Hazama Mohamad a,, Mohd Khairi Md Daud a, Habsah Hasan b, Wong Chun Yiing c
a Department of Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery, School of Medical Sciences, Universiti Sains
Malaysia, 16150 Kota Bharu, Kelantan, Malaysia
b Department of Microbiology, School of Medical Sciences, Universiti Sains Malaysia, 16150 Kota Bharu,
Kelantan, Malaysia
ABSTRAK
c Department of Otorhinolaryngology, Hospital Umum Sarawak, Kuching, Sarawak, Malaysiab
Tujuan
Department of Microbiology, School of Medical Sciences, Universiti Sains Malaysia, 16150 Kota Bharu,
Kelantan, Malaysia
Otitis Media Supuratif Kronik pada umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, akan tetapi
c Department of Otorhinolaryngology, Hospital Umum Sarawak, Kuching, Sarawak, Malaysia
dengan pengobatan awal antibiotik, Otorrhea dapat selalu diatasi dalam jangka waktu yang
singkat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari keterlibatan jamur pada Otitis
Media Supuratif Kronik dengan Otorrhea Persisten dan hubungan antara antibiotik topikal
(tetes telinga) dengan infeksi jamur pada Otitis Media Supuratif Kronik.
Metode
62 pasien diikut sertakan dalam studi cross-sectional yang dilakukan di klinik
otorhinolaryngolgy di Hospital University Sains Malaysia. Pasien yang diikut sertakan dalam
studi ini adalah seluruh pasien yang menderita Otitis Media Supuratif Kronik dengan
Otorrhea Persisten selama paling sedkit 2 minggu. Pasien yang menderita Otomikosis, Intak
Membran Timpani, Otitis Eksterna, dan Kolesteatoma disingkirkan pada studi ini. Sampel
sediaan apus untuk kultur bakteri dan jamur dikumpulkan secara hati-hati dengan tindakan
asepsis. Tetes telinga Ofloxacin diresepkan kepada seluruh pasien selama 2 minggu. Seluruh
pasien diedukasi secara tegas untuk membersihkan liang telinga sebelum mengaplikasi tetes
telinga dan diedukasi untuk menjaga agar telinga tetap kering. Setelah lewat 2 minggu,
apabila masih didapatkan discharge persisten pada telinga, sediaan apus untuk kultur jamur
dan bakteri diulangi lagi.
Hasil
Angka kejadian infeksi telinga yang disebabkan oleh jamur adalah 6,4% (4/62). Jamur-
jamur yang diisolasi dalam studi ini adalah spesies Aspergillus, Candida, dan Penicilium.
Secara mayoritas kasus otorrhea disebabkan oleh bakteri. Tidak ada hubungan antara infeksi
jamur dengan antibiotik topikal namun didapatkan bahwa ofloxacin merupakan pengobatan
efektif dalam menangani otorrhea.
Kesimpulan
Angka kejadian kolonisasi jamu pada persisten otorrhea sangat sedikit (7%). Jamur yang
diisolasi dalam studi ini adalah Aspergillus Flavus, Candida Parapsilosis, dan Penicillium
Spp. Bakteri masih merupakan mikroorganisme penyebab utama otorrhea persisten.
2016 Egyptian Society of Ear, Nose, Throat and Allied Sciences. Production and hosting by
Elsevier B.V. This is an open access article under the CC BY-NC-ND license
PENDAHULUAN
Otitis Media Supuratif Kronik merupakan salah satu penyakit yang sering diderita oleh
negara-negara berkembang dan negara dengan populasi berlebih di dunia. Prevalensi untuk
Otitis Media Supuratif Kronik telah dilaporkan berkisar antara kurang dari 1-46% dengan
prevalensi kejadian terbesar didapatkan pada Alaska, Canada, Greenland, Australia suku
aborigin, dan beberapa natif Amerika Utara. Malaysia tercatat memiliki prevalensi 2%
diantara usia anak-anak sekolah. Angka kejadian penyakit Otitis Media Supuratif Kronik
didapatkan tinggi pada negara berkembang dikarenakan rendahnya status sosio-ekonomi,
buruknya status gizi, dan kurangnya kesadaran masyarakat akan kesehatan. Akan tetapi
dilaporkan bahwa angka kejadian Otitis Media Supuratif Kronik telah menurun drastis seiring
dengan pemberian antibiotik.
Penyebab yang paling sering mengakibatkan terjadinya Otitis Media Supuratif Kronik
adalah bakteri. Verhoeff et al, mengkaji 79 penelitian yang berhubungan dengan Otitis Media
Supuratif Kronik dan mereka menemukan bahwa organisme yang paling sering diisolasi
adalah Pseudomonas aeruginosa (18-67%), Staphulococcus aureus (14-33%) dan bakteri
gram negatif lainnya seperti Proteus spp, Klebsiella spp, Echerichia spp, dan Haemophilus
influenza. Sedangkan bakteri anaerob yang paling sering diisolasi adalah Bacteroides spp (1-
91%) dan Fusobacterium spp (4-15%).
Brook mengkaji penelitian pada Otitis Media Supuratif Kronik selama 25 tahun terakhir
ini dan menemukan bahwa bakteri anaerob merupakan sebagian organisme yang terambil
saat aspirasi telinga. Organisme anaerob utama yang dilaporkan adalah Peptostreptococcus
spp, anaerob gram negatif bacilli, dan Fusobacterium nucleatum.
Belum lama ini, jamur diperkirakan memegang peranan besar dalam Otitis Media
Supuratif Kronik terutama di bagian yang lembab. Hal ini menyebabkan perhatian mengenai
infeksi jamur yang saling berhimpit dengan pengobatan jangka panjang antibiotik topikal
meningkat. Beberapa penelitian telah mengemukakan bahwa Aspergillus dan Candida spp
sebagai spesies jamur yang paling dominan dalam menginfeksi telinga. Jamur dipercaya
berkembang biak dengan baik pada lingkungan yang panas dan lembap seperti di Malaysia
yang merupakan negara equatorial. Tujuan utama pada penelitian ini adalah untuk
mengetahui peranan jamur pada Otitis Media Supuratif Kronik.
METODE
Hasil Timing
Gabungan 3 penelitian melaporkan, penggunaan kortiosteroid intranasal pada hari ke-
14 hingga ke-15 menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan, dengan RD 0,05 (95%
CI, -0,01 sampai 0,11;P=13;I2= 22%) (Gambar 2A). Sebaliknya, ganbungan 3 penelitian lain
melaporkan adanya resolusi atau perbaikan gejala ketika terapi diberikan hingga hari ke-21,
dengan RD 0,11 (95% CI, 0,06- 0,17; P < .001; I2 = 0) dan NNT dari 9 (95% CI, 6-17)
(Gambar 2B).
Terdapat 2 penelitian yang berpendapat bahwa kortikosteroid intranasal tidak
memiliki manfaat, dengan melaporkan jumlah peserta dengan gejala persisten pada 10 hari
setelah pengobatan, RD 0,06 (CI 95%, -0,09 sampai 0,22; P = 0,41; I2 = 47%). Selain itu,
terdapat 2 penelitian yang melaporkan adanya perbaikan pada pasien yang menerima steroid
intranasal vs plasebo sebesar 7%, namun signifikan pada hari ke-21 (Nayak et al18: 61% vs
53%, P = 0,006; Meltzer et al21: 68% vs 61 %, P <.01).
Dose-Dependent
Sebanyak 3 penelitian yang menggunakan mometasone furoate intranasal sebagai
terapi, kemudian obat ini menunjukkan perbaikan gejala pada hari ke-15 hingga ke-21, RD
0,08 (95% CI, 0,01-0,14; P = 0,02; I2 = 62% ) dan NNT 13 (95% CI, 7-100). Dosis harian
mometasone furoate yang digunakan pada penelitian ini adalah 200- 800 g.. Pada gambar 3,
menunjukkan adanya hubungan antara dosis mometasone furoate dengan perbaikan gejala (P
= .02), semakin tinggi dosis yang diberikan, angka perbaikan gejala semakin meningkat.
Untuk pasien yang menerima mometasone furoate intranasal dengan dosis 800 g, RD adalah
0,12 (95% CI, 0,06-0,18; P = .0002) dan NNT adalah 8 (95% CI, 6-17); untuk yang
menerima 400 g setiap hari, RD adalah 0,07 (95% CI, 0,03-0,11; P = .001) dan NNT adalah
14 (95% CI, 9-33).
Skoring Individu
Sebanyak 3 RCT melaporkan skoring individu pada 5 kelompok pasien yang telah
menerima dosis variasi mometasone furoate dan dibandingkan dengan plasebo. Untuk gejala
nyeri wajah, hidung tersumbat, sakit kepala, rhinorrhea, postnasal drip, dan batuk dilaporkan
dalam bentuk skala. Skala 0 (tidak ada) hingga skala 3 (parah), skoring ini dimulai pada awal
terapi hingga hari ke-15, kemudian dirata-ratakan (lihat Lampiran Tambahan di http: //
www.annfammed.org/content/10/3/241/suppl/ DC1 untuk data lengkap). Dibandingkan
dengan pasien yang menerima plasebo, pasien penerima kortikosteroid intranasal
menunjukkan adanya perbaikan gejala, terutama nyeri wajah (3 dari percobaan), kemacetan
(3), rhinorrhea (2), sakit kepala (1), dan postnasal drip (1) (semua P <.05).
Efek samping
Terdapat 1 penelitian yang melaporkan bahwa tidak ada efek samping yang terjadi
dengan terapi steroid. 2 penelitian melaporkan tidak ada efek samping yang serius pada
kelompok manapun, dan penelitian yang tersisa melaporkan bahwa efek samping umumnya
ringan atau sedang-berat. Meta-analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan
mengenai efek samping pasien yang menggunakan kortikosteroid intranasal (299 dari 1.299,
atau 23%) dan plasebo (181 dari 797, juga 23%) (P = 0,83). Efek samping yang umumnya
terjadi adalah sakit kepala (dicatat pada 2% -8% pasien, 4 penelitian), epistaksis (3% -7%, 4
penelitian), iritasi hidung (1% -2%, 3 penelitian), dan faringitis (2% -4%, 3 studi). Dari hasil
analisa menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok steroid dan
kelompok plasebo.
Kambuh dan kekambuhan
Terdapat 3 penelitian yang melaporkan kekambuhan sinusitis akut, yang terjadi 2
bulan setelah inisiasi pengobatan. Kekambuhan terjadi pada 5%-15% pasien yang
menggunakan kortikosteroid intranasal dan 4%-37% memakai plasebo.
DISKUSI
Kunci Diskusi
Penelitian ini membuktikan bahwa kortikosteroid intranasal dapat memperbaiki gejala
sinusitis akut, namun efek perbaikannya tidak banyak. Perbaikan gejala paling dirasakan
ketika diberikan pengobatan jangka lama (21 hari) dan dengan dosis yang lebih tinggi. Ketika
dilakukan skoring individu, hasilnya menunjukkan bahwa gejala utama yang membaik pada
pasien sinusitis akut adalah nyeri wajah dan hidung tersumbat.
Berdasarkan hasil analisa, didapatkan bahwa sebanyak 66% pasien telah mengalami
perbaikan atau resolusi gejala pada hari ke-14 hingga hari ke-21 hari dengan menggunakan
plasebo, serta 7% pasien mengalami perbaikan dengan kortikosteroid. Angka 7% ini
merupakan nilai yang relatif kecil, oleh karena itu perlu dipikirkan mengenai efek samping
dan ekonomi pasien sebelum diberikan obat.
Uji coba telah dilakukan dan dilaporkan tidak memiliki efek samping yang serius
terkait dengan penggunaan kortikosteroid intranasal. Kekurangan dari kortikosteroid, yakni
efek dari penyerapan sistemik. Namun, percobaan tunggal terhadap kortikosteroid telah
dilakukan dan tidak ditemukan adanya perubahan yang relevan pada sumbu hipotalamus
hipofisis-adrenal, dan 2 penelitian terakhir juga tidak menemukan bukti mengenai penekanan
sumbu hipotalamus atau penekanan pertumbuhan dengan pemberian kortikosteroid
intranasal.
Hanya ada 1 uji coba yang menilai manfaat kortikosteroid intranasal pada sinusitis akut. Pada
peneltian ini, kortikosteroid memiliki tingkat kinerja yang lebih tinggi (median, 100% vs 90%
untuk plasebo), namun, tidak ada perbedaan dalam perubahan kualitas hidup yang diukur
dengan 20-item Sino-Nasal Outcome Test (SNOT-20) dan 12-Item Short Form Health Survey.
Pasien dengan sinusitis aku mungkin dapat mengalami beberapa efek merugikan akibat
pemberian kortikosteroid intranasal, tapi efek samping ini dapat diabaikan dengan harapan
adanya resolusi gejala sinusitis.
Manfaat terapeutik pada tingkat populasi hingga saat ini masih tidak jelas. Pada
analisis subkelompok, menunjukkan bahwa kortikosteroid intranasal memberikan efek yang
bermakna pada pemberian selama 21 hari. Sebaliknya, efek terapeutik ini tidak signifikan
pada pemberian selama 15 hari. Pada penelitian ini, jumlah sampel subkelompok yang
dimasukkan ke penelitian tidak banyak, oleh karena itu diperlukan penelitian yang lebih
lanjut untuk mengklarifikasi manfaat pada terapi selama 15 hari atau kurang.
Penelitian ini juga menemukan adanya hubungan dosis-respons. Pada pemberian
mometasone furoate intranasal, semakin besar dosis yang diberikan, semakin besar
ANNALS OF FAMILY MEDICINE WWW.ANNFAMMED.ORG VOL. 10, NO. 3 MAY/JUNE 2012
11
[Type text]
mandiri dan tindak lanjut telepon harus digunakan untuk menilai waktu penyelesaian resolusi
gejala dan juga waktu untuk memulai resolusi gejala, hal ini sangat penting dalam
mengklarifikasi apakah ada manfaat pada titik waktu lebih awal dari 21 hari.
Biasanya antibiotik akan diberikan pada pasien dengan sinusitis akut, meskipun
manfaatnya terbatas. Dengan demikian, dengan adanya penelitian mengenai kortikosteroid
intranasal, diharapkan dapat mengurangi pemberian antibiotik.
Mencari dan mempelajari penelitian lain dapat meningkatkan kemampuan dalam
menggabungkan data dari penelitian-penelitian yang telah ada. Pemberian kortikosteroid oral
mungkin memberikan perbaikan gejala yang lebih awal dan lebih besar karena keluhan
hidung tersmbat dapat mengurangi jumlah kortikosteroid intranasal untuk masuk ke dalam
mukosa hidung.
Singkatnya, berdasarkan bukti saat ini, peneliti yakin bahwa kortikosteroid intranasal
menawarkan manfaat terapeutik kecil pada sinusitis akut dan mungkin paling bermanfaat
dalam mengurangi gejala nyeri wajah dan hidung tersumbat. Manfaat ini mungkin akan lebih
dirasakan apabila obat diberikan selama 21 hari dan kortikosteroid dosis tinggi.
Kata kunci: kortikosteroid; radang pada selaput lendir; Meta-analisis; terapi intranasal; menghirup; Sakit
wajah; hidung tersumbat
Dikirim 20 April 2011; Diserahkan, direvisi, 17 Agustus 2011; Diterima 6 September 2011.
Dukungan dana: Funding for this work was provided in part by a grant from the British Society for
Antimicrobial Chemotherapy Systematic Review Grant (GA722SRG). The Department of Primary Health care
is part of the National Institute of Health Research (NIHR) School of Primary Care Research.
Sangkalan: Neither the British Society for Antimicrobial Chemotherapy nor the National Institute of Health
Research had any role in the design and conduct of the study; collection, management, analysis, and
interpretation of the data; and preparation, review, or approval of the manuscript.
Ucapan terima kasih: We would like to acknowledge the input of Professors Paul Glasziou and Chris Del Mar
into the initial stages of this project.
DAFTAR PUSTAKA
adjunctive mometasone furoate nasal spray [see comment]. J Allergy Clin Immunol.
2000;106(4):630-637.
Meltzer EO. Antibiotics and nasal steroids for acute sinusitis. JAMA. 2008;299(12):1422-
1423, author reply 1423.
Nayak AS, Settipane GA, Pedinoff A, et al; Nasonex Sinusitis Group. Effective dose range of
mometasone furoate nasal spray in the treatment of acute rhinosinusitis. Ann Allergy
Asthma Immunol. 2002;89(3):271-278.
Piccirillo JF, Merritt MG Jr, Richards ML. Psychometric and clinimetric validity of the 20-
Item Sino-Nasal Outcome Test (SNOT-20). Otolaryngol Head Neck Surg. 2002;
126(1): 41-47.
Rosenfeld RM, Singer M, Jones S. Systematic review of antimicrobial therapy in patients
with acute rhinosinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg. 2007;137(3 Suppl):S32-S45.
Russell K, Wiebe N, Saenz A, et al. Glucocorticoids for croup. Cochrane Database Syst Rev.
2004;(1):CD001955.
Shaikh N, Wald ER, Pi M. Decongestants, antihistamines and nasal irrigation for acute
sinusitis in children. Cochrane Database Syst Rev. 2010;(12):CD007909.
Ware JE Jr, Kosinski M, Keller SD. A 12-Item Short-Form Health Survey: construction of
scales and preliminary tests of reliability and validity. Med Care. 1996;34(3):220-233.
Williamson IG, Rumsby K, Benge S, et al. Antibiotics and topical nasal steroid for treatment
of acute maxillary sinusitis: a randomized controlled trial [see comment]. JAMA.
2007;298(21)2487-2496.
Young J, De Sutter A, Merenstein D, et al. Antibiotics for adults with clinically diagnosed
acute rhinosinusitis: a meta-analysis of individual patient data. Lancet.
2008;371(9616):908-914.
Zalmanovici A, Yaphe J. Intranasal steroids for acute sinusitis. Cochrane Database Syst Rev.
2009;(4):CD005149.