Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan modern ini, filosofi makan telah mengalami pergeseran, di


mana makan bukanlah sekadar untuk kenyang, tetapi yang lebih utama adalah untuk
mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran yang optimal. Dengan makin meningkatnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka tuntutan konsumen terhadap
bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak diminati
konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan
cita rasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh.
Membanjirnya produk pangan eksklusif berlabel kesehatan, mulai dari rumput laut, sari
pati ayam, sari hati ikan hiu, sampai "susu pintar", berbagai jenis "minuman berkhasiat"
yang diklaim dapat menyegarkan dan memberi pasokan tenaga ekstra dalam
waktu singkat, telah merangsang masyarakat untuk mengonsumsinya. Salah satu pemicu
merebaknya pemasaran produk pangan yang umumnya produksi luar negeri tersebut
adalah kegiatan penjualan langsung dari rumah ke rumah oleh para distributor dari
berbagai perusahaan Multi Level Marketing.
Perkembangan lebih lanjut, kini muncul produk pangan yang secara nutrisi telah
dimodifikasi, dan secara terbuka (dalam labelnya) diklaim memiliki khasiat kesehatan
tertentu. Produk pangan jenis ini dikenal sebagai makanan fungsional (functional food),
atau di Jepang disebut FOSHU (Food for Specified Health Use), yang antara lain
mencakup minuman yang mengandung mineral (kalsium), vitamin dan serat terlarut
(soluble fibre), termasuk biskuit rendah kalori yang diperkaya dengan serat (dietary
fibre).
Produk baru, yang sering disebut-sebut sebagai kandidat makanan masa depan
ini, ternyata sangat berhasil di pasaran Asia, khususnya di Jepang. Keberhasilan ini
juga disusul hasil serupa di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Keberhasilan
pemasaran makanan fungsional memacu munculnya berbagai produk inovasi baru.
Misalnya, baru-baru ini, di Jepang telah diakui dua jenis makanan fungsional baru, yaitu
beras hypoallergenic dan susu rendah fosfat. Yang disebutkan pertama diklaim
mampu mencegah sejenis penyakit kulit (atopic dermatitis); sedang susu rendah fosfat
cocok bagi penderita penyakit ginjal kronis.
Di Jepang, lisensi makanan fungsional hanya diberikan pada produk-produk
makanan yang memang memenuhi syarat-syarat kesehatan. Lisensi akan diberikan
setelah terlebih dahulu dilakukan pengujian yang menyeluruh terhadap produk
yang bersangkutan, khususnya mengenai jenis dan komposisi bahan-bahan dipakai.
Produk makanan fungsional harus memenuhi kriteria yang berkaitan dengan dasar
(ilmiah) klaim kesehatan, takaran dan keamanan konsumsi, serta bentuk penyajian
yang tentu saja, harus berbeda dengan produk obat-obatan. Dalam regulasi FDA (Food
and Drug Administration) Amerika Serikat, yang diintroduksikan dua tahun yang lalu,
telah diizinkan beberapa jenis klaim kesehatan untuk produk pangan. Pangan yang
disetujui pelabelannya harus mengandung nutrien yang bila dikonsumsi dalam jumlah
tertentu memiliki pengaruh positif terhadap risiko penyakit (misalnya: kalsium), atau
nutrien yang dikhawatirkan (misalnya: lemak) di bawah kadar tertentu.
Klaim khasiat yang diizinkan oleh FDA mencakup tujuh hubungan, antara lain:
antara kalsium (Ca) dengan pengurangan risiko osteoporosis (keropos tulang), atau
antara natrium (Na) dengan tekanan darah tinggi, tetapi tidak untuk hubungan
antara serat dengan kanker, juga tidak untuk seng (Zn) dengan fungsi kekebalan.

2.2 Tujuan Penyusunan Makalah:


a. Mengetahui keamanan makanan terutama dalam zat pewarna yang digunakan
dalam makanan.
b. Mengetahui macam-macam zat warna yang digunakan pada produk makanan.
c. Mengetahui kandungan zat pewarna

2.3 Perumusan Masalah :


1.Keamanan makanan terutama pada kandungan zat pewarna dalam makanan.
2.Manfaat zat pewarna makanan
3.Bahaya-bahaya zat pewarna pada makanan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Makanan Fungsional

Dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan


pangan, bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi dan kelezatannya, tetapi juga
pengaruhnya terhadap kesehatan tubuhnya (Goldberg, 1994). Kenyataan tersebut
menuntut suatu bahan pangan tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan dasar tubuh (yaitu
bergizi dan lezat), tetapi juga dapat bersifat fungsional. Dari sinilah lahir konsep pangan
fungsional (fungtional foods), yang akhir-akhir ini sangat populer di kalangan masyarakat
dunia. Istilah makanan fungsional pertama kali muncul di Jepang. Pada tahun 1984,
pemerintah Jepang mengalokasikan dana penelitian untuk mempelajari makanan
fungsional atau Foods for Specific Health Uses (FOSHU). Pemerintah Jepang
mendefinisikan makanan fungsional sebagai:

Food products fortified with special constituents that possess advantageous


physiological effects.

Produk-produk makanan yang diperkaya dengan unsur pokok khusus yang


memberikan keuntungan efek-efek fisiologik

Makanan fungsional oleh pemerintah Jepang diundangkan secara formal dalam


kategori makanan yang disebut FOSHU. Untuk memenuhi syarat, makanan harus
memenuhi tiga syarat nutrisional: (1) terbukti keefektifannya dalam studi-studi klinik, (2)
Aman dalam studi klinik dan non-klinik, dan (3) Komponen-komponen aktif/efektif
dapat dibuktikan.

Setelah Jepang makanan fungsional berpindah ke Eropa, peneliti mendefinisikan


makanan fungsional menggunakan statemen berikut:

Food products can only be considered functional if together with the basic nutritional
impact it has beneficial effects on one or more functions of the human organism thus
either improving the general and physical conditions or/and decreasing the risk of the
evolution of diseases

Saat ini, Uni Eropa mengkategorikan makanan sebagai: conventional foods, modified
foods, foods for special dietary use and medical foods. Tidak seperti Jepang, pemerintah
Uni Eropa tidak memiliki definisi formal untuk "functional foods." Menurut European
Commission Concerted Action on Functional Food Science in Europe (FUFOSE) dan
ASSCLAIM, penyedia makanan diijinkan untuk membuat dua tipe klaim: klaim
nutrisional dan/atau kesehatan. klaim nutrisional merujuk pada kemampuan makanan
untuk mencegah, mengatur atau mengobati penyakit. Untuk makanan yang berlabel
kesehatan, harus didukung oleh fakta ilmiah yang signifikan, mirip dengan proses
aplikasi FOSHU Jepang. Langkah-langkah tersebut adalah: (1) makanan atau komponen
aktif harus diidentifikasi, (2) studi-studi klinik dan meta-analisis harus dilakukan, (3)
point akhir kesehatan harus diukur apakah secara langsung atau melalui penanda efektif,
(4) manfaat kesehatan harus signifikan secara statistik. Sebagai bagian dari prakarsa Uni
Eropa untuk meregulasi makanan "labelling, presentation, dan advertising," syarat-syarat
untuk klaim kesehatan sangat ketat. Lebih jauh lagi, pengusaha makanan fungsional
menghadapi biaya pengujian yang mahal. Dengan kata lain, tidak adanya satu definisi
yang jelas dapat memicu regulasi berlebihan dari klaim kesehatan di Uni Eropa,
menghalangi perkembangan makanan fungsional disana.

Sementara di Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA) mengakui


suplemen-suplemen diet dan makanan medis, United States Department of Agriculture
(USDA) tidak memiliki definisi formal untuk "functional food". Celah dalam legislasi
federal Amerika Serikat ini menciptakan tantangan bagi para peneliti dan pengusaha yang
ingin menjual atau mengedukasi masyarakat tentang makanan fungsional. Untuk
menangani hal ini, FDA baru-baru ini meluncurkan panduan untuk menilai klaim
kesehatan, dengan judul evidence-based review system for the scientific evaluation of
health claims. Seperti Jepang dan Eropa, Amerika Serikat sepertinya akan mereview
secara sistematik klaim kesehatan sehingga arti dari klaim kesehatan lebih jelas. Dibawah
sistem review berbasis fakta, pabrikan makanan dapat menampilkan klaim nutrient
content, klaim health, atau klaim structure/function.
Definisi lain muncul dari departemen pemerintah, organisasi nasional dan internasional
untuk makanan fungsional.

The National Academy of Sciences Food and Nutrition Board di Amerika Serkat percaya
bahwa "functional food" adalah:

"Beberapa makana yang dimodifikasi atau unsur makanan yang dapat menyediakan
manfaat kesehatan melebihi nutrisi tradisional yang dikandungnya ".

Senada dengan itu, Institute of Food Technologists (IFT) mendefinisikan "functional


foods" sebagai:

"[S]ubstances [that] provide essential nutrients often beyond quantities necessary for
normal maintenance, growth, and development, and/or other biologically active
components that impart health benefits or desirable physiological effects".

Dua definisi ini hampir sama dengan definisi Uni Eropa dalam menekankan pada ide
bahwa makanan fungsional memperbaiki kesehatan selain menyediakan nutrisi dasar.

Terakhir American Dietetic Association (ADA), suatu organisasi yang menonjol dalam
nutrisi dan ahli-ahli dietetik, memberi definisi "functional foods:"

whole, fortified, enriched or enhanced that should be consumed regularly and at


effective amounts in order to derive health benefits [24-27].

While the ADAs definition contains the same theme as the rest, it does not emphasize
how functional food promotes health and reduces disease. In the U.S. alone, scientific
organizations interpret the term functional food differently. Although IFT, The
National Academy of Sciences, and the ADA concur on the essence of what functional
food is, their definitions vary in detail, specificity, and focus. This fact demonstrates the
need for a unifying definition in the United States and abroad. After a formal definition
is established, scientific organizations will more easily be able discuss about the future
of functional food.
In 2012 at the FFCs 10th International Conference in Santa Barbara, CA, we
announced a new proposed definition for functional food: [40]

Natural or processed foods that contains known or unknown biologically-active


compounds; which in defined amounts provide a clinically proven and documented
health benefit for the prevention, management, or treatment of chronic disease.

Definisi pangan fungsional menurut Badan POM adalah pangan yang secara alamiah
maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan
kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang
bermanfaat bagi kesehatan. Serta dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau
minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita
rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Selain tidak memberikan kontra indikasi dan
tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap
metabolisme zat gizi lainnya. Dari beberapa definisi yang telah diuraikan di atas
dapatlah dikatakan bahwa pada dasarnya pangan fungsional adalah pangan yang karena
kandungan komponen aktifnya diluar kandungan zat gizinya dapat memberikan
manfaat bagi kesehatan, merupakan bagian dari diet sehari-hari dan memiliki sifat
sensoris yang dapat diterima.

2. Syarat-syarat makanan fungsional


Jepang merupakan negara yang paling tegas dalam memberi batasan mengenai
pangan fungsional, paling maju dalam perkembangan industrinya. Para ilmuwan Jepang
menekankan pada tiga fungsi dasar pangan fungsional, yaitu:
1. Sensory (warna dan penampilannya yang menarik dan cita rasanya yang enak),
2. Nutritional (bernilai gizi tinggi), dan 3. Physiological (memberikan pengaruh
fisiologis yang menguntungkan bagi tubuh).

Beberapa fungsi fisiologis yang diharapkan dari pangan fungsional antara lain
adalah:
1. Pencegahan dari timbulnya penyakit,
2. Meningkatnya daya tahan tubuh,
3. Regulasi kondisi ritme fisik tubuh,
4. Memperlambat proses penuaan, dan
5. Menyehatkan kembali (recovery).

Menurut para ilmuwan Jepang, beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh suatu
produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah:

1. Harus merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk) yang
berasal dari bahan (ingredien) alami
2. Dapat dan layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet atau menu sehari-hari,
3. Mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna, serta dapat memberikan peran dalam
proses tubuh tertentu, seperti: memperkuat mekanisme pertahanan tubuh,
mencegah penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit
tertentu, menjaga kondisi fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan.

Dari konsep yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan, jelaslah bahwa pangan
fungsional tidak sama dengan food supplement atau obat. Pangan fungsional dapat
dikonsumsi tanpa dosis tertentu, dapat dinikmati sebagaimana makanan pada umumnya,
serta lezat dan bergizi. Peranan dari makanan fungsional bagi tubuh semata-mata
bertumpu kepada komponen gizi dan non gizi yang terkandung di dalamnya. Komponen-
komponen tersebut umumnya berupa komponen aktif yang keberadaannya dalam
makanan bisa terjadi secara alami, akibat penambahan dari luar, atau karena proses
pengolahan (akibat reaksi-reaksi kimia tertentu atau aktivitas mikroba).

3. Komponen aktif dalam makanan fungsional

Komponen bioaktif adalah senyawa aktif dalam makanan fungsional yang bertanggung
jawab atas berlangsungnya reaksi-reaksi metabolisme yang menguntungkan kesehatan.
Di Jepang pada tahun 1991 The Japanese of Health and Welfare telah mengidentifikasi
ingredien yang memperbaiki kesehatan yaitu: serat makanan, oligosakarida, gula
alkohol, asam-asam amino, peptida dan protein, glikosida, alkohol, isoprenoid dan
vitamin, kolin, bakteri asam laktat (BAL), mineral, polyunsaturated fatty acids (PUFA),
fitokemikal dan antioksidan (Goldberg, 1994). Selanjutnya menurut Subroto (2008)
komponen bioaktif yang ada pada makanan fungsional adalah : karotenoid (beta-
karoten, lutein dan likopen), serat makanan (serat tak larut, beta-glukan, serat terlarut),
asam lemak [Mono unsaturated fatty acids (MUFA), Poly unsaturated fatty acids
PUFA)], flavonoid (antosianin, flavanol, flavanon, flavonol, proantosianidin),
isothiosianat (sulforafan), mineral (Ca, Mg, K, Se), asam fenolat (as.kafeat, as.ferulat),
stanol/sterol tanaman (stanol/sterol bebas, stanol/sterol ester), polyol (gula alkohol ;
xylitol, sorbitol, manitol, laktitol), prebiotik [inulin, FOS (fructooligosacharida),
polidekstrosa], probiotik (khamir, Lactobacilli), fitoestrogen (isoflavon, lignan), protein
kedelai, sulfida/thiol (diallyl sulphida, allyl methyl trisulphida, dithiolthion) dan vitamin
(A, B1, B2, B3, B5, B6, B9, B12, Biotin, C, D dan E). Antioksidan yang ada pada buah
dan sayuran antara lain vitamin C, vitamin E, karotenoid, glukosinolat dan polifenol
(Blasa et al. 2010). Berikut ini dijelaskan beberapa contoh komponen bioaktif yaitu
serat makanan, pati resisten, inulin, fruktooligosakarida (FOS), antioksidan, PUFA,
probiotik, prebiotik dan simbiotik serta efeknya terhadap kesehatan.

Serat Pangan dan Pati Resisten. Serat pangan merupakan bagian dari tanaman yang
tidak bisa dicerna oleh ensim pencernaan dalam usus halus manusia sehat terutama
terdiri dari polisakarida bukan pati dan lignin (Trowel, 1972 dalam Marsono, 2007).
Serat pangan meliputi polisakarida, karbohidrat analog, oligosakarida, lignin, dan bahan
yang terkait dengan dinding sel tanaman (waxes, cutin, suberin). Karbohidrat analog
yang dimaksudkan dalam definisi ini meliputi dekstrin tak tercerna, pati resisten dan
senyawa karbohidrat sintetis (polydekstrosa, metil selulosa dan hydroxypropylmethyl
selulosa). Secara fisiologis, pati resisten didefinisikan sebagai jumlah dari pati dan hasil
pencernaan pati yang tidak diserap di dalam usus halus individu sehat (Marsono, 2007;
Lattimer dan Haub, 2010). Efek kesehatan dari makanan fungsional sumber serat dan
pati resisten sangat berhubungan dengan efek fisiologis serat pangan. Serat pangan
memberikan viskositas yang tinggi pada digesta. Sifat ini dapat mengurangi absorpsi
glukosa dan kolesterol, sehingga konsumsi serat pangan yang tinggi dapat mencegah
diabetes maupun hiperkolesterol. Serat pangan di dalam kolon akan terfermentasi
menghasilkan asam lemak rantai pendek [short chain fatty acids (SCFA)], diantaranya
asetat, propionat dan butirat yang dilaporkan dapat mencegah kenaikan kolesterol
(propionat) atau mencegah kanker kolon (butirat). Kapasitas pengikatan air yang besar
dari serat pangan dapat mengakibatkan digesta (isi usus) ruah dan berkadar air tinggi
sehingga mencegah konstipasi maupun divertikulosis. Kemampuan mengikat molekul
organik dapat mengakibatkan terikatnya empedu dan akhirnya dapat menurunkan
kolesterol. Dengan demikian jelas bahwa serat pangan dapat mencegah diabetes type II,
mencegah hiperkolesterolemia serta menyehatkan kolon (mencegah konstipasi,
divertikulosis dan kanker kolon) (Muchtadi, 2001; Kusharto, 2006; Marsono, 2007;
Santosa, 2011) Pangan sumber serat pangan antara lain bekatul, sayur, buah, serealia,
dan rumput laut.

Inulin dan FOS Inulin merupakan oligosakarida yang mengandung fruktosa yang
terdapat dalam tanaman. Senyawa tersebut terdiri dari unit-unit fruktosa (dengan ikatan
(2-1) glikosida dan gugus terminal berupa glukosa. Inulin tanaman mengandung 2-150
unit fruktosa. FOS adalah oligosakarida mengandung 2-10 unit fruktosa, dihubungkan
dengan ikatan glikosidik. Inulin dan FOS tidak dicerna dalam usus halus, sehingga nilai
kalorinya rendah dan difermentasi oleh mikroflora di dalam kolon serta menstimulir
bifidobacteria. Ikatan (2-1) glikosida ini tahan terhadap pencernaan ensim, dan
merupakan sifat yang spesifik pada inulin. Efek kesehatan inulin dan FOS antara lain:
mengurangi konstipasi, menambah frekuensi ke belakang, melunakkan feses,
menaikkan kadar air feses, meningkatkan bifidobakteri, laktobasili serta menurunkan
Enterobakteri dan Clostridium perfringen. Inulin dan FOS banyak terdapat dalam :
bawang merah, bawang putih, pisang dan asparagus (Marsono, 2007; Kusharto,2006).

Antioksidan. Banyak jenis antioksidan alami terdapat di berbagai bahan pangan, antara
lain kelompok karotenoid dan flavonoid (Marsono, 2007; Subroto, 2008). Ada beberapa
macam karotenoid, terdapat pada bahan pangan misalnya wortel, labu kuning, ketela
rambat (beta karoten), jeruk, telur, jagung (lutein, zeaxantine), serta tomat, semangka
dan anggur (lycopene). Antioksidan kelompok karotenoid telah diklaim memiliki efek
menyehatkan antara lain (i) dapat menetralkan radikal bebas yaitu suatu senyawa yang
dapat merusak sel dan mengakibatkan timbulnya penyakit kanker, (ii) meningkatkan
pertahanan oksidasi, (iii) membantu menyehatkan mata, (iv) membantu meningkatkan
kesehatan prostat, serta membantu mencegah timbulnya penyakit jantung (Anonim,
2006 dalam Marsono, 2007). Antioksidan kelompok flavonoids antara lain berupa
senyawa-senyawa antosianin, flavanols, flavonones, flavonols serta proanthocyanidin.
Jenis antioksidan ini banyak terdapat pada buah-buahan (berry, cerry, anggur dan apel),
teh, coklat, bawang merah, brokoli dan kacang tanah. Efek kesehatan yang bisa
ditimbulkan menurut Marsono (2007) antara lain : (i) meningkatkan pertahanan
antioksidan tubuh, (ii) memperbaiki fungsi otak, (iii) menjaga kesehatan jantung, (iv)
menetralkan radikal bebas. Isoflavon (daidzein, genistein) banyak terdapat di dalam
kedelai dapat membantu mempertahankan kesehatan tulang dan otak serta
meningkatkan kekebalan. Vitamin C dan vitamin E merupakan dua jenis vitamin
antioksidan yang terdapat banyak pada buah-buahan dan biji-bijian sangat bagus untuk
menetralkan radikal bebas, meningkatkan kesehatan tulang dan jantung serta
meningkatkan kekebalan tubuh. Vitamin E memiliki fungsi antioksidan yang signifikan
pada membran sel dan lipoprotein. Menurut Subroto (2008) salah satu jenis mineral
yang bersifat antioksidan yaitu selenium (Se) yang terdapat pada bahan pangan seperti
ikan, daging merah, biji-bijian, bawang putih, hati dan telur berfungsi untuk
menetralkan radikal bebas yang dapat merusak sel, dan meningkatkan kekebalan tubuh.
Epigallocatechin gallate (EGCG) adalah komponen bioaktif paling dominan dalam teh
yang bermanfaat bagi kesehatan.(Khomsan, 2006). Sebagai antioksidan yang kuat,
EGCG mempunyai kemampuan mengusir radikal bebas dan juga berfungsi untuk
antiatherogenic, antithrombotic dan antimicrobial.

PUFA PUFA merupakan komponen bioaktif yang banyak terdapat pada bahan pangan
hewani. PUFA khususnya asam lemak Omega 3, banyak terdapat dalam salmon, tuna,
minyak ikan, kenari dan rami berpotensi untuk mengurangi resiko penyakit jantung
koroner, dan memabantu memperbaiki kesehatan mental dan fungsi penglihatan
(Marsono, 2007; Subroto, 2008)

Probiotik, Prebiotik dan Sinbiotik Probiotik didefinisikan sebagai mikroba hidup yang
ditambahkan pada makanan untuk kebutuhan diet dan memberi efek kesehatan bagi
inangnya dengan cara meningkatkan keseimbangan mikroflora usus (Neha et al, 2012),
sedangkan menurut FAO/WHO (2002 dalam Marsono, 2007), probiotik adalah mikroba
hidup yang masuk dalam jumlah yang cukup (106-108 cfu/ml) sehingga dapat
memberikan manfaat kesehatan bagi inangnya. dan diharapkan dapat berkembang
menjadi 1012 cfu/ml di dalam kolon. Bakteri yang umum digunakan sebagai sumber
probiotik sebagian besar berasal dari golongan bakteri asam laktat. Beberapa jenis
bakteri yang termasuk dalam bakteri probiotik diantaranya Lactobacilli (Lactobacillus
casei, L. plantarum), Bifidobacteria (Bifidobacterium bifidum, B. breve) (Grajek et al,
2005; Neha et al, 2012).
Bakteri asam laktat dapat digolongkan sebagai probiotik jika memenuhi beberapa
persyaratan antara lain : 1. Suatu probiotik harus non-patogenik yang mewakili
mikroflora normal usus dari inang tertentu serta masih aktif pada kondisi asam lambung
dan konsentrasi garam empedu yang tinggi dalam usus halus. 2. Suatu probiotik yang
baik harus mampu tumbuh dan bermetabolisme dengan cepat serta terdapat dalam
jumlah yang tinggi dalam usus. 3. Probiotik dapat memproduksi asam-asam organik
secara efisien dan memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri merugikan. 4. Mudah
diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar, dan hidup selama
kondisi penyimpanan Prebiotik merupakan ingredien bahan pangan yang tidak
tercerna yang berfungsi menstimulasi pertumbuhan dan atau aktivitas dari satu atau
lebih bakteri tertentu dalam usus besar, yang dapat memperbaiki kesehatan inang
(Sekhon dan Jairath, 2010; Neha et al, 2012). Banyak pangan dengan oligosakarida atau
polisakarida (termasuk serat pangan) yang diklaim mempunyai aktivitas prebiotik,
meskipun tidak semua karbohidrat pangan adalah prebiotik. FOS, inulin dan
oligofruktosa adalah contoh prebiotik yang ditambahkan kedalam pangan olahan dan
suplemen (Sekhon dan Jairath, 2010). Penelitian mengenai pengaruh probiotik dan atau
prebiotik terhadap profil lipid telah dilaporkan oleh (Ooi dan Liong, 2010). Hasilnya
menunjukkan bahwa hanya probiotik (L. plantarum) dan prebiotik (inulin) jenis tertentu
menyebabkan penurunan kadar kolesterol, sedangkan yang lainnya tidak.

Sinbiotik didefinisikan sebagai suatu kombinasi dari prebiotik dan probiotik (Sekhon
dan Jairath, 2010; Neha et al., 2012) yang menguntungkan inang dengan meningkatkan
pertahanan dan implantasi suplemen makanan yang mengandung mikroba hidup dalam
saluran pencernaan dengan secara selektif memicu pertumbuhan dan atau mengaktifkan
metabolisme dari sejumlah bakteri baik sehingga meningkatkan kesehatan inangnya.
Prebiotik, probiotik, dan sinbiotik mempunyai aplikasi farmasi yang potensial
disamping manfaat gizinya, seperti meningkatkan level pertumbuhan bakteri tertentu
dalam saluran pencernaan manusia yang diimplikasikan sebagai faktor pertahanan tidak
saja untuk kerusakan di usus tetapi juga sistemik. Konsep sinbiotik banyak
dikembangkan terutama di bidang pangan yaitu pangan sinbiotik. Salah satu jenis
pangan sinbiotik yang populer adalah yoghurt sinbiotik yang terbuat dari hasil
fermentasi susu oleh bakteri probiotik misalnya golongan Lactobacillus dan
Bifidobacterium dengan ditambahkan sumber prebiotik seperti FOS,
galaktooligosakarida (GOS), dan inulin. Selanjutnya Astawan (2011) memberikan
contoh-contoh komponen aktif yang terdapat secara alami dalam bahan pangan sebagai
berikut: 1. Nerodiol dan linalool pada teh hijau yang berperan untuk mencegah karies
gigi dan mencegah kanker; 2. Komponen sulfur pada bawang-bawangan yang berfungsi
untuk mencegah agregasi platelet dan menurunkan kadar kolesterol; 3. Kurkumin pada
rimpang kunyit dan l-tumeron pada rimpang temulawak yang berkhasiat untuk
pengobatan berbagai penyakit; 4. Daidzein dan genestein pada tempe yang berperan
untuk menurunkan kolesterol dan mencegah kanker; 5. Serat pangan dari berbagai
sayuran, buah-buahan, serealia, dan kacang-kacangan yang berperan untuk pencegahan
timbulnya berbagai penyakit yang berkaitan dengan proses pencernaan; serta 6.
Komponen volatil yang terdapat pada bunga melati (jasmin), chrysant dan chamomile
yang aromanya sering digunakan sebagai aromaterapi.

JENIS-JENIS PANGAN FUNGSIONAL

Jenis-jenis pangan fungsional secara umum dibagi berdasarkan dua hal, yaitu
berdasarkan sumber pangan dan cara pengolahannya (Subroto,2008)

Berdasarkan Sumber Pangan Pangan fungsional digolongkan menjadi dua, yaitu


pangan fungsional nabati merupakan pangan fungsional bersumber dari bahan
tumbuhan (contohnya kedelai, beras merah, tomat, anggur dan bawang putih) dan
pangan fungsional hewani merupakan pangan fungsional bersumber dari bahan hewan
(contohnya ikan, daging dan susu).

Berdasarkan Cara Pengolahannya Pangan fungsional digolongkan menjadi tiga


kelompok yaitu : Pangan fungsional alami merupakan pangan fungsional yang sudah
tersedia di alam tanpa perlu pengolahan sama sekali. Contohnya buah-buahan dan
sayur-sayuran segar yang bisa langsung dimakan. Pangan fungsional tradisional
merupakan pangan fungsional yang diolah secara tradisional mengikuti cara pengolahan
yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut Astawan (2011)
beberapa contoh pangan tradisional Indonesia yang memenuhi persyaratan pangan
fungsional adalah: minuman beras kencur, temulawak, kunyit-asam, dadih (fermentasi
susu khas Sumatera Barat), dali (fermentasi susu kerbau khas Sumatera Utara), sekoteng
atau bandrek, tempe, tape dan jamu.
Pangan fungsional modern merupakan pangan fungsional yang dibuat khusus
menggunakan resep-resep baru. Beberapa contoh pangan fungsional modern menurut
Astawan (2011) adalah: 1. Pangan tanpa lemak, rendah kolesterol dan rendah
trigliserida. 2. Breakfast cereals dan biskuit yang diperkaya serat pangan. 3. Mi instan
yang diperkaya dengan berbagai vitamin dan mineral. 4. Permen yang mengandung zat
besi, vitamin, dan fruktooligosakarida. 5. Pasta yang diperkaya serat pangan. 6. Sosis
yang diperkaya dengan oligosakarida, serat atau kalsium kulit telur. 7. Minuman yang
mengandung suplemen serat pangan, mineral dan vitamin. 8. Cola rendah kalori dan
cola tanpa kafein. 9. Sport drink yang diperkaya protein. 10. Minuman isotonik dengan
keseimbangan mineral. 11. Minuman untuk pencernaan. 12. Minuman pemulih energi
secara kilat. 13. Teh yang diperkaya dengan kalsium. Selanjutnya menurut Subroto
(2008) beberapa contoh kelompok pangan fungsional modern yang dijual di pasar
modern (minimarket, supermarket dan hypermarket) sebagai berikut : 1. Margarin dan
minyak rendah kolesterol. 2. Minuman fermentasi yang mengandung bakteri baik
seperti lactobacilli. 3. Yoghurt yang mengandung kultur Acidophillus. 4. Air minum
dengan penambahan mineral seperti magnesium dan kalsium. 5. Air dengan
penambahan oksigen. 6. Air heksagonal. 7. Susu kedalai. 8. Susu dengan penambahan
suplemen/vitamin. 9. Susu rendah lemak. 10. Roti dengan penambahan
suplemen/vitamin. 11. Biji-bijian utuh dan produk-produk tinggi serat. 12. Serealia
dengan penambahan folat. 13. Jus buah dengan penambahan suplemen/vitamin. 14.
Garam dapur dengan penambahan yodium. 15. Garam dapur dengan pengurangan
natrium dan penambahan kalium dan magnesium. 16. Nutrisi untuk makanan bagi
diabetes. 17. Bumbu masak dari herbal pengganti MSG (Monosodium glutamat).
Pangan fungsional modern yang sengaja dibuat dengan tujuan khusus umumnya
diproduksi melalui salah satu atau lebih pendekatan sebagai berikut (Subroto, 2008): 1.
Menghilangkan komponen yang diketahui menyebabkan efek buruk jika dikonsumsi,
misalnya protein alergan (protein penyebab alergi). 2. Meningkatkan konsentrasi
komponen yang memiliki efek baik terhadap kesehatan, baik berupa komponen nutrisi
maupun komponen non-nutrisi (phytochemicals) yang secara alami sudah terdapat
dalam makanan tersebut. 3. Menambahkan suatu komponen yang memiliki efek baik
terhadap kesehatan yang sebelumnya tidak terdapat pada makanan tersebut. 4.
Mengganti suatu komponen dalam makanan yang diketahui memiliki efek buruk
terhadap kesehatan dengan komponen lain yang memiliki efek menguntungkan. 5.
Meningkatkan ketersediaan atau stabilitas komponen suatu makanan yang diketahui
mempunyai efek baik terhadap kesehatan. Contoh komponen zat gizi yang sering
ditambahkan ke dalam bahan makanan adalah (Astawan, 2011) : 1. Vitamin A, vitamin
E, beta-karoten, flavonoid, selenium, dan seng (zinc) yang telah diketahui peranannya
sebagai antioksidan untuk mengatasi serangan radikal bebas yang menjurus kepada
timbulnya berbagai penyakit kanker; 2. Asam lemak omega-3 dari minyak ikan laut
untuk menurunkan kolesterol dan meningkatkan kecerdasan otak, terutama pada bayi
dan anak balita; 3. Kalsium untuk menjaga kesehatan tulang dan gigi, mencegah
osteoporosis (kerapuhan tulang) dan tekanan darah tinggi; 4. Asam folat untuk
mencegah anemia dan kerusakan syaraf; 5. Zat besi untuk mencegah anemia gizi; 6.
Iodium untuk mencegah gondok dan kretinisme (kekerdilan);

7. Oligosakarida untuk membantu pertumbuhan mikroflora yang dibutuhkan usus


(Bifido bacteria).

Bagaimana menilai berdasarkan fakta ilmiah untuk makanan fungsional

Pentingnya penanda

Dalam beberapa keadaan, lebih mungkin melakukan identifikasi dan mengukur penanda
kesehatan dan kesejahteraan daripada mempelajari penyakit pada keadaan yang sama.
Use of properly validated markers demands an understanding of the mechanisms in the
attainment of optimal health or disease development. Markers must be scientically
well established and chosen to reect accurately the processes of interest. Only then can
the effect of consuming a functional food on a valid proxy for the nal endpoint i.e. an
improved state of health and well- being or reduction in disease risk be studied.
Markers could be chosen to reect:

a key target biological function: e.g. Bacterial populations in the gut can be measured
to demonstrate that a probiotic has successfully passed through the stomach and could
potentially have a benecial effect in the lower GI tract;
a key stage in the development of a disease: e.g. Bone mineral density can be used as a
marker in the study of a functional food evaluating potential benet in reducing the risk
of osteoporosis; e.g. Flow mediated dilatation (FMD) can be used in the study of a food
component designed to improve endothelial function and so reduce the risk of
cardiovascular disease.

Measurements made over the short term on carefully chosen markers can be used as an
indication of effects on nal health endpoints that would only otherwise be possible
through long term study. Where the underlying target functions or intermediate
endpoints are unequivocally linked to the risk of disease, for example, reduced serum
levels of LDL cholesterol and reduced risk of heart disease, the markers are also
considered to be risk factors for disease. Development of nutritional biomarkers is a
challenge. Many biomarkers have been proposed but relatively few have actually been
established because of the complexity of disease mechanisms and the limited capability
of a single biomarker to reect the collective impact of multiple biochemical effects on
clinical outcome.

Potential nutrigenomics

Nutrigenomics evaluates changes in gene and protein expression and metabolite


pathways detected as a response to changes in dietary nutrients. Where such changes
occur, markers could be identied and used to demonstrate the effect of bioactive food
components on health, helping the development of functional foods that will contribute
to health and well-being.

This is a rapidly emerging science but the tools to measure gene expression and
metabolite production are still in the process of development. It could be some time
before the science is sufciently well advanced to allow the identication of robust
markers for functional foods.

European Commision. Fungtional food. European Research Area. 2012, available at


http://ec.europa.eu/research/research-eu)
Langkah-langkah sebelum makanan fungsional masuk ke pasaran

6. Studi-studi 7. Melakukan
epidemologi surveilens pasar

1. analisis
5. Pemasaran
pitonutrien

4.
2. screening pre-
Pengembangan
klinik
produk

3. Percobaan
klinik

Pada langkah 1, meneliti hubungan antara makanan khusus dan keuntungannya terhadap
kesehatan. Pada langkah kedua, dilakukan studi in vitro dan in vivo dengan melakukan
secara berturut-turut spesimen non-living dan hewan. Langkah 3, dilakukan studi pada
manusia. Langkah ini meliputi pemberian dosis senyawa bioaktif yang tepat pada
manusia dan melakukan pengujian efek samping. Langkah ke-4 mengembangkan suatu
pembawa yang tepat untuk senyawa bioaktif. Langkah ke-5 melakukan pemasaran ke
publik dan mengedukasi masyarakat mengenai keuntungan makanan fungsional ini
terhadap kesehatan. Langkah ke-6, dilakukan studi pada populasi dalam rangka menguji
efek jangka panjang dan keseluruhan efektifitas produk. Pada langkah terakhir, dilakukan
pengukuran sikap masyarakat terhadap makanan fungsional.

(Martirosyan DM., Singh J. A new definition of fungtional food by FFC: what makes a
new definition unique? Fungtional Foods in Health Disease. 2015;5(6):209-223)

Masalah keamanan makanan fungsional


Safety Issues Although increasing the availability of healthful foods, including
functional foods, in the American diet is critical to ensuring a healthier
population (ADA, 1995), safety is a critical issue. The opti- mal levels of the
majority of the biologi- cally active components currently under investigation have
yet to be determined. In addition, a number of animal studies show that some of
the same phytochemi- cals (e.g., allyl isothiocyanate) highlight- ed in this review for
their cancer-pre- venting properties have been shown to be carcinogenic at high
concentrations (Ames et al., 1990). Thus, Paracelsus 15th century doctrine that
All substanc- es are poisons . . . the right dose differen- tiates a poison from a
remedy is even more pertinent today given the proclivity for dietary supplements.
The benefits and risks to individuals and populations as a whole must be weighed
carefully when considering the widespread use of physiologically-active functional
foods. For example, what are the risks of recommending the increased intake of
compounds (e.g., isoflavones) that may modulate estrogen metabo- lism? Soy
phytoestrogens may represent a double-edged sword because of re- ports that
genistein may actually promote certain types of tumors in animals (Rao et al.,
1997). Knowledge of toxicity of functional food components is crucial to decrease
the risk:benefit ratio.
BAB III
PEMBAHASAN

Consumer interest in healthy eating is shifting towards the potential health benets of
specic foods and food ingredients. Moreover, scientic evidence supports the idea that
some of these might have positive effects on our health and well-being, beyond the
provision of basic nutritional requirements. Research, including several projects funded
by the European Commission (EC), has led to the identication and understanding of
the potential mechanisms of biologically active components in food, which could
improve health and possibly reduce the risk of disease while enhancing our overall well-
being. This has led to the concept of functional foods that might deliver such benets.
New promising technologies such as nutrigenomics, imaging techniques, converging
technologies are increasingly being used in nutrition research. Their huge potential will
be apparent in the short and medium term; this will further enable the development of
foods for targeted population groups with dened risk factors or diseases such as
allergy, diabetes, obesity and cardiovascular disease (CVD). Even more innovative is
the possibility of merging information about the physiological responses to food with
individual genetic information to design personalised food and diets. The ingenuity of
food technology might also contribute to further advances in the development of food
products that can support optimum health. The Seventh Framework Programme (FP7)
offers many future opportunities here. A total of 47 projects have been funded in FP5,
FP6 and FP7 that address health benets of functional foods in various areas such as
obesity, diabetes, allergy, osteoporosis, mental health, cancer and CVD. These projects
represent a European Union (EU) contribution of 150 million euros and involve 513
partners from research institutes, academia, industry and small and medium enterprises
(SMEs). Most of the projects have their own website that can be easily accessed for
further information.
(European Commision. Fungtional food. European Research Area. 2012, available at
http://ec.europa.eu/research/research-eu)
BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan

Functional food originated in Japan in the 1980s. Food scientists submitted evidence
that their foods had advantageous physiological effects. Approved foods then
acquired special FOSHU or Food for Specific Health Uses labels. Subsequent countries
and scientific organizations attempted to create their own definitions of functional food.
This bred high sales but confusion among the public as to the meaning of functional
food. 2. The Functional Food Center (FFC) defines functional food as natural or
processed foods that contains known or unknown biologically-active compounds; the
foods, in defined, effective, and non-toxic amounts, provide a clinically proven and
documented health benefit for the prevention, management, or treatment of chronic
disease. This definition is unique because of its acknowledgement of bioactive
compounds, or biochemical molecules that improve health through physiological
mechanisms. Also, this definition notes that bioactive compounds must be taken in non-
toxic amounts because, bioactive compounds have upper limits before they become
dangerous. 3. The FFC seeks to standardize the functional food definition in order to
legitimize functional food science. We also want to formally bring functional foods to
markets, improve international communication, and better population health.

2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

"Functional Food Center | Dallas, Texas." Functional Food Center | Dallas, Texas.
Web. 3 Apr. 2015.

Anda mungkin juga menyukai