Anda di halaman 1dari 34

PENGARUH EKSTRAK DAUN KUMIS KUCING

(ORTHOSIPHON STAMINEUS BENTH) TERHADAP


KANDUNGAN RADIKAL BEBAS PADA ORGAN GINJAL TIKUS
MENCIT (MUS MUCULUS) YANG TERPAPAR RADIASI GAMMA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Metodologi Riset Dan Penulisan Ilmiah

Disusun Oleh:
Resvina
166090300111007

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dengan berkah, rahmat dan
karunia serta pertolongan-Nya saya dapat menyelesaikan Proposal dengan judul
Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon Stamineus Benth)
Terhadap Kandungan Radikal Bebas Pada Organ Ginjal Tikus Mencit (Mus
Muculus) Yang Terpapar Radiasi Gamma.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing .........
yang telah membimbing dalam penyusunan Proposal ini. Selain itu, pada rekan-
rekan saya ucapkan terimakasih atas kerjasama dan dukungan yang telah diberikan.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa Proposal ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu berbagai saran dan masukan terhadap isi dan
penyusunan makalah ini sangat saya harapkan demi penyempurnaan. Akhirnya,
semoga Proposal ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin

Penulis,
Juni 2017
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. 5
DAFTAR TABEL ................................................................................................... 6
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 7
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 7
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................... 10
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 10
1.4. Batasan Masalah......................................................................................... 10
1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 11
2.1. Radiasi ........................................................................................................ 11
2.1.1. Radiasi Non Pengion .......................................................................... 11
2.1.2. Radiasi Pengion .................................................................................. 11
2.1.3. Dosis Radiasi ...................................................................................... 12
2.1.4. Efek Biologis Radiasi ......................................................................... 14
2.2. Struktur dan Fungsi Ginjal ........................................................................ 16
2.3. Efek Radiasi Terhadap Ginjal .................................................................... 17
2.3.1. ATN (Acute Tubular Necrocis) .......................................................... 17
2.3.2. Glomerulonefritis ................................................................................ 18
2.4. Mekanisme Pembentukan Urin .................................................................. 19
2.5. Daun Kumis Kucing (Orthosiphon Stamineus Benth) ............................... 20
2.6. Simplisia, Ekstrak dan Ekstraksi ................................................................ 22
2.6.1. Pengertian Simplisia, Ekstrak dan Ekstraksi ...................................... 22
2.6.2. Metode Ekstraksi ................................................................................ 23
2.7. Mencit (Mus musculus) ............................................................................. 24
2.8. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. 27
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................... 27
3.2. Variabel Penelitian ..................................................................................... 27
3.3. Alat dan Bahan ........................................................................................... 27
3.3.1. Alat...................................................................................................... 27
3.3.2. Bahan .................................................................................................. 28
3.4. Metode Penelitian....................................................................................... 28
3.4.1. Pembuatan Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon Stamineus
Benth) 28
3.4.2. Persiapan Hewan Percobaan ............................................................... 28
3.4.3. Pemberian Dosis Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon Stamineus
Benth) 29
3.4.4. Pemberian Paparan Radiasi Gamma Pada Hewan Coba .................... 29
3.4.5. Pemberian Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon Stamineus
Benth) 29
3.4.6. Pengambilan Sampel Urin Mencit ...................................................... 29
3.4.7. Pengamatan Anatomi Ginjal ............................................................... 30
3.5. Analisis Data .............................................................................................. 30
3.6. Kerangka Operasional Penelitian ............................................................... 31
REFERENSI ......................................................................................................... 33
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kesehatan merupakan peranan yang sangat penting dalam kehidupan,
sehingga di terapkan pola hidup sehat kepada masyarakat. Menyadari pentingnya
pola hidup sehat dengan menggunakan bahan alami membuat masyarakat lebih
tertarik menggunakan produk-produk dengan berbahan alami. Disamping itu
pengobatan modern yang banyak mengakibatkan ketergantungan terhadap obat
sintesis bagi penderita, hal yang lain karena mahalnya harga obat sintesis dan efek
jangka panjang yang ditimbulkan pada penderita sehingga membuat banyak
masyarakat lebih beralih menggunakan tanaman obat untuk terapi pengobatan.
Kanker merupakan masalah kesehatan yang banyak terjadi di dunia dan
merupakan pernyakit mematikan sehingga menjadi perhatian yang serius bagi
masyarakat. Dari tahun ke tahun jumlah penderita kanker semakin meningkat dan
masih belum di temukan cara yang efektif untuk menyembuhkan penyakit tersebut.
Radiasi medik merupakan suatu pengobatan dimana pasien diberikan radiasi
untuk keperluan diagnosis maupun keperluan terapi, lebih dikhususkan untuk terapi
kanker dengan menggunakan sinar gamma yang mana bertujuan meradiasi semua
sel kanker, dengan memberikan dosis radiasi sesuai dengan volume tumor dan
meminimalkan kerusakan jaringan sehat yang ada disekitar. Penggunaan radiasi
tentunya memiliki resiko yang sangat tinggi, yang mana efek sampingnya dapat
membuat kerusakan biologis pada sel normal.
Sinar gamma merupakan salah satu jenis radiasi pengion yang berinteraksi
dengan DNA, protein, dan lipid yang akan mengakibatkan munculnya radikal bebas
yang berbahaya. Radikal bebas adalah molekul yang mengandung satu atau lebih
elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya, radikal bebas sangat reaktif dan
tidak stabil, sebagai usaha untuk mencapai kestabilannya radikal bebas akan
bereaksi dengan atom atau molekul di sekitarnya untuk memperoleh pasangan
elektron. Reaksi ini berlangsung terus menerus dalam tubuh, dan menimbulkan
reaksi berantai yang mampu merusak struktur sel dan apabila tidak dihentikan akan
menimbulkan berbagai penyakit.
Ginjal mempunyai fungsi utama yaitu sebagai organ ekskresi yang
berfungsi untuk memelihara keseimbangan homeostatik cairan, elektrolit, dan
bahan-bahan organik yang ada didalam tubuh. Hal ini terjadi melalui proses filtrasi,
reabsorpsi, dan sekresi. Ginjal memiliki volume aliran darah yang tinggi, membawa
zat-zat sisa dalam tubuh melalui sel tubulus serta mengaktifkan zat-zat tertentu
dalam tubuh sehingga ginjal sangat rentan terkena efek toksik. Sama seperti hati,
ginjal juga rawan terhadap zat-zat kimia sehingga zat kimia yang terlalu banyak di
dalam ginjal akan mengakibatkan kerusakan sel.
Pengobatan tradisional yang banyak dilakukan oleh masyarakat merupakan
suatu perpaduan antara ilmu pengetahuan, kepercayaan, serta tradisi masyarakat
untuk menyembuhkan suatu penyakit. Indonesia merupakan negara yang memiliki
keanekaragaman hayati yang sangat banyak dan dapat digunakan sebagai obat-
obatan. Pemanfaatan tumbuhan digunakan sebagai obat tradisional bagi masyarakat
di Indonesia terutama di daerah pedesaan, dengan harga murah dan juga mudah
didapat, obat tradisional yang berasal dari tumbuhan memiliki efek samping yang
lebih kecil dibandingkan dengan obat-obatan berbahan kimia.
Salah satu tanaman yang ada di Indonesia adalah daun kumis kucing
(Orthosiphon stamineus Benth) merupakan salah satu tanaman obat tradisional
yang secara empiris digunakan sebagai upaya penyembuhan batuk encok, masuk
angin dan sembelit. Disamping itu tanaman daun kumis kucing juga bermanfaat
untuk pengobatan radang ginjal, batu ginjal, kencing manis, albuminuria, dan
penyakit syphilis, reumatik dan menurunkan kadar glukosa darah. Selain bersifat
diuretik, kumis kucing juga digunakan sebagai antibakteri.
Tanaman daun kumis kucing memiliki berbagai macam senyawa kimia
yang dibutuhkan makhluk hidup lainnya, yaitu antara lain: orthosiphonim glikosida,
minyak atsiri, saponin, garam kalium, zat samak, minyak lemak, saponin,
sapofonin, mioinositol, dan sinensetin. Senyawa-senyawa tersebut menjadikan
daun kumis kucing berkhasiat dijadikan obat alami untuk mengobati berbagai
macam penyakit.
Daun kumis kucing mempunyai sifat diuretik yang mana dapat
meningkatkan kadar urin dalam tubuh sehingga sisa endapan dapat dikeluarkan.
Selain itu, zat aktif yang terdapat didalamnya juga bisa menyembuhkan peradangan
yang terdapat pada ginjal, kandung kemih dan saluran kencing. Zat aktif tersebut
berupa flavonoid yang terdapat dalam daun kumis kucing yang memiliki fungsi
untuk mencegah peradangan pada ginjal karena bisa berperan sebagai anti-oksidan,
yang mana peradangan biasanya terjadi karena penyumbatan pada saluran yang
terdapat pada ginjal.
Penelitian sebelumnya tentang pengaruh ekstrak Orthosiphon stamineus
Benth, Hieracium pilosella L., Sambucus nigra L. dan Arctostaphylos uva-ursi (L.)
Spreng pada tikus didapati hasil evaluasi farmakologi yang mengungkapkan bahwa
terjadi peningkatan aliran urin, yang mana ekskresi natrium urin pada tikus
meningkat dengan Oamin staminus dan S. Nigra (D. Beaux, J. Fleurentin1, dan F.
Mortier, 1999). Penelitian lain tentang Sifat antidiabetes dan Mekanisme Aksi
Orthosiphon stamineus Benth Bioactive Sub-fraksi Streptozotoci pada Tikus yang
diinduksi Diabetes diperoleh hasil dimana tidak ada bukti bahwa ekstrak tumbuhan
dapat merangsang pelepasan insulin untuk menurunkan kadar glukosa darah.
(Elsnoussi Ali Hussin Mohamed, dkk 2011).
Berdasarkan hasil penelitian di atas mendorong untuk dilakukan penelitian
tentang pengaruh ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon Stamineus Benth)
terhadap kandungan radikal bebas pada tubuh, sehingga efek dari radikal bebas
dapat mengurangi atau mencegah suatu penyakit. Dalam penelitian ini penulis
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh ekstrak daun kumis kucing
(Orthosiphon Stamineus Benth) terhadap kandungan radikal bebas pada organ
ginjal tikus mencit (Mus Muculus) yang terpapar radiasi gamma. Pada penelitian
ini dilakukan pendekatan dengan menggunakan objek penelitian berupa tikus
mencit yang akan diberikan radiasi gamma. Tikus mencit dipilih sebagai objek
penelitian karena mudah diperoleh serta dipelihara dalam jumlah banyak dan
mempunyai respon yang cepat, yang memberikan gambaran sifat produksi dan
karakteristik reproduksinya yang hampir sama dengan manusia.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka diperoleh rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh radiasi gamma dan
pemberian dosis ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon Stamineus Benth)
terhadap kandungan radikal bebas pada organ ginjal tikus mencit (Mus Muculus).

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh radiasi
gamma dan ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon Stamineus Benth) terhadap
kandungan radikal bebas pada organ ginjal tikus mencit (Mus Muculus).

1.4. Batasan Masalah


Dalam penyusunan penelitian ini, penulis membatasi pokok-pokok
pembahasan yaitu tikus mencit yang digunakan berjenis kelamin jantan, umur 6-8
minggu dengan berat badan rata-rata 18-20 gram. Antioksida dari daun kumis
kucing diberikan dalam bentuk ekstrak masing-masing 0 mL; 0,3 mL; 0,6 mL; 0.9
mL; dan 1.2 mL. Radiasi yang digunakan adalah radiasi gamma dengan
menggunakan lima variasi dosis radiasi yakni 100 rad, 150 rad, 200 rad, 250 rad,
dan 300 rad.

1.5. Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dampak radikal bebas
yang ditimbulkan oleh radiasi gamma dan sebagai kajian ilmiah pemanfaatan
ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon Stamineus Benth) sebagai antioksidan dan
pencegahan munculnya radikal bebas dalam tubuh.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Radiasi
Radiasi merupakan fenomena dalam kehidupan, kita hidup di dunia dimana
radiasi alamiah didapatkan dimanapun. Radiasi dapat juga diartikan sebagai energi
yang dipancarkan dalam bentuk partikel atau gelombang (Batan, 2005).
Pemanfaatan radiasi di bidang Medis maupun Kedokteran sudah berkembang pesat
terutama untuk sarana radiodiagnostik. Pemanfaatan berbagai sumber radiasi harus
dilakukan secara cermat dan mematuhi ketentuan keselamatan kerja untuk
menghindari terjadinya paparan radiasi yang tidak diinginkan (Alatas, 2004).
Ditinjau dari muatan listriknya radiasi digolongkan ke dalam radiasi
nonpengion dan radiasi pengion (Batan, 2005).
2.1.1. Radiasi Non Pengion
Radiasi non-pengion merupakan jenis radiasi yang tidak akan menyebabkan
efek ionisasi apabila berinteraksi dengan materi. Radiasi nonpengion tersebut
berada di sekeliling kehidupan kita. Yang termasuk dalam jenis radiasi non-pengion
antara lain adalah gelombang radio (yang membawa informasi dan hiburan melalui
radio dan televisi); gelombang mikro (yang digunakan dalam microwave, oven dan
transmisi seluler handphone); sinar inframerah (yang memberikan energi dalam
bentuk panas); cahaya tampak (yang bisa kita lihat); sinar ultraviolet (yang
dipancarkan matahari) (Batan, 2005).
2.1.2. Radiasi Pengion
Radiasi pengion merupakan jenis radiasi yang dapat menyebabkan proses
ionisasi (terbentuknya ion positif dan ion negatif) apabila berinteraksi dengan
materi. Peristiwa terjadinya ion ini disebut ionisasi. Ion ini kemudian akan
menimbulkan efek atau pengaruh pada bahan. Yang termasuk radiasi pengion
adalah partikel Alfa (), partikel Beta (), sinar Gamma (), sinar X, partikel
Neutron. Setiap jenis radiasi memiliki karakteristik khusus. Meskipun tidak
memiliki massa dan muatan listrik, sinar X, sinar gamma dan sinar kosmik juga
termasuk ke dalam radiasi pengion karena dapat menimbulkan ionisasi secara tidak
langsung (Batan, 2005). Partikel Alfa (), partikel Beta () dan sinar Gamma ()
memiliki daya tembus yang berbeda-beda dan ditunjukkan dalam Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Daya Tembus Beberapa Radiasi Pengion (Batan, 2005)

Gambar 2.1 menunjukkan bahwa, radiasi Beta hanya dapat menembus


kertas tipis, dan tidak dapat menembus tubuh manusia, sehingga pengaruhnya dapat
diabaikan. Demikian pula dengan radiasi Alfa, yang hanya dapat menembus
beberapa milimeter udara. Daya tembus yang paling besar adalah radiasi Gamma
(Batan, 2005).
2.1.3. Dosis Radiasi
a. Dosis Serap
Dosis serap () adalah energi rata-rata yang diberikan oleh radiasi pengion
sebesar dE kepada bahan yang dilaluinya dengan massa dm. Satuan yang
digunakan sebelumnya adalah rad. Satu rad adalah energi rata-rata sebesar 100
erg yang diserap bahan dengan massa 1 gram. yang didefinisikan sebagai:
1 rad = 100 erg/gr
1 gray (Gy) = 100 rad
Satuan dosis serap dalam SI adalah Joule/kg atau sama dengan gray (Gy).
Satu gray adalah dosis radiasi yang diserap dalam satu joule per kilogram.
1 gray (Gy) = 1 joule/kg
Secara matematis dosis serap dituliskan sebagai berikut:

= .. (2.1)

dE adalah energi yang diserap oleh bahan yang mempunyai massa dm.
b. Dosis ekivalen
Dosis Ekivalen () dapat didefinisikan sebagai dosis serap yang diterima
oleh tubuh manusia secara keseluruhan dengan memperhatikan kualitas radiasi
dalam merusak jaringan tubuh dan faktor metode perhitungan di laboratorium.
Jadi, merupakan hasil kali antara dosis serap (), faktor kualitas (), dan
perkalian antara seluruh faktor modifikasi lainnya (N). Seperti diketahui, dosis
serap yang sama tetapi berasal dari jenis radiasi yang berbeda akan memberikan
efek biologi yang berbeda pada sistem tubuh mahluk hidup. Pengaruh interaksi
yang terjadi sepanjang lintasan radiasi di dalam jaringan tubuh yang terkena
radiasi terutama berasal dari besaran proses yang disebut alih energi linier
(LET, linear energi transfer). Yang paling berperan dalam hal ini adalah
peristiwa ionisasi yang terjadi sepanjang lintasan radiasi di dalam materi yang
dilaluinya. Dengan demikian daya ionisasi masing-masing jenis radiasi
berbeda. Makin besar daya ionisasi, makin tinggi tingkat kerusakan biologi
yang ditimbulkannya. Besaran yang merupakan kuantisasi dari sifat tersebut
dinamakan faktor kualitas . Dengan demikian dosis serap dapat dituliskan
sebagai:
= . . .. (2.2)
Di sini, digunakan Sievert (Sv) untuk satuan dosis ekivalen dalam SI.
1 Sv = 1 J.kg-1 1 rem = 10-2 Sv 1 Sv = 100 rem
Dalam perumusan di atas, digunakan N yang didefiniskan suatu faktor
modifikasi, misalnya pengaruh laju dosis, distribusi zat radioaktif dalam tubuh,
dsb. Untuk keperluan Proteksi Radiasi, faktor N tersebut selalu dianggap N=1.
Besaran yang merupakan kuantisasi radiasi untuk menimbulkan kerusakan
pada jaringan/organ dinamakan faktor bobot radiasi (Wr). Faktor bobot radiasi

sebelumnya juga disebut faktor kualitas (QF). Sedangkan untuk aplikasi di


bidang radiobiologi dinyatakan dengan relative biological effectiviness (RBE).
Tabel 2.1 menunjukan nilai faktor bobot radiasi berbagai jenis radiasi. Secara
matematis dosis ekivalen dituliskan sebagai berikut:
= ( ) ...................................... (2.3)
Dengan adalah dosis ekivalen.
c. Dosis Efektif
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa pada paparan radiasi yang
mengenai seluruh tubuh dengan setiap organ/jaringan menerima dosis ekivalen
yang sama, terbukti bahwa efek biologi terhadap setiap organ/jaringan berbeda-
beda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sensitivitas organ/jaringan tersebut
terhadap radiasi. (Dalam hal ini efek radiasi yang diperhitungkan adalah efek
stokastik, sebab efek deterministik hanya akan terlihat akibatnya bila dosis yang
diterima tubuh melebihi ambang batas tertentu. Di bawah ambang batas itu
maka efek stokastik harus diperhatikan. Oleh sebab itu diperlukan besaran dosis
lain yang disebut dosis efektif, dengan simbol . Tingkat kepekaan organ atau
jaringan tubuh terhadap efek stokastik akibat radiasi disebut faktor bobot organ
atau faktor bobot jaringan tubuh, dengan simbol .
Secara matematis dosis efektif diformulasikan sebagai berikut:
= ( ) .. (2.4)
= ( ) . (2.5)

Tabel 2.1. Nilai Faktor Bobot Berbagai Organ Tubuh

No Organ atau Jaringan Tubuh


1. Gonad 0,20
2. Sumsum Tulang 0,12
3. Colon 0,12
4. Lambung 0,12
5. Paru-paru 0,12
6. Ginjal 0,05
7. Payudara 0,05
8. Liver 0,05
9. Oesophagus 0,05
10. Kelenjar Gondok (Tiroid) 0,05
11. Kulit 0,01
12. Permukaan tulang 0,01
13. Organ atau jaringan tubuh lainnya 0,05
Catatan: Harga berdasarkan ICRP No. 60 (1990)
2.1.4. Efek Biologis Radiasi
Efek biologis radiasi dapat dilihat dari segi respon, cepat lambatnya
penampakan suatu efek biologis dan kerusakan sel.
a. Dari segi respon, efek radiasi dibedakan menjadi dua, yakni:
1. Efek deterministik (efek dengan ambang)
Efek deterministik adalah efek yang gejala-gejalanya hanya dapat
diamati setelah suatu dosis minimum tertentu (dosis ambang)
terlampaui. Efek ini terjadi karena adanya proses kematian sel akibat
paparan radiasi yang mengubah fungsi jaringan yang terkena radiasi.
Efek deterministik dapat berupa luka bakar, kemandulan dan katarak.
2. Efek Stokhastik (efek tanpa ambang)
Efek Stokhastik adalah efek yang dapat terjadi tanpa adanya dosis
minimum tertentu dan baru akan muncul setelah beberapa waktu
kemudian. Efek Stokhastik ini dapat berupa kanker maupun penyakit
keturunan lainnya akibat perubahan sel genetik.
b. Dari segi cepat lambatnya penampakan suatu efek biologis, efek radiasi
dibedakan menjadi:
1. Efek akut (efek segera)
Efek akut adalah efek yang pemunculannya terjadi kurang dari satu tahun sejak
penyinaran. Gejala umum yang ditimbulkan oleh efek ini antara lain rasa mual
dan muntah-muntah, rasa mulas dan lelah, naiknya suhu tubuh serta perubahan
jumlah butir darah.
2. Efek tertunda
Efek tertunda adalah efek yang munculnya agak lambat, lebih dari satu tahun
sejak terjadinya penyinaran. Efek ini dapat disebabkan oleh penyinaran akut
maupun penyinaran kronis. Contohnya adalah kanker, efek genetik, katarak
dan memendeknya jangka hidup.
c. Dari segi kerusakan sel, efek radiasi dibedakan menjadi:
1. Efek somatik
Efek somatik adalah efek yang ditimbulkan secara langsung oleh radiasi
terhadap organ tubuh. Efek somatik ini dapat menyebabkan timbulnya rasa
mual dan ingin muntah, diare berat, gatal-gatal, nanah, perubahan pigmen,
katarak bahkan kematian.
2. Efek genetik
Efek genetik adalah efek yang dialami oleh keturunan orang-orang yang
menerima radiasi. Efek ini menyebabkan terjadinya perubahan pada sel-sel
genetic akibat mutasi gen misalnya penyakit keturunan dan kanker sejak masa
kanak-kanak (Cember, 1983).

2.2. Struktur dan Fungsi Ginjal


Bentuk ginjal seperti kacang merah, jumlahnya sepasang dan terleta
dorsal kiri dan kanan tulang belakang di daerah pinggang. Berat gi diperkirakan
0,5% dari berat badan, dan panjangnya 10 cm. Setiap menit 25% darah
dipompa oleh jantung yang mengalir menuju ginjal. Ginjal terdiri tiga bagian
utama yaitu:
a. Korteks (bagian luar)
b. Medulla (sumsum ginjal)
c. Pelvis renalis (rongga ginjal) (Fendy, 2007)

Gambar 2.2. Struktur ginjal dan nefron (Noer, 2006)

Fungsi utama ginjal adalah membuang bahan sisa (terutama senyawa


nitrogen seperti urea dan kreatin, yang dihasilkan dari metabolisme makanan
oleh tubuh), bahan asing dan produk sisanya. Ginjal juga mengatur
keseimbangan air dan elektrolit berupa ekskresi kelebihan air dan elektrolit dan
juga mempertahankan asam-basa, suatu proses osmoregulasi. Selain itu juga
ginjal mensekresi renin, yang turut dalam pengaturan tekanan darah dan kadar
ion natrium dan eritropoietin, yang berhubungan dengan produksi eritrosit oleh
sumsum tulang. Ekskresi dan pembentukan urin meliputi ultra filtrasi plasma
darah membentuk filtrat. Filtrat diubah oleh reabsorpsi selektif sebagian besar
air yang terfiltrasi oleh molekul kecil lainnya dan oleh sekresi (Leeson et al,
1990).

2.3. Efek Radiasi Terhadap Ginjal


Radiasi yang mengenai ginjal dapat menurunkan kemampuan ginjal untuk
berfungsi sebagaimana mestinya.
2.3.1. ATN (Acute Tubular Necrocis)
Nekrosis atau kematian sel pada tubulus ginjal akut dapat disebut sebagai
Acute tubular necrosis (ATN). ATN disebabkan oleh sel tubular kurang
mendapatkan oksigen (ischemic ATN) atau ketika sel mendapat pengaruh dari
racun obat atau molekul (nephrotoxic ATN). ATN secara definisi hampir sama
dengan istilah Gagal Ginjal Akut, tetapi ATN mengacu pada temuan histologic
yaitu dua sebab utama gagal ginjal intrinsik akut adalah ischemia ginjal (hipoperfusi
ginjal) yang berkepanjangan karena keadaan-keadaan prarenal dan cedera
nefrotoksik. (Hasjim dkk, 1981).
Patogenesis Acute tubular necrosis (ATN):
1. Berkurangnya aliran darah ke ginjal sebagai akibat suatu penurunan tekanan
darah secara umum. Karena epitel tubulus-tubulus ginjal terutama tubulus
proksimal, adalah sangat peka terhadap suatu ischemia. Maka jaringan ini
dalam batasbatas tertentu akan mengalami kerusakan, walaupun sisa
jaringan ginjal lainnya tampak seperti tidak mengalami kelainan (Hasjim
dkk, 1981).
2. ATN disebabkan oleh keracunan, misalnya air raksa atau Karbon
tetraklorida. Patogenesisnya adalah efek terhadap epitel tubulus adalah
langsung akibat kontak antara racun yang diekskresi dalam urin dengan
epitel-epitel ini, jadi bukan karena hypotensi (Hasjim dkk, 1981).
Menurut Wardener (1967) bahwa Acute tubular necrosis pada ginjal dapat
dilihat berdasarkan morfologi, yaitu secara makroskopik dan mikroskopik. Secara
makroskopik dapat ditandai dengan ginjal biasanya agak membesar, walaupun
dapat juga masih tetap dalam batas normal. Korteks tampak pucat dan bengkak,
sedangkan piramid-piramid tampak berwarna merah tua karena kongesti dan
adanya pigmen-pigmen hemoglobin. Sedangkan secara mikroskopik tampak
adanya torak-torak pigmen hemoglobin yang berserakan didalam tubulus.
Toraktorak ini biasanya tampak granuler atau amorf, tetapi kadang-kadang tampak
sebagai koagulasi yang padat. Epitel-epitel disekitar torak dapat menunjukkan
adanya nekrosis atau proses degenerasi. Reaksi radang pada jaringan intersitia
terdiri atas sel-sel lekosit polymorfonukleus, limfosit dan sel-sel plasma, seringkali
juga dijumpai di daerah ini dan juga biasanya dijumpai tanda-tanda edema pada
jaringan interstisial (Wardener, 1967).
2.3.2. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis merupakan salah satu berbagai kelainan yang menyerang
sel glomerulus pada ginjal. Kelainan ini terjadi akibat gangguan utama pada ginjal
(primer) atau sebagai komplikasi penyakit lain (sekunder), misalnya komplikasi
penyakit diabetes mellitus, keracunan obat, penyakit infeksi dan lain-lain.
Pada penyakit ini terjadi kebocoran protein atau kebocoran eritrosit
(Suprapti et al, 2007). Indra (2006) menambahkan bahwa glomerulonefritis
merupakan salah satu penyebab gagal ginjal akut kategori intrarenal.
Glomerulonefritis dapat disebabkan oleh reaksi imunologis abnormal dan juga
infeksi streptokokus A yang dapat merusak glomerulus. Infeksi dapat dapat terjadi
pada saluran napas, tonsil, bahkan di kulit.
Kerusakan glomerulus tidak hanya disebabkan oleh infeksi, tetapi reaksi
antigen-antibodi menghasilkan kompleks yang mengendap di glomerulus, terutama
di membran basalis. Timbunan kompleks antigen-antibodi merangsang proliferasi
sel-sel glomerulus terutama sel mengensial yang terletak antara endotel dan epitel.
Selanjutnya, terjadi akumulasi sel darah putih. Reaksi peradangan tersebut
mengakibatkan penyumbatan pori glomerulus, sedangkan bagian yang tidak
tersumbat biasanya menjadi lebih permiabel sehingga memungkinkan terjadinya
kebocoran protein dan eritrosit ke ultrafiltrat glomerulus. Pada kasus yang berat
dapat mengakibatkan kegagalan ginjal total (Indra, 2006).
Seperti halnya ATN, glomerulonefritis juga dapat dilihat berdasarkan
morfologi yaitu secara mikroskopik dan makroskopik. Secara mikroskopik dapat
dilihat bahwa pada sel-sel epitel dan sel-sel endotel menjadi bengkak dan
bervakuola, adanya tonjolan-tonjolan seperti paku pada bagian luar membrane
glomerulus dan diantara tonjolan-tonjolan tersebut terdapat endapan, yang dengan
teknik immunofluorescence menunjukkan mengandung immunoglobulin dan
komplemen (Hasjim dkk, 1981).

2.4. Mekanisme Pembentukan Urin


Darah yang mengalir ke ginjal di filtrasi di glomeruli dalam filtrasi ini lebih
kurang 13% cairan saja yang dapat melalui glomeruli dan masuk ke dalam tubulus
proksimal. Sewaktu filtrat glomerulus menuruni tubulus, maka volumenya
berkurang dan komposisinya diubah oleh proses reabsorbsi tubulus (penyingkiran
air dan solut dari cairan tubulus) dalam bentuk urin yang memasuki pelvis renalis.
Dari pelvis renalis, urin berjalan dalam vesica urinaria dan dikeluarkan ke dunia
luar oleh proses berkemih atau mikturisi (Ganong, 1989).

Gambar 2.3. Organ-organ yang membentuk saluran urinary

Pada ginjal sehat kandungan urin adalah sebagai berikut:


Air 95%
Urea, amonia, dan asam ureat yang merupakan hasil metabolism protein
Garam-garam mineral, terutama garam dapur (NaCl)
Zat warna empedu (bilirubin dan biliverdin) yang menyebabkan urin
berwarna kuning
Zat-zat yang berlebihan dalam darah, seperti hormone dan vitamin
Urin juga digunakan sebagai indikator terjadinya gangguan di dalam tubuh,
karena setiap zat yang tidak digunakan oleh sel dibuang melalui urin. Jika dalam
masih terdapat zat-zat yang masih berguna, ini berarti adanya kerusakan pada
glomerulus atau tubulus. Kerusakan tersebut juga bisa menyebabkan zat-zat racun
akan kembali masuk ke dalam tubuh.

2.5. Daun Kumis Kucing (Orthosiphon Stamineus Benth)


Orthosiphon Stamineus Benth (Bl.) Miq. adalah tanaman yang termasuk ke
dalam family Lamiaceae. Tanaman ini merupakan tanaman yang digunakan
sebagai obat herbal terkenal di Asia Tenggara yang umumnya berasal dari Pulau
Jawa dan dikenal dengan nama kumis kucing. Selain itu, di negara lain tanaman ini
juga memiliki nama lain yaitu java tea, cats whisker, Indian kidney tea (Inggris),
mao xu cao (Cina), misai kucing, ruku hutan (Malaysia), kabling gubat, kabling
parang (Filipina), se-cho, myit-shwe (Myanmar), rau-meo (Vietnam), neko no hige
(Jepang), katzenbart (Jerman), dan yaa-nuad-maew, pa-yab-mek (Thailand).
Orthosiphon aristatus memiliki banyak sinonim yaitu O. stamineus Benth., O.
longiforum Ham., O. grandiflorum et aristatum Bl., O. spiralis Merr. O.
grandiflorus Bold., Clerodendranthus spicatus (Thumb.), dan Trichostemma
spiralis Lour. Saat ini masyarakat di beberapa negara Asia Tenggara
mengkonsumsi daun Orthosiphon aristatus dalam bentuk jamu tradisional yang
berfungsi sebagai pengobatan terhadap penyakit ginjal, gout, hipertensi, dan
diabetes melitus.(Shibuya et al., (1999) & Adnyana et al, (2013))

Gambar 2.4. Tanaman Orthosiphon Stamineus Benth


Sumber : http://www.nrm.qld.gov.au/ diunduh tanggal 8 Mei 2017
Himani et al., (2013) melaporkan tentang beberapa studi yang menjelaskan
tentang kandungan kimia tanaman kumis kucing. Kumis kucing banyak
mengandung flavon, polifenol, protein aktif, glikosida, minyak atsiri dan kalium.
Lebih dari 12 senyawa fenolik yang telah diisolasi dari tanaman kumis kucing
seperti : flavon lipofilik, glikosida flavonol, turunan asam kafeat (asam rosmarinat
dan 2,3-dicaffeoyltartaric acid), asam oleanolat, asam ursolat dan -sitosterol.
Sinensetin merupakan senyawa fitokimia paling penting dan menjadi senyawa
marker dari tanaman kumis kucing.

Tabel 2.2. Kandungan kimia kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth)


(Himani et al., 2013).

Sinensetin, Tetramethylscutellarein,
Senyawa Eupatorin, Salvigenin, Cirsimaritin, Pilloin,
Flavonoid Rhamnazin, Trimethylapigenin,
Tetramethylluteolin.
Orthosiphonone, Orthosiphonone-B,
Senyawa Orthosiphol-A, Orthosiphol-B, Orthosiphol-F,
Diterpen Orthosiphol-G, Orthosiphol-H,
Neoorthosiphols-A, Staminol-A.
Orthochromene-A, Methylripariochromene-A,
Benzochromenes
Acetovaillochromene
-elemene, -caryophyllene, -humulene,
Essential oils -caryophyllene oxide, Can-2-one,
Palmitic acid

Beberapa penelitian pra klinik tentang manfaat tanaman kumis kucing dalam
pengobatan beberapa penyakit, seperti berikut :
a. Sebagai antihiperlipidemia (Umbare et al., 2009)
b. Sebagai antimikroba dan antioksidan (Basheer and Abdil, 2010).
c. Sebagai anti-angiogenic agent (Basheer and Abdil, 2010).
d. Sebagai penyeimbang level nitrat oksida (Basheer and Abdil, 2010).
e. Sebagai antipiretik dan analgesik (Basheer and Abdil, 2010).
f. Sebagai pengatur gula darah sehingga digunakan untuk pengobatan
alternatif diabetes (Himani et al., 2013).
g. Memiliki aktivitas dalam menghambat penempelan platelet-platelet darah
dan memiliki sifat hemolitik kuat yang dapat menurunkan tekanan darah
sehingga dapat menjadi alternatif pengobatan untuk tekanan darah tinggi
serta untuk mengurangi kolesterol, yang sering digunakan dalam obat
tradisional (Himani et al., 2013).
h. Berguna untuk membersihkan racun dalam darah sehingga telah digunakan
sebagai obat herbal tradisional dalam proses detoksifikasi dan juga dapat
menghapus sisa metabolisme di dalam tubuh sehingga berguna dalam upaya
penurunan berat badan (Himani et al., 2013).
i. Sebagai diuretik sehingga bermanfaat dalam pengobatan batu ginjal dan
pembilasan ginjal serta saluran kemih (Himani et al., 2013).
j. Sebagai penghambat produksi asam urat yang dapat digunakan dalam
membantu kondisi seperti gout dan radang sendi karena tingginya kadar
asam urat dalam tubuh (Himani et al., 2013).
k. Sebagai anti-inflamasi yang dapat digunakan dalam pengobatan herbal
untuk arthritis dan rematik (Himani et al., 2013).

2.6. Simplisia, Ekstrak dan Ekstraksi


2.6.1. Pengertian Simplisia, Ekstrak dan Ekstraksi
Simplisia atau herbal adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang
digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan. Simplisia segar
adalah bahan alam segar yang belum dikeringkan. Simplisia nabati adalah simplisia
yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan (Depkes,
2008).
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung (Depkes, 2008). Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan
kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan
pelarut cair (Depkes, 2000).
2.6.2. Metode Ekstraksi
Menurut Depkes (2000), metode ekstraksi menggunakan pelarut dibagi
menjadi dua cara yaitu cara dingin dan cara panas.
1) Cara Dingin
a) Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengadukan atau pengocokan pada temperatur ruang
(kamar). Maserasi kinetik merupakan maserasi yang dilakukan dengan
cara pengadukan secara kontinu (terus menerus). Remaserasi berarti
dilakukannya pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat. Prinsip maserasi penyarian zat aktif yang
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari
yang sesuai selama tiga hari pada temperatur kamar, terlindung dari
cahaya, cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel.
Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di
dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan
terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi
rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi
keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.
Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan
penyari setiap tiga hari sekali. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan
filtratnya dipekatkan.
b) Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada
temperatur ruangan. Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan
bahan, tahap maserasi antara, tahap maserasi sebenarnya (penetesan
atau penampungan ekstrak), yang dilakukan terus menerus sampai
diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
2) Cara Panas
a) Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selang waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendinginan balik. Umumnya dilakukan pengulangan
proses residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses
ekstraksi sempurna.
b) Soxhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru
umumnya dilakukan dengan alat khusus (seperangkat alat soxhlet)
sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif
konstan dengan adanya pendingin balik.
c) Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur 40-50oC.
d) Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih), temperatur terukur
96-98oC selama 15-20 menit.
e) Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperature sampai
titik didih air ( 30oC).

2.7. Mencit (Mus musculus)


Mencit termasuk dalam genus Mus, sub famili murinae, famili muridae,
order rodentia. Mencit yang sudah dipelihara di laboratorium sebenarnya masih satu
famili dengan mencit liar. Sedangkan mencit yang paling sering dipakai untuk
penelitian biomedis adalah Mus musculus. Berbeda dengan hewan-hewan lainnya,
mencit tidak memiliki kelenjar keringat. Pada umur empat minggu berat badannya
mencapai 18-20 gram. Hewan ini memiliki karakter lebih aktif pada malam hari
daripada siang hari. Diantara spesies-spesies hewan lainnya, mencit yang paling
banyak digunakan untuk tujuan penelitian medis (60-80%) karena murah dan
mudah berkembang biak (Kusumawati, 2004).
Tabel 2.3. Data Biologi Mencit

Kriteria Jumlah
Berat badan 20-40 gram
Lama hidup 1-3 tahun
Temperatur tubuh 36.5oC
Kebutuhan air Ad libtum
Kebutuhan makan 4-5 g/hari
Pubertas 28-49 hari
Glukosa 62,8-176 mg/dL
Kolesterol 6,0-82,4 mg/dL
SGOT 23,2-48,4 IU/I
SGPT 2,10-23,8 IU/I
Sumber: Kusumawati, 2004

Mencit dipilih menjadi subyek eksperimental sebagai bentuk relevansinya


pada manusia. Walaupun mencit mempunyai struktur fisik dan anatomi yang jelas
berbeda dengan manusia, tetapi mencit adalah hewan mamalia yang mempunyai
beberapa ciri fisiologi dan biokomia yang hampir menyerupai manusia terutama
dalam aspek metabolisme glukosa melalui perantaraan hormon insulin. Disamping
itu, mempunyai jarak gestasi yang pendek untuk berkembang biak (Syahrin, 2006).

2.8. Kerangka Pemikiran


Kerangka berpikir yang mendasari penelitian ini adalah radioterapi dengan
menggunakan sinar pengion yakni gelombang elektromagnetik yang menyebabkan
terjadinya proses ionisasi bila melewati materi organik. Sinar ini bukan hanya
mengenai sel kanker namun juga mengenai sel normal sehingga menyebabkan
kerusakan dan kematian biologis sel kanker maupun sel normal secara langsung
maupun tidak langsung. Apabila paparan radiasi mengenai ginja hewan coba, maka
akan mempengaruhi kesehatan ginjal dan mengakibatkan ginjal tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
Pengobatan secara kimia dikhawatirkan akan mengakibatkan kerusakan
ginjal yang semakin parah, oleh sebab itu diperlukan obat alternatif yang
diharapkan mampu memperbaiki kerusakan struktur ginjal. Daun kumis kucing
banyak digunakan oleh masyarakat untuk pengobatan ginjal, seperti peluruh batu
ginjal, dan diuretik. Kumis kucing juga bisa digunakan sebagai antiinflamasi karena
memiliki banyak senyawa kimia pada daunnya, terutama flavonoid.
Profil kesehatan ginjal mencit dapat dilihat dengan memeriksa kandungan epitel,
eritrosit dan leukosit urin mencit serta pengamatan nekrosis sel tubulus ginjal.

Kanker

Radiasi Gamma

Organ Ginjal

Radikal Bebas

Peningkatan kadar epitel, Ekstrak Daun Kumis Kucing


eritrosit dan leukosit dalam urin
(Orthosiphon Stamineus Benth)
Nekrosis tubulus ginjal

Pemeriksaan kadar epitel,


eritrosit,dan leukosit urin.
Perhitungan persentase
nekrosis tubulus ginjal
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini rencana akan dilaksanakan pada bulan Agustus sampai
Desember 2017 bertempat di Laboratorium FMIPA yang meliputi Laboratorium
Fisiologi Hewan, Laboratorium Biologi Molekuler dan Laboratorium Fisika
Terapan Universitas Brawijaya Malang, dan Rumah Sakit Umum Syaiful Anwar
Malang.

3.2. Variabel Penelitian


Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Variabel bebas : Pemberian sumber radiasi gamma Co-60 dengan dosis
yang berbeda-beda 100 rad, 150 rad, 200 rad, 250 rad, dan 300 rad; dan
pemberian ekstrak daun kumis kucing dengan dosis yang berbeda-beda 0
mL; 0,3 mL; 0,6 mL; 0,9 mL; 1,2 mL.
b. Variabel terikat : Kandungan epitel, eritrosit dan leukosit urin mencit dan
nekrosis tubulus ginjal mencit.
c. Variabel kontrol : Jenis mencit yang digunakan merupakan tikus mencit
jantan, kondisi kandang, jenis dan jumlah pakan yang diberikan pada
mencit.

3.3. Alat dan Bahan


3.3.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
a. Alat pemeliharaan hewan uji: kandang tikus mencit dari plastik dengan
tutup kawat, dan timbangan analitik.
b. Alat pemberian perlakuan: Sonde lambung atau oral gavage ukuran 10ml.
c. Alat ekstraksi: Rotary evaporator, water bath, bejana, timbangan, oven,
blender.
d. Alat bedah: Bak bedah/ bak parafin, disectting set, gelas arloji.
e. Alat pembuatan irisan preparat: mikrotom, beaker glass, oven, kuas, pinset.
f. Alat pengamatan: Gelas objek dan penutup, mikroskop digital.
3.3.2. Bahan
Bahan yang digunakan meliputi:
a. Hewan uji: 80 ekor tikus mencit (Mus musculus) berjenis kelamin jantan
sehat, berumur 6-8 minggu dengan berat badan 18-20 g.
b. Makanan hewan uji
c. Bahan uji perlakuan: sumber radiasi gamma Co-60, dan aquades.
d. Bahan ekstraksi: daun kumis kucing baik yang daun muda, sedang, dan tua,
kertas saring, alumunium foil, dan etanol 70%.
e. Bahan pembuatan preparat irisan: hematoxylin Erlich, eosin Y, alkohol
30%, alkohol 50%, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 96%, aquades, xylol,
toluol, parafin, gliserin, enthelan, kertas label, alumunium foil.

3.4. Metode Penelitian


3.4.1. Pembuatan Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon Stamineus Benth)
Daun kumis kucing dipetik dari tangkainya hingga didapatkan bobot total
daun 5 kg untuk dikeringkan di dalam oven dengan suhu tidak lebih dari 370C. Daun
tanaman kumis kucing yang sudah dikeringkan, dihaluskan dengan blender
kemudian dibuat ekstrak. Pembuatan ekstrak dengan menggunakan simplisia daun
kumis kucing dengan cara maserasi menggunakan etanol 70%.
Maserasi dilakukan selama satu hari dengan pengadukan dua kali sehari. Maserat
yang diperoleh disaring dengan kertas saring kemudian dikumpulkan. Ampas yang
tersisa dimaserasi lagi 2 hari, disaring dan dikumpulkan dalam botol. Maserat yang
diperoleh diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu tak lebih dari 500C, hingga
konsistensi terbentuk masa yang kental. Maserat di-water bath hingga diperoleh
masa yang benar-benar kental dengan suhu tidak lebih dari 500C.
3.4.2. Persiapan Hewan Percobaan
Mencit dipelihara dalam kandang plastik dengan anyaman kawat sebagai
penutup. Kandang ditempatkan dalam ruangan yang memiliki ventilasi da
mendapat cahaya matahari secara tak langsung. Kandang, tempat makan, dan
minum dibersihkan sedikitnya tiga kali dalam seminggu. Sebelum perlakuan,
mencit diaklimasi selama seminggu. Pemberian makan dan minum dilakukan setiap
hari secara ad libitum. Sebelum perlakuan, lebih dulu dilakukan penimbangan berat
badan mencit dan diamati kesehatannya secara fisik (gerakannya, berat badan,
makan dan minum). Jika ada mencit yang sakit pada saat aklimasi ini, maka diganti
dengan mencit yang baru dengan kriteria yang sama dan diambil secara acak.
Setelah persiapan selesai maka hewan percobaan diberi perlakuan, yaitu dibagi
menjadi dua perlakuan, yaitu: (a) Kelompok yang tidak diberi ekstrak daun kumis
kucing; (b) Kelompok yang diberi ekstrak daun kumis kucing.
3.4.3. Pemberian Dosis Ekstrak Daun Kumis Kucing
(Orthosiphon Stamineus Benth)
Pada penelitian ini dosis yang diberikan pada hewan coba mencit yakni
masing-masing 0 mL; 0,3 mL; 0,6 mL; 0.9 mL; dan 1.2 mL untuk setiap dosis
radiasi.
3.4.4. Pemberian Paparan Radiasi Gamma Pada Hewan Coba
Pada tahap ini hewan coba akan disinari radiasi gamma Co-60 dengan lima
variasi dosis. Besarnya dosis radiasi yang diterima adalah 100 rad, 150 rad, 200 rad,
250 rad, dan 300 rad. Paparan radiasi dilakukan pada hari ke 15 setelah pemberian
ekstrak daun kumis kucing. Kondisi penyinaran dengan SSD (source to surface
distance) 2 cm dari dasar kotak (luas ruang penyinaran 10 cm 10 cm).
3.4.5. Pemberian Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon Stamineus Benth)
Pada penelitian ini ekstrak daun kumis kucing di masukkan kedalam tubuh
mencit berdasarkan pada berat badan mencit yang ditimbang. Pemberian ekstrak
daun kumis kucing ini dilakukan dengan menggunakan sonde lambung dengan cara
dicekokkan ke mencit sesuai dengan dosis yang ditentukan satu kali sehari selama
14 hari setelah mencit mendapat paparan radiasi.
3.4.6. Pengambilan Sampel Urin Mencit
Pada tahapan ini hewan coba mencit yang sudah dikelompokan dimasukkan
ke dalam kandang metabolisme sesuai dengan kelompoknya. Mencit-mencit ini
akan diberikan pakan, minum dan juga pemberian ekstrak daun kumis kucing pada
kelompok ekstrak. Setelah 24 jam dilakukan pengambilan urin dari setiap kelompok
perlakuan dan dilakukan pemeriksaan epitel, eritrosit dan leukosit dalam urin untuk
mengetahui kesehatan ginjal mencit.
3.4.7. Pengamatan Anatomi Ginjal
Seluruh mencit dieutanasia dengan dislokasi serviks, kemudian dibedah
untuk diambil organ ginjal kanannya. Pembuatan preparat dilakukan dengan
metode parafin dan pewarnaan H.E (Herawati dan Handari, 2004), pengamatan
makroskopis dilihat dari struktur eksternal yang terlihat, sedangkan pengamatan
struktur histologis dilakukan di bawah mikroskop.
Pengamatan makroskopis ginjal mencit meliputi warna, permukaan dan
konsistensi. Ginjal yang normal bewarna merah kecoklatan, permukaannya licin
dan konsistensinya kenyal. Ginjal dinyatakan normal bila tidak ditemukan :
a. Perubahan warna
b. Perubahan struktur permukaan
c. Perubahan konsistensi
Pengamatan histologi ginjal meliputi pelebaran ruang Bowman, kerusakan
sel-sel epitel tubulus proksimalis dan sel-sel pelapis corpusculum malphigi renalis
berupa nekrosis. Sedangkan untuk disebut kriteria normal bila tidak ditemukan
pelebaran ruang Bowman, kerusakan sel tubulus proksimal dan sel corpusculum
malphigi renalis (Anggraini, 2008).

3.5. Analisis Data


Data kuantitatif diperoleh dengan mengukur lebar ruang Bowman masing-
masing kelompok dan menghitung persentase corpusculum malphigi renalis ginjal
yang mengalami kerusakan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400X. Tingkat
kerusakan corpusculum malphigi renalis ginjal dilakukan dengan klasifikasi
berdasarkan penelitian Herawati dan Handari (2004), yaitu tingkat 1 (normal,
kerusakan 0%), tingkat 2 (rusak ringan, 1-40%), tingkat 3 (kerusakan sedang, 41-
70%), dan tingkat 4 (kerusakan berat, >70%). Data yang diperoleh berupa lebar
ruang Bowman dan persentase kerusakan corpusculum malphigi renalis diuji
menggunakan uji statistik One-Way ANOVA ( = 0,05) untuk menguji variabel
dependen (terikat) dengan cara membandingkannya pada kelompok-kelompok
sampel independen (variabel bebas) yang diamati. Jika terdapat perbedaan yang
bermakna, maka dilanjutkan dengan uji DMRT. Derajat kemaknaan yang
digunakan adalah = 0,05 (Riwidikdo, 2007).
Data kualitatif diperoleh dengan pengamatan preparat jaringan ginjal di
bawah mikroskop, mula-mula dilakukan dengan perbesaran 100 kali untuk
mengamati seluruh bagian irisan, kemudian ditentukan tubulus proksimal yang
terletak pada pars konvulata korteks ginjal dan corpusculum malphigi renalis yang
letaknya tidak jauh dari tubulus proksimalis. Pengamatan dilanjutkan dengan
perbesaran 400 kali untuk mengamati inti sel epitel tubulus proksimal ginjal dan
sel-sel penyusun corpusculum malphigi renalis. Pengamatan dilakukan dengan
perbesaran 1000 kali untuk melihat dan membedakan inti sel yang piknosis,
karioreksis, dan kariolisis dengan lebih jelas pada tubulus proksimalis (Maulana,
2010).

3.6. Kerangka Operasional Penelitian


Kerangka operasional penelitian dalam upaya meningkatkan kesehatan
ginjal akibat dari paparan radiasi sinar gamma dapat dijelaskan sebagai berikut:
Hwan coba mencit yang diaklimasi selama 1 minggu diberi perlakuan berupa terapi
radiasi dengan dosis yang berbeda-beda yakni 100 rad, 150 rad, 200 rad, 250 rad,
dan 300 rad di daerah perut sehingga mengenai organ ginjal, lalu dikelompokkan
menjadi dua kelompok yakni mencit yang mendapat ekstrak daun kumis kucing
selama 14 hari setelah mendapat terapi radiasi dan tidak mendapat ekstrak daun
kumis kucing.
Setelah mendapat perlakuan radiasi dan pemberian ekstrak daun kumis
kucing selama 14 hari, mencit dimasukkan kedalam kandang selama 1 24 jam
untuk diambil urinnya dan diuji untuk mengetahui kandungan dalam urin mencit
tersebut. Setelah diambil dan dilakukan pengujian kandungan urin mencit,
selanjutnya mencit dibedah untuk diambil ginjalnya dan dilakukan pengamatan
untuk mengetahui nekrosis tubulus ginjal mencit.
Mencit

Aklimasi selama 1 minggu

Perlakuan

Radiasi + Ekstrak Radiasi Non ekstrak

Pemberian ekstrak daun kumis kucing

Pemberian paparan radiasi gamma Co-60

Pengambilan sampel urin

Perhitungan persentase epitel, eritrosit, dan leukosit urin

Pembedahan selama 1 minggu

Pengamatan nekrosis tubulus ginjal

Pengolahan data

Analisa hasil

Kesimpulan

Selesai

Gambar 3.1 Kerangka Operasional Penelitian


REFERENSI

Adnyana IK, Setiawan F, Insanu M. From Ethnopharmacology to Clinical Study of


Orthosiphon stamineus Benth. Int J Phar Pharm Sci 2013; 5: 66-73.

Alatas, Z. 2004. Efek Teratogenik Radiasi Pengion. Puslitbang Keselamatan


Radiasi dan Biomedika Nuklir: BATAN.

Anggraini, F. 2008. Hubungan antara Gaya Hidup dengan Status Kesehatan


Lansia Binaan Puskesmas Pekayon Jaya Bekasi tahun 2008. Skripsi :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Basheer, A., and Abdil M. 2010. Medicinal Potentials Of Orthosiphon Stamineus


Benth. Webmed Central CANCER, 1 (12).

Batan. 2005. Dasar Proteksi Radiasi dan Lingkungan. Jakarta : Pusdiklat.

Cember, H. 1983. Pengantar Fisika Kesehatan. IKIP Semarang Press. Semarang.

D. Beaux, J. Fleurentin1, dan F. Mortier. 1999. Effect of extracts of Orthosiphon


stamineus Benth, Hieracium pilosella L., Sambucus nigra L. and
Arctostaphylos uva-ursi (L.) Spreng. in Rats. PHYTOTHERAPY
RESEARCH. Phytother. Res. 13, 222225 (1999).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umum


Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta : Dirjen POM.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Farmakope Herbal Indonesia


Edisi Pertama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Effendi, Hasjim; Jazir, Jasmeiny; Lubis, Harun dan Hoesodowidjojo, Soegito.


1981. Fisiologi dan Pathofisiologi Ginjal, Cairan Tubuh Keseimbangan
Asam Basa. Bandung: Penerbit Alumni.

Elsnoussi Ali Hussin Mohamed, dkk. 2011. Antihyperglycemic Effect of


Orthosiphon Stamineus Benth Leaves Extract and Its Bioassay-Guided
Fractions. ISSN 1420-3049 www.mdpi.com/journal/molecules.

Fendy. 2007. Struktur Ginjal. http://www.sciencefendy multiply.com. Diakses 8


Mei 2017.

Ganong, F W. 1989. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Herawati E, Handari S. 2004. Pengaruh infus jamur Ling zhi (Ganoderma lucidum
(Leyss ex Fr.) Karst) terhadap mencit (Mus muculus L.) yang diberi timbal.
Kajian struktur mikroanatomi ginjal.
Himani, B., Bisht S., Nath B., Yadav M., Singh V., and Singh M. 2013. Misai
Kuching: A Glimpse of Maestro. International Journal of Pharmaceutical
Sciences Review and Research, 22 (2), 55-59.

http://www.nrm.qld.gov.au/ diunduh tanggal 8 Mei 2017.

Indra, M. R. 2006. Fisiologi Ginjal. Laboratorium Ilmu Faak FK Unibraw Malang.

Kusumawati, 2004. Bersahabat Dengan Hewan Coba. Yogyakarta: Gadjah mada


University Press.

Leeson, Leeson dan Paparo. 1990. Buku Ajar Histologi. Alih bahasa Tambajong.
Jakarta: EGC.

Maulana, A. I. 2010. Pengaruh ekstrak tauge (phaseolus radiates) terhadap


kerusakan sel ginjal mencit (mus musculus) yang diinduksi parasetamol. FK
UNS Surakarta.

Noer , Mohammad Sjaifullah. 2006 . Evaluasi Fungsi Ginjal Secara Laboratorik


(Laboratoric Evaluation on Renal Function). Dalam: Jurnal Penelitian.
Surabaya: Lab - SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR RSU Dr. Soetomo
Surabaya.

Riwidikdo. 2007. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Bina Pustaka.

Shibuya H, Ohashi K, Kitagawa I. Search for Pharmacochemical Leads from


Tropical Rainforest Plants. Pure Appl Chem 1999; 71: 1109-1113.

Suprapti, Niwayan; Rahayu Dwi; Sari N.P; Dakhi, Jovan R dan Christanto Trio.
2007. Glomerulonephriti Akut (GNA).
http://www.jovandc.multiply.com/journal/item/3. Malang: Akademi
Keparawatan Kendedes Malang.

Syahrin, A. 2006. Kesan ekstrak etanol andrographis paniculata (burm. F.) Nees
ke atas tikus betina diabetik aruhan streptozotosin. Malaysia : Universiti
Sains Malaysia.

Umbare, R.P., Patil S.M.,Mate G.S., and Dongare S.S. (2009). Hypolipidemic
Activity of Orthosiphon stamineus Benth. Bark Extract. Journal of
Pharmacy Research, 2 (11),1735-1738.

Wardener, H. E. 1967. The Kidney an Outline Of Normal and Abnormal Structure


and Function. Littlebrown and Company. Boston.

Anda mungkin juga menyukai