Saya di temani Pak Abu Zundaka, orang Balikpapan yang sengaja saya ajak keliling di Kal-Sel
dan Kal-Teng untuk belajar walet secara langsung.
Pak Abu ini kelahiran Balikpapan, namun bukan penduduk asli setempat, melainkan keturunan
India. Bersama kakaknya, Pak Wahid, ingin membangun gedung walet yang hasilnya sebagian
untuk menyantuni anak yatim.
Pak Abu saya ajak ke gedung saya yang ada diKapuas, untuk belajar bagaimana cara simple
membangun gedung yang kondusif bagi burung berliur mahal ini. Kebetulan proses
pembangunannya hampir selesai. Saya tunjukkan ilmu standar misalnya bagaimana agar kondisi
gedung sejuk dan kelembapan terpenuhi dengan baik. Bagaimana membuat formasi pemasangan
papan sirip, agar walet mudah menempel, dan hal yang spesifik lain yang tentu tidak saya tulis
dalam buku maupun di artikel umum lainnya.
Sebelum masuk Kapuas, saya singgah sebentar di gedung walet milik Pak Adi Chandra di daerah
Anjir. Beliau adalah teman lama, yang sebelumnya hampir putus asa karena gedung walet yang
telah dia bangun, tetap kosong. Namun sekarang beliau bisa bernafas lega karena setelah saya
turun tangan, ratusan walet kini telah tidur nyenyak di gedung waletnya.
Saya memang perlu untuk mengontrol gedung Pak Adi, karena beberapa bulan yang lalu sempat
di panen malam hari oleh tamu tak diundang, alias maling. Maling menyatroni gedung walet itu
dengan cara membongkar gembok pintu besi. Sarang waletnya dipanen habis. Telur berjatuhan
dilantai, dan anak piyik berserakan tewas menggenaskan.
Esok hari setelah kejadian itu, Pak Adi memang sempat telepon dengan sangat cemas, takut
populasi waletnya stress dan tak mau pulang lagi. Saya bilang, jangan kuatir pak, nanti waletnya
pasti pulang lagi, bahkan dalam jumlah yang lebih banyak karena membawa teman-temannya.
Kenapa bisa begitu? Tanya Pak Adi menyelidik. Iya, karena ketua koloni walet sudah saya SMS,
mereka harus pulang lagi dan harus membawa rombongan baru. Kata saya menghibur. Pak Adi
tersenyum tapi tak tak percaya.
Maka, kedatangan saya kemarin, sekaligus untuk membuktikan, bahwa biarpun telah disatroni
maling, populasi walet tetap pulang kembali ke gedungnya bahkan dengan membawa teman-
temannya. Kali ini Pak Adi tersenyum percaya, karena sejak kasus kemasukan maling itu,
memang terbukti jumlah populasi waletnya meningkat.
Kasus gedung walet disatroni maling, memang sering terjadi. Beberapa teman sering
mengabarkan kasus gedungnya kemasukan maling. Dan kenyataannya, pada 3 bulan kemudian,
justru jumlah burungnya meningkat. Kenapa bisa begitu? Jawabnya mungkin bisa kita kupas di
lain waktu.
Sekitar jam 9 pagi kami masuk gedung pak Adi. Pintu besi dibuka danaroma amoniak tercium
sedap menyengat. Tahi walet menumpuk di berbagai tempat. Saya periksa semua lantai dan
papan sirip dengan senter. Saya naik ke lantai dua, tiga, empat dengan sedikit terenggah-engah
karena sistem tangganya yaitu tangga vertikal, istilahnya tangga kapal.
Saya masuk ke salah satu nesting room. Senter saya arahkan ke seekor burung yang menempel di
papan sirip dengan posisi yang aneh. Subhanalllah.seekor walet sedang membuat sarangnya.
Saya panggil Pak Abu juga Pak Adi. Kami bertiga melihat proses walet sedang membikin sarang
dalam jarak 3 meter. Senter tetap saya arahkan ke walet itu, dan walet itu terus melanjutkan
aktifitasnya tanpa merasa terganggu atas kedatangan kami.
Kami bertiga memandangi dengan seksama proses itu, melihat paruhnya mematuk-matuk papan
sirip secara teratur sambil mengeluarkan liur. Gerakan patokan paruh walet sangat cepat, seperti
jarum mesin jahit yang mengeluarkan benang di kain. Kedua kaki walet berpijak di fondasi
sarang yang sudah kering yang dibuat hari sebelumnya. Saat walet bikin sarang tak ada suara
sama sekali. Ini karena paruhnya sedang bekerja mengeluarkan liur dari kerongkongannya. Jadi,
kalau ada orang menjual CD walet lagi bikin sarang, tentu itu mengada-ada.
Kami mengamati walet yang lagi bikin sarang di pagi itu, hampir 10 menit. Setelah itu walet
terbang keluar gedung. Kami segera mendekat, melihat bekas-bekas liur basah yang tersusun rapi
di papan sirip. Cukup jelas melihatnya, karena ketinggian lantai di gedung walet Pak Adi hanya
2.10 meter saja. Lebar papan sirip 20 cm. Jadi, cukup berdiri di lantai bisa melihat dan
memegang sarang. Kami geleng-geleng kepala melihat betapa telatennya induk walet merajut
sarang demi untuk kelangsungan generasinya. Saat itu walet yang lagi bikin sarang, baru selesai
sekitar 10 %.