Anda di halaman 1dari 6

idak hanya sebagai habitat flora dan fauna, Hutan Harapan juga merupakan rumah buat

masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) Batin Sembilan. Batin Sembilan merupakan kelompok
masyarakat yang hidup berkelana di alam bebas dan memiliki kearifan sendiri dalam mengelola
hutan.

Mereka memanfaatkan Hutan Harapan dengan mengambil hasil hutan bukan kayu, seperti rotan,
jerenang, madu sialang, getah jelutung, damar, serta tanaman obat-obatan. Hutan Harapan menjadi
kawasan hidup dan jelajah sekitar 300 kepala keluarga Batin Sembilan.

anpa solusi yang permanen, maka perambahan akan terus meluas dan mengancam keberadaan
Hutan Harapan. Jika dibiarkan, setapak demi setapak, kebun sawit dan karet akan merangsek maju
dan mencaplok kawasan hutan. Sebaliknya, jika pengelola bersikap tegas dan mengusir para
perambah, benturan dan konflik sosial jelas tak terhindarkan.

BUTUH KETEGASAN PEMERINTAH

Tempo berusaha menemui warga perambah hutan di sana. Salah seorang warga yang telah
membuka lahan dan bermukim di kawasan Kunangan Jaya I adalah Narwanto, 51 tahun. Total ada
400 keluarga di kawasan ini. Ketika diwawancarai, Narwanto berulangkali menegaskan keberatan
bila disebut sebagai perambah.

"Kami tidak pernah merasa ada konflik dengan PT Reki. Kami mulai membuka lahan di kawasan ini
sejak 2004, dan sudah lebih kurang 3.000 hektare lahan sudah kami tanam dengan karet dan sawit,"
katanya. Pria asal Ngawi Jawa Timur ini mengaku sadar kebun-kebun sawit dan karet miliknya ada
dalam kawasan hutan. Tapi, mereka mengaku tak punya pilihan untuk pindah. Dia malah berharap
bisa menjadi mitra PT Reki. "Kami meminta ketegasan pemerintah," katanya.

Untuk upaya penyelesaian konflik, Mangara menjamin PT Reki akan mengedepankan uji tuntas hak
asasi manusia, penanganan konflik yang bertanggungjawab, respek terhadap masyarakat adat dan
pengembangannya, serta patuh pada norma lokal, hukum nasional dan internasional. Namun, kata
dia, penegakan hukum terhadap para spekulan yang membuka lahan yang luas, harus tetap berjalan.

bila semua pihak berkomitmen, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, masyarakat adat dan
semua pihak terlibat semuanya akan bisa terselesaikan,
Hasil penelitian dan hasil kegiatan laboratorium tahun 2016 dapat dimanfaatkan oleh pengguna
untuk mendukung pelaksanaan penerapan program/kegiatan yang sedang dilaksanakan maupun
yang direncanakan tahun 2017. Hal ini sejalan dengan arahan Ibu Menteri LHK dan Bappenas, yaitu
bahwa penelitian dan pengembangan juga harus dapat berkontribusi penuh dalam menunjang
penyelesaian permasalahan pencemaran lingkungan dan kerusakan dan permasalahan kehutanan,
seperti masalah perubahan iklim, pengelolaan hutan dan produksi hutan yang berbasis pada
sustainable development.

engatakan bahwa isu lingkungan sering menjadi isu politik yang perlu ditangani dengan sebaik-
baiknya. Litbang harus bisa terlibat dalam penyelesaian segala persoalan di KLHK oleh karena itu kita
perlu melaksanakan penelitian-penelitian untuk mendukung penyelesaian persoalan termasuk
memberikan feedback, terutama dalam pengambilan keputusan. Keberhasilan dalam penanganan
permasalahan lingkungan hidup dan kehutanan tidak akan optimal hasilnya jika dilaksanakan oleh
satu unit saja. Oleh karena itu perlu ditingkatkan sinergitas atau keterpaduan dalam mengelola dan
menyelesaikan permasalahan-permasalahan lingkungan dan kehutanan. diharapkan pada tahun-
tahun berikutnya kegiatan penelitan dan kegiatan laboratorium dapat diintegrasikan sehingga
tercapai sinergitas yang termanfaatkan.

kegiatan yang dapat merusak hutan antara lain : penebangan hutan secara liar, ladang yang
berpindah-pindah, dan kebakaran hutan. oleh karena itu dibutuhkan kelembagaan yang baik untuk
mengatasi kerusakan hutan di Indonesia, serta pengelolaan untuk menjaga kelestarian hutannya.
selain itu, diperlukan adanya sinergi antar berbagai stakeholder, baik pemerintah, swasta, maupun
masyarakat setempat.

Faktor-faktor yang lain turut juga mempengaruhi terjadinya kerusakan hutan di Indonesia.
Dominasi kepentingan ekonomi, struktur birokrasi dan aparat pemerintah yang tidak tegas
dalam penegakan hukum dan sikap manusia yang bersifat antrophosentris (manusia sebagai
pusat) telah menambah kompleksitas penyebab rusaknya hutan Indonesia.

Tetapi jika karena kepentingan ekonomi tindakan exploitative dihalalkan itu akan menjadi
masalah dan inilah yang terjadi di Indonesia. Ini juga menimbulkan lemahnya penegakan
hukum oleh aparat pemerintah di Indonesia bahkan tidak sedikit yang ikut terlibat dalam
kejahatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Ketidak seriusan dan ketidak tegasan untuk
menindak dan mengungkap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pihak-pihak tertentu
terhadap hutan adalah indikasi belum adanya kemauan untuk mengasihi hutan.

Apresiasi terhadap hutan Indonesia masih minim, sebaliknya exploitasi sangat meningkat.
Hutan masih hanya sekedar objek ekonomi, belum diperlakukan seperti sahabat yang dicintai
dan dalam pengelolaannya belum diperlakukan dengan baik. Itulah masyarakat Indonesia,
yang terasing dari alamnya, terasing dari hutannya.
Dalam mengatasi kerusakan hutan di Indonesia, pemerintah membuat kebijakan sejalan
dengan pelaksanaan otonomi daerah dan UU No.41 tahun 1999 yaitu tentang pengolahan
hutan mulai dilakukan dengan community based management, dengan berusaha
memberdayakan masyarakat dalam seluruh kegiatan secara partisipatif dan
dipertanggungjawabkan kegiatan ini terhadap publik. Sebaiknya pemerintah membuat aturan-
aturan yang bisa dipertanggungjawabkan oleh pemerintah dan masyarakat.

Peranan penelitian dan pengembangan kehutanan terasa semakin penting. Oleh karena itu,
pelaksanaan penelitian perlu terus ditingkatkan, dengan memperhatikan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
diharapkan dapat menjadi penggerak, pendorong, dan pemandu kegiatan pembangunan
kehutan di Indonesia. Untuk mewujudkan harapan tersebut pemerintah terus mengupayakan
kerja sama dengan berbagai pihak seperti; Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat,
BPPT, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pihak Swasta dan lain-lain yang berminat dan
concern terhadap hutan dan kehutanan di Indonesia (Nasendi & Fauzi, 1996).

Dari sini terlihat jelas bahwa eksploitasi hutan masing tinggi sementara apresiasi untuk mengelola
hutan dengan baik belum mampu diupayakan dan dilakukan. Peran pemerintah yang telah membuat
kebijakan tentang pengolahan hutan, dirasakan masih belum mampu untuk menangani masalah
kerusakan hutan hal ini dikarenakan sistem birokrasi dan aparat pemerintah yang kurang tegas.
bukan hanya itu saja masyarakat juga memiliki hak atas pengelolaan hutan dengan mekanisme yang
jelas. Bukan sekedar membuat kebijakan yang masyarakat merasakan tidak ada manfaatnya sama
sekali.

Kerusakan hutan (deforestasi) masih tetap menjadi ancaman di Indonesia. Menurut data
laju deforestasi (kerusakan hutan) periode 2003-2006 yang dikeluarkan oleh Departemen
Kehutanan, laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,17 juta hektar pertahun.

Bahkan kalau menilik data yang dikeluarkan oleh State of the Worlds Forests 2007 yang
dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), angka deforestasi Indonesia
pada periode 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun. Laju deforestasi hutan di Indonesia ini
membuat Guiness Book of The Record memberikan gelar kehormatan bagi Indonesia
sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia.

Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, menurut Menteri
Kehutanan Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan sebelumnya menyebutkan angka 135 juta
hektar) sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah dijarah total sehingga tidak
memiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar hutan di Indonesia telah musnah.

Selain itu, 25 persen lainnya atau setara dengan 48 juta hektar juga mengalami deforestasi
dan dalam kondisi rusak akibat bekas area HPH (hak penguasaan hutan). Dari total luas htan
di Indonesia hanya sekitar 23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih
terbebas dari deforestasi (kerusakan hutan) sehingga masih terjaga dan berupa hutan primer.

Pembakaran hutan merupakan salah satu ancaman serius terhadap kerusakan hutan Indonesia.
Namun demikian, sampai saat ini belum banyak tindakan hukum yang telah diambil oleh
pemerintah terhadap para pembakar hutan, meskipun sudah ada peraturan perundangan
tentang larangan pembakaran hutan, di antaranya PP No. 4 Tahun 2001.
Generasi muda Indonesia mempunyai peranan penting untuk menjawab tantangan dalam
pengelolaan sumber daya alam. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh generasi muda
adalah dengan memperhatikan sektor pertanian. Salah satu ciri khas mengenai pemuda adalah
sifat inovatif-kreatifnya. Indonesia melalui pemuda potensialnya perlu memanfaatkan aneka
ragam sumber daya alam untuk membangun kemandirian pangan nasional melalui sektor
pertanian. Syaratnya, pemuda perlu secara serius menggali potensi lokalnya dalam hal
pangan, sesuai dengan lingkungan alam dan lingkungan budayanya. Peran pemuda yang
dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim melalui peningkatan sektor pertanian
adalah dengan belajar. Di mana para pemuda, harus mengenal terlebih dahulu apa
permasalahan yang mereka hadapi sehingga para pemuda bisa mengembangkan kreatifitas
yang dimiliki untuk menjawab permasalahan tersebut.

Selanjutnya, para pemuda harus mengembangkan rasa cintanya akan pertanian dan berani
untuk terjun langsung ke lapangan membantu para petani. Para pemuda khususnya
mahasiswa dapat membuat suatu tim dimana tim tersebut melakukan observasi dan
penelitian. Di mana pemuda melihat serta mencari potensi SDA yang memiliki potensi untuk
dikembangkan.Sumber daya tersebut seperti komoditas yang khas di daerah tersebut dan
cocok dengan lingkungannya. Penelitian dilakukan dalam rangka menganalisis masalah-
masalah pertanian seperti produksi yang rendah, masalah hama dan penyakit yang kemudian
dicarikan solusinya oleh para pemuda khususnya mahasiswa. Dengan berbekal ilmu yang
didapat dari bangku kuliah, penelitian akan mampu dilaksanakan.

Kegiatan yang dapat dilakukan selain observasi dan penelitian adalah kerjasama dengan
organisasi lokal, sosialisasi, dan juga pelatihan para petani agar para petani mengetahui
informasi-informasi tentang perubahan iklim yang akan berdampak ke hasil pertaniannya dan
dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut.
Dalam penanganan terhadap kebakaran hutan dan lahan gambut, pencegahan adalah usaha
paling efektif dan efisien. Upaya pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan menjaga
gambut permukaan tetap lembab, air tanah cukup dangkal karena aliran kapiler relatif tidak
terjadi karena pori gambut sangat besar, serta melakukan pemadaman awal.

Untuk itu semua perlu dilakukan penyusunan strategi implementasinya dan role sharing di
antara berbagai pihak yang langsung berkepentingan, misal dalam mengelola air diperlukan
kerjasama antara PUPR, KLHK, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri, Tata
Ruang BPN, Bappenas, BNPB, praktisi, pengamat lingkungan dan akademisi.
Restorasi Ekosistem (RE) merupakan upaya untuk memulihkan kondisi hutan alam
sebagaimana sedia kala sekaligus meningkatkan fungsi dan nilai hutan baik ekonomis
maupun ekologis. Izinnya yang dinamakan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. Lokasinya berada
di hutan alam produksi.

Restorasi Ekosistem sendiri adalah upaya pengembalian unsur hayati (flora dan fauna) dan
nonhayati (tanah, iklim, tofograpi) suatu kawasan kepada jenis aslinya berikut keseimbangan
hayati dan ekosistemnya. Bila selama ini kayu sebagai primadona, melalui RE banyak jenis
manfaat yang bisa dipetik. Mulai dari tanaman biofarmaka (obat) dan bioenergi, penyerap
karbon, ekowisata dan ilmu pengetahuan, hingga jasa lingkungan. Hasil kayunya juga dapat
dimanfaatkan berbarengan dengan komoditas hasil hutan bukan kayu (non-timber forest
products) seperti madu, jernang, rotan, bambu, getah, dan buah-buahan.

Perubahan iklim terjadi akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) dan karbon
dioksida (CO2) yang berimplikasi pada meningkatnya permukaan air laut. Perubahan iklim
ini tentunya berdampak negatif terhadap seluruh negara di dunia, terlebih negara kepulauan.
Berdasarkan laporan World Bank dan Regional and Coastal Development Centre of ITB
(2007), perubahan iklim akan berdampak serius pada Indonesia. Diperkirakan, dalam 30
tahun ke depan, sekitar 2.000 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam ketika peningkatan air
laut mencapai 0,80 m.

Negara-negara di dunia pun sepakat untuk menangani hantu perubahan iklim ini dengan
berbagai cara. Namun, secara umum yang sering didengungkan adalah melalui mitigasi dan
adaptasi. Mitigasi merupakan upaya untuk mengurangi meningkatnya peredaran GRK ke
atmosfer yang sangat penting melindungi bumi dari pancaran langsung sinar matahari.
Sedangkan adaptasi adalah upaya cerdas kita menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi
lingkungan yang berubah akibat iklim yang berubah juga.

Anda mungkin juga menyukai