Anda di halaman 1dari 16

DISIPLIN ILMU NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
Agustus 2017
REFERAT
BELLS PALSY

Oleh :
Nurul Mushlihah
111 2016 2031

Pembimbing :
Dr. dr. Hj. Susi Aulina, Sp.S (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 PENDAHULUAN
Bellspalsy adalah paralisis fasialis idiopatik, merupakan penyebab tersering
dari paralisis fasialis unilateral. Bells palsy merupakan kejadian akut, unilateral,
paralisis saraf fasial type LMN (perifer), yang secara gradual mengalami
perbaikan pada 80-90% kasus.1
Penyebab Bells palsy tidak diketahui, diduga penyakit ini bentuk polineuritis
dengan kemungkinan virus, inflamasi, autoimun dan etiologi iskemik.
Peningkatan kejadian berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV type I dan
reaktivasi herpes zoster dari ganglia nervus kranialis. Bells palsy merupakan
satu dari penyakit neurologis tersering yang melibatkan saraf kranialis, dan
penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis fasialis unilateral akut) paralisis
fasial di dunia. Bells palsy lebih sering ditemukan pada usia dewasa, orang
dengan DM, dan wanita hamil.1

1.2 EPIDEMIOLOGI

Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering


ditemukan, yaitu sekitar 75% dari seluruh paralisis fasialis. Paralisis saraf fasialis
merupakan suatu kasus yang relatif sering terjadi, diperkirakan terjadi 70 kasus
per 100.000 populasi setiap tahun.2,3
Insiden bervariasi di berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi
ini tergantung pada kondisi geografis masing- masing negara. Insiden meningkat
tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000). Sebanyak 5-10%
kasus Bells palsy adalah penderita diabetes mellitus. Bells palsy jarang
ditemukan pada anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan
kiri wajah.2,3

2
Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada
sisi yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan. Adanya riwayat keluarga
positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bells palsy.2,3
Data yang dikumpulkan di 4 buah rumah sakit di Indonesia diperoleh
frekuensi bells palsy sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati, dan
terbanyak terjadi pada usia 21-30 tahun. Penderita diabetes mempunyai resiko
29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan
wanita dengan perbandingan yang sama. Penyakit ini dapat terjadi pada semua
umur,dan setiap saat tidak didapatkan perbedaan insidensi antara iklim panas
maupun dingin. Meskipun begitu pada beberapa penderita didapatkan riwayat
terkena udara dingin, baik kendaraan dengan jendela terbuka, tidur di lantai, atau
bergadang sebelum menderita Bells palsy.6

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Bells palsy merupakan paralisis nervus fasialis LMN unilateral idiopatik.


Paralisis ini dihubungkan dengan fenomena infeksi virus atau pasca infeksi virus,
dengan beberapa bukti yang secara spesifik menunjukkan keterlibatan virus
herpes simpleks. Onsetnya cepat dalam jam atau hari, dan mungkin terdapat
nyeri pada atau di bagian belakang telinga.4
Onset Bells palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48
jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan
pasien, sering mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi
wajah akan permanen. Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat,
pasien sering datang langsung ke IGD. Kebanyakan pasien mencatat paresis
terjadi pada pagi hari. Kebanyakan kasus paresis mulai terjadi selama pasien
tidur.6,7

2.2 ETIOLOGI

Bells palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion
ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen
timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen
stylomastoideus. 3,5
Secara klinis, Bells palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses
inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari
Bells palsy, antara lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi dan herediter telah
diduga menjadi penyebab.3,5

4
Walaupun Bells Palsy diperkirakan idiopatik, namun sebenarnya kurang tepat
karena studi mengaitkannya dengan infeksi herpes simplex virus (HSV)-1. Pada
autopsy kasus ini, HSV-1 dapat diisolasi dari ganglion genikulatum serta
terdeteksi pada cairan endoneurium sebagian besar pasien dibandingkan dengan
kontrol sehat. Pada sindrom Ramsay-Hunt dapat diisolasi virus varicella zoster.3,5

2.3 PATOFISIOLOGI

Gambar 1. Nukleus dan Saraf Fasialis.10

5
Gambar 2.Perjalanan Saraf Fasialis.11

Gambar 3. Jaras Nervus Fasialis. 5


Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya
proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter
nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui
tulang temporal. Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells
palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini
menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion

6
genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN.4,5,6
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis
yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya
inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari
konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat
gangguan di lintasan supranuklear, nuclear dan infranuklear. 4,5,6
Lesi di daerah foramen stilomastoideus menyebabkan paralisis wajah saja .
Lesi proksimal dari korda timpani juga akan mengganggu pengecapan pada 2/3
anterior lidah. Lesi yang lebih proksimal akan mengenai nervus stapedius (pasien
mengeluhkan persepsi suara yang berlebih hiperakusis) dan nervus petrosus
superficial mayor (hilangnya lakrimasi ipsilateral).5
Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di
jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah
somatotropik wajah di korteks motorik primer. Nervus fasialis terjepit di dalam
foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. 4,5,6
Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebello-pontin, di os petrosum
atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi
nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens
dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut
akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah
lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan
tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian
depan lidah). 4,5,6

7
2.4 GEJALA KLINIS

Gambar 3. Parese nervus VII perifer kanan.6

2.4.1 Gejala
Kelumpuhan muskulus fasialis
Tidak mampu menutup mata (lagofthamus)
Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)
Perubahan pengecapan (57%)
Hiperakusis (30%)
Kesemutan pada dagu dan mulut
Epiphora
Nyeri ocular
Penglihatan kabur.6,7

8
2.5 DIAGNOSIS
2.5.1 Hasil Anamnesis (Subjective)

2.5.1.1 Keluhan

Pasien datang dengan keluhan :


Paralisis otot fasialis atas dan bawah unilateral, dengan onset akut
(periode 48 jam)
Nyeri auricular posterior
Penurunan produksi air mata
Hiperakusis
Gangguan pengecapan
Otalgia1,5,7

2.5.1.2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung dan mulut
harus dilakukan pada semua pasien dengan paralisis fasial.1,5,7

a. Fungsi motorik.
Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita, apakah
simetris atau tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika
nasolabialis dan sudut mulut. Bila asimetri (dari) muka jelas, maka hal
ini disebabkan oleh kelumpuhan jenis perifer. Dalam hal ini kerutan
dahi menghilang, mata kurang dipejamkan, plika nasolabialis mendatar
dan sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis sentral
(supranuklir), muka dapat simetris waktu istirahat, kelumpuhan baru
nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan, misalnya menyeringai.
- Suruh penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi. Perhatikan
apakah hal ini dapat dilakkan, dan apakah ada asimetri. Pada
kelumpuhan jenis supranuklir sesisi, penderita dapat mengangkat alis

9
dan mengerutkan dahinnya, sebab otot-otot ini mendapat persarafan
bilateral. Pada kelumpuhan jenis periger terlihat adanya asimetri.
- Suruh penderita memejamkan mata. Bila lumpuhnya berat, maka
penderita tidak dapat memejamkan mata; bila lumpuhya ringan, maka
tenaga pejaman kurang kuat. Hal ini dapat dinilai dengan jalan
mengangkat kelopak mata dengan tangan pemeriksa, sedangkan pasien
disuruh tetap memejamkan mata. Suruh pula pasien memejamkan
matanya satu persatu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi
parese ringan. Bila terdapat parese, penderita tidak dapat memejamkan
matanya pada sisi yang lumpuh. Perlu diingat bahwa ada juga orang
normal yang tidak dapat memejamkan matanya satu persatu.
- Suruh penderita menyeringai (menunjukkan gigi geligi), mencucurkan
bibir, menggembungkan pipi. Perhatikan apakah hal ini dapat
dilakukan dan apakah ada asimetri. Perhatikan sudut mulutnya. Suruh
penderita bersiul. Penderita yang tadinya dapat bersiul menjadi tidak
mampu lagi setelah adanya kelumpuhan. Pada penderita yang tidak
kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan tidak dapat disuruh
menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila kepadanya diberi rangsang
nyeri, yaitu dengan menekan pada sudut rahangnya (m.masseter).9

b. Fungsi pengecapan
Kerusakan nervus VII, sebelum percabangan khorda timpani, dapat
menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian
depan. Untuk memeriksanya penderita disuruh menjulurkan lidah,
kemudian kita taruh pada lidahnya bubuk gula, kina, asam sitrat, atau
garam (hal ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat). Bila
bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut,
sebab bila lidah ditarik ke dalam mulut, bubuk akan tersebar melalui
ludah ke bagian lainnya, yaitu ke sisi lidah lainnya atau ke bagian

10
belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita
disuruh menyatakan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat,
misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, 4
untuk rasa asam.9
Jika paralisis melibatkan hanya wajah bagian bawah, penyebab
sentral harus dipikirkan (supranuklear). Jika pasien mengeluh
kelumpuhan kontra lateral atau diplopia berkaitan dengan kelumpuhan
fasial kontralateral supranuklear, stroke atau lesi intra serebral harus
sangat dicurigai.1,5,7
Jika paralisis fasial onsetnya gradual, kelumpuhan pada sisi
kontralateral, atau ada riwayat trauma dan infeksi, penyebab lain dari
paralisis fasial harus sangat dipertimbangkan. Progresifitas paresis
masih mungkin,namun biasanya tidak memburuk pada hari ke 7
sampai 10. Progresifitas antara hari ke 7-10 dicurigai diagnosis yang
berbeda. Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral harus dievaluasi
sebagai Sindroma Guillain-Barre.1,5,7

c. Manifestasi Okular

Manifestasi okular awal :


Lagophthalmos (ketidakmampuan untuk menutup mata total)
Corneal exposure
Retraksi kelopak mata atas
Penurunan sekresi air mata
Hilangnya lipatan nasolabial
Erosi kornea, infeksi dan ulserasi (jarang)1,5,7

11
Manifestasi okular lanjut :
Ringan: kontraktur pada otot fasial, melibatkan fisura palpebral.
Regenerasi aberan saraf fasialis dengan sinkinesis motorik.
Sinkinesis otonom (air mata buaya-tetes air mata saat mengunyah).
Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini terjadi karena
penurunan fungsi orbicularis okuli dalam mentransport air mata.1,5,7

d. Nyeri auricular posterior


Separuh pasien dengan Bells palsy mengeluh nyeri auricular
posterior. Nyeri sering terjadi simultan dengan paresis, tapi nyeri
mendahului paresis 2-3 hari sekitar pada 25% pasien. Pasien perlu
ditanyakan apakah ada riwayat trauma, yang dapat diperhitungkan
menyebabkan nyeri dan paralisis fasial. Sepertiga pasien mengalami
hiperakusis pada telinga ipsilateral paralisis, sebagai akibat
kelumpuhan sekunder otot stapedius.

2.5.1.3 Pemeriksaan Penunjang


Darah rutin
EMG
MRI kepala + kontras (jika curiga lesi sentral)

12
Derajat Karakteristik
I (Normal) Tidak ada kelainan
II (Disfungsi ringan) Inspeksi
Tampak kelemahan otot wajah ringan dengan inspeksi seksama
Dapat ditemukan sinkinesia
Tampak simetris dan tonus tampak normal saat istirahat
Gerakan otot wajah
M. Frontalis : fungsi moderat-baik
M. Orbikularis okuli : kelopak mata menutup baik dengan usaha
minimal
M. Orbikularis oris : asimetri ringan
Derajat III (Disfungsi Inspeksi
sedang) Tampak asimetri namun tidak member kesan jelek pada
penampilan
Tampak sinkinesis, kontraktur, atau hemifacial spasm yang jelas
namun tidak berat
Tampak tonus normal saat istirahat
Gerakan otot wajah
M. Frontalis : gerakan berkurang
M. Orbikularis okuli : kelopak mata menutup baik dengan usaha
yang kuat
M. Orbikularis oris : asimetri ringan dengan usaha maksimal
Derajat IV (Disfungsi Inspeksi
sedang-berat) Tampak asimetri yang jelas dan member kesan buruk pada
penampilan
Tampak tonus normal saat istirahat
Gerakan otot wajah
M. Frontalis : tidak ada gerakan
M. Orbikularis okuli : kelopak mata menutup tidak sempurna
M. Orbikularis oris : asimetri dengan usaha maksimal
Derajat V (Disfungsi Inspeksi
berat) Saat istirahat tampak asimetri
Gerakan otot wajah
M. Frontalis : tidak ada gerakan
M. Orbikularis okuli : kelopak mata menutup tidak sempurna

Derajat VI (Paralisis Tidak ada gerakan sama sekali


total)

Tabel 1. Derajat kelumpuhan N. Fasialis berdasarkan House and Brackmann ddengan skala
sampai VI. 5

13
Diagnosis Bells Palsy ditegakkan secara klinis. Pada pemeriksaan MRI
dengan kontras, didapatkan penyangatan nervus fasialis yang mempresentasikan
inflamasi. Cairan serebrospinal menunjukkan peningkatan ringan limfosit dan
monosit. Pemeriksaan elektrofisiologi, yaitu refleks kedip (blink reflex) dapat
menentukan topis kerusakan nervus fasialis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah onset
14 hari, karena pada < 14 hari pasca onset masih terjadi kerusakan nervus fasialis,
sehingga belum dapat diperkirakan derajat kerusakan akhirnya.

2.6 PENATALAKSANAAN

Inflamasi pada nervus fasialis dapat diatasi dengan pemberian glukokortikoid


oral, yaitu prednisone 40-60 mg perhari selama 10 hari dengan penurunan
dosis bertahap.
Jika diduga infeksi virus sebagai etiologinya, dapat ditambahkan antiviral
yaitu asiklovir 400 mg 5 kali sehari selama 7 hari atau valasiklovir 1 g 3 kali
sehari selama 7 hari dalam waktu 72 jam sejak onset.
Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada siang hari)
dapat mencegah corneal exposure, dan penutup mata secara mekanik saat
tidur.
Fisioterapi atau akupunktur: dapat mempercepat perbaikan dan menurunkan
sequele. 1,5,8

14
2.7 PROGNOSIS

Prognosis pada umumnya bonam. Sekitar 70% pasien mengalami perbaikan


dalam 1-2 bulan dan 85% diantaranya mengalami perbaikan penuh. Munculnya
perbaikan motorik pada hari ke-5 atau 7 menunjukkan prognosis baik, sementara
adanya tanda denervasi pada pemeriksaan elektrofisiologi setelah hari ke-10
menunjukkan prognosis buruk. 1,5

2.8 DIAGNOSIS BANDING

Stroke (kebanyakan menyebabkan gangguan jenis sentral)


Otitis media
Guillain Barre sindrom.9

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Kurniawan M, Isti suharjanti, Rizaldy T Pinzon. Panduan Praktik Klinis


Neurologi.PERDOSSI.2016
2. Munilson J. Yan Edward, Dedy Rusdi . Terapi Medikamentosa pada Paralisis
Saraf Fasialis Akibat Fraktur Tulang Temporal.2015. Halaman 295.
3. Adhayana F. Bell's Palsy - USU Institutional Repository 2012. diakses pada 11
agustus 2017
4. Ginsberg, L. Bells Palsy dalam Lecture Notes : Neurologi Edisi Kedelapan.
Jakarta : Penerbit Erlangga.2007. Halaman 34-5.
5. Aninditha T, Winnugroho wiratman. Bells Palsy dalam Buku Ajar
Neurologi.Jakarta : Departemen Neurologi FKUI.2017. Hal 672-74
6. Bachrudin M.Bell's Palsy (BP) dalam Jurnal Saintika Medika - E-Journal UMM
Vol 7, No 2 2011. Diakses pada 11 agustus 2017
7. Taylor, D.C. Keegan, M. bell's palsy Medication. Medscape.
8. Medscape: Empiric Therapy Regimens.
9. Lumbantobing Prof.Dr.dr.S.M. Saraf Otak dalam Neurologi Klinik ; Pemeriksaan
Fisik dan Mental:FKUI.Jakarta.2016.Halaman 58-60.
10. Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and Function. In:
Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology: a Queen Square
textbook. Balckwell Publishing Ltd.
11. Kanerva, M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and Melkerson-
Rosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, In Press.

16

Anda mungkin juga menyukai