harapan. Dalam hal ini tolok ukur yang digunakan terbatas pada lingkungan

interaksi dimana komunitas kepemimpinan informal lebih banyak bersosialisasi

pada :

1) Komunitas Keagamaan.

54
Kontribusi kelompok kepemimpinan informal lingkup keagamaan

diharapkan dapat mendorong keberhasilan program pemerintah dalam

memulihkan kondisi dinamis harmonis kerukunan dan antar umat

beragama. Pemuka atau tokoh agama yang sehari-harinya bersosialisasi

dengan masyarakat lingkungannya, secara progresif terukur diharapkan

mampu menjadi dinamisator dalam menentukan masyarakat untuk lebih

memahami hakekat agama sesuai iman kepercayaannya. Kehidupan

keagaman harus senantiasa diposisikan sebagai bagian teragung dari

semua aspek kehidupan nasional berorientasi pada nilai luhur Pancasila

sebagai kontrol bangsa.

2) Komunitas Adat Istiadat

Dalam komunitas masyarakat adat, heterogenitas adat istiadat

bangsa sesungguhnya merupakan faktor perekat persatuan dan kesatuan

bangsa yang cukup dominan. Masing-masing pemimpin adat, sebagai

bagian tak terpisahkan dari komunitas bangsa, sangat diharapkan

mampu melestarikan adat daerahnya sebagian dari model pembangunan

nasional.

Kemampuan Pancasila sebagai ideologi bangsa, di tengah-tengah

kehidupan bangsa dan negara justru banyak diilhami oleh perbedaan-

perbedaan, budaya bangsa. Oleh karenanya, tokoh-tokoh adat sebagai

komunitas tokoh informal diharapkan mampu menjadikan komunitas

55
masyarakat adat daerahnya sebagai bagian melekat dan tak terpisahkan

dari komunitas nasional dalam kerangka keutuhan NKRI. Komunitas adat

memang merupakan bagian dari politik bangsa, namun hendaknya

jangan sampai terpolitisasi secara tidak konstruktif apalagi sampai

berkembang menjadi primordialisme sempit kedaerahan.

3) Komunitas Lainnya

Dalam konteks ini, jangkauan komunitas pengaruhnya jauh lebih

luas karena bersifat profesional / keahlian atau lebih berwawasan. Para

tokoh informal lingkup ini, diharapkan mampu berperan sebagai mitra

profesional pemerintah dalam berbagai bidang sesuai lingkup keahliannya

guna mendinamisasi kehidupan sosial masyarakat lingkungannya.

Berbagai keahlian dan kelebihan wawasan yang dimiliki harus

terberdayakan oleh komunitas kepemimpinan formal sebagai acuan

motivasi dalam meningkatkan kondisi kehidupan sosial masyarakat

sekitarnya. Keteladanan dalam hal visi, misi dan wawasan kebangsaan

harus dapat diperankan dalam setiap interaksi sosialnya menggiring

proses pembangunan formal yang diprogramkan pemerintah setempat.

b. Aspek Legitimasi

Kepemimpinan informal tidak menjadi pemimpin karena aspek legalitas,

tapi terutama karena aspek legitimitas. Artinya, walaupun tak ada kongres atau

muktamar yang menetapkan demikian, tapi rakyat dengan spontan menerima

dan memperlakukan yang bersangkutan sebagai pemimpin mereka. Seorang

pemimpin informal bukan karena ketetapan musyawarah atau melalui pemilu.

56
Tapi rakyat mencium tangannya dengan hormat dan tulus. Padahal tidak

mengendarai kendaraan dinas dengan bunyi sirene yang melengking-lengking.

Tidak pula diiringi ajudan, yang siap membawakan semua benda, dari tas

sampai kaca mata atau korek api.

Orang dapat berencana dan kemudian berusaha untuk menjadi seorang

pemimpin formal. Tapi tidak untuk menjadi seorang pemimpin informal. Sebab

seorang pemimpin informal itu ditetapkan oleh rakyat bukan dengan surat suara,

tapi dengan kata hati, dengan suara batin. Ikatan antar mereka tidak diatur

secara resmi, tapi lahir secara spontan karena ada rasa hormat dan cinta yang

tidak dipaksa-paksa.

Dari realitas tersebut, maka kepemimpinan informal dimasa depan diharapkan

mampu menghadapi berbagai permasalahan yang semakin kompleks dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, oleh karena itu

kepemimpinan informal masa depan tidak hanya didasarkan pada aspek

legalitasnya saja akan tetapi lebih mengedepankan pada pemenuhan beberapa

aspek yang menjadikan kepemimpinan informal dapat berkaitan langsung dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, antara lain :

1) Kepemimpinan informal diharapkan mampu berperan sebagai

perekat/pemersatu bangsa,memiliki wawasan nasional, regional dan

global, militan dalam memperjuangkan kepentingan nasional, namun

tetap teguh pada wawasan nasional, sehingga mampu meredam

kecenderungan berkembangnya semangat potensi konflik.

57
2) Kepemimpinan informal diharapkan mampu berperan sebagai

inspirator, komunikator dan mediator antara rakyat dengan pemerintah

dalam upaya pemberdayaan hukum.

3) Kepemimpinan informal diharapkan mampu berperan sebagai

dinamisator yang berkemampuan meredam gejala konflik, menciptakan

keamanan dan ketertiban di wilayahnya maupun dalam lingkup nasional

dalam rangka keutuhan NKRI.

4) Kepemimpinan informal diharapkan mampu berparti-sipasi aktif

dalam mendinamisir pembangunan nasional, koordinatif, kritis dan

komunikatif dengan aparat pemerintah dan lingkungannya, melalui

kemampuan tersebut diharapkan bahwa kepemimpinan informal dapat

mendorong masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam

pembangunan nasional.

c. Aspek Hubungan antara Supra dan Infra Struktur

Tuntutan kualitas kepemimpinan informal sangat berkaitan dengan peran

dan tanggung jawab kepemimpinan informal itu sendiri, yang secara eksplisit

peran dan tanggung jawab tersebut tidak diatur secara resmi dalam suatu

peraturan perundang-undangan. Tetapi pada umumnya peran dan tanggung

jawab pemimpin informal disamping sebagai pengayom dan pembina

masyarakat, mempunyai peran dan tangung jawab, antara lain :

a. Sebagi penampung aspirasi dan pengolah aspirasi rakyat untuk

diteruskan kepada pemerintah sebagai supra struktur politik, sehingga

58
kebijaksanaan dan program pembangunan yang akan disusun lebih

sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat.

b. Melakukan fungsi kontrol, yaitu melakukan pengawasan dan

koreksi atas kebijaksanaan yang telah diputuskan oleh supra struktur

politik yang berdampak kepada kehidupan masyarakat luas.

c. Membantu kepemimpinan formal guna meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam pembangunan nasional disemua aspek kehidupan

sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya

d. Membantu ikut menciptakan keamanan, kesejahteraan lahir batin,

dan ikut serta dalam penciptaan dan pembentukan lingkungan yang

kondusif di masyarakat binaannya.

Dalam mencermati uraian di atas, maka peran kepemimpinan informal yang

diperlukan sekarang adalah konsep kepemimpinan tokoh informal yang berdasar pada

perilaku yang mengutamakan keluaran (output), partisipasi total dari seluruh elemen

masyarakat, upaya perbaikan terus menerus serta pembentukan jaringan sosial antara

tokoh informal dengan komunitas masyarakatnya.

23. Kontribusi Pemberdayaan Kepemimpinan Informal Terhadap Pembangunan

Nasional

Peran kepemimpinan informal yang baru, menyatakan bahwa tidak akan ada lagi

sistem hierarkhi yang kaku dan kepemimpinan yang terisolir. Para tokoh-tokoh

informal yang paling dekat pada suatu situasi, dialah yang paling tahu bagaimana

mengatasi masalah sebaik-baiknya, makin banyak suara masyarakat di dengar

maka makin kuatlah komunitas masyarakat tersebut. Budaya mendengar harus

59
dimiliki oleh setiap tokoh informal dan partisipasi setiap elemen masyarakat

merupakan kebutuhan mutlak.

Kepemimpinan informal mempunyai peran sebagai motivator dan dinamisator

dalam berbagai kegiatan di kelompoknya atau di masyarkat luas, dengan demikian

dukungan yang diberikan oleh pemimpin informal terhadap kepemimpinan nasional

sekaligus akan mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga kebijaksanaan dan

berbagai program kepemimpinan nasional Indonesia akan mendapat dukungan yang

luas pula, dalam proses membangun persatuan dan kesatuan bangsa.

Pemimpin informal sebagai tokoh yang dipercaya masyarakat diterima

keberadaanya oleh pemerintah sepanjang aktivitasnya tidak bertentangan dengan

berbagai program pemerintah dan ketentuan hukum yang berlaku, serta mampu

bertindak sebagi pengayom, pembina dan penggerak masyarakat serta mampu

mengarahkan masyarakat untuk mengikuti dan melaksanakan program pemerintah,

sebaliknya pemerintah melalui programnya tersebut berupaya mewujudkan

kesejahteraan dan keamanan serta mewujudkan lingkungan yang kondusif, sehingga

terwujud hubungan timbal balik yang harmonis dan saling menguntungkan dalam

rangka mewujudkan pembangunan nasional

Dalam kaitan tersebut, agar mampu membangun komunitas masyarakat yang

kondusif dan mampu memobilisasi potensi masyarakat yang kondisif dan mampu

memobilsasi potensi masyarakat yang belum digali guna membantu mendorong

pembangunan nasional.

Di dalam masyarakat modern, tidak mungkin lagi masyarakat hanya diberikan

sasaran-sasaran tertentu yang ditetapkan oleh para pemimpin atau tokoh informal,

60
sebab kondisi lingkungan berubah dengan cepat sehingga sasaran atau target juga

akan sering berubah.

Pemimpin yang proaktif terhadap tantangan perkembangan zamannya berarti

pemimpin yang memiliki visi atau bayangan masa depan, yang bisa menjadi kompas

petunjuk arah bagi masyarakat yang dipimpinnya. Dengan kepekaan terhadap kondisi

obyektif dari perkembangan lingkungan strategis di tingkat global, regional, nasional

dan ditingkat nasional serta ditingkat lokal, yang di dukung oleh kemampuannya

menghayati paradigma nasional landasan normatif dalam penyelenggaraan negara,

maka seorang pemimpin selayaknya memiliki visi untuk membawa masyarakatnya

menjadi lebih maju. Di tingkat daerah, kepemimpinan tokoh informal yang memiliki visi

dengan berlandaskan pada hal-hal yang disebutkan diatas, sangatlah penting.

Visi semacam itu sepenuhnya mewarnai misi dalam rangka pemberdayaan

tatanan sosial untuk mendorong terwujudnya pembangunan nasional. Misi merupkan

hal esensial yang harus dimiliki oleh pemimpin informal, bahkan satiap individu yang

mau berhasil. Karena misi membuat orang menjadi lebih mengetahui mengapa ia

melakukan sesuatu. Misi dalam kepemimpinan informal mempunyai dua tujuan, yaitu

mengikat seluruh tatanan ke arah suatu tujuan, dan membuat tiap orang bersemangat

bergerak ke arah yang benar.

Sementara itu pada konsep pemerdayaan manusia dalam masyarakat modern,

apabila diterapkan cendrung memberi peluang orang-orang untuk mengerjakan dan

menyelesaikan masalahnya masing-masing, untuk itu diperlukan visi pemimpin yang

jelas unatuk menuntun semua elemen masyarakat pada arah yang sama.

61
Model kepemimpinan yang berbasis pada pemberdayaan manusia merupakan

reformasi dari sistem kekuasaan berdasar jabatan (position power) menjadi kekuasaan

rakyat (people power). Pada model ini unsur kepemimpinan bersama (power sharing)

dengan akuntabilitas dan tanggung jawab yang jelas harus didistribusikan kesemua

bagian elemen masyarakat sehingga menghasilkan kondisi budaya yang lebih

partisipatif , kreatif dan responsive. Model kepemimpinan informal yang baru ini akan

lebih kuat dan efektif bila didukung oleh organisasi supra dan infra struktur yang datar

dan fleksibel serta tim kepemimpinan yang interaktif dan dihubungkan oleh jaringan

komunikasi yang baik.

Dengan konsep pemberdayaan manusia dalam suatu komunitas masyarakat

maka para tokoh informal terbatas dari berita masalah-masalah rutin, sehingga dapat

lebih memfokuskan pada masalah-masalah yang lebih besar, antara lain menciptakan

situasi yang kondusif, merumuskan visi, serta membangun masyarakat menuju konsep

tatanan yang mandiri sehingga dapat mendorong pembangunan nasional.

24. Pemberdayaan Kepemimpinan Informal dalam Mempertahankan Keutuhan

NKRI

Para pemimpin dituntut untuk memiliki ketajaman visi, agar senantiasa dapat

bersifat antisipasi terhadap dinamika sosial lingkunganya.di tengah perubahan zaman

dan perubahan tatalaksana penyelenggaraan negara sebagaimana tuntutan reformasi,

efektivitas kepemimpinan informal dalam pelaksanaan pembangunan nasional,

khususnya dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI.

Oleh karena itu, tokoh informal selalu diasumsikan memiliki kelebihan dibanding

anggota masyarakat yang bukan tokoh. Didalam lingkungan masyarakat tradisional,

62
kelebihan-kelebihan tersebut lazaimnya diukur dari kemampuan sang tokoh memimpin

upacara adat, membantu menyelesaikan persoalan yang dialami anggota masyarakat,

dan keunggulannya dalam mempertahankan keutuhan NKRI.

Dalam perkembanganya kemudian, ketika pembangunan di bidang ekonomi juga

mulai terbuka di daerah-daerah di hampir seluruh pelosok tanah air dan tatanan-tatanan

sosial di daerah juga bersentuhan dengan dunia yang dianggap modern, ukuran-ukuran

untuk menentukan kelebihan atau keunggulan para tokoh informal pun menjadi lebih

bervariasi. Di samping ukuran-ukuran lama masih tetap berlaku sebagaimana pada

masyarakat tradisional, untuk menempatkan seorang individu dianggap mampu menjadi

tokoh pada masa sekarang juga diukur oleh faktor-faktor lainnya. Misalnya, prestasi di

bidang otonomi (utamanya yang berdampak positif bagi lingkungan masyarakatnya),

prestasi di bidang ilmu pengetahuan, pemahaman agama, atau kemampuannya dalam

mengorganisir anggota masyarakat untuk membangun lingkungannya.

Kendati ukuran-ukuran untuk menetukan kualitas ketokohan seseorang tersebut

mengalami penambahan-penambahan sesuai dengan perubahan zaman, tetapi ada

ukuran-ukuran baku yang berlaku baik didalam tatanan masyarakat yang masih

tradisonal maupun pada masyarakat yang sudah bersentuhan dengan dunia modern.

Ukuran tersebut adalah harkat dan martabat para tokoh informal.

Harkat dan martabat lebih banyak berkaitan dengan perilaku, etika, moralitas,

kondisi psikologis, serta tingkat ketaatannya dalam menjalankan agama. Jika seorang

tokoh mampu menjalani kehidupannya dan berinteraksi dengan masyarakat

lingkungannya sesuai dengan ukuran-ukuran harkat dan martabat tersebut, maka

ketokohannya tidak akan diragukan dan jika yang bersangkutan aktif menjadi pemimpin

63
informal, kepemimpinannya pun menjadi makin efektif. Sebaliknya, seandainya salah

satu saja dari ukuran untuk menetukan harkat dan martabat dilanggar, maka jatuhlah

wibawanya, sebagai tokoh apalagi sebagai pemimpin informal. Maka, harkat dan

martabat seorang tokoh menjadi ukuran yang tidak bisa ditawar lagi, jika sang tokoh

hendak dijadika pemimpin informal, lebih-lebih lagi jika dikaitkan dengan upaya

mendorong pembangunan nasional dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI.

Bertolak dari kenyataan tersebut, maka kepemimpinal informal adalah

kepemimpinan yang kondusif yang akomodatif dalam arti mampu menciptakan kondisi

yang mendorong timbul dan berkembangnya aspirasi masyarakat untuk membangun

tatanannya, serta mampu mempertemukan berbagai aspirasi masyarakat sehingga

konflik kepentingan dapat diselesaikan. Dengan demikian pembangunan nasional bisa

berjalan sebagaimana mestinya yang dapa akhirnya keutuhan NKRI terjamin.

64
BAB VI

KONSEPSI PEMBERDAYAAN KEPEMIMPINAN INFORMAL

GUNA MENDORONG PEMBANGUNAN NASIONAL

25. Umum

Pemberdayaan kepemimpinan informal disadari bahwa saat ini masih belum

sepenuhnya seperti diharapkan, sehingga menimbulkan dampak politis yang dapat

menghambat jalannya pembangunan nasional di era reformasi. Dengan dihadapkan

kepada pengaruh lingkungan strategis yang ada, maka pemberdayaan

kepemimpinan informal guna mendorong pembangunan nasional perlu segera

dimulai secara sungguh-sungguh, berlanjut, konsisten dan konsekwen.

Pemberdayaan kepemimpinan informal, haruslah memperhatikan kondisi nyata

yang selalu berubah-ubah dengan penuh ketidakpastian. Segenap usaha

pemberdayaan kepemimpinan informal oleh pemerintah, harus selalu berorientasi

kepada sasaran pembangunan dan tujuan nasional dengan mengakomodasikan

dan mengantisipasi setiap perkembangan yang terjadi.

Pemberdayaan kepemimpinan informal guna mendorong pembangunan nasional

perlu senantiasa dikaji dan ditingkatkan yang didasarkan pada paradigma nasional dan

kebijaksanaan yang telah ditetapkan dengan selalu mewaspadai pengaruh

perkembangan lingkungan strategis. Patut disadari bahwa dalam meningkatkan

pemberdayaan kepemimpinan informal, tidak mungkin dapat dilaksanakan secara

drastis dan radikal, karena dapat menimbulkan goncangan dalam kehidupan

masyarakat yang pada gilirannya dapat menggoyahkan keutuhan NKRI. Walaupun

65
demikian, dalam mempertahankan keutuhan NKRI perlu didukung dengan tekad,

semangat, dan keyakinan semua komponen bangsa di antaranya komponen pemimpin

informal, sehingga dapat mewujudkan stabilitas politik yang mantap.

Format dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara adalah sangat diperlukan oleh komponen pemimpin informal. Hal ini sesuai

dengan visi konsepsi pembangunan dengan melihat Indonesia sebagai perwujudan

tatanan wilayah (propinsi dan daerah) dan tatanan fungsional lainnya yang maju serta

memiliki kemandirian untuk berkembang dan meningkatkan kualitasnya secara

keseimbangan.

Mengacu kepada visi tersebut, maka diperlukan penyesuaian beberapa format

penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penyesuaian

format tersebut diarahkan pada aspek peran kepemimpinan informal guna mendorong

pembangunan nasional. Adapun hakekat dari reformasi tersebut terletak pada

perumusan kebijakan dan strategi yang berbasis kepada perwujudan dalam

mempertahankan keutuhan NKRI.

26. Kebijaksanaan

Peran kepemimpinan informal yang efektif secara garis besar harus memenuhi nilai-

nilai universal kepemimpinan Abad 21, yaitu memiliki kemampuan proaktif terhadap

dinamika yang berubah, pemberdayaan potensi masyarakat, ketajaman visi, harkat

dan martabat serta pemahaman terhadap paradigma nasional.

Sementara itu dari tujuan peran kepemimpinan informal saat ini adalah

merupakan proses pembentukan kepemimpinan masa lalu yang secara kualitas

pemahaman paradigma nasional pada umumnya masih kurang. Oleh karenanya

66
interkoneksitasnya dengan masyarakat dan lingkungan, hubungan supra dan infra

struktur serta legitimasi yang didapat belum optimal. Peran yang menonjol yang

dikedepankan adalah aspek kharismatik tokoh tersebut.

Bertolak dari kenyataan tersebut, maka disadari bahwa upaya untuk

meningkatkan peran kepemimpinan informal bukan suatu hal yang mudah, karena

peningkatan peran kepemimpinan informal adalah merupakan suatu proses perubahan

pola pikir, pola sikap dan pola tindak dari para pemimpin informal dalam interaksi sosial

yang dilakukannya melalui agenda-agenda sebagai berikut :

a. Peningkatan kualitas kepemimpinan informal diarahkan pada terwujudnya

peran kepemimpinan informal yang mempunyai pemahaman terhadap

paradigma nasional, yang didukung oleh kemampuan manajerial dan keahlian

serta memiliki kemampuan mengantisipasi dinamika perkembangan lingkungan,

agar dapat bersikap preventif terhadap masuknya elemen-elemen negatif ke

dalam masyarakatnya disamping memiliki kualitas harkat dan martabat

pemimpin yang sesuai dengan tuntutan masyarakat, khususnya kelompok yang

dipimpinnya.

b. Peningkatan kualitas kepemimpinan informal dalam mendorong

supremasi hukum, diupayakan diselenggarakan secara intensif, komprehensif

dan berkesinambungan, melalui peningkatan kemampuan kepemimpinan

informal disamping kepemimpinan formal yang telah mempunyai format

aturannya. Upaya tersebut diharapkan akan mampu melipat gandakan daya

kepemimpinan dalam mewujudkan ketahanan nasional dan supremasi hukum

67
serta mampu mengatasi berbagai tantangan bangsa Indonesia dimasa

mendatang.

c. Peningkatan kesadaran nasional dan wawasan kebangsaan agar dalam

memacu pembangunan, disertai dengan komitmen yang tinggi terhadap upaya

mempertahankan persatuan, kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia serta

mantapnya ketahanan nasional. Sedangkan kualitas kepemimpinan informal

yang perlu ditingkatkan secara umum mencakup aspek mental, spiritual,

intelektual, profesional dan manajerial dengan berwawasan kebangsaan secara

utuh dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d. Memposisikan para tokoh informal sebagai pemimpin informal secara

optimal agar dapat menggunakan kemampuannya dalam mendinamisasi

masyarakatnya berinteraksi dengan proses pembangunan yang dilaksanakan

secara lebih akuntable, terbuka, menuju Indonesia Baru.

e. Pemberdayaan Kepemimpinan informal dalam memperoleh kesempatan

berkiprah, berpartisipasi dan berperan dalam upaya menyukseskan

pembangunan disertai upaya penciptaan lingkungan yang kondusif melalui

koordinasi, sinkronisasi dan saling mendukung sehingga perannya dapat

mendorong lebih efektif dalam melaksanakan pembangunan. Kepemimpinan

informal harus dapat terjadi secara progresif dan terukur sebagai mitra

pemerintahan atau lembaga formal yang ada.

f. Dukungan pemerintah terhadap kepada pemimpin informal dengan

memberikan kewenangan secara proporsional dalam membangun dan

mengembangkan program penyuluhan dan pelatihan sebagai wahana

68
pembentukan watak bangsa (nation character building) serta prakteknya dalam

mengimplementasikan konsepsi Kemandirian Lokal dalam upaya menciptakan

interkoneksitas. Interaksi tidak hanya antar manusia dengan-manusia lainnya

atau antar kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya, tetapi juga

antar manusia dengan lingkungannya. Kualitas kehidupan manusia sangat

tergantung kepada kualitas hubungan atau interaksi tersebut.

Bertolak dari faktor-faktor yang harus dipertimbangkan tersebut diatas, maka

kebijaksanaan peningkatan peran kepemimpinan informal dalam mendorong

pembangunan nasional dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI, sebagai

berikut :

Terwujudnya peningkatan peran kepemimpinan informal melalui

peningkatan kualitas moral, manajerial dan wawasan kebangsaan, melakukan

kerjasama dan koordinasi, serta meningkatkan pembinaan dan pemahaman sikap

nasionalisme guna mendorong pembangunan nasional dalam rangka

mempertahankan keutuhan NKRI.

27. Strategi

Sesuai dengan arah kebijaksanaan tersebut, strategi yang dipilih dari hasil analisa

yang berpengaruh terhadap pemberdayaan kepemimpinan informal mencakup

pokok-pokok strategi sebagai berikut :

a. Meningkatkan kualitas moral para kader pemimpin informal sehingga

menjadi suri tauladan bagi kelompoknya dan masyarakat.

b. Meningkatkan kualitas manajerial dan wawasan kebangsaan para

pemimpin informal guna mendorong pembangunan nasional.

69
c. Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan pemerintah.

d. Meningkatkan pembinaan dan pemahaman sikep nasionalisme

28. Upaya-upaya.

a. Strategi I : Meningkatkan kualitas moral para kader pemimpin informal

sehingga menjadi suri tauladan bagi kelompoknya dan masyarakat. Upaya yang

dilakukan :

1) Pemerintah bersama tokoh masyarakat melakukan kegiatan

sosialisasi secara berkesinambungan dengan membudayakan sikap

toleran, saling percaya, saling menghargai di tengah kondisi bangsa yang

plural.

2) Pemerintah bersama para pemimpin informal melalui metode

partisipasi menyelenggarakan program penyuluhan dan pembinaan

secara periodik kepada masyarakat untuk meningkatkan ketaqwaan

kepada Tugan Yang Maha Esa.

3) Pemerintah bersama-sama para pemimpin informal dan tokoh

masyarakat melalui metode sosialisasi dengan menyelenggarakan

program pembinaan secara berkelanjutan kepada masyarakat untuk

menyadari dan memahami akan hak dan kewajibannya sebagai warga

negara dalam upaya mewujudkan pembangunan nasional.

4) Pemerintah bersama tokoh masyarakat melalui metode sosialisasi

mengadakan penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat untuk

menyadari dan memahami peran masyarakat untuk melakukan kontrol

sosial terhadap kepemimpinan tokoh informal sehingga menghasilkan

70
pemimpin yang dikehendaki rakyat, serta peran kepemimpinan tokoh

informal selalu berjalan sesuai kehendak rakyat.

5) Pemerintah bersama pemimpin informal dan tokoh masyarakat

melalui metode motovasi, mengadakan program keteladanan dalam

mengimplementasikan Paradigma Nasional maupun prinsip-prinsip

kepemimpinan dalam melaksanakan pembangunan, oleh kepemimpinan

di tingkat nasional terhadap kepemimpinan di daerah khususnya tokoh

informal di daerah. Program ini diwujudkan dalam pola sikap dan pola

tindak para pemimpin yang mencerminkan sikap negarawan dan didukung

oleh penguasaan ilmu dan teknologi yang mampu mendukung

kepemimpinannya serta harkat dan martabat yang dilandasi oleh kualitas

keimanan dan ketaqwaan yang tinggi.

6) Pemimpin informal bersama tokoh masyarakat lainnya melalui

metode regulasi, melaksanakan program-program penyuluhan kepada

masyarakat yang diarahkan kepada upaya perbaikan kualitas toleransi

masyarakat terhadap keragaman budaya bangsa, termasuk agama,

sebagai pencegahan diri terhadap kemungkinan terjadinya benturan

akibat perbedaan yang ada.

b. Strategi II : Meningkatkan kualitas manajerial dan wawasan kebangsaan

para pemimpin informal guna mendorong pembangunan nasional. Upaya yang

dilakukan :

71
1) Pemerintah, lembaga pendidikan dan tokoh masyarakat melalui

metode edukasi dengan menyelenggarakan program pelatihan

kemampuan manajerial sesuai dengan kemampuannya.

2) Pemerintah bersama DPR dan pemimpin formal melalui metode

partisipasi, melakukan kegiatan perencanaan dan perumusan kebijakan

strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak guna menampung

aspirasi yang berkembang di masyarakat.

3 Pemerintah bersama partai politik melalui metode edukasi

melakukan langkah-langkah leson learn dan atau introspeksi oleh para

pemimpin tokoh informal untuk mengukur kualitas peran masa lalu dan

saat ini, dan kualitas pemahamannya terhadap paradigma nasional,

kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan

pemahamannya terhadap potensi masyarakatnya, untuk selanjutnya

diteruskan dengan langkah-langkah peningkatan diri sendiri guna

menutup kekurangan yang ada pada dirinya.

4) Pemerintah dan DPR melalui metode edukasi dan sosialisasi,

melaksanakan program penyuluhan dan pelatihan kepemimpinan untuk

para tokoh masyarakat sebagai wahana pembentukan watak bangsa

(nation character building) serta praktek implementasi konsepsi

Kemandirian Lokal dalam kerangka paradigma nasional.

c. Strategi III : Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan pemerintah.

Upaya yang dilakukan :

72
1) Pemerintah, DPR dan tokoh masyarakat, melalui metode

koordinasi dan pemberdayaan, mengadakan program-program kerjasama

antara pemerintah dengan kelembagaan masyarakat tradisional agar

mampu berperan sebagai pemrakarsa dan pelaksana pembangunan.

2) Pemerintah memberikan kewenangan secara proporsional kepada

pemimpin tokoh masyarakat dalam membangun dan mengembangkan

sistem keamanan lingkungan dan pembinaan keamanan swakarsa guna

menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tatanan wilayah dan tatanan

fungsional dalam rangka menciptakan interkoneksitas antar tatanan.

3) Pemerintah pusat, DPR dan Pemerintah Daerah melalui kegiatan

regulasi/deregulasi menyusun program-program penyempurnaan Perda

dengan melibatkan pemimpin tokoh informal secara proporsional guna

mengembangkan sistem hukum yang mengakomodasi hukum adat,

hukum agama serta nilai-nilai budaya daerah, sebagai bagian dari aspirasi

yang berkembang dan berakar di dalam budaya daerah, sehingga

diharapkan Perda yang ada lebih bernuansa sosial dan lebih

mencerminkan keadilan yang hidup di masyarakat serta mudah diterima

oleh masyarakat.

d. Strategi IV : Meningkatkan pembinaan dan pemahaman sikap

nasionalisme. Upaya yang dilakukan :

1) Pemerintah pusat dan daerah serta pemimpin informal melalui

metode edukasi, sosialisasi dan keteladanan melakukan kegiatan

pembinaan dan pemahaman sikap nasionalisme sebagai sikap yang

73
mengutamakan kepentingan nasional atau negara diatas kepentingan

pribadi dan kepentingan golongan atau kelompok. Sikap yang demikian itu

harus dimiliki oleh pemimpin informal dalam melaksanakan pembinaan

masyarakat kelompoknya. Materi sikap nasionalisme dalam

kepemimpinan informal adalah memiliki pola pikir, pola sikap dan pola

tindak yang integratif dan sebagai tokoh masyarakat yang lebih

mendahulukan kepentingan negara dan bangsa diatas kepentingan

kelompoknya.

2) Pemerintah pusat bersama-sama pemerintah daerah melalui

metode edukasi, partisipasi dan motivasi, melaksanakan pelatihan

kewaspadaan guna meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa

kepada para tokoh masyarakat, sehingga diharapkan para tokoh

masyarakat, adat, agama, dapat melaksanakan kepemimpinan informal di

lingkungan atau daerahnya sebagai wujud partisipasinya dalam

pembinaan wawasan dan pemahaman atas sikap nasionalisme. Pelatihan

kewaspadaan tersebut dimaksudkan untuk membentuk sikap

nasionalisme yang harus dimiliki oleh setiap anggota masyarakat dalam

rangka mendayagunakan kepemimpinan informal.

3) Pemerintah dan pemimpin informal melalui metode koordinasi dan

keteladanan, mewujudkan sikap nasionalisme kepada para tokoh

masyarakat lain atau kelompok masyarakat lingkungannya, terutama

dalam rangka mewujudkan terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa,

mencegah keretakan dalam lingkungan kelompok atau golongan

74
masyarakat, dan mencegah konflik vertikal dan horisontal dalam rangka

mempertahankan keutuhan NKRI.

Dengan upaya yang dilakukan sebagaimana tersebut diatas, maka para tokoh

masyarakat diharapkan dapat lebih mendayagunakan kemampuan kepemimpinan

informal, dan akan membuatnya lebih berperan, berkualitas, berwibawa dalam

masyarakat lingkungannya guna mendorong pembangunan nasional dalam rangka

mempertahankan keutuhan NKRI. Untuk mewujudkan hal itu, Penulis perlu

menyampaikan saran berdasarkan kesimpulan yang merupakan saripati pembahasan

75
BAB VII

PENUTUP

29. Kesimpulan

a. Peran kepemimpinan informal adalah merupakan tinggalan nilai-nilai

budaya bangsa yang masih tetap diperlukan dalam kehidupan berbangsa,

bernegara dan bermasyarakat. Adapun kualitas peran yang ada, adalah

merupakan dampak dari kebijakan pemerintah, pergeseran aspirasi dan tuntutan

masyarakat serta dinamika lingkungan strategis yang berubah. Ketiga aspek

tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lain dalam pola yang kompleks.

b. Kualitas peran kepemimpinan informal pada satu dekade terakhir

memperlihatkan kecenderungan menurun. Hal ini hanya dapat ditinggalkan

dengan menata kembali dinamika dan pola penyelenggaraan kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan memberikan kewenangan

penuh kepada daerah dan tokoh informal untuk memberdayakan kelembagaan

masyarakat dan segala potensi yang ada di daerah.

c. Fenomena sosial ekonomi dan sosial kemasyarakatan yang berkembang

akhir-akhir ini memperlihatkan adanya dinamika yang semakin sulit diprediksi,

bahkan cenderung membentuk dan memperkuat krisis ke arah yang lebih

bersifat multi dimensi. Oleh karenanya, diperlukan cara pandang baru dengan

pendekatan yang bersifat holistik dan membumi dengan mengedepankan

pemberdayaan dan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam

penyelenggaraan pembangunan.

76
d. Pelaksanaan Otonomi Daerah relatif rentan terhadap keinginan sebagian

daerah untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh

karenanya dibutuhkan kepemimpinan informal yang merupakan bagian integral

dari kepemimpinan nasional, tegas dan memiliki kemampuan untuk memahami

dan mengakomodasikan aspirasi dan tuntutan masyarakat daerah yang

kemudian mampu menyelaraskannya dengan dinamika perkembangan tatanan.

30. Saran

a. Menempatkan para pemimpin tokoh informal sebagai mitra sejajar

pemimpin formal dan informal lain dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan

bermasyarakat, khususnya dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.

b. Memberikan kepercayaan penuh kepada para pemimpin informal

pemberian wewenang dan tanggung jawab dalam merumuskan dan

melaksanakan kebijakan pembinaan khususnya dalam pemberdayaan

kelembagaan kemasyarakatan.

c. Mensosialisasikan konsepsi Kemandirian Lokal sehingga dapat diterima

oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai paradigma pembangunan Indonesia

Baru. Dengan adanya sosialisasi itu diharapkan peningkatan peran

kepemimpinan informal senantiasa terarah pada upaya membantu mendorong

pembangunan nasional.

77
DAFTAR PUSTAKA

1. Budisantoso, SE, Kapokja Tannas, Ketahanan Nasional Indonesia, Lembaga

Ketahanan Nasional, Jakarta, 2001.

2. Daryanto SS, Kamus Bahasa Indonesia Lenqkap, Apollo, Surabaya, 1997

3. Dinuth Alex, Sari Ceramah Pokok- Pokok Pikiran Tentang Kewaspadaan

Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, 2002.

4. Gymnastiar Abdullah, Mernbangun Kredibilitas, MQS Pustaka Grafika,

Bandung, 2002,

5. Hadari Nawawi, M. Martini Hadari, Kepernimpinan yang Efekti, Gajah Mada

University Press, Yogyakarta, 1993.

6. Ichlasul Amal & Aramaidy Asmawi, Keterbukaan Informasi dan Ketahanan

Nasional, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1996.

7. Kansil, C. ST, Drs, SH, dan Julianto, Drs, MA, Sejarah Perjuangan Pergerakan

Kebangsaan Indonesia, Erlangga Jakarta, 1933.

8. Kartono Kartini, Dr, Pemimpin dan Kepemimpinan, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2002.

9. Lemhannas, Pokja Kepemimpinan, Kepemimpinan Nasional, Jakarta, 2001.

10. Lemhannas, Pokja Wasantara, Buku Induk Wawasan Nusantara,Jakarta, 2002.

11. Lemhannas, Pokja Kepemimpinan, Kepemimpinan Nasional Di Era

Keterbukaan, Jakarta, 2003.

78
12. Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar

Tahun 1945, yang telah diamandemen, Jakarta, 2002 .

13. Lerrick, M. SH, Mayjen TNI (Purn), Strategi Kepemimpinan Nasional Di Era

Keterbukaan, Jakarta

14. Marsudi Eko, Drs, Kepemimpinan Pancasila Suatu Eksplorasi Pedornan Bagi

Calon Pemimpin, Pilar Daya Ratna, Solo, 1989.

15. Musakabe Herman, Pemimpin dan Krisis Multidimensi, Yayasan Citra Insan

Pembaru, Jakarta, 2001.

16. Pamuji, S, Prof. Drs. MPA, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bumi

Aksara, Jakarta, 1995.

17. Permadi K, Drs, SH, Pemimpin dan Kepemimpinan Dalam Manajemen, PT

Rineka Cipta, Jakarta, 1996.

18. Rahardjo Dawam, Masyarakat Madani - Agama, Kelas Menengah dan

Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1999.

19. Rustandi R Achmad, SH, Gaya Kepemimpinan, CV Armilco, Bandung, 1987.

20. Silalahi Tb. SH, Dr, Mayjen TNI (Purn), Berfikir Integralistik dengan Pendekatan

Ketahanan Nasional

21. Silalahi Tb. SH, Dr, Mayjen TNI (Purn), Leadership, Lemaga Ketahanan

Nasional, Jakara, 2003.

79
22. Siswomihardio Koentowibisono, Pancasila Aliran Filsafat Positivisme

Pengaruh Serta Implikasinya Dewasa Ini, Lemaga Ketahanan Nasional, Jakarta,

2002.

23. Siagian P. Sondang, Prof, Dr, MPA, Teori dan Praktek Kepemimpinan, Bineka

Cipta, Jakarta, 1991.

24. Soakanto Soerjono, Prof, Dr, MPA, Hukurn Adat Indonesia, Rajawali,

Indonesia, Jakarta, 1991.

25. Soedarsono Soemarno Brigjen TNI (Purn), Character Building, PT Elex Media

Komputindo, Jakarta 2002.

26. Sodarsono Soemarno Brigjen TNI (Purn), Ketahanan Pribadi & Ketahanan

Keluarga Sebagai Tumpuan Ketahanan Nasional, Penerbit Intermasa Jakarta,

1997

27. Suyatno Adi, Bc, IP, SH, Moral dan Etika Kepemimpinan Merupakan Landasan

Kearah Pemerintahan yang Baik.

28. Tabah Anton, Reformasi Kepolisian, Cv Sahabat, Klaten, 1993.

29. Wirawan Dr, MSc, Sp.A, Teori Kepemimpinan Pengantar untuk Praktek dan

Penelitian, Yayasar bangun Indonesia dan UHAMKA PRESS, 2002.

30. Wibadso Wiek, Kepemimpinan Informal yang Mendukung Kepemimpinan

Nasional, Jakarta, 2003.

80

Anda mungkin juga menyukai