Anda di halaman 1dari 31

BAB II

PENGGUNAAN INFORMED CONSENT PADA TINDAKAN

LAPAROSCOPY TUBAL LIGATION

II.1. Informed Consent

II.1.1. Definisi

Informed Consent adalah istilah yang telah diterjemahkan

dan lebih sering disebut dengan Persetujuan Tindakan Medik.

Secara harfiah, informed consent terdiri dari dua kata, yaitu :

informed dan consent. Informed berarti telah mendapat informasi/

penjelasan/keterangan. Consent berarti memberi persetujuan atau

mengizinkan. Dengan demikian informed consent itu merupakan

suatu persetujuan yang diberikan pasien/keluarga setelah mendapat

mendapatkan informasi. (Kerbala, 1993)

Menurut Komalawati (1989) pengertian informed consent

sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis

yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah mendapat

informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan

untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko

yang mungkin terjadi.

Informed consent dalam Permenkes nomor 585 tahun 1989

ditafsirkan sebagai Persetujuan Tindakan Medik adalah persetujuan

yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar informasi dan

5
penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap

pasien tersebut (pasal 1).

Dalam pengertian demikian, Persetujuan Tindakan Medik

dapat dilihat dari dua sudut, yaitu pertama membicarakan

Persetujuan Tindakan Medik dari pengertian umum, adalah

persetujan yang diperoleh dokter sebelum melakukan pemeriksaan,

pengobatan dan tindakan medik apapun yang akan dilakukan.

Kedua membicarakan Persetujuan Tindakan Medik dari pengertian

khusus, adalah Persetujuan Tindakan Medik yang dikaitkan dengan

persetujuan atau izin tertulis dari pasien/keluarga pada tindakan

operatif, lebih dikenal sebagai Surat Izin Operasi (SIO), surat

perjanjian dan lainlain, istilah yang dirasa sesuai oleh rumah sakit

tersebut (Amri, 1999).

II.1.2. Jenis Informed Concent

Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medik (informed

consent) yaitu :

II.1.2.1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (implied consent),

yaitu bisa dalam keadaan normal (biasa) atau darurat,

umumnya tindakan yang biasa dilakukan atau sudah

diketahui umum misal menyuntik pasien. Bila pasien

dalam keadaan gawat darurat (emergency) memerlukan

tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak

bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak

6
ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik

terbaik menurut dokter (Permenkes No. 585 tahun 1989,

pasal 11).

II.1.2.2. Dinyatakan (expressed consent), yaitu persetujuan

dinyatakan secara lisan atau tertulis. Persetujuan secara

lisan diperlukan pada tindakan medis yang tidak

mengandung resiko tinggi seperti pencabutan kuku,

sedangkan persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan

pada tindakan medis yang mengandung resiko tinggi

seperti tindakan pembedahan perlu surat pernyataan dari

pasien/keluarga. (Amri, 1999)

II.1.3. Hakikat Informed Consent

Hakikat informed consent mengandung 2 (dua) unsur

esensial yaitu :

1. Informasi yang diberikan oleh dokter ;

2. Persetujuan yang diberikan oleh pasien.

Sehingga persetujuan yang diberikan oleh pasien

memerlukan beberapa masukan sebagai berikut :

1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan

dalam tindakan medis tertentu (masih berupa upaya

percobaan).

2. Deskripsi tentang efek-efek samping serta akibat-akibat yang

tidak diinginkan yang mungkin timbul.

7
3. Deskripsi tentang keuntungan-keuntungan yang dapat

diantisipasi untuk pasien.

4. Penjelasan tentang perkiraan lamanya prosedur/terapi/tindakan

berlangsung.

5. Deskripsi tentang hak pasien untuk menarik kembali consent

tanpa adanya prasangka mengenai hubungannya dengan dokter

dan lembaganya.

6. Prognosis tentang kondisi medis pasien bila ia menolak

tindakan medis tersebut.

Informasi yang harus diberikan oleh dokter dengan lengkap

kepada pasien menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran, Pasal 45, ayat (3) sekurang-kurangnya

mencakup :

1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis ;

2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan ;

3. Alternatif tindakan lain dan risikonya ;

4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi ; dan

5. Prognosis ( kemungkinan hasil perawatan) terhadap tindakan

yang dilakukan.

Sebaiknya, diberikan juga penjelasan yang berkaitan

dengan pembiayaan. Penjelasan seharusnya diberikan oleh dokter

yang akan melakukan tindakan medis itu sendiri, bukan oleh orang

8
lain, misalnya perawat. Penjelasan diberikan dengan bahasa dan

kata-kata yang dapat dipahami oleh pasien sesuai dengan tingkat

pendidikan dan kematangannya, serta situasi emosionalnya.

Dokter harus berusaha mengecek apakah penjelasannya memang

dipahami dan diterima pasien. Jika belum, dokter harus

mengulangi lagi uraiannya sampai pasien memahami benar. Dokter

tidak boleh berusaha mempengaruhi atau mengarahkan pasien

untuk menerima dan menyetujui tindakan medis yang sebenarnya

diinginkan dokter.

Pada hakikatnya informed consent adalah suatu proses

komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan

medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan

penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun

sesungguhnya sudah cukup.

Penandatanganan formulir informed consent secara tertulis

hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati

sebelumnya. Tujuan penjelasan yang lengkap adalah agar pasien

menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri

(informed decision). Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak

tindakan medis yang dianjurkan. Pasien juga berhak untuk

meminta pendapat dokter lain (second opinion), dan dokter yang

merawatnya. Yang berhak memberikan persetujuan atau

menyatakan menolak tindakan medis pada dasarnya, pasien sendiri

9
jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun, menurut Penjelasan

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas,

apabila pasien sendiri berada di bawah pengampuan, persetujuan

atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga

terdekat, antara lain suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak

kandung atau saudara-saudara kandung. Dalam keadaan gawat

darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan

persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang

sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat

persetujuan.

Informed consent dapat diberikan secara tertulis, secara

lisan, atau secara isyarat. Dalam bahasa aslinya, yang terakhir ini

dinamakan implied consent. Untuk tindakan medis dengan risiko

tinggi (misalnya pembedahan atau tindakan invasif lainnya),

persetujuan harus secara tertulis, ditandatangani oleh pasien sendiri

atau orang lain yang berhak dan sebaiknya juga saksi dari pihak

keluarga. (Amril Amri 1997)

II.1.4. Fungsi Informed Consent

Fungsi dari informed consent adalah :

1. Promosi dari hak otonomi perorangan ;

2. Proteksi dari pasien dan subyek ;

3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan ;

10
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk

mengadakan introspeksi terhadap diri sendiri ;

5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional ;

6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi

sebagai suatu nilai sosial dan mengadakan pengawasan dalam

penyelidikan biomedik.

Informed consent itu sendiri menurut jenis tindakan/

tujuannya dibagi tiga, yaitu :

1. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi

subyek penelitian).

2. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.

3. Yang bertujuan untuk terapi.

Tujuan dari informed consent menurut J. Guwandi adalah :

1. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang

dilakukan tanpa sepengetahuan pasien ;

2. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap

akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya

terhadap risk of treatment yang tidak mungkin dihindarkan

walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin

dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

Dalam keadaan gawat darurat informed consent tetap

merupakan hal yang paling penting walaupun prioritasnya diakui

11
paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah tindakan

menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun informed

consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi

pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana

dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu

untuk menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi

dan kebutuhannya serta memberikan keputusannya.

Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk

menunggu kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien

telah hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan dokter, maka

berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan

tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam Peraturan Menteri

Kesehatan nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang

Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan gawat darurat

tidak diperlukan informed consent.

Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan

malpraktek dokter, khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi

terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum di berbagai negara

menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara

dengan kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal,

ketiadaan informed consent tersebut setara dengan perbuatan

kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan

12
tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap

setara dengan kesengajaan adalah sebagai berikut :

1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan

dokter, tetapi dokter tetap melakukan tindakan tersebut.

2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading

tentang risiko dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.

3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat

dari tindakan medis yang diambilnya.

4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang

berbeda secara substansial dengan yang dilakukan oleh dokter.

II.1.5. Akibat Yang Ditimbulkan Dari Adanya Informed Consent

Akibat hukum dari dilakukannya perjanjian tertuang di

dalam Pasal 1338 dan 1339 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, sebagai berikut :

Pasal 1338 : Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan

sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh

undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Pasal 1339 : Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal

yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk

segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh

kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

13
Dari kedua pasal tersebut dapat diambil pengertian sebagai

berikut :

1. Perjanjian terapeutik berlaku sebagai undang-undang baik bagi

pihak pasien maupun pihak dokter, dimana undang-undang

mewajibkan para pihak memenuhi hak dan kewajibannya.

2. Perjanjian terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa

kesepakatan pihak lain.

3. Kedua belah pihak, baik dokter maupun pasien harus sama-

sama beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian terapeutik.

4. Perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan

dibuatnya perjanjian yaitu kesembuhan pasien, dengan

mengacu pada kebiasaan dan kepatutan yang berlaku dalam

bidang pelayanan medis maupun dari pihak kepatutan pasien.

II.1.6. Kapan Dibutuhkan Persetujuan Tertulis

Informed consent adalah suatu persetujuan mengenai akan

dilakukannya tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya.

Persetujuan ini bisa dalam bentuk lisan maupun tertulis. Pada

hakikatnya Informed consent adalah suatu proses komunikasi

antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang

akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan

rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya

sudah cukup. Penandatanganan formulir informed consent secara

tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah

14
disepakati sebelumnya. Formulir ini juga merupakan suatu tanda

bukti yang akan disimpan di dalam arsip rekam medis pasien yang

bisa dijadikan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi kontrak

terapeutik antara dokter dengan pasien. Pembuktian tentang adanya

kontrak terapeutik dapat dilakukan pasien dengan mengajukan

arsip rekam medis atau dengan persetujuan tindakan medis

(informed consent) yang diberikan oleh pasien. Bahkan dalam

kontrak terapeutik adanya kartu berobat atau dengan kedatangan

pasien menemui dokter untuk meminta pertolongannya, dapat

dianggap telah terjadi perjanjian terapeutik.

Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan

saat :

1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut

resiko atau efek samping yang bermakna

2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi

3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang

bermakna bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi

dan sosial pasien

4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu

penelitian.

II.1.7. Dasar Hukum Informed Consent

15
Di Indonesia terdapat ketentuan hukum yang mengatur

tentang kedudukan informed consent yang diatur dalam :

A. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009

tentang Kesehatan :
Pasal 7 :
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan

edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung

jawab
Pasal 8 :
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data

kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang

telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga

kesehatan.
Pasal 56 :
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian

atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan

kepadanya setelah menerima dan memahami informasi

mengenai tindakan tersebut secara lengkap.


(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak berlaku pada :


a. Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara

cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih

luas.
b. Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri atau
c. Gangguan mental berat.
B. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 29 tahun 2004

tentang praktik kedokteran, Pasal 45 :

16
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan

dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien

harus mendapat persetujuan


(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara

lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

sekurang-kurangnya mencakup :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
C. Surat Keputusan PB IDI No. 319/PB/A4/88 tentang informed

consent :
(1) Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak

sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan

terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan

tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien,

walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.


(2) Semua tindakan medis (diagnostik, terapeutik maupun

paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun

tertulis.
(3) Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko besar,

mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang

ditandatangai pasien, setelah sebelumnya pasien

memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya

tindakanya medis yang bersangkutan serta risikonya.

17
(4) Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya

dibutuhkan persetujuan, lisan atau sikap diam.


(5) Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada

pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter

menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan

kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat

memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien.

Dalam memberikan infromasi kepada keluarga terdekat

pasien, kehadiran seorang perawat/paramedik lain sebagai

saksi adalah penting.


Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan

medis yang direncanakan, baik diagnostik, terapeutik

maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan,

tetapi dapat pula secara tertulis.

II.2. Laparoscopi Tubal Ligation/Tubektomi

II.2.1. Definisi

Laparoskopi ligasi tuba adalah prosedur sterilisasi bedah

pada saluran tuba wanita yang baik dan dijepit/diblokir atau

dipotong dan disegel. Kedua metode mencegah telur dari yang

dibuahi. Ligasi tuba adalah metode sterilisasi permanen.

Sekitar 20% wanita memilih ligasi tuba sebagai metode

kontrasepsi mereka, sehingga bentuk paling umum kedua

kontrasepsi perempuan di Amerika Serikat. Penggunaan ligasi tuba

meningkat dengan paritas : 59% dari wanita yang telah memiliki 3

18
anak menjalani sterilisasi terhadap 13% setelah 1 anak. Perempuan

yang memutuskan untuk tidak memiliki anak lagi, 44% memilih

sterilisasi atas metode kontrasepsi reversibel.

Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Uchida dan

kawan-kawan pada tahun 1961 di Jepang untuk akseptor

kontrasepsi mantap (kontap) atau sterilisasi pada wanita pasca

persalinan. Selanjutnya Mark dan Webb (1968) melakukan sayatan

kecil yang tersembunyi di balik lipatan kulit bawah pusat pada

akseptor pasca persalinan, sehingga parutnya tidak kelihatan.

Untuk akseptor masa interval baru dikembangkan sejak tahun

1970-an, diantaranya Vitoon Osathanondh (1972) dari Thailand

mengembangkan teknik minilaparotomi yang sederhana dengan

memakai alat-alat yang sederhana pula, anestesi lokal tanpa tinggal

di rumah sakit. Dan untuk menempatkan rahim sedemikian rupa ke

depan dinding perut dipergunakan elevator rahim Ramathibodi

sehingga tuba fallopii dengan mudah ditampilkannya. Kemudian

dilakukan pengikatan atau pemotongan. Ternyata teknik yang

sederhana ini mudah, aman dan murah sesuai untuk program

kontap di negara-negara berkembang. Pembedahan tubektomi

minilap merupakan salah satu teknik kontap pada wanita yang

resikonya sedikit tetapi manfaatnya banyak. Teknik pembedahan

tubektomi (minilap) dapat dibedakan anatara pasca persalinan,

pasca keguguran, dan masa interval berdasarkan atas saat

19
melakukan pembedahan, lokasi minilaparotomi untuk mencapai

tuba, dan teknik pembedahan tubektomi.

II.2.2. Jenis-jenis Laparoskopi Ligasi Tubal

II.2.2.1. Minilaporatomi

Adalah sterilisasi tuba yang dilakukan melalui suatu

insisi suprapubik kecil dengan panjang biasanya 3 - 5 cm.

Minilaparotomi merupakan metode sterilisasi wanita yang

paling sering dilakukan di seluruh dunia karena aman,

tehnik sederhana, dan kemudahan adaptasinya terhadap

lingkungan bedah. (Speroff, tahun ?)

Keuntungan minilaparotomi dapat dikerjakan oleh

setiap tenaga medis yang memiliki dasar ilmu dan

keterampilan bedah, hanya memerlukan alat-alat yang

standar dan tidak mahal, komplikasi umumnya hanya

komplikasi minor dan dapat dilakukan segera setelah

melahirkan. (Hartanto, 2004)

Kerugian minilaparotomi yaitu waktu operasi

sedikit lebih lama dibandingkan dengan laparoskopi yang

rata-rata memerlukan 10 - 20 menit, sukar dilakukan pada

wanita yang sangat gemuk bila ada perlekatan-perlekatan

pelvis atau pernah mengalami operasi pelvis, operasi ini

meninggalkan bekas luka parut kecil yang masih dapat

terlihat, rasa sakit abdomen yang singkat karena luka insisi

20
terjadi pada 50% wanita, angka kejadian infeksi luka

operasi lebih tinggi dibandingkan dengan laparoskopi.

Gambar II.1. : Minilaparotomi

II.2.2.2. Laparoskopi

Adalah suatu pemeriksaan endoskopik dari bagian

dalam rongga peritoneum dengan alat laparoskop yang

dimasukkan melalui dinding anterior abdomen. (Hartanto,

2004)

II.2.3. Cara Oklusi Tuba Falopii


Cara oklusi tuba falopii adalah dengan ligasi tuba falopii.

Ligasi atau pengikatan tuba falopii untuik mencegah perjalanan

dan pertemuan spermatozoa dan ovum . tekhnik ligasi tuba falopii

antara lain :
1. Ligasi biasa
Ligasi biasa jarang dikerjakan lagi sekarang karena angka

kegagalan tinggi. Pernah dicoba untuk melakukan ligasi dengan

dua ikatan tetapi menyebabkan terjadinya hydrosalpinx diantara

dua ikatan sehingga cara ini tiadak dipakai lagi.


2. Ligasi dengan penjepitan tuba falopii
Teknik Madlener :

21
Bagian tengah tuba falopii diangkat sehingga sehingga

membentuk suatu loop. Dasar dari loop dijepit dengan klem

kemudian diikat dengan benang yang tidak diserap (silk,

silicon).

3. Ligasi dengan pembelahan/pembagian dan penanaman

Teknik Irving :
a. Tuba falopii diikat pada 2 tempat dengan benang yang

dapt diserap kemudian dibagi diantara kedua ikatan.


b. Ujung atau puntung proximal ditanamkan dalam

myometrium uterus
c. Ujung atau puntung distal ditanamkan kedalam

mesosalping.
Teknik Wood :
a. Pars ampularis tuba falopii dibelah /dibagi(division)
b. Kedua ujung atau puntung yang dibelah atau dibagi

diikat dengan benang yang dapat diserap


c. Ujung/puntung medial ditanamkan kedalam kantong

yang dibuat dalam mesosalping.


Teknik Cooke :

Suatu segmen tuba fallopii dijepit dan dirusak, kemudian

ujung proximal ditanamkan dalam ligamentum rotundum.

4. Ligasi dengan reseksi tuba fallopii


Ada empat teknik dalam ligasi ini, yaitu :
A. Salpingektomi :
Sebagai suatu cara kontap wanita yang biasa/rutin, tidak/

jarang dikerjakan karena prosedurnya luas, reversibilitas

tidak ada dan morbiditas lebih tinggi (perdarahan)


B. Teknik Pomeroy :

22
1) Merupakan teknik kontap wanita yang paling sering

dikerjakan. Bagian tengah tuba fallopii dijepit dengan

klem lalu diangkat sehingga membentuk suatu loop.

Dasar dari loop diikat dengan benang yang dapat

diserap (plain catgut). Bagian loop diatas ikatan

dipotong.
2) Dengan diserapnya benang ikatan maka ujung-ujung

tuba fallopii akan saling terpisah.


3) Teknik Pomeroy memusnahkan tuba fallopii sepanjang

kurang lebih 3 - 4 cm.

23
Gambar II.2: Teknik Pomeroy

C. Teknik Pritchards = Teknik Parkland :


1) Suatu segmen kecil dari tuba fallopii dipisahkan dari

mesosalping.
2) Masing-masing ujung dari segmen tersebut diikat

dengan benang chromic kemudian dipotong diantara

kedua ikatan dan segmen tuba fallopii dibuang.


D. Fimbriektomi Kroener :
Bagian distal tuba fallopii diikat dengan dua ikatan

benang silk dan ujung fimbrae dieksisi. Pada teknik ini

tidak didapatkan gangguan suplai darah ovarium.

5. Ligasi dengan reseksi dan penanaman tuba fallopii


Ada dua teknik dalam ligasi ini, yaitu :
Reseksi Cornu :

Merupakan prosedur yang ekstensif yang memerlukan

laparotomi. Utero tubal junction diikat dengan benang yang

24
dapat diserap. Insisi tuba fallopii proximal dari ikatan,

membebaskannya dari mesosalpinx kemudian membuang 1

cm dari tuba fallopii. Myometrium uterus disekitarnya

dieksisi terbentuk baji (untuk mencegah endometriosis dan

kehamilan ektopik) dan bagian proksimal dari segmen

distal tuba fallopii ditanam kedalam ligamentum latum.

Teknik Uchida :
1) Larutan garam fisiologis-adrenalin (1 : 1000) disuntikan

dibawah serosa pars ampularis, sehingga terjadi spasme

vaskuler local dan pembengkakan dari mesosalpinx,

dan terjadi pemisahan dari permukaan serosa dengan

bagian muskularis tuba fallopii.


2) Serosa diinsisi dan dibebaskan ke belakang.
3) Segmen sepanjang 5 cm dari bagian proksimal tuba

fallopi diputuskan/dipotong, ujung yang pendek diikat

dengan benang yang tidak diserap dan segmen tuba

fallopii dibuang. Maka ujung tuba fallopii yang telah

diikat secara otomatis membenamkan dirinya dibawah

serosa.
4) Pinggir dari insisi serosa dikumpulkan sekitar ujung

distal tubafallopii dan diikat secara ikatan rangkaian

kantong sehingga tuba fallopii ditinggalkan menonjol

ke dalam cavum abdomen.


II.2.4. Elektro-koagulasi/termo koagulasi (fulgurasi)

25
Elektro-koagulasi adalah tindakan membakar suatu segmen

dari tuba falopi dengan arus listrik frekuensi tinggi atau dengan

panas, sehingga terjadi oklusi dari tuba falopii.


Dikenal 2 macam elektro-koagulasi :
A. Elektro-koagulasi Unipolar :
Dikembangkan pada tahun 1960-an
Arus listrik mengalir dari forsep laparoskop melalui tubuh

wanita ke suatu lempeng logam yang diletakan di bawah

bokong atau paha wanita.


Bahaya koagulasi unipolar dapat terjadi luka bakar pada

jaringan atau organ lain, terutama luka bakar usus.


Elektro-koagulasi uni polar merusak 20 - 50 % tuba falopi
B. Elektro-koagulasi Bipolar :
Dikembangkan pada tahun 1970-an, untuk mengurangi

terjadinya luka bakar usus.


Arus listrik mengalir di antara kedua jepitan dari forsep

laparoskop sehingga hanya sebagian kecil saja dari tuba

falopi yang terlibat.


II.2.5. Thermo-koagulasi :

Merusak tuba falopii dengan panas sehingga shock dan

luka bakar elektrik tidak terjadi pada jaringan/organ lain.Thermo-

koagulasi belum banyak dipakai dan efektivitasnya masih belum

diketahui dengan jelas. Dengan memakai aliran listrik voltase

rendah (6 volt) atau temperature rendah (umumnya < 140 0C),

resiko terjadinya luka pada jaringan/organ sekitarnya dapat

dikurangi.

II.2.6. Tubal Clips :

26
Tubal clips tidak dipakai sesering seperti ligasi atau

fulgurasi tuba fallopi disebabkan karena angka kegagalannya

cukup tinggi. Tubal clips dipasang pada isthmus tuba falopii 2 - 3

cm dari uterus melalui laparotomi, laparoskopi, kolpotomi atau

kuldoskopi. Tubal clips menyebabkan kerusakan yang lebih

sedikit/ kecil pada tuba falopii (kira-kira 4 mm) dibandingkan cara-

cara oklusi tuba falopii lainnya. Dengan tubal clips, kerusakan tuba

falopii < 1 cm dibandingkan denagan 1 - 3 cm pada tubal rings, 3 -

4 cm pada pomeroy dan 3 - 6 cm elektrokoagulasi.

Macam-macam tubal clips :

1. Tantalum hemo-clips

Terbuat dari tantalum, suatu logam yang tidak bereaksi dengan

jaringan (non tissue reactive), mempunyai alur-alur pada

bagian dalamnya agar lebih kuat menjepit tuba falopii.

Tantalum hemo-clips kurang efektif, dengan angka kegagalan

lebih dari 10% yang disebabkan karena :

Terlepas/merosot dari tuba falopii

Klips membuka sedikit sehingga timbul lagi tubal patensi

(mungkin disebabkan oleh tekanan sekresi intra luminal

yang meninggi)

Klips memutuskan/ memotong tuba falopi sehingga terjadi

rekanalisasi.

27
Untuk mengurangi angka kegagalan dan mempertinggi

efektivitasnya dicoba dengan memasang dua tubal clips pada

masing-masing tuba falopii (wheeless dan penelitian-

penelitian lain) tetapi ternyata angka kegagalannya masih tetap

tinggi.

2. Spring - loaded clips

Ditemukan dan dipakai awal 1970-an oleh Hulka-Clemens.

Terdiri dari 2 rahang bergigi palstik yang dipegang oleh suatu

pegas stainless steel yang harus didorong kedepan agar

clipsnya menutupi dan menjepit tuba falopii, bila dipasang

dengan benar angka kegagalan < 0,5 per 100 wanita dengan

model spring loaded clips mutahkir (dikanal dengan sebagai

Rocket Clips di inggris dan Wolf Clips di amerika serikat).

Morbiditas dengan tuba clips hanya minor saja :

Refleks vaso-vagal seperti mual, pingsan, brankhikardia

dan hipotensi.

Nyeri atau kejang perut.

3. Filshie atau nothingham clips

Dikembangkan pada tahun 1973 oleh G.M Filshie, terbuat

dari titanium dengan permukaan dalam clips dilapisi

silikon.

Setelah dipasang pada tuba falopii silikon akan ditekan

sehingga terjadi atrofi jaringan tuba falopii, yang disusul

28
dengan mengembangnya silikon sehingga tuba falopii tetap

tersumbat.

Terdapat 6 model Filshie clips yang telah dicoba pada >

10.000 wanita di seluruh dunia dengan angka kegagalan 0,6

per 100. Pada model mutakhir filishe clips yaitu Mark-6,

angka kegagalan lebih rendah lagi yaitu hanya 1 kehamilan

pada 1.200 wanita. Sejak januari 1983 telah dilakuakan

43.000 kontap wanita. Dengan Mark-6 clips dan dilaporkan

terjadi hanya 20 kehamilan.

Gambar II.3: Filshie Clips

4. Bleier Clips :
Dikembangkan awal 1970-an oleh W.Bleier di jerman

mempunyai panjang 10 mm dan lebar 4 mm terbuat dari

plastik.

Sekarang Bleier clips tidak dibuat dan tidak dipakai lagi oleh

karena angka kegagalannya yang tinggi sekali dan sering

timbul persoalan-persoalan dengan aplikatornya.

II.2.7. Keuntungan dan Kerugian Laparoskopi Ligasi Tubal

29
Keuntungan laparoskopi yaitu komplikasi rendah dan

pelaksanaannya cepat (rata-rata 5 - 15 menit), insisi kecil sehingga

luka parut sedikit sekali, dapat dipakai juga untuk diagnostik

maupun terapi, kurang menyebabkan rasa sakit bila dibandingkan

dengan mini laparotomi, sangat berguna bila jumlah calon akseptor

banyak.

Kerugian laparoskopi resiko komplikasi dapat serius (bila

terjadi), lebih sukar dipelajari, memerlukan keahlian dan

keterampilan dalam bedah abdomen, harga peralatanya mahal dan

memerlukan perawatan yang teliti, tidak dianjurkan untuk

digunakan segera post-partum. (Hartanto, 2004)

II.2.8. Waktu Pelaksanaan Tubektomi


Menurut Suratun dkk (2008), waktu palaksanaan tubektomi

sebaiknya dilakukan pada saat :


1. Pasca persalinan, sebaiknya dalam jangka waktu 48 jam pasca

persalinan.
2. Pasca keguguran, dapat dilakukan pada hari yang sama dengan

evakuasi rahim atau keesokan harinya.

Dalam masa interval (keadaan tidak hamil), sebaiknya

dilakukan dalam 2 minggu pertama dari siklus haid ataupun

setelahnya, seandainya calon akseptor menggunakan salah satu

cara kontrasepsi dalam siklus tersebut.

II.2.9. Indikasi dan Kontra indikasi Tubektomi

30
Indikasi - dengan sifatnya yang permanen, sterilisasi hanya cocok

untuk pasangan yang tidak menginginkan anak lagi. Secara lebih

luas, indikasi sterilisasi dapat dibagi lima macam yaitu :


1) Indikasi Medis
Yang termasuk indikasi medis adalah penyakit yang berat

kronik seperti jantung, ginjal, paru-paru, dan penyakit kronik

lainnya. Tetapi tidak semua penyakit tersebut merupakan

indikasi, hanya yang membahayakan keselamatan Ibu kalau ia

mengandung merupakan indikasi untuk sterilisasi.


2) Indikasi Obstetris
Indikasi obstetris adalah keadaan di mana resiko kehamilan

berikutnya meningkat meskipun secara medis tidak

menunjukkan kelainan apa-apa, termasuk kedalam indikasi

obstetric adalah multiparitas (banyak anak), apalagi dengan

usia yang relatif lanjut (misal grandemultigravida, yakni paritas

lima atau lebih dengan umur 35 tahun atau lebih), seksio

sesarea dua kali atau lebih dan lain-lain.


3) Indikasi Genetik
Indikasi genetik adalah penyakit herediter yang membahayakan

kesehatan dan keselamatan anak, seperti hemophilia.


4) Indikasi Kontrasepsi
Indikasi kontrasepsi adalah indikasi yang murni ingin

menghentikan (mengakhiri) kesuburan, artinya pasangan

tersebut tidak menginginkan anak lagi meskipun tidak terdapat

keadaan lain yng membahayakan keselamatan ibu seandainya

ia hamil.
5) Indikasi Ekonomis

31
Indikasi ekonomis artinya pasangan suami istri menginginkan

sterilisasi karena merasa beban ekonomi keluarga menjadi

terlalu berat dengan bertambahnya anak dalam keluarga

tersebut, (Siswosudarmo, 2007)

Konta indikasi - kontrasepsi mantap pada wanita adalah masalah

hubungan, ketidaksetujuan terhadap operasi dari salah satu

pasangan, dan keadaan sakit atau disabilitas yang dapat

meningkatkan resiko pada operasi. (Everett, 2008)

II.2.10. Keuntungan dan Kerugian Tubektomi


Keuntungan yang utama bahwa kontap merupakan suatu

metode cara KB yang paling efektif disbanding seluruh cara yang

tersedia. Keefektifannya tercapai begitu operasi selesai

dikerjakan. Tubektomi merupakan cara KB jangka panjang yang

tidak memerlukan tindakan ulang artinya cukup sekali dikerjakan.

Dengan kata lain cara ini selain tidak user dependent. Karena cara

ini permanent, dapat dikatakan continuation rate-nya praktis

100%. Meskipun kontap harus ditempuh melalui operasi

tubektomi merupakan cara yang paling aman, bebas dari efek

samping asal semua prosedur dan persyaratan operasi terpenuhi.

Sebagaimana cara KB lainya kontap bersifat praktis artinya tidak

membutuhkan kunjungan ulang yang terjadwal dan tidak

mengganggu hubungan seksual. Bebas dari efek samping

hormonal sebagaimana pil, KB suntik maupun susuk.

32
Kerugian kontap adalah sifatnya permanent, sehingga calon

ibu klien harus menyadari betul bahwa sekali dilakukan sterilisasi

hamper tidak mungkin hamil kembali. Cara ini hanya cocok untuk

mereka yang tidak ingin mempunyai anak lagi, bukan sebagai

cara penjarangan. Kontap merupakan tindakan operasi, sehingga

syarat operasi harus terpenuhi terutama yang menyangkut

pencegahan infeksi. (Siswasudarmo, 2007)

II.2.11. Tempat Pelayanan Kontrasepsi Mantap


Pelayanan kontraspsi mantap dapat dilakukan :
1. Puskesmas
2. Tempat pelayanan kesehatan dengan fasilitas dokter bedah,

pemerintah maupun swasta.


3. Tindakan kontrasepsi mantap ini murah dan ringan sehingga

dapat dilakukan di lapangan (Puskesmas).


II.2.12. Persiapan Pre-operatif Tubektomi
1. Konseling perihal kontrasepsi dan jelaskan kepada klien

bahwa ia mempunyai hak untuk berubah pikiran setiap waktu

sebelum prosedur dilakukan.

2. Menanyakan riwayat medis yang mempengaruhi keputusan

pelaksanaan operasi atau anestesi antara lain meliputi

penyakit-penyakit pelvis, pernah mengalami operasi

abdominal atau pelvis, riwayat diabetes mellitus, riwayat

penyakit paru-paru seperti asma, bronkhitis, pernah

mengalami problem dengan anestesi, penyakit-penyakit

perdarahan, alergi dan pengobatan yang dijalani saat ini.

33
3. Pemeriksaan fisik : meliputi kondisi-kondisi yang mungkin

mempengaruhi keputusan pelaksanaan operasi atau anestesi.

4. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemerisaan darah lengkap,

pemeriksaan urin dan pap smear.

Informed consent harus diperoleh. Standard consent form harus

ditandatangani oleh suami atau istri yang dari calon akseptor

kontrasepsi mantap sebelum dilakukan. Umumnya

penandatanganan dokumen informed consent dilakukan setelah

calon akseptor dan pasangannya mendapatkan konseling. (Pinem,

2009)

II.2.13. Komplikasi Yang Mungkin Terjadi dan Penanganannya


1. Infeksi luka, apabila terlihat infeksi luka obati dengan

antibiotik.
2. Demam pasca operasi (> 38 C), obati infeksi berdasarkan apa

yang ditemukan.
3. Luka pada kandung kemih, intestinal (jarang terjadi). Apabila

kandung kemih atau usus luka dan diketahui sewaktu operasi,

lakukan reparasi primer, apabila ditemukan pasca operasi,

dirujuk ke rumah sakit yang tepat bila perlu.


4. Hematoma subkutan, gunakan packs yang hangat dan lembab

di tempat tersebut. Amati hal ini biasannya akan berhenti

dengan berjalannya waktu tetapi dapat membutuhkan

drainase bila ekstensif.


5. Emboli gas yang diakibatkan laparoskopi (sangat jarang

terjadi).

34
6. Rasa sakit pada lokasi pembedahan, pastikan adanya infeksi,

atau abses dan obati berdasarkan apa yang ditemukan.


7. Perdarahan superfisial (tepi-tepi kulit atau subkutan),

mengontrol perdarahan dan obati berdasarkan apa yang

ditemukan. (Saifuddin, 2006)


II.2.14. Perawatan dan Informasi Postoperatife
Jagalah luka operasi tetap kering hingga pembalut

dilepaskan. Mulai lagi aktivitas normal secara bertahap

(sebaiknya dapat kembali ke aktivitas normal dalam waktu 7 hari

setelah pembedahan), hindarilah hubungan intim hingga merasa

cukup nyaman, hindari mengangkat benda-benda berat dan

apabila merasa sakit minumlah 1 atau 2 analgesik (penghilang

rasa sakit) setiap 4 hingga 6 jam

35

Anda mungkin juga menyukai