GEOLOGI REGIONAL
II.1 PENDAHULUAN
Wilayah Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya dengan luas 188.000 km2 ini
terletak pada perbatasan tiga buah lempeng yang saling berinteraksi, yaitu Lempeng
Eurasia, Lempeng Pasifik-Filipina dan Lempeng Indo-Australia. Bentuk Pulau Sulawesi
yang menyerupai huruf K ini dipisahan oleh teluk-teluk yang dalam dan menyatu di
bagian tengah pulau. Bentuk dari Pulau Sulawesi ini juga menggambarkan kompleksitas
tatanan geologinya. Secara geografis, Sulawesi terletak pada zona transisi yang diapit
oleh Paparan Sunda di sebelah barat dan Paparan Sahul di timur, serta dibatasi oleh
Cekungan Sulawesi dengan kedalaman 5000 m s.d. 5500 m di sebelah utara dan Laut
Banda dengan kedalaman 4500 m sampai dengan 5000 m di sebelah selatan.
Daerah penelitian termasuk dalam wilayah Mandala Barat Bagian Barat yang
merupakan bagian dari Mandala Barat. Mandala Barat memanjang dari lengan utara
sampai dengan lengan selatan Pulau Sulawesi. Van Leeuwen (1994; dalam Sompotan,
2012) menyebutkan bahwa Mandala Barat sebagai busur magmatik dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu bagian utara yang mencakup Manado hingga Buol dan bagian barat
9
yang mencakup Buol hingga Makassar. Pemisahan ini disebabkan batuan pada Mandala
Barat Bagian Utara lebih bersifat riodasitik sampai andesitik, sedangkan batuan pada
Mandala Barat Bagian Barat bersifat kontinen. Batuan pada bagian barat ini terdiri dari
batuan gunungapi, batuan sedimen berumur Mesozoikum hingga Kuarter, dan batuan
malihan berumur Kapur.
Pemekaran yang terjadi pada Tersier Awal membawa bagian timur dari Kalimantan ke
wilayah Pulau Sulawesi. Rifting dan pemekaran lantai samudera di Selat Makassar pada
Masa Paleogen ini kemudian menciptakan ruang untuk pengendapan material klastik
yang berasal dari Pulau Kalimantan. Akibat pengendapan material klastik tersebut,
Sulawesi Selatan mengandung sedimen berumur Kapur hingga Kuarter yang cukup
tebal dan memiliki batuan Pra-Tersier yang merupakan fragmen kontinental mikro atau
kerak samudera yang telah termetamorfosiskan. Stratigrafi regional Sulawesi Selatan
Bagian Barat dapat dilihat pada gambar berikut (Gambar 2.2).
10
Gambar 2.2. Stratigrafi regional Sulawesi Selatan bagian barat (Calvert dan Hall, 2003)
11
(Coffield dkk., 1997).
Vulkanik Langi/Bua
Batuan vulkanik Paleosen ini terdapat pada bagian timur daerah Sulawesi
Selatan dan tidak selaras dengan Formasi Balangbaru. Di daerah Bantimala,
batuan vulkanik ini disebut Bua dan di daerah Biru disebut Langi. Formasi ini
terdiri dari lava dan endapan piroklastik andesit dengan komposisi trakhit-
andesit dengan sisipan batugamping dan batulanau (Van Leeuwen, 1981).
Formasi Mallawa (Formasi Toraja)
Formasi Mallawa (Formasi Toraja) berumur Eosen Awal. Litologi formasi ini
terdiri dari batupasir, batulanau, batulempung, napal, dan konglomerat yang
diselingi lapisan batubara dan batugamping. Lingkungan pengendapan
formasi ini diperkirakan merupakan lingkungan darat sampai laut dangkal.
Formasi Mallawa memiliki hubungan tidak selaras dengan Formasi
Balangbaru.
Formasi Tonasa
Formasi Tonasa berumur Eosen Akhir hingga Miosen Awal. Litologi
penyusun formasi ini terdiri dari batugamping, napal, batupasir, batulanau,
dan batulempung yang berumur Eosen Akhir-Miosen Awal (Van Leeuwen,
1981). Formasi Tonasa terendapkan selaras di atas Formasi Mallawa atau
batuan vulkanik Langi/Bua. Formasi ini tersebar luas sama seperti Formasi
Mallawa, yaitu pada bagian barat Sulawesi Selatan. Formasi ini tidak
tersingkap di bagian timur Sesar Walanae.
Vulkanik Formasi Camba
Batuan vulkanik Formasi Camba berumur Miosen Tengah. Batuan yang
terletak pada bagian barat Sulawesi Selatan ini memiliki litologi berupa
breksi vulkanik, konglomerat, lava, dan tuf yang berselingan dengan batuan
sedimen laut. Batuan vulkanik Formasi Camba bersifat kalk-alkali akibat
peleburan parsial dari mantel atas yang kaya akan unsur-unsur yang tidak
kompatibel dengan metasomatisme. Hal ini mungkin berhubungan dengan
subduksi sebelumnya di awal Miosen. Sifat alkali gunungapi ini diduga
disebabkan oleh asimilasi berlebihan dari batugamping tua yang mencair
bergabung dengan material benua ke dalam subduksi busur vulkanik
(Sompotan, 2012).
12
Endapan Aluvial Kuarter, rawa-rawa dan endapan pantai
Endapan ini berumur Kuarter. Litologi berupa lempung, lanau, lumpur, pasir
dan kerikil yang muncul pada Sub-cekungan Sengkang Barat, belokan sungai,
dan daerah pantai. Endapan pantai setempat mengandung sisa kerang dan
batugamping koral (Sompotan, 2012).
Daerah penelitian terdiri dari satuan batugamping berumur Oligosen Tengah yang dapat
disetarakan dengan Formasi Tonasa.
Pada masa Mesozoikum, fragmen dari Superbenua Gondwana bergerak ke arah barat
laut dan mendekati jalur subduksi Paparan Sunda pada masa itu (Sribudiyani dkk.,
2003) (Gambar 2.3). Berikutnya, pada masa Kenozoikum, terjadi sejumlah peristiwa
tektonik di Sulawesi bagian barat (Mandala Sulawesi Barat), yakni:
Terjadi pemekaran lantai samudera di Selat Makasar pada Kala Paleogen.
Peristiwa ini menciptakan ruang untuk pengendapan material klastik yang
berasal dari Kalimantan.
Pada Miosen, terjadi peristiwa kompresional. Kompresi ini dipengaruhi oleh
tumbukan kontinen dari arah timur (Mandala Sulawesi Timur) dan fragmen-
fragmen busur kepulauan (Mikrokontinen Buton, Tukang Besi, dan Banggai
Sula) Peristiwa kompresi ini menghasilkan Jalur Lipatan Sulawesi Barat dan
sesar-sesar naik pada Mandala Sulawesi Barat (Gambar 2.4).
Pada Pliosen Awal, vektor tumbukan mengalami perubahan arah, yakni yang
mulanya berarah barat, kemudian bergeser relatif ke arah baratlaut hingga
utara. Akibat dari perubahan arah tumbukan ini adalah adanya sesar-sesar
mendatar dengan pola baratlaut-tenggara dan sesar-sesar naik pada Mandala
Barat dari Sulawesi. Aktifitas tumbukan ini masih berlangsung sampai kala
Resen yang menjadikan struktur Pulau Sulawesi seperti saat sekarang ini
(Gambar 2.4.).
13
Gambar 2.3. Perkembangan tektonik dari tepian timur Kraton Sunda (Sribudiyani dkk., 2003)
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian tidak terlepas dari peristiwa-
peristiwa tektonik yang terjadi di Sulawesi. Struktur geologi ini berupa sesar-sesar
mendatar yang berasosiasi dengan sesar-sesar naik (Gambar 2.4). Berdasarkan hasil
analisis struktur geologi, yakni seperti pola kelurusan dan arah pergerakan relatif sesar,
dapat diindikasikan bahwa deformasi di daerah Sulawesi dipengaruhi oleh aktivitas
Sesar Mendatar Palu-Koro dan terusan dari Sesar Mendatar Walanae yang berarah
baratlaut-tenggara (Sompotan, 2012).
14
Gambar 2.4. Struktur Geologi Regional Sulawesi (Priadi, 1993)
Pola struktur dari Sesar Mendatar Walanae searah dengan Sesar Geser Palu Koro di
Sulawesi Tengah (Van Leeuwen, 1981). Sesar Walanae ini terbagi dua yaitu Sesar
Walanae Barat dan Sesar Walanae Timur yang terbentuk pada Kala Plio-Plistosen.
Sesar utama yang berarah baratlaut-tenggara terjadi sejak Miosen Tengah dan tumbuh
hingga setelah Pliosen. Perlipatan yang berarah hampir sejajar dengan sesar utama
diperkirakan terbentuk sehubungan dengan adanya tekanan mendatar berarah kira- kira
timur-barat pada waktu sebelum akhir Pliosen. Tekanan ini mengakibatkan pula adanya
sesar sungkup lokal yang menyesarkan batuan Pra-Kapur Akhir di daerah Bantimala ke
atas batuan berumur Tersier.
15
Pola kelurusan yang terdapat di daerah penelitian ada dua, yaitu baratdaya-timurlaut dan
baratlaut-tenggara. Pola kelurusan ini mengindikasikan keberadaan struktur kekar di
daerah penelitian. Pola struktur ini dipengaruhi oleh struktur regional dari lengan
selatan Pulau Sulawesi.
16