Anda di halaman 1dari 21

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(KDRT)
H. Soeroto Hadisoemarto,SpF(K),SH.

BAB I
A. PELAKU KDRT
Secara hukum, KDRT, adalah setiap perbuatan yang berakibat terhadap
seseorang terutama perempuan yang berakibat trimbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melaksanakan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Penyebab utama terjadinya KDRT bertitik pada tidak adanya kesetaraan


dalam keluarga.
Pelaku KDRT tidak dapat dipukul rata :
- Karena jenjang pendidikan yang tinggi maupun rendah
- Usia berapapun dalam pernikahan dapat menjadi pelaku KDRT
- Status ekonomi maupun sosial tidak berpengaruh untuk tidak melakukan
KDRT
- Pejabat sampai rakyat jelata
- Agama maupun ras

Sehingga dapat diambil kesimpulan, bahwa KDRT ini akibat tidak adanya
kesetaraan dalam rumah tangga.

Pada intinya, perbuatan KDRT adalah sebuah usaha yang dilakukan oleh
pasangan, baik laki-laki maupun perempuan untuk mengambil alih posisi
dominan dalam sebuah keluarga.

Pelaku berupaya untuk mengambil kontrol dalam rumah tangga baik itu
hanya dalam berbentuk hak, kebebasan, atau lain-lainnya. Ini tidak hanya
dalam bentuk fisik saja melainkan bisa juga dengan cara yang lain

Cara yang lain misalnya:

- Ketika suami melarang istri dalam bekerja atau sebaliknya. Hal ini
menyebabkan istri memiliki ketergantungan secara ekonomi pada
pasangannya. Itu sudah termasuk KDRT atau
- Seorang istri dipaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa
diberi nafkah oleh suami
- Dalam masalah keuangan, uang sebenarnya hasil kerja sendiri dan atau
uang tabungan dirampas oleh pasangannya, mengambil hak yang tidak
semestinya
- Secara mental apabila pasangan bicara dengan gaya yang terlalu
berlebihan sehingga menyakitkan hati pasangannya.
- Apabila kalau sampai dalam berbagai aktivitas, pasangan selalu berada
dalam posisi yang disalahkan.
- Kekerasan lain apabila seseorang merasa dipaksa untuk berhubungan
intim. Meskipun yg dipaksa seorang wanita, yg dalam budaya Indonesia
seorang istri yang harus menurut suami padahal keadaanya sedang sakit,
tetapi tetap dipaksa untuk berhubungan intim

Hampir kebanyakan pelaku KDRT atau korban KDRT enggan meninggalkan


pasangannya dan memilih untuk tetap bersama dengan pasangannya padahal
sering melakukan kekerasan atau mengalami penderitaan yg berat.
Masalahnya :
- Pelaku KDRT seringkali bukanlah orang asing, justru orang yang sangat
dipercaya atau yang sangat disayangi oleh korbannya.
- Kejadiannya bukan di tempat yg terisolasi, si korban akan menganggap
hal ini wajar, seorang istri harus tunduk dengan perintah suami meskipun
sangat sulit dilakukan adalah wajar
- Kemungkinan yang lain adalah bahwa si korabn takut dengan pelauk, dan
rasa takut inilah yg akhirnya dipakai pelaku untuk mengontrol perilaku
korbannya secara total

Ada beberapa hal lain yg membuat korban tetap memilih untuk tinggal bersama
pasangannya yang suka melakukan KDRT, diantaranya adalah:
1. Korban memang mencintai sehingga apapun yg terjadi tetap menerima
perilaku dengan ikhlas dan lapang dada.
2. Ketergantungan secara finansial karena dilarang bekerja
3. Tidak punya tempat yg dituju, korban dilarang memiliki hubungan dekat
dengan orang lain
4. Khawatir akan keselamatan dirinya dan anak-anaknya
5. Kepercayaan/ agamanya melarang perceraian
6. Tinggal di lingkungan yang bisa disebut permisif terhadap KDRT.

B. HAK - HAK PEREMPUAN

Ketidakpengertiaan akan bentuk KDRT ini sering membuat para istri


tak mengerti apa haknya dalam rumah tangga. Padahal sebagai manusia,
hak istri dan suami sama. Dengan kata lain mereka setara seperti yang
tertuang dalam Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan yang telah dirativikasikan dalam UU No.7/1984 Hukum Nasional
yang isinya: Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam segala
bidang.
Adapun hak perempuan yang terkait langsung dengan perannya
sebagai seorang istri, antara lain:
1. Hak untuk menentukan jarak kelahiran anak dan kehamilan dan
berhak memilih atas kontrasepsi yang akan dipakai.
2. Hak menentukan kewarganegaraan anaknya.
UU No 62 tahun 1958, jika perempuan WNI menikah dengan pria
WNA, sang anak otomatis menjadi WNA. Sebaliknya jika wanita
WNA kawin dnegan pria WNI, anaknya akan menjadi WNI
mengikuti garis keturunan ayah. Istri tidak punya hak menentukan
kewarganegaraan anaknya
UU terbaru tahun 1984, istri juga punya hak atas kewarganegaraan
anaknya.
Pemerintah belum mencabut UU 1958, padahal UU 1984 kewajiban
negara adalah wajib mengubah dan membuat UU yang
mendiskriminasikan perempuan serta menciptakan UU yg non
deskriminatif.
3. Hak menyangkut harta
Istri punya hak dalam tindakan perdata, seperti melakukan
perjanjian dagang dengan pihak lain, selain itu istri juga memiliki
hak yang sama dengan suami mengenai harta bersama seperti:
menentukan, memiliki dan menguasai harta tersebut.
Contoh : istri bisa membatalkan perjanjian antara suami dan
pembeli jika suami menjual mobil tanpa sepengetahuan istrinya,
istri cukup membawa buku nikah sebagai bukti.
4. Hak untuk mengajukan perceraian
Ini telah diatur dalam UU No.1 tahun 1974 dengan syarat2 yang
diatur dalam PP No.9/1975. Di dalamnya, terdapat 6 syarat
perceraian yaitu:
Salah satu pihak pemabuk, dan suka berjudi
Suami meninggalkan istri selama 2 tahun berturut-turut
tanpa diketahui(telah pisah)
Suami mendapatkan hukuman selama 5 tahun atau lebihs
Suami melakukan perzinaan
Suami melakukan kekerasan, serta percecokan yg terus
me nerus, sehingga kedua belah pihak tidakbisa disatukan
lagi.
5. Hak untuk mendidik dan memelihara anak
Suami maupun istri memiliki hak yg sama untuk medidik dan
memelihara anak. Misalnya, anak mau masuk sekolah harus ada
diskusi terlebih dahulu antara keduanya.
6. Hak untuk mengetahui penghasilan suami
Mislanya, bisa jadi kesepakatan mereka adalah suami yang bekerja
dengan demikian, istri berhak tau informasi keluar masuknya uang. Sering
para istri bilang yang penting saya tercukupi.

Bagaimana jika misalnya, suami tiba-tiba meninggal akibat


kecelakaan, sementara istri tidak tau bahwa gaji suaminya selama ini
didepositokan. Padahal istri tetap harus menghidupi anak, malah kadang
dipikirkan jauh-jauh hari oleh perempuan tadi.

C. PENDEKATAN PSIKOLOGIS PELAKU DAN KORBAN


Menurut Evalina Asnawi, Dosen Ilmu Kedokteran Jiwa dari Universitas
Kristen Krida Wacana, pelaku KDRT bisa dipengaruhin oleh kelainan jiwa.
Kelainan jiwa diantaranya:

- Sadisme seksual, tampak saat aktivitas seksual


- Gangguan kepribadian (paranoid, kecurigaan yg berlebihan dan mudah
tersinggung)
- Ganguuan ledakan emosional tiba-tiba
- Skizoprenia

Menurut Eva Untoro, dokter SpF pada RS Sentra Medika Cibinong,


mengatakan, pelaku KDRT dengan permsalahan kejiwaan punya motif, cara dan
tujuan yg sama. Pola sama itu dilakukan berulang kali. Mislanya : pelaku yang
selalu menggigit istrinya saat marah, pasti karena alasan yg sama seperti
cemburu. Tujuannya selalu sama, agar istrinya terluka karena membuat pelaku
emosi.
Berdasarkan pengalaman dari 10 permintaan visum, ada 2 kasus korban
dilukai pelaku denga kelainan jiwa. Pembuktian pelaku dengan kelainan jiwa itu
didapat dari visum forensik terhadap pelaku KDRT.
Dan ditemukan fenomena bahwa pelaku KDRT dengan kelainan jiwa
,memiliki masa penyesalan besar seusai melukai orang terdekatnya. Pelaku
KDRT kelainan jiwa ini diberi konseling mendalam daripada sekedar dihukum.

Psikiater dari RSCM, Suryo Darmono SpKJ, mengatakan bahwa visum


di RSCM sebagian besar karena KDRT
Korban biasanya datang bersama polisi, datang sendiri atau didampingi LSM
dengan memiliki SPVR dari kepolisian.
Dalam sehari minimal ada 2 kasus visum KDRT, atau sebulan ada 60
kasus. Faktor kelainan jiwa didukung kultur kekerasan pelaku akan menjadi
pemicu pelaku melakukan kekerasan.
Para ahli menjelaskan, siklus kekerasan umumnya bergulir sebagai
berikut:
1. Dimulai dengan individu tertarik dan mengembangkan hubungan
individu dan pasangan mulai lebih mengenal satu sama lain ( tampil
asli) dengan karakteristik dan tuntutan masing-masing, muncul konflik
dan ketegangan.
2. Terjadi dalam bentuk kekerasan
3. Ketegangan mereda. Korban terkejut dan memaknai apa yg terjadi.
Pelaku bersikap baik dan mungkin meminta maaf.
4. Korban merasa berdosa(bila tidak memaafkan), korban menyalahkan
diri sendiri karena merasa atau dianggap memicu kejadian, korban
mengembangkan harapan dan hubungan yg lebih baik
5. Peripde tenang tidak bertahan, kembali muncul konflik dan ketegangan
dan disusul ledakan kekerasan lagi, dan seterusnya
6. Korban terperangkap, merasa bingung, takut, bersalah, tak berdaya,
beberapa pelaku menepati janji untuk tidak melakukan kekerasan lagi,
dan demikian seterusnya.
7. Bila tidak ada intervensi khusus (internal maupun eksternal) siklus
kekerasan dapat terus berputar dengan perguliran makin cepat, dan
kekerasan makin intens.
8. Sangat destruktif dan berdampak merugikan secara psikologis( dan
mungkin juga fisik).

Dari sisi korban sudah seharusnya korban KDRT memiliki sistem


pendukung. Sistem pendukung yg akan membantu mengurangi pengaruh dari KDRT
yg mungkin dialami oleh korban.

Sistem pendukung berbentuk dukungan moral dari sahabat, saudara,


teman karib, dan bahkan orang tua adalah bentuk-bentuk dukungan yg banyak ada
di sekitar korban KDRT yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh korban.Selain itu
bantuan nasehat profesional dari psikiater maupun psikolog.Sistem pendukung akan
membantu mengurangi beban trauma psikologis yg dialami korban KDRT.

D. PENDEKATAN HUKUM

Korban KDRT meminta perlindungan hukum , segera melapor ke polisi


terdekat, LBH atau kantor LSM yg peduli terhadap masalah hak- hak
perempuan atau istri.
Dukungan keluarga besar suami juga sangat penting, tetapi
kenyataannya di lapangan keluarga suami atau pelaku KDRT lebih menyukai
perceraian ketimbang saudara atau keluarganya dihukum karena melakukan
KDRT tadi.
Akan lebih baik jika ada saksi yg langsung cepat menindak dan
mendukung korban. Misalnya, ketua RT memiliki peranan sangat penting.
Masyarakat memang harus diikutsertakan jika berniat menurunkan KDRT. Ini
perlu dalam rangka menekan bahwa KDRT adalah kejahatan terhadap
kemanusiaan.
BAB II
HUKUM PENGHAPUSAN KDRT

LATAR BELAKANG PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG


NO. 23 TAHUN 2004

Lahirnya rancangan ini berasal dari inisiatif LBH Advokasi untuk


Perempuan Indonesia dan Keadilan (LBH APIK) bersama dengan Lembaga
Swadaya Masyarakat lainnya yang tergabung dalam Jaringan Kerja Advokasi
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka PKTP) untuk menyiapkan
RUU anti KDRT. RUU KDRT ini telah disiapkan oleh LPH APIK dan Jaringan
PKTP sejak tahun 1998 melalui dialog publik. Persiapan ini memang termasuk
lama mengingat isu KDRT kurang dikenal di masyarakat dan diragukan oleh
kalangan tertentu.
Pada tanggal 30 Juni 2004 Presiden Megawati Soekarno Putri
mengirimkan surat penugasan kepada Mentri Negara Pemberdayaan
perempuan untuk membahas RUU anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Keluarnya surat Presiden RI No. R.14/PU/VI/204 menandai perkembangan
perencanaan anti kekerasan (RUU anti KDRT istilah sebelum diundangkan)
yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai hak inisiatif lembaga
tersebut dan disahkan dalam sidang paripurna Badan Musyawarah (BAMUS)
DPR pada 13 Mei 2003. Setelah menunggu lebih dari 13 bulan, akhirnya
presiden menunjuk kantor kementrian Pemberdayaan Perempuan sebagai
mitra DPR membahas Rancangan Undang Undang Tersebut. RUU KDRT ini
mengadopsi berbagai perundangan dari Negara seperti Malaysa yang pada
kesimpulan KDRT adalah kejahatan. Tentu saja RUU ini disesuaikan dengan
kondisi Indonesia. Setelah melalui proses lama 1 tahun sejak 2003 hingga
2004, risalah sidang setebal 1321 halaman menghasilkan undang-undang
No. 23 tahun 2004 mengenai PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga).

Pasal-pasal KDRT dalam KUHP, Dalam Undang-Undang No. 23


Tahun 2004

No. Pasal-pasal KDRT dalam KUHP Pasal


1 Pasal mengenai perzinahan 284 dan 288
2 Pasal mengenai penganiayaan 351 ayat 1, 353, 354,
355, 356
3 Pasal mengenai pembunuhan 338, 339, 340
4 Suami menikah lagi menggunakan 263
identitas palsu
5 Suami menikah lagi 279
6 Menelantarkan suami/istri 304
Pada Penganiayaan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, dalam
pasal 356 KUHP diatur pasal pemberatan. Tindak pidana penganiayaan ini,
akan ditambah dengan sepertiga apabila kejahatan itu dilakukan terhadap
ibunya atau bapaknya, istri atau anaknya. Pasal penganiayaan, perzinahan
dan pembunuhan ini biasanya lebih sering digunakan oleh penyidik dalam
membuat BAP dalam memproses pidana KDRT. Namun, pasal pemalsuan 263
KUHP, suami menikah lagi dengan menggunakan identitas palsu, suami yang
menikah lagi padahal pernikahan yang syah menjadi penghalang,
menyembunyikan pernikahannya pada pihak lain pasal 279 KUHP serta
membiarkan orang lain dalam keadaan sengsara pasal 304 KUHP hampir
jarang diajukan ke Pengadilan dalam kasus KDRT. Sedangkan di dalam
rancangan KUHP baru, tambahan pengaturan kekerasan terhadap perempuan
(suami terhadap istri) sebagai korban diatur di dalam ketentuan rancangan
khususnya bab mengenai perkosaan pasal 423.
Pasal-pasal KUHP di atas menunjukkan memang adanya kelemahan
dan kekurangan mengingat di dalam KUHP tidak di atur ketentuan mengenai
sanksi pidana tambahan berupa kewajiban konseling dan pembatasan gerak
pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak
dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan
lembaga tertentu.

SANKSI PIDANA BAGI PELAKU KDRT

Sanksi pidana yg dapat dikenakan pada pelaku KDRT diatur dalam UU


Nomor 23 tahun 2004 pada pasal 44-50. Namun dalam proses pengesahan
UU ini, bab mengenai pidana sempat dipermasalahkan karena:
- Tidak menentukan batas hukuman minimal
- Hanya mengatur batas hukuman maksimal.Sehigga dikhawatirkan pelaku
dapat hanya dikenai hukuman percobaan saja.

Tabel Sanksi bagi pelaku kekerasan fisik dalam rumah tangga


Pasal Keterangan Pidana Denda
Maksimum Maksimum
44(1) Kekerasan fisik 5 tahun Rp 15 juta
44(2) Korban jatuh/luka 10 tahun Rp 30 juta
bakar
44(3) Korban mati 15 tahun Rp 45 juta
44(4) Dilakukan suami 4 bulan Rp 5 juta
kepada istri atau
sebaliknya, tidak
menyebabkan penyakit
atau menghalangi
aktivitas sehari-hari
Tabel Sanksi Pelaku Kekerasan Psikis

Pasal Keterangan Pidana Maksimum Denda Maksimum


45(1) Kekerasan psikis 3 tahun Rp 9 juta
45(2) Dilakukan suami kepada istri 4 bulan Rp 3 juta
atau sebaliknya, tidak
menyebabkan penyakit atau
menghalangi aktivitas sehari-
hari

Tabel Sanksi Pelaku Kekerasan Seksual

Pasal Keterangan Pidana Maksimum Denda Maksimum


46 Korban menetap dalam lingkup 12 tahun Rp 36 juta
rumah tangga
47 Dilakukan untuk tujuan 4-15 tahun Rp 12-300 juta
komersial atau tertentu lainnya
48 Mengakibatkan luka yg tidak 5-20 tahun Rp 25-500 juta
mungkin sembuh, gangguan
jiwa, keguguran, gangguan alat
reproduksi
49 Penelantaran rumah tangga 3 tahun Rp 15 juta
sesuai pasal 9

Sanksi pidana tambahan

Sanksi pidana tambahan pada pelaku untuk melindungi korban, sesuai yang
diatur pada pasal 50 UU Nomor 23 tahun 2004, yaitu:

- Pembatasan gerak pelaku atau hak hak tertentu dari pelaku dengan
tujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban
- Penetapan pelaku untu ikut program konseling di bawah lembaga tertentu.
BAB III
RUANG LINGKUP KDRT

A. RUMAH TANGGA
Menurut UU, lingkup rumah tangga meliputi:
a. Suami,istri, dan anak. Termasuk anak angkat dan anak tiri.
b. Orang2 yg mempunyai hubungan keluarga dengan orang karena
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian
yang menetap dalam rumah tangga. Hubungan perkawinan misalnya
mertua, menantu, ipar dan atau
c. Orang yg bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut. Orang yg bekerja dipandang sebagai anggota keluarga
dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yg
bersangkutan.
Sehingga apabila melihat aturan tersebut di atas, maka KDRT bukan hanya
dilakukan terhadap pasangan suami atau istri saja. Tetapi KDRT dapat terjadi
antara majikan dengan assinstant rumah tangga (ART), orang tua terhadap
anak,dll.

B. ASAS DAN TUJUAN

Penghapusan KDRT dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan


asas:
a. Penghormatan HAM
b. Keadilan dan kesetaraan gender
c. Nondiskriminasi
d. Perlindungan korban

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:


a. Mencegah segala bentuk KDRT
b. Melindungi korban KDRT
c. Menindak pelaku KDRT
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yg harmonis dan sejahtera.

C. LARANGAN KDRT

Terdapat dalam pasal 5 sampai dengan 9 UU PKDRT


Setiap orang dilarang melakukan KDRT terhadap orang dalam lingkup
rumah tangganya, dengan cara:

a. Kekerasan fisik
Adalah kegiatan yg mengakibatkan rasa sakit, jatuh Skit, atau luka
berat

b. Kekerasan psikis
Adalah perbuatan yg mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

c. Kekerasan seksual
Adalah setiap kegiatan yg berupa pemaksaan hubungan seksual,
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan atau tujuan tertentu.

Kejahatan seksual meliputi:


a. Pemaksaan hubungan seksual yg dilakukan terhadap orang yg
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan atau untuk tujuan tertentu,
c. Penelantaran rumah tangga.

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup


rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Penelantaran juga berlasku bagi setiap orang yg mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang
untuk bekerja yanglayak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut.

D. HAK-HAK KORBAN
Korban berhak mendapatkan:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik
sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan
dan pengadilan.
Pihak lain contohnya lembaga sosial adalah yg peduli terhadap
masalah KDRT, misalnya lembaga-lembaga bantuan hukum.
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada
setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pekerja sosial adalah seseorang yg mempunyai kompetensi
profesional dalam pekrjaan sosial yg diperoleh melalui pendidikan
formal atau pengalaman praktik dibidang pekerjaan sosial/
kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan
melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial. dan
e. Pelayanan bimbingan rohani

E. KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT


1. Bagi Pemerintah
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan KDRT.
Untuk melaksanakan hal tersebut, pemerintah :
a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan KDRT
b. Menyelenggarakan komunikasi,informasi, dan edukasi tentang
KDRT
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang KDRT, dan
d. Menyelenggarakan pendidikan dan melakukan pelatihan sensitif
genderdan isu KDRT serta menetapkan standart dan akreditasi
pelayanan yg sensitif gender.

Untuk penyelenggaraan pelaksanaan terhadap korban,


pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas
masing-masing dapat melakukan upaya:
a. Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian
b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan , pekerja sosial dan
pembibing rohani.
Tenaga sosial yaitu setiap orang yg mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau
ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yg untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja
sama program pelayanan kesehatan yg melibatkan pihak yg
mudah diakses oleh korban.
d. Memberikan perlindungan bagi pendamping,saksi, keluarga,
dan teman korban.
2. Bagi masyarakat
Setiap orang yg mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya KDRT
wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya
untuk:
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana
b. Memberikan perlindungan kepada korban
c. Memberikanb pertolongan darurat
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan
perlindungan.

BAB IV
UPAYA PERLINDUNGAN

Dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima


laporan KDRT, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara
pada korban. Perlindungan sementara diberikan paling lama 7 hari sejak
korban diterima atau ditangani. Dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak
pemberian perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.
Dalam melakukan perlindungan sementara, kepolisian dapat
bekerjasama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping
dan atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Relawan
pendamping adalah orang yg mempunyai keahlian untuk melakukan
konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban
kekerasan.
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak
korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan. Kepolisian wajib
segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan
tentang terjadinya KDRT. Kepolisian segera menyampaikan kepada korban
tentang:
a. Identitas petugas untuk pengenalan kepada korban
b. KDRT adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan
c. Kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.

Dalam memberikan pelayanan kepada korban, tenaga kesehatan harus:


a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standart profesional.
b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan
visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat
keterangan medis yg memiliki kekuatan hukum yg sama sebagai alat
bukti
Pelayanan kesehatantersebut dilakukan di sarana kesehatan milik
pemerintah, pemerintah daerah atau masayarakat.
Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus :
a. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa
aman bagi korban
b. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.
c. Mengantarkamn korban ke rumah aman atau tempat tinggal
alternatif.
Rumah aman dalam hal ini adalah tempat tinggal sementara yg
digunakan untuk memberikan perlindungan korban sesuai dengan
standart yang ditentukan. Misalnya, trauma center di Departemen
sosial.
Sedangkan tempat tinggal alternatif adalah tempat tinggal korban
yang terpaksa ditempatkan untuk dipisahkan dan atau dijauhkan
dari pelaku.
d. Melakukan koordinasi yg terpadu dalam memberikan layanan
kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga
sosial yg dibutuhkan korban.

Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik


pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.

Dalam memberikan pelayanan,relawan dapat:


a. Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan
seorang atau beberapa orang pendamping
b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat
pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara
objektif dan lengkap memaparkan KDRT
c. Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga
korban merasa aman didampingi oleh pendamping, dan
d. Memberikan denganaktif penguatan secara psikologis dan fisik
kepada korban.

Dalam memberikan pelayanan,pembimbing rohani harus memberikan


penjelasan mengenai hak,kewajiban, dan memberikan penguatan iman
dan taqwa kepada korban.
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan advokat wajib:
a. Memberikan konsultasi hukum yg mencakup informasi mengenai
hak-hak korban dan proses peradilan.
b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan,penuntutan, dan
pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk
secara lengkap memaparkan KDRT yang dialaminya, atau;
c. Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, frelawan
pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana mestinya.

Korban berhak melaporkan secara langsung KDRT kepada kepolisian


baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk
melaporkan KDRT kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di
tempat kejadian perkara.

Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh
orang tua, wali, pengasuh, atau anak yg bersangkutan yg dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang undangan yg berlaku.

Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 hari sejak diterima


permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yg berisi perintah perlindungan
bagi korban dan anggota keluarga yg lain, kecuali ada alasan yg patut.

Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat


diajukan oleh :

a. Korban atau keluarga korban


b. Teman korban
c. Kepolisian
d. Relawan pendamping; atau
e. Pembimbing rohani

Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan


atau tulisan.
Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan
negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut. Dalam hal permohonan
perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan
pendamping, atau pembibimbing rohani maka korban harus memberikan
persetujuannya.
Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan
korban. Keadaan tertentu dalam hal ini, misalnya: pingsan,koma, dan sangat
terancam jiwanya.
Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan
untuk:
a. Menetapkan suatu kondisi khusus; kondisi khusus yg dimaksud di sini adalah
pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama,
larangan membuntuti, mengawasi, atau mengintimidasi korban.
b. Mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.
Pertimbangan tersebut dapat diajukan bersama-sama dengan proses
pengadukan perkara KDRT.
Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 tahun.
Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan.
Permohonan perpanjangan perintah perlindungaan diajukan 7 hari sebelum
masa berlakunya.
Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah
perlindungan. Daqlam pemberian tambahan perintah perlindungan, pemerintah
wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja
sosialo, relawan pendamping, dan atau pembimbing rohani.
Berdasarkan pertimbangan bahaya yg mungkin timbul,pengadilan dapat
menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan.
Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan,
pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan
tanpa surat perintah terhadap pelaku yg diyakini telah melanggar perintah
perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi
itu bertugas.
Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1x 24 ja,.
Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan terhadap
pelaku yg diyakini telah melanggar perintah perlindungan.

Untuk memberikan perlindungan kepaqda korban, kepolisian dapat


menangkap pelaku dengan bukti permulaan yg cukup karena telah melanggar
perintah perlindungan.
Penangkapan dapat dilanjutkan dengan penahanan yg disertai surat
perintah penahanan dalam waktu 1x 24 jam.
Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan
secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap adanya perintah
perlindungan.

Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis, pelaku


diperintahkan menghadap dalam waktu 3x24 jam guna dilakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan dilakukan oleh pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal
bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi.
Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah
perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka
pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yg
isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
Apabila pelaku tetap tidak mengi nginkan surat pernyataan tertulis
tersebut, pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari. Penahanan
disertai surat perintah penahanan.

Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:


a. Tenaga kesehatan
b. Pekerja sosial
c. Relawan pendamping, dan/atau
d. Pembimbing rohani

Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standart


profesinya.Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan
wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.

Pekerja sosial,relawan pendamping, dan atau pembimbing rohani wajib


memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling
untuk menguatkan dan atau memberikan rasa aman bagi korban.

Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja


sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan
kerja sama.

PEMBUKTIAN KDRT
Mengenai pembuktian kasuk KDRT dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan KDRT dikatakan bahwa sebagai salah satu alat bukti yg sah,
keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yg sah lainnya (pasal
55). Alat bukti yang sah lainnya itu menurut pasal 184 KUHAP adalah:

a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa.

PEMERIKSAAN KORBAN KDRT

Sebelum memeriksa korban, dokter atau perawat, bidan atau tenaga medis
lain yg telah berpengalaman dengan banyak mengenal kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak harus menjelaskan kepada korban tentang prinsip dan tujuan
pemeriksaan, tata laksana pemeriksaan dan interpretasi hasil pemeriksaan, serta
kemudian meminta persetujuan dari korban atau keluarganya dengan
menandatangani lembar persetujuan dari korban atau keluarganya dengan
menandatangani lembar persetujuam dalam berkas rekam medis.

Korban yg telah berusia 21 thn atau telah pernah menikah (KUHP pasal 72),
sadar dan tidak mempunyai gangguan jiwa (psikosis atau retardasi mental) harus
menandatangani sendsiri lembar persetujuan. Korban yg tidak memenuhi kriteria di
atas harus didampingi oleh orang tua/wali/keluarga dekatnya(ditandatangani
bersama).

Pemeriksaan medis dilakukan oleh dokter dengan ditemani oleh perawat dan
atau pekerja sosial. Pemeriksaan medis tidak dihadiri oleh ahli lain. Dokter
melakukan pemeriksaan dengan cermat dan menyeluruh, termasuk penyiapan
bahan untuk pemeriksaan laboratorium dan mengisi rekam medis secara lengkap.
Apabila diperlukan, dokter mengonsultasikan kepada dokter spesialis atau ahli yg
diperlukan stelah sebelumnya meminta persetujuan kepada korban atau pasien.

Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan jenis sakit yg diderita oleh korban.Bila


korban masih hidup, pemeriksaan yg lazim dan dapat dilakukan adalah anamnesa,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan psikis.

VISUM ET REPERTUM KORBAN KDRT


Setelah melakukan pemeriksaan terhadap korban, seorang dokter wajib
menulis Visum et Repertum Korban kekerasan. Dalam Rumah Tangga Visum et
repertum yg dilakukan terhadap korban tergantung dari kondisi korban saat
pemeriksaan. Bila korban meninggl dunia, maka dibuat visum et repertum
selayaknya pada korban mati, sedangkan bila korban masih hidup, maka dibuat
visum et repertum selayaknya pada korban hidup.

Macam-macam visum et repertum pada korban hidup adalah :

1. Visum et repertum
Dibuat bila korban diperiksa diperbolehkan pulang dan dapat bekerja seperti
biasa serta tidak ada halangan untuk melakukan pekerjaan.

2. Visum et repertum sementara


Setelah pemeriksaan ternyata korban membutuhkan perawatan dan
mendapat gangguan untuk melakukan pekerjaan. Tidak dibuat kualifikasi
luka. Kegunaan bagi penyidik untuk menahan tersangka.

3. Visum et repertum lanjutan


Dibuat setelah korban selesai menjalani pengobatan, pindah rumah-
sakit/dokter, pulang paksa atau meninggal.

Tabel bidang profesi dan institusi dalam layanan terpadu


No Disiplin Profesi Lembaga
1 Medik Dokter umum, dokter Rumah Sakit,
spesialis, perawat, bidan puskesmas,
klinik kesehatan
2 Hukum Polisi, pengacara, hakim Lembaga
,jaksa Bantuan Hukum,
kepolisian, RPK,
kehakiman,
kejaksaan
3 psikososia Psikolog, pekerja sosial, WCC, Dinas
konselor(pendamping), sosial , pengelola
psikiater rumah aman,
rumah sakit,
PPT, LSM, biro
PP

RUMAH SAKIT

Dokter, psikolog,
perawat, pekerja
sosial, konselor
Tabel kekuatan dan tantangan dalam satu atap

Kekuatan Tantangan
Layanan 1. Korban memperoleh layanan 1. Tidak selalu
terpadu dalam waktu relatif mudah terjangkau
singkat oleh korban dari
2. Penanganan korban gawat tempat layanan yg
darurat lebih cepat terpadu
2. In efisiensi layanan
karena terbentur
birokrasi dalam
penanganan
korban
Korban 1. Potensi kuat untuk 1. Hubungan
mempererat jaringan kerja kemitraan antar
dengan beragam institusi profesi dapat
multi disiplin timpang karena
2. Langsung pada pemrosesan dominasi salah
lesson learned untuk satu pihak
koordinasi dan kerjasama 2. Harus ada SOP
antar disiplin. dan mekanisme
kerja yang
kuat/jelas dan
terbuka
3. Membutuhkan
dana yg cukup
besar.

Kelembangaan/ Realisasi pelaksanaan Violence Tuntutan kerjasama


Institusi Against Women (VAC) sebagai sangat tinggi
Advokasi Public Health Concern (kebutuhan
Advokasi)

Skema pelaporan KDRT secara langsung

Korban Kepolisian Pengadilan


atau klien

Meminta
Perlindungan
surat
sementara
Skema pelaporan KDRT secara tidak langsung

Korban Diterima/ Klien


atau klien identifikasi menandatangani
registrasi form pengaduan

Tindakan : Konselor/
- Hukum - Shelter divisi terkait
- Psikologis - Rujukan sesuai
- Medis kebutuhan

-
DAFTAR PUSTAKA
Elmina, Aroma Martha. 2013. Hukum Kekerasan Terhadap
Perempuan.Yogyakarta; Aswaja Pressindo
Khaleed, Badriyah. 2015. Penyelesaian Hukum KDRT.
Yogyakarta; Pustaka Yustisia
Buku Kekerasan Dalam Rumah Tangga untuk dokter dan
mahasiswa kedokteran, pengarang: H. Agus Moch Al
Gozi,dr,SpF(K).,SH,DFM

Anda mungkin juga menyukai