PENDAHULUAN
Penyebab dari epilepsi adalah adanya gangguan dari fungsi otak yang
dapat mengakibatkan bangkitan epilepsi atau kejang. Tiap kelainan di otak dapat
merupakan salah satu sebab bangkitan epilepsi. Disebutkan, untuk terjadi
bangkitan epilepsi dibutuhkan beberapa faktor yang berperan bersama-sama.
Beberapa faktor bertindak serempak secara sinergistik dalam mencetuskan
bangkitan epilepsi pada individu yang peka. Bila ditinjau dari faktor etiologi,
maka sindrom epilepsi dapat dibagi 2 kelompok yaitu: epilepsi idiopatik
1
(penyebab tidak diketahui), epilepsi simtomatik (penyebab diketahui, misalnya
tumor otak, pasca trauma otak, pascaensefalitis)1.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 EPILEPSI
2.1.1 Definisi Epilepsi
Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh
berulangnya kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial1. Pada
epilepsi, terjadi kelainan otak yang ditandai dengan kecendrungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptic yang terus menerus, dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini mensyaratkan
terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptic. Sementara bangkitan epileptik
merupakan suatu keadaan dimana terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat
akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak2.
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala
berikut2 :
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks
dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama
dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa profokasi/
bangkitan refleks (misalkan bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah
kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi structural
dan epileptiform dischargers)
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor
pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitf, dan
somatomotor.
3
abnormalitas konstitusional dari fisiologis serebral yang disebabkan oleh
interaksi beberapa faktor genetik.
4
Gangguan mental sementara, gerakan otomatis yang tidak bertujuan
(bertepuk tangan, menjilat bibir).
Ingatan yang muncul secara tiba-tiba tentang kejadian di masa lalu,
halusinasi visual, perubahan kepribadian, tingkah laku antisosial,
mood yang tidak tepat dengan suasana.
Tercetus oleh musik, kedipan sinar, atau rangsangan lain.
2. Kejang Umum
a. Absence (petit mal)
Ciri khas: durasi singkat, onset dan terminasi mendadak, frekuensi
sangat sering, gangguan kesadaran dengan atau tanpa manifestasi
lain. Kesadaran hilang selama beberapa detik, ditandai dengan
terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan yang kosong atau
kedipan mata yang cepat.
Hampir selalu pada anak-anak, mungkin menghilang waktu remaja
atau diganti dengan epilepsi tonik klonik.
b. Tonik klonik (grand mal)
Epilepsi dengan serangan klasik.
Biasanya didahului oleh suatu aura.
Kesadaran hilang.
Spasme otot umum secara tonik dan klonik.
Lidah dapat tergigit.
Bingung dan amnesia terhadap kejadian sewaktu terjadi serangan.
c. Kejang mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat
umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh atau satu atau lebih
ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal. Banyak
gerak mioklonik yang bukan merupakan epilepsi. Serangan mioklonik
dapat terjadi pada penyakit medula spinalis, disinergia serebelaris
miokIonika, mioklonus segmental subkortikal dan Iain-lain yang harus
dibedakan dari epilepsi 1.
d. Kejang klonik
5
postiktal biasanya pendek. Dapat terjadi gerak kionik kemudian men -
jadi tonik dan kembali menjadi klonik disebut sebagai klonik-tonik-
klonik.
e. Kejang tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan
ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi
bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang
tubuh. Wajah menjadi distorsi, pucat kemudian menjadi merah dan
kebiruan karena tidak dapat bernapas. Mata terbuka atau tertutup,
konjungtiva tidak sensitif, dilatasi pupil. Serangan tonik aksial
dengan ekstensi kepala, leher dan batang tubuh dapat terjadi.
f. Kejang atonik/astatik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi
hanya kepala jatuh ke depan, mulut terbuka, atau lengan jatuh
tergantung, atau menyeluruh sehingga pasien jatuh. Kesadaran
hanya hilang sejenak. Serangan atonik dapat terjadi Pada keadaan
bukan epilepsi misalnya iskemia batang otak.
6
dapat bicara gerak involunter mulut dan farings, suara tengorok kontraksi
tonik atau klonik lidah. Serangan terjadi pada waktu tidur.
7
mirip absens pada anak. Frekuensi serangan jarang, tidak muncul setiap
hari dan biasanya sporadalis. Bila disertai kejang tonik-klonik, muncul
pada saat bangun. EEG memperlihatkan gelombang paku-ombak cepat
lebih dari 3 spd respon terhadap pengobatan baik.
8
4 Epilepsi Umum tanpa etiologi spesifik
Mioklonik Ensefalopati dini (Early Myoclonic Encephalopathy). Onset
sebelum usia 3 bulan, mioklonus sejak onset, kejang parsial tidak teratur,
miklonus masif dan spasme tonik, EEG aktivitas supperssion-burst,
menjadi hipsaritmia atipik, tidak ada perkembangan,meninggal sebelum
1 tahun.
Early Infantile Epileptic Encephalopathy with Suppession-Burst.
Awalnya bayi normal kejang terjadi secara progresif dan terjadi secara
defisit neurologis berupa kelumpuhan, ataksia. Eeg tidak menunjukkan
infeksi respiratori akutma normal.
5. Epilepsi dan Sindrom yang tidak dipastikan parsial atau umum
Epilepsi mioklonik berat pada bayi (severe myoclonic epilepsy in infent).
Kejang mulai pertama tahun kehidupan, berupa serangan klonik,
seringkali didahului dengan demam. Serangan kejang, demam selalu
berulang kembali dalam 2 bulan pertama, makin lama makin sering dan
demam yang mendahului makin rendah. Antara usia 1-4 tahun mulai
terlihat kejang mioklonik umum.
Epilepsy with Continious spike-waves during slow sleep. Merupakan
gabungan berbagai epilepsi parsial atau umum yang terjadi pada saat
tidur, di tambah dengan absens atipik pada saat bangun. EEG
memeperlihatkan pola paku ombak yang kontinyu saat tidur.
Acquired Epileptic aphasia (sindrom landau-Klefiner). Pada sindrom ini
yang menyolok adalah afasia didapat dengan EEG memperlihatkan
gelombang paku multifokal atau gelombang paku-ombak. Kejang jarang
ditemukan, bila ada berbentuk tonik-klonik umum atau parsial motor.
9
menyertainya. Potensial aksi terbentuk di permukaan sel dan menjadi
stimulus yang efektif pada bagian membran sel lainnya dan menyebar
sepanjang akson. Konsepnya ialah jika terjadi bangkitan epilepsi apapun
pencetusnya disertai berkurangnya ion kalium dan meningkatnya ion
natrium.
Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan pasca sinaps
Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps, potensial
aksi pada suatu neuron dihantar melalui neuroakson, kemudian
membebaskan zat neurotensmiter pada sinaps yang mengeksitasi atau
menginhibisi membrans pascasinaps. Transmiter eksitasi (asetilkolin,
glutamic acid) mengakibatkan depolarisasi, zat transmiter inhibisi
(GABA) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya. Pada keadaan
normal terdapat keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi (meninggikan
tingkat polarisasi membran sel), jika terjadi kegagalan inhibisi
mengakibatkan lepasnya muatan listrik yang berlebihan. Zat GABA
(mencegah terjadinya hipersinkronisasi) gangguan sintesis GABA
mengakibatkan perubahan keseimbangan eksitasi inhibisi, eksitasi lebih
berperan dalam bangkitan epilepsi. Defisiensi piridoksin dapat
mengakibatkan konvulsi pada bayi.
Sel glia
Sel glia berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstra selular di sekitar
neuron dan terminal presinaps. Jika sel glia terganggu maka konsentrasi
ion kalium ekstraselular dapat terganggu dan mengakibatkan
meningkatnya eksitabilitas sel neuron di sekitarnya rasio yang tinggi
antara kadar ion kalium akstraseluler dibanding intraselular dapat
mendepolarisasi membran neuron.
10
1. Diagnosis etiologi, misalnya epilepsi akibat malformasi arterio-vena.
2. Diagnosis jenis serangan untuk menentukan obatnya. Harus dibedakan
misalnya serangan absens dan parsial kompleks, karena pengobatan
berbeda.
3. Diagonsis sindrom epilepsi. Hal ini penting untuk menentukan prognosis
dan lama pengobatan misalnya juvenile myoclonic epilepsy bersifat
benigna, sedangkan progressive myoclonic epilepsy bersifat maligna.
11
bila keluarga dapat diminta menirukan gerakan bangkitan
atau merekam video saat bangkitan)
Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan
sebelumnya
Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat
tidur, saat terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-
lain.
Pasca bangkitan/ post- iktal: Bingung, langsung sadar, nyeri
kepala, tidur, gaduh gelisah, Todds paresis.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress
psikologis, alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval
terpanjang antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis
psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab
maupun komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh
kembang
h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
dll.
b. Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang
dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa
menit setelah bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama
tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
12
Paresis Todd
Gangguan kesadaran pascaiktal
Afasia pascaiktal
13
- Irama gelombang tidak teratur
- Irama gelombang lebih lambat di banding seharusnya misal
gelombang delta.
- Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku, paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
3. Pemeriksaan pencitraan
14
2. Setelah diagnosis ditegakkan, tindakan berikutnya adalah menentukan jenis
serangan.
3. Pengobatan harus dimulai dengan satu OAE dengan dosis kecil, kemudian
dosis dinaikkan bertahap sampai serangan teratasi. Tujuan pengobatan
adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah. Yang
terpenting bukanlah mencapai kadar terapeutik, tetapi kadar OAE bebas
yang dapat menembus sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan
saraf pusat. Kadar OAE bebas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor
misalnya penggunaan bersama obat lain, bahan kimia (bilirubin, asam
lemak bebas) dan distribusinya yang tergantung pada kelarutannya dalam
lemak dan ikatannya dengan jaringan tubuh. Absorpsi dapat dipengaruhi
saat makan obat misalnya sebelum atau sesudah makan, jenis makanan dan
obat misalnya antasid. Dosis anak pada umumnya 50-100 % lebih besar
dibandingkan dosis dewasa karena nilai klirens yang tinggi.
4. Kegagalan OAE sering disebabkan karena non-compliance atau tidak
minum obat menurut aturan. Bila OAE pertama tidak bermanfaat, dapat
diganti dengan OAE kedua. Dosis OAE kedua dinaikkan bertahap
sedangkan dosis OAE pertama diturunkan bertahap. Penurunan secara
bertahap ini bertujuan untuk mencegah timbulnya status epileptikus
(terutama fenobarbital). Bila OAE pertama perlu dihentikan dengan cepat
karena timbul efek samping yang berat, harus diberikan diazepam.
Politerapi sedapatnya dihindarkan karena :
Efek samping yang banyak (terutama di bidang intelektual).
Lebih sukar dikontrol.
Kadar obat dalam darah yang lebih rendah. Setelah ditemukan OAE
yang sesuai frekuensi pemberian disesuaikan dengan masa paruh
(fenobarbital dan fenitoin diberikan 2 x sehari).
15
Menilai kadar bebas beberapa OAE yang sangat terikat pada protein
(fenitoin, karbamzepin, valproat) pada keadaan tertentu (penyakit
ginjal, hati, hipoalbuminemia, usia lanjut, kehamilan, dan interaksi
obat).
Prinsip Farmakokinetik1
Tujuan terpenting dalam pengobatan adalah untuk mempertahankan kadar
obat dalam therapeutic range tanpa menimbulkan gejala toksis. Setelah pemberian
tunggal obat anti epilepsi (OAE) pucak kadar plasma akan tercapai setelah waktu
tertentu dan tergantung pada proses absorpsi. Sebagian besar OAE dosis
konvensional dengan persediaan enzim yang cukup untuk mengikuti kaidah first-
order enzyme kinetics yaitu kecepatan biotransformasi bertambah secara linier
dengan konsentrasi obat. Namun bila enzim telah jenuh, maka kecepatan
biotransformasi akan tetap sama pada konsentrasi obat yang berbeda, misalnya
yang terdapat pada fenitoin.
Setelah enzim hati jenuh, maka kenaikan dosis sedikit saja akan
menyebabkan peningkatan kadar plasma yang berlebihan (nonliniear kinetics).
Pemberian berulang setelah pemberian inisial akan menyebabkan peningkatan
kadar dalam plasma, sehingga mencapai suatu plato yaitu keadaan stabil antara
akumulasi dan eliminasi. Sebagian besar OAE akan memperlihatkan penurunan
kadar stabil dengan sendirinya setelah pemberian selama beberapa minggu atau
bulan, disebabkan oleh peninggian kadar enzim akibat induksi pada metabolisme
hati yang meningkatkan biotransformasi dan berkurangnya masa paruh dan kadar
dalam serum. Penurunan kadar stabil ini sering disalahtafsirkan sebagai
kehilangan daya kerja OAE setelah beberapa bulan dan dapat dikoreksi dengan
meninggikan dosis. Karena itu penting untuk melakukan pengecekan rutin kadar
OAE setiap 6-12 bulan, meskipun tidak tampak adanya gejala.
16
Gambar 2. Data Farmakokinetika Obat Antiepilepsi5
17
fenitoin
OAE pilihan kedua : Benzodiazepin, asam valproat
Serangan absens
OAE pilihan pertama : Etosuksimid, asam valproat
OAE pilihan kedua : Benzodiazepin
Serangan mioklonik
OAE pilihan pertama : Benzodiazepin, asam valproat
OAE pilihan kedua Etosuksimid
Serangan tonik, klonik,atonik : Semua OAE kecuali etosuksimid
18
Gambar 4. Algoritma terapi epilepsi5
19
Efek samping idiosinkratik fenobarbital dan primidon berupa ruam kulit
diskrasia darah (jarang), sedangkan efek intoksikasi terbanyak adalah
mengantuk dan hiperaktivitas. Kadang-kadang terdapat mual, sakit
kepala dan gangguan keseimbangan. Akibat pemberian kronik adalah
mengantuk, perubahan perilaku, perubahan perasaan, gangguan
intelektual, penyakit tulang metabolik dan gangguan jaringan ikat.
37% kasus dan secara klinis ditemukan adanya depresi, gangguan tidur,
konsentrasi dan fungsi kognitif. Meskipun banyak efek sampingnya,
kelebihan fenobarbital adalah merupakan antikonvulsan yang aman dan
murah. Fenobarbital dapat merangsang metabolisme dan mngurangi
efektivitas antikonvulsan lain seperti karbamazepin dan fenitoin.
Pemberian bersamaan dengan asam valproat dapat menimbulkan
somnolensi yang nyata.
2. Karbamazepin
Merupakan obat utama untuk epilepsi parsial (sederhana dan kompleks)
dan epilepsi umum tonik klonik. Dosis pada anak kurang dari 6 tahun
adalah 10-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-4 dosis sehari dan akan
mencapai kadar terapeutik (8-12 g/ml) dalam 3-4 hari tanpa loading
dose. Untuk 6-12 tahun adalah 100 mg 2 kali sehari dan untuk di atas 12
tahun : 200 mg 2 kali sehari. Sebaiknya obat ini diberikan dengan dosis
rendah dahulu 3 kali sehari, lalu dosisnya dinaikkan perlahan dalam 2
minggu untuk mencegah timbulnya efek samping.
Efek idiosinkratik berupa ruam kulit dan diskrasia darah. gejala
intoksikasi berupa diplopia, vertigo, pusing, inkoordinasi dan kadang-
kadang gejala distonik. Akibat pemberian kronik dapat menimbulkan
hiponatremia, gangguan fungsi hati dan leukopenia. Karena rumus
kimianya serupa antidepresan trisiklik maka obat ini sering memberikan
perasaan enak dan peningkatan kesadaran.
Pemberian dosis terapeutik pada pasien absens atipis atau serangan
epilepsi minor lainnya akan memperberat serangan sampai status absens
atau mioklonus nonepilepsi yang terus menerus. Pemberian bersama obat
lain seperti CCB, INH dan eritromisin dapat mempercepat timbulnya
toksisitas karena menghambat metabolismenya.
20
Pemeriksaan laboratorium rutin berupa darah tepi lengkap dalam waktu
2 minggu, 1 bulan dan 2 bulan setelah dimulainya pengobatan dan
kemudian setiap 6 bulan. SGPT juga harus diperiksa setiap 6 bulan.
Meskipun karbamazepin mempunyai banyak efek samping, ia lebih
unggul dibandingkan fenobarbital dan fenitoin karena memperbaiki
fungsi kognitif, menjadikan anak lebih sadar dan merasa lebih enak.
Perbaikan dalam perilaku anak tampak pada 15% pasien.
3. Fenitoin
Berguna untuk kejang tonik klonik umum, serangan parsial (sederhana-
kompleks) dan beberapa jenis kejang lainnya. Fenitoin jangan diberikan
pada serangan campuran karena dapat memperberat serangan absens.
Obat ini kurang baik untuk pengobatan jangka panjang pada anak karena
banyak efek samping dan adanya variasi yang besar dalam absorpsi dan
metabolisme yang mudah terganggu oleh penyakit ringan maupun
antikonvulsan lain.
Dosis rata-rata adalah 5-7 mg/kgBB/hari dan akan mencapai kadar
terapeutik (10-20 g/ml) dalam 7-10 hari. Untuk mencapai kadar
terapeutik yang cepat harus diberikan 4 dosis 5-6 mg/kgBB setiap 8 jam.
Nistagmus dapat timbul pada kadar 15-30 g/ml, ataksia pada kadar 30
g/ml dan perburukan kejang pada kadar 40 g/ml. Karena masa paruh
yang panjang (10-34 jam pada dewasa dan 5-18 jam pada anak) maka
obat ini cukup diberikan 1-2 kali sehari.
Penggunaan bersama fenobarbital, karbamazepin, valproat, INH dan
kloramfenikol dapat meningkatkan kadar bebas fenitoin. Efek samping
idiosinkratik berupa ruam kulit, diskrasia darah dan reaksi imunologis.
Efek intoksikasi berupa vertigo, gerakan involunter, pusing, mual,
nistagmus, sakit kepala, ataksia dan perubahan perilaku.
Efek samping pemberian kronik berupa hirsutisme, hipertrofi ginggiva,
gangguan perilaku dan fungsi kognitif. Dapat terjadi peningkatan SGOT-
SGPT yang secara klinis kurang berarti.
21
4. Etosuksimid
Merupakan obat yang paling efektif untuk mengatasi serangan absens
(petit mal). Dosis dimulai dengan 15-20 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4
dosis per hari pada anak kurang dari 6 tahun (>12 tahun : 250 mg/hari)
untuk mencapai kadar terapeutik (40-100 g/ml) dalam 7-10 hari (tanpa
loading dose). Obat ini dapat pula dipergunakan pada epilepsi dengan
berbagai serangan misalnya pada sindrom Lennox-Gastaut dikombinasi
dengan antikonvulsan lain.
5. Asam Valproat
Digunakan pada epilepsi motor minor (mioklonik), absens, tonik klonik
dan serangan parsial sederhana maupun kompleks. Asam valproat
dianggap meninggikan efek inhibisi postsinaptik GABA, menghambat
pembentukan gelombang paku dan menghambat jaras neuronal
eksitatorik. Dosis inisial anak adalah 15-20 mg/kgBB/hari dalam 2-4
dosis (masa paruh 6-15 jam) untuk mencapai kadar terapeutik (40-150
g/ml) dalam 1-4 hari dan disusul oleh dosis rumat 30-60 mg/kgBB/hari
(tanpa loading dose). Pada politerapi sering dibutuhkan lebih dari 100
mg/kgBB/hari.
Hubungan dosis dengan kadar serum cukup kompleks, karena masa
paruh yang pendek dan ikatan protein yang besar. Pada kadar plasma
valproat yang rendah, ikatan protein mencapai 90-95%, namun dengan
meningkatkan dosis maka ikatan proteinnya menurun drastis sehingga
kadar serum tidak naik secara proporsional dengan dosis. Interaksi
dengan fenobarbital akan meningkatkan kadar fenobarbital sehingga
menimbulkan sedasi berat. Kombinasi dengan fenitoin dan karbamazepin
dapat meningkatkan kadar kedua obat, sedangkan kombinasi dengan
aspirin akan menyebabkan kenaikan kadar valproat.
22
Efek samping idiosinkratik berupa ruam kulit, gagal hati akut,
pankreatitis akut dan diskrasia darah (trombositopenia, anemia dan
leukopenia). Gejala intosikasi berupa mengantuk, vertigo dan perubahan
perilaku. Efek pemberian kronik adalah mengantuk, perubahan perilaku,
tremor, hiperamonia, bertambahnya berat badan, rambut rontok, penyakit
perdarahan dan gangguan lambung.
Karena efek sampingnya yang banyak, maka American Academy of
Pediatrics dan Committe on Drugs memutuskan sebagai berikut :
Jangan memberikan valproat sebagai politerapi pada anak < 3 tahun
kecuali bla monoterapi tidak berhasil.
Gunakan OAE yang lain pada kejang demam dan serangan absens.
Jangan berikan valproat pada anak dengan penyakit hati, penyakit
berat atau yang sedang menggunakan obat yang mempengaruhi
koagulasi.
Melaporkan secepatnya bila timbul efek samping.
Usahakan memberikan dosis minimal.
Pemeriksaan fungsi hati sebelum dan setelah pemberian valproat
(pemeriksaan darah tepi lengkap dan SGOT-SGPT 2 minggu setelah
pengobatan dimulai dan setiap 2 bulan selama 6 bulan dan kemudian
tiap 4 bulan).
6. Benzodiazepin
Sering dipergunakan untuk mengatasi serangan absens dan mioklonik,
namun sayangnya hanya berfaedah beberapa bulan saja.
a. Klonazepam, digunakan pada sebagian besar kejang motor minor
(akinetik-petit mal atipis dan kurang berguna untuk spasme infantil),
diberikan dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis, lalu
dinaikkan dengan 0,05 mg/kgBB per minggu sampai kejang teratasi
(dosis maksimal 0,5 mg/kgBB). Dosis masih dpat dinaikkan
bertahap 0,05 mg/kgBB sampai timbul efek samping (ataksia,
mengantuk, disartria, iritabel, dan berat badan naik). Gangguan
emosi sering timbul bila dikombinasi dengan fenobarbital atau
benzodiazepin lain.
b. Nitrazepam, berguna untuk serangan motor minor dan spasme
infantil, namun terkendala oelh efek samping hepatotoksik.
23
c. Clobazam, digunakan pada epilepsi yang berat, kejang umum
primer, epilepsi parsial, sindrom Lennox-Gastaut dan reflek epilepsi
dengan dosis 0,1-0,8 mg/kgBB/hari.
d. Diazepam dan lorazepam digunakan pada status epileptikus dan
kejang demam.
3. Serangan Absens
Jenis serangan ini tidak membahayakan jiwa, sehingga berpedoman pada
penghentian serangan secara maksimal tanpa menimbulkan toksisitas. OAE
yang dipergunakan adalah klonazepam, etosuksimid dan valproat, namun
obat pilihan adalah etosuksimid, karena valproat banyak efek sampingnya.
24
sama dengan obat untuk serangan parsial yaitu fenobarbital, karbamazepin,
fenitoin, dan valproat.
5. Spasme Infantil atau Sindrom West
Obat terpilih adalah ACTH, steroid oral atau OAE lain. Diusulkan untuk
memulai dengan ACTH 40 IU/hari IM selama minimal 1 bulan dan kemudian
tapering 10 IU setiap minggu. Bila serangannya tidak berkurang dalam 2
minggu, maka dosis dapat dinaikkan 10 IU setiap minggu sampai maksimal
80 IU.Bila serangan masih ada dapat dicoba dengan asam valproat 40-100
mg/kgBB/hari atau nitrazepam 0,6-1 mg/kgBB/hari atau klonazepam 0,1-0,3
mg/kgBB/hari. Bila timbul relaps pada waktu penurunan dosis ACTH, dosis
dinaikkan kembali sampai dosis yang dapat menghentikan serangan. Setelah
serangan teratasi dosis ACTH tersebut dipertahankan minimal selama 1 bulan
sebelum diturunkan kembali.
Pemberian kortikosteroid oral, prednison 2 mg/kgBB/hari atau
deksametason 0,3 mg/kgBB/hari. Efek samping ACTH dan kortikosteroid
yang ringan adalah obesitas, retardasi pertumbuhan, timbulnya akne dan
iritabilitas. Efek samping yang berat adalah infeksi, imunosupresi, hipertensi,
hipertrofi jantung, perdarahan intraserebral, atrofi otak transien, osteoporosis,
gangguan elektrolit dan alkalosis hipokalemia.
6. Sindrom Lennox-Gastaut
Pengobatan harus individual. Bentuk tonik dapat diberikan valproat,
karbamazepin, fenitoin, fenobarbital. Bentuk mioklonik diberikan valproat,
klonazepam, steroid dan diit ketogenik. Serangan tonik klonik umum
diberikan karbamazepin, fenitoin, valproat, fenobarbital, sedangkan pada
absens atipik diberikan valproat, klonazepam, etosuksimid, atau diit
ketogenik.
7. Status Epileptikus
Merupakan suatu keadaan darurat, serangan timbul sangat sering
sehingga pasien tidak pernah sadar. Kejang yang berlangsung lebih dari 20-
30 menit dapat menimbulkan kerusakan otak akibat hipoksia. Keadaan ini
ditambah lagi dengan beberapa keadaan yang kurang menguntungkan
25
misalnya hiperpireksia dan hipotensi yang akan menimbulkan kerusakan di
serebrum.
Status epileptikus bukanlah sebagian dari epilepsi, namun merupakan
suatu komplikasi dari perubahan dalam pengobatan, akibat infeksi atau
operasi otak. Tindakan yang terpenting adalah :
1. Mempertahankan fungsi vital (memperbaiki pernafasan, hipertermia,
hipotensi dan mencegah jangan sampai terluka).
2. Memberikan OAE untuk memberantas kejang.
3. Mencari penyebab.
4. Mencegah timbulnya kejang lagi.
26
Penyembuhan akan terjadi pada 30-10% anak dengan epilepsi. Lama
pengobatan tergantung pada jenis epilepsinya dan risiko kekambuhan. Pada
serangan yang ringan pengobatan seiama 2-3 tahun sudah cukup, misalnya pada
absens tipikal pengobatannya cukup 18 bulan sampai 2 tahun terutama bila pola
EEG nya sudah normal. Pada sindrom Lennox-Gastaut atau epilepsi mioklonik
berat harus diberikan pengobatan Iebih dari 5 tahun setelah serangan terakhir dan
tidak jarang masih kambuh.
Infeksi respiratori atas terdiri dari rinitis, faringitis, tonsilitis, rinosinusitis, dan
otitis media. Sedangkan infeksi respiratori bawah terdiri atas epiglociris, croup
(laringotrakeobronkitis), bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia. Sebagian besar
infeksi respiratori akut biasanya terbatas pada infeksi respiratori akut atas saja,
tapi sekitar 5%-nya melibatkan laring dan respiratori bawah berikutnya, sehingga
berpotensi menjadi serius7.
27
2.1.2 Faktor risiko 7
Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit infeksi respiratori
akut pada anak. Hal ini berhubungan dengan pejamu, agen penyakit, dan
lingkungan.
1. Usia
Infeksi respiratori akut dapat ditemukan pada 50% anak berusia di bawah
5 tahun dan 30% anak berusia 5-12 tahun. Rahman dkk. mendapatkan 23% kasus
infeksi respiratori akut berat dari seluruh kasus infeksi respiratori akut pada anak
berusia di atas 6 bulan. World Health Organization melaporkan bahwa di negara
berkembang, infeksi respiratori akut, termasuk infeksi respiratori-bawah
(pneumonia, bronkioliris, dan lain-lain) adalah penyebab utama dari empat
penyebab terbanyak kernatian anak, dengan kasus terbanyak terjadi pada anak
berusia di bawah 1 tahun.
2. Jenis kefamin
Pada umumnya, tidak ada perbedaan insidens infeksi respiratori akut
akibat virus atau bakteri pada laki-laki dan perernpuan. Akan tetapi, ada yang
mengemukakan bahwa terdapat sedikir perbedaan, yaitu insidens lebih tinggi pada
anak laki-laki berusia di atas 6 tahun.
3. Status gizi
Status gizi anak merupakan faktor risiko penting timbulnya pneumonia.
Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi respiratori akut pada
anak. Hal ini dikarenakan adanya gangguan respons imun. Deb SK menyatakan
risk ratio (RR) anak malnutrisi dengan infeksi respiratori akut/pneumonia adalah
2,3.
Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Grant melaporkan
bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan mengalami infeksi
respiratori akut dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak mengalami
defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain perbaikan gizi dan pemberian ASI,
harus dilakukan pula perbaikan terhadap defisiensi vitamin A untuk mencegah
infeksi respiratori akut.
28
4. Pemberian air susu ibu (ASI)
Air susu ibu mempunyai nilai proteksi terhadap pneumonia, terutama
selama I bulan pertama. Lopez mendapatkan bahwa prevalens infeksi respiratori
akut berhubungan dengan lamanya pemberian AS1. Bayi yang tidak pernah diberi
ASI lebih rentan mengalami infeksi respiratori akut dibandingkan dengan bayi
yang diberi ASI paling sedikit selama 1 bulan. Cesar JA dkk. melaporkan bahwa
bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali. lebih rentan mengafam. i perawatan di RS
akibat pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mendapat. ASI. Pemberian ASI
dengan durasi yang lama mempunyai pengaruh proteksi terhadap infeksi
respiratori akutbawah selama tahun pertama.
6. Imunisasi
Campak, pertusis, dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko
terkena infeksi respiratori akut dan memperberat infeksi respiratori akut itu
sendiri, tetapi sebetulnya hal ini dapat dicegah. Di India, anak yang baru sembuh
dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalami 1RA enam kali lebih
sering daripada anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri
bersama-sama dapat menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan
dengan infeksi respiratori akut. Deb SK mendapatkan RR sebesar 2,7 pada
kelompok anak yang tidak mendapatkan imunisasi. Vaksin campak cukup efektif
dan dapat mencegah kematian hingga 25%. Usaha global dalam meningkatkan
cakupan imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi angka kematian infeksi
respiratori akut akibat kedua penyakit ini. Vaksin Pneumokokus dan H. influenzae
tipe B saat ini sudah diberikan pada anakanak dengan efektivitas yang cukup baik.
29
Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan terbalik
antara angka kejadian dengan kematian infeksi respiratori akut. Tingkat
pendidikan ini berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi, dan juga
berkaitan dengan pengetahuan orang tua. Kurangnya pengetahuan menyebabkan
sebagian kasus infeksi respiratori akut tidak diketahui oleh orang tua dan tidak
diobati.
10. Lingkungan
Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bahwa polusi
udara, baik dari dalam maupun dari luar rumah, berhubungan dengan beberapa
penyakit termasuk infeksi respiratori akut. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi
polutan lingkungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran respiratori.
30
2.1.7 Pertimbangan penggunaan antibiotik7
Secara umum, penyebab 1RA terbanyak (>90%) adalah virus.
Oleh karena . itu sebenarnya sebagian besar infeksi respiratori akut tidak
memerlukan antibiotik dalam tatalaksananya. Namun dalam beberapa jenis
infeksi respiratori akut tertentu, bakteri berperan penting. Bahkan dalam
epiglotitis yang merupakan salah satu kegawatan pediatrik, hampir selalu
disebabkan oleh Hemophihrs influenzae. Banyak bakteri penyebab infeksi
respiratori akut namun ada dua bakteri terpenting yaitu Streptococcus
pneumoniae, suatu bakteri kokus gram positif dan Hemophilus influenzae, suatu
bakteri gram negatif. Selain itu bakteri lain yang perlu mendapat perhatian adalah
Streptococcus pyogenes. Pertimbangan pemilihan antibiotik juga memperhatikan
aspek epidemiologi, apakah pneumonia community acquired (komunitas) atau
hospital acquired (nosokomial).
Prinsip utama pemilihan antibiotik adalah bakteri yang kita tuju sensitif
dengan antibiotik yang kita berikan, untuk itulah diperlukan biakan dan uji
resistensi kuman penyebab. Namun hal tersebut banyak sekali kendalanya,
sehingga sebagian besar pengobatan antibiotik dilakukan secara empirik.
Idealnya antibiotik yang digunakan adalah spesifik untuk bakteri penyebabnya,
misalnya kloramfenikol untuk Salmonella thyposa atau rifampisin untuk
Mycobacterium tuberculosis. Sayangnya dalam banyak kasus kita sulit untuk
mengetahui kuman penyebab secara definitif, sehingga kita gunakan antibiotik
berspektrum luas.
Jika suatu infeksi respiratori akut kita curigai penyebabnya adalah bakteri,
maka antibiotik harus diberikan secara cepat dan tepat. Perlunya pemberian
antibiotik secara cepat dan cepat adalah untuk:
memperkecil penyebaran ke anak lain
mempercepat penyembuhan
anak lebih cepat kembali ke sekolah
orang tua dapat segera bekerja kembali
mencegah kelainan paru kronik di kemudian hari.
31
Yang dimaksud dengan secara cepat adalah antibiotik segera diberikan bila
gejala dan tanda serta pemeriksaan lain mendukung ke arah infeksi bakteri.
Sedangkan tepat dimaksudkan pemilihan jenis antibiotiknya sesuai dengan jenis
kuman penyebab atau paling sedikit sesuai dengan dugaan jenis kuman penyebab,
serta dosis dan larnanya pemberian adekuat.
Infeksi saluran napas ini biasanya hanya memerlukan perawatan suportif
(self limited disease). Antibiotik tidak perlu diberikan. Wheezing atau stridor
dapat terjadi pada beberapa anak, terutama bayi. Hampir semua gejala tersebut
hilang dalam 14 hari. Bila batuk berlangsung 3 minggu, bisa disebabkan oleh
tuberkulosis, asma, pertusis atau gejala dari infeksi HIV.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
32
sakit dan demam sejak dua hari yang lalu. Pasien memiliki riwayat penyakit
kejang sebelumnya. Orang tua pasien terlambat memberikan obat anti epilepsi
kepada pasien pada pagi hari.
3.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Epilepsi dengan kejang sejak kurang lebih 30 menit yang lalu selama
kurang lebih 10 menit di rumah dan kejang barulang selama 20 menit di IGD.
Demam sejak dua hari yang lalu. Ketika sampai di IGD, suhu pasien mencapai
39,8 .
3.4 Riwayat Penyakit Dahulu
-
3.5 Data Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : CMC (Compos Mentis Coorporation)
Suhu : 39,8 0C
Nadi : 90x/menit
Pernafasan : 24 x /menit
Berat Badan : 16 Kg
Keadaan gizi : baik
GCS total : 15 (E4 M6 V5)
Mata :
Thorax : vesikulus
Irama jantung reguler, bising (-)
Abdomen : Distensi (-)
1.7 Data Laboratorium
1.7.1 Hasil Pemeriksaan Darah
33
Corpuscular
Volume)
MCH (Mean
Corpuscular 28,3 pg 27,0 31,0 pg Normal
Hemoglobin)
MCHC 34,0g/dL 33 37g/dL Normal
Gula darah
92 mg/dL <200 mg/dL Normal
sewaktu
1.8 Diagnosis
Diagnosa utama : Epilepsi febris
Diagnose sekunder : ISPA
3.9 Penatalaksanaan
3.9.1 Terapi Farmakologi Pasien di IGD
1. IVFD KA-EN 1B + KCl 10 mEq 11 gtt/menit
2. Stesolid sup 10 mg
3. Injeksi Sibital (fenobarbital) 75mg
4. Injeksi diazepam 8 mg
5. Depakene 2 x 1 cth p.o
6. Propiretik sup 160 mg
7. Paracetamol 120 mg/ 5 ml 4 x 1 1/3 cth
3.9.2 Terapi Farmakologi di Bangsal Anak
34
1. IVFD KA-EN 1B + KCl 10 mEq 11 gtt/menit
2. Injeksi dexamethasone 3 x 2,6 mg
3. Depakene 2 x 1 cth p.o
4. Paracetamol 120 mg/ 5 ml 4 x 1 1/3 cth
5. Racikan 3 x 1 bungkus:
Ambroxol 8 mg
CTM 1,9 mg
HCl efedrin 5 mg
6. Propiretik sup 160 mg
BAB IV
FOLLOW UP
4.1 FOLLOW UP
4.1.1 Hari Perawatan Ke 1 Rawatan ( 28 Agustus 2017 )
S: Kejang satu kali dirumah kurang lebih 10 menit
Di IGD kejang seluruh tubuh berulang kurang lebih 20 menit
Pasien sedang mendapat terapi epilepsy ( pagi terlambat minum obat)
Demam sejak 2 hari yang lalu disertai batuk pilek kurang lebih 5 hari
O : Kesadaran umum : sakit sedang, somnolen (pasca dapat stesolid)
Suhu : 39,8
Nadi : 90 x / menit
Nafas : 24 x / menit
Berat badan : 16 kg
A: Epilepsy dan ISPA
P: IVFD KA-EN 1B + KCl 10 mEq 11 gtt/menit
Depakene sirup 2 x 1 cth p.o
Paracetamol sirup 120 mg/ 5 ml 4 x 1 1/3 cth
35
Racikan 3 x 1 bungkus:
Ambroxol 8 mg
CTM 1,9 mg
HCl efedrin 5 mg
Propiretik sup 160 mg
Makanan lunak 1300 kkal
4.1.2 Hari Perawatan Ke 2 Rawatan ( 29 Agustus 2017 )
S: Ibu mengatakan demam dan kejang anak sudah mulai berkurang
Batuk masih ada
O : Kesadaran umum : sedang somnolen
Suhu : 36,5
Nafas : 20 x / menit
A: Epilepsy dan ISPA
Suhu : 36,5
Nafas : 20 x / menit
A: Epilepsy dan ISPA
P: IVFD KA-EN 1B + KCl 10 mEq 11 gtt/menit
Injeksi dexamethasone 3 x 2,6 mg
Depakene sirup 2 x 1 cth p.o
Paracetamol sirup 120 mg/ 5 ml 4 x 1 1/3 cth
36
Racikan 3 x 1 bungkus:
Ambroxol 8 mg
CTM 1,9 mg
HCl efedrin 5 mg
Makanan cair 1300 kkal 6 x 250 cc
BAB V
PEMBAHASAN
Pasien dengan inisial An. DKH berusia 3 tahun 9 bulan dengan berat
badan 16 kg masuk ke ruangan rawat inap bangsal anak setelah ditangani di IGD
pada hari selasa, 28 Agustus 2017 pada pukul 08.00 WIB dengan keluhan kejang
sejak kurang lebih 30 menit yang lalu dan demam sejak dua hari sebelum masuk
rumah sakit disertai batuk pilek kurang lebih 5 hari. Pasien memiliki riwayat
penyakit kejang sebelumnya. Orang tua pasien terlupa memberikan obat anti
Ketika sampai di IGD suhu pasien mencapai 39,8C. Dari hasil anamnesis,
Epilepsi. Pasien pernah dirawat di rumah sakit yang sama pada 7 bulan yang lalu
dengan diagnosis epilepsi. Setelah keluar dari rumah sakit, pasien rutin melakukan
Pemberian parasetamol oral harus dibatasi pada anak umur 2 bulan yang
menderita demam 39 C dan gelisah atau rewel karena demam tinggi tersebut.
37
Anak yang sadar dan aktif kemungkinan tidak akan mendapatkan manfaat dengan
diberi dalam dosis 120 mg/5 ml 4x1 1/3 cth, dosis yang diberikan sesuai karna
infeksi virus yang sembuh sendiri dan hanya memerlukan perawatan suportif (self
limited disease) sehingga tidak perlu diberikan antibiotik. Wheezing atau strider
dapat terjadi pada beberapa anak, terutama bayi. Hampir semua gejala tersebut
yang berfungsi untuk melegakan saluran pernafasan yang berisi ambroxol 8 mg,
CTM 1,9 mg, dan efedrin HCl 5mg. Puyer yang dikonsumsi pasien 3 kali sehari 1
bungkus, dosis ini sudah tepat. Dosis ambroxol yang dianjurkan pada anak adalah
1-1,5 mg/kgBB/hari dan. Dosis ambroxol yang diberikan pada pasien adalah 8
mg. Ini sesuai dengan anjuran 0,5 mg/kg berat badan/kali 2-3 kali sehari. Dosis
yang diberikan pada pasien telah sesuai degan range dosis yang dianjurkan.
2009 ialah 0,25 mg/kgBB/hari10 dan dosis yang diberikan ke pasien sudah sesuai
berfugsi untuk menghalangi kerja zat histamin dan dipakai khususnya untuk
mengurangi gangguan GI. Dan yang terakhir ephedrine hcl berdasarkan literatur
38
dosis yang dianjurkan ialah 2-3 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4-6 dosis 4 jam
sedangkan dosis yang diresepkan untuk pasien ialah 31-48 mg/hari sehingga
dinilai dosis yang diberikan ke pasien yang memiliki berat badan 16 kg kurang.
Pada saat di IGD pasien kejang dengan durasi kurang lebih 30 menit.
penghentian kejang akut, dikarena kan onset diazepam yang cepat (1-3 menit).
Dosis Diazepam rektal yang direkomendasikan oleh neurologi ikatan dokter anak
adalah rektal 0,5 mg/kg berat badan (berat badan < 10 kg = 5 mg; sedangkan bila
berat badan >10 kg =10 mg) dosis maksimal adalah 10 mg/dosis11. Dosis
kejang ketika sampai dirumah sakit adalah pemberian diazepam rektal 1 kali. Jika
mengandung NaCl dan glukosa yang bermanfaat untuk mengganti cairan tubuh
39
Selama perawatan pasien mendapatkan terapi antiepilepsi asam valproat
Depakene sirup. Berdasarkan buku perdossi (2014), dosis asam valproat yang
dianjurkan pada anak adalah 15-20 mg/kgBB/hari dalam 2-4 dosis terbagi. Pasien
telah sesuai, dimana range dosis berdasarkan dengan berat badan pasien 16 kg
yaitu 270-360 mg/hari. Asam valproat memiliki potensi efek samping mual dan
muntah sebesar 31% dan 11-15%. Namun hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan
sebagai agen antiinflamasi. Dosis yang dianjurkan menurut literatur ialah 0,08-0,3
mg/kgBB/hari dibagi dalam 6-12 jam. Sedangkan dosis yang dikonsumsi pasien
adalah 7,8 mg/hari. Dapoat disimpulkan bahwa dosis yang diterima pasien
melebihi dosis yang harus dikonsumsinya dengan berat badan 16 kg yaitu sekitar
1,28-4,8 mg/hari.
Hal lain yang perlu diinformasikan dan dikonselingkan kepada orang tua
epilepsi. Penggunaan obat epilepsi ini tidak boleh putus. Penghentian obat epilepsi
bisa dilakukan hanya jika pasien bebas kejang 3 tahun pengobatan dengan
penurunana dosis secara bertahap dalam 6 bulan. Namun jika terapi terputus, atau
kembali dilakukan dari awal. Penggunaan obat yang rutin dan tepat waktu sangat
Selain itu orang tua disarankan untuk menyimpan obat diazepam rektal sebagai
40
obat penanganan pertama epilepsi prehospital. Pengendalian pasien baik secara
psikis ataupun fisiologis perlu diperhatikan untuk menjaga impuls syaraf tetap
BAB VI
ANALISIS DRUG RELATED PROBLEMS
41
Terapi tanpa indikasi - Tidak ada terapi yang -
diberikan tanpa
indikasi
Dosis kurang v Dosis ephedrine HCl Ephedrine HCl
tidak mencapai dosis diberikan dalam
terapi bentuk racikan,
monitor kondisi
psaien jika kondisi
pasien membaik
terapi dapat
dilanjutkan
Dosis berlebih v Dosis injeksi Perhatikan tanda-
dexamethasone tanda toksisitas
melebihi dosis lazim pada pasien
Gagal mendapatkan - Pemberian obat dengan -
obat sistem Unit Dose
Dispensing (persatu
kali minum obat)
membuat kegagalan
dalam mendapatka n
obat bisa dihindari.
Pilihan obat tidak tepat - Pilihan obat yang -
diberikan sudah tepat
Efek samping obat v efek samping yang Monitor keadaan
dirasakan pasien pasien, jika keadaan
seperti pusing, kantuk, pasien semakin
bingung, dan sulit parah perlu untuk
berkonsentrasi, hal ini mempertimbangkan
dapat terjadi terapi selanjutnya
dikarenakan
penggunaan asam
valproate dan
ephedrine HCl
Interaksi obat - Tidak adanya interaksi -
42
antar obat
Duplikasi terapi - Tidak adanya duplikasi -
terapi
43
BAB VII
Edukasi
44
BAB VIII
5.1 Kesimpulan
Pasien ini merupakan pasien kambuhan karena orang tua pasien terlambat
memberikan obat untuk pasien dipagi hari.
5.2 Saran
Orang tua pasien harus teliti dalam memberikan obat untuk pasien
Obat harus diminum tepat waktu
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetomenggolo, T.S and Sofyan Ismael. 1999. Buku Ajar Neurologi Anak.
Jakarta : IDAI.
2. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI). 2014. Pedoman Tatalaksana Epilepsi Edisi 5. Surabaya:
Airlangga University Press.
3. Suwarba, I. G. N. M. 2016. Insidens dan karakteristik klinis epilepsi pada
anak. Sari Pediatri, 13(2), 123-8.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Pengendalian
infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
5. Dipiro, J.T., Terry, L.S., Wells, B.G. & Dipiro, C.V. 2015. Pharmacotheraphy
: A Pathophysiologic Approach (9th Ed). New York : McGraw-Hill.
6. Marcdante, K.J., & Kliegman, R.M. 2015. Nelson Essentials of Pediatrics Ed
7th. Philadelphia: Elsivier.
7. FKUI. 2013. Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak.
Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Respiratori Anak Edisi
Pertama. Jakarta: Badan penerbit IDAI.
9. Anonim, 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Jakarta: Depkes RI.
10. UKK Gastroenterologi-Hepatologi IDAI. 2009. Buku Ajar Gastroenterologi-
Hepatologi. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan Status
Epileptikus. Jakarta: IDAI.
46