Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Definisi penyakit ginjal kronik (PGK) berdasarkan National Kidney Foundation
(NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI) Guidelines adalah kerusakan
ginjal >3 bulan, berupa kelainan struktural ginjal, dapat atau tanpa disertai penurunan
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang ditandai dengan kelainan patologi dan adanya
pertanda kerusakan ginjal, dapat berupa kelainan laboratorium darah atau urine atau
kelainan radiologi. LFG <60mL/menit/1,73 m2 selama> 3 bulan, dapat disertai atau tanpa
disertai kerusakan ginjal. (1)
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia
darah (dan lingkungan dalam tubuh) dengan mengekskresikan zat terlarut dan air secara
selektif. Apabila kedua ginjal oleh karena suatu hal gagal dalam menjalankan fungsinya,
akan terjadi kematian dalam waktu 3 sampai 4 minggu. Fungsi vital ginjal dicapai dengan
filtrasi plasma darah melalui glomerolus diikuti dengan reabsorbsi sejumlah zat terlarut
dan air dalam jumlah sesuai di sepanjang tubulus ginjal (2,3). Kelebihan zat terlarut dan air
akan diekskresikan keluar tubuh dalam urine melalui sistem pengumpul urine. Gejala
gagal ginjal kronik yaitu kurang nafsu makan, mual, dan muntah, pembengkakan tangan,
kaki, wajah, dan sekitar mata, letih, lemas, dan lesu(4).
Laju filtrasi flomerulus akan menurun dengan progresif seiring dengan rusaknya
nefron. Hubungan antara gagal ginjal kronik dengan anemia sudah diketahui sejak awal
abad 19. Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-
kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh. Anemia akan lebih berat apabila fungsi
ginjal menjadi lebih buruk lagi, tetapi apabila penyakit ginjal telah mencapai stadium
akhir, anemia relative akan menetap. Anemia pada Gagal Ginjal Kronis terutama
diakibatkan oleh berkurangnya produksi Eritropoietin. Eritropoetin merupakan hormon
yang dapat merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah. Anemia
yang terjadi pada gagal ginjal kronis biasanya jenis normokrom normositer dan non
regeneratif. Anemia merupakan kendala yang cukup besar bagi upaya mempertahankan
kualitas hidup pasien GGK. Anemia yang terjadi dapat mengganggu sejumlah aktifitas
fisiologis sehingga dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.(5,6,7)

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Ginjal

2.1.1 Makroskopik Ginjal (2)

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi
kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena tertekan ke
bawah oleh hati. Kutub atas ginjal kanan setinggi iga ke 12 sedangkan kutub ginjal kiri
setinggi iga ke 11. Permukaan anterior dan posterior kutub atas, bawah, dan tepi lateral ginjal
berbentuk cembung sedangkan tepi medial nya berbentuk cekung karena adanya hilus.
Beberapa struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus adalah Arteria dan Vena
Renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter. Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis
(setinggi vertebra lumbalis II).

Aorta terletak di sebelah kiri garis tengah, sehingga arteri renalis kanan lebih panjang
dari arteri renalis kiri. Setiap arteri renalis bercabang sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal.
Vena renalis menyalurkan darah dari masing-masing ginjal ke dalam vena kava inferior yang
terletak di sebalah kanan dari garis tengah. Vena renalis kiri kira-kira dua kali panjang dari
vena renalis kanan. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi
arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid, selanjutnya membentuk percabangan
arkuata yang melengkung melintasi basis piramid-piramid tersebut. Arteri arkuata lalu akan
membentuk arteriol interlobularis yang tersusun pararel dalam korteks. Arteriol interlobularis
ini selanjutnya membentuk arteriol aferen. Masing-masing arteriol aferen akan menyuplai ke
rumbai-rumbai kapiler yang disebut glomerulus. Kapiler glomeruli bersatu membentuk
arterior eferen yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem jaringan portal yang
mengelilingi tubulus dan kadang disebut kapiler peritubular. Medula terbagi-bagi menjadi
baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh korteks yang
disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tersebut tampak bercorak karena tersusun oleh
segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papilla (apeks) dari tiap piramid
membentuk duktus papilaris Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian terminal dari
banyak duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung
pelvis ginjal berbentuk seperti cawan yang disebut kaliks minor. Beberapa kaliks minor
bersatu membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu sehingga membentuk pelvis

2
ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem pengumpul ginjal. Ureter
menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria. Ureter berasal dari bagian bawah pelvis
renalis pada ureteropelvic junction lalu turun ke bawah sepanjang kurang lebih 28 34 cm
menuju kandung kemih. Dinding dari kaliks, pelvis dan urter mengandung otot polos yang
berkontraksi secara teratur untuk mendorong urine menuju kandung kemih.

Gambar 1. Makroskopis Ginjal

2.1.2 Struktur Mikroskopik Ginjal (2)

Nefron
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal
terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang

3
sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula Bowman, yang mengitari rumbai kapiler
glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle, dan tubulus kontortus
distal, yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul.

Korpuskular ginjal
Korpuskular ginjal terdiri dari kapsula bowman dan rumbai kapiler
glomerulus. Kapsula bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal.
Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan sel-sel kapsula
bowman, dan ruang yang mengandung urine ini dikenal dengan ruang Bowman atau
ruang kapsular. Kapsula Bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel parietalis
berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula; sel epitel visceralis
jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga bagian luar dari
rumbai kapiler. Sel visceralis membentuk tonjolan yang disebut podosit, yang
bersinggungan dengan membrana basalis pada jarak tertentu sehingga terdapat daerah
yang bebas dari kontak antar sel epitel. Membrana basalis membentuk lapisan tengah
dinding kapiler, terjepit diantara sel-sel epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada
sisi yang lain. Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler menjadi
membrana basalis tubulus dan terdiri dari gel hidrasi yang menjalin serat kolagen.
Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Sel endotel langsung
berkontak dengan membrana basalis. Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel
epitel visceralis merupakan 3 lapisan yang membentuk membrane filtrasi glomerulus.
Membran filtrasi glomerulus memungkinkan ultrafiltrasi darah melalui pemisahan
unsur-unsur darah dan molekul protein besar. Membrana basalis glomerulus
merupakan struktur yang membatasi lewatnya zat terlarut ke dalam ruang urine
berdasarkan seleksi ukuran molekul. Komponen penting lainnya dari glomerulus
adalah mesangium, yang terdiri dari sel mesangial dan matriks mesangial. Sel
mesangial membentuk jaringan yang berlanjut antara lengkung kapiler dari
glomerulus dan diduga berfungsi sebagai kerangka jaringan penyokong.
Aparatus jukstaglomerulus
Aparatus jukstaglomelurus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang
letaknya dekat dengan kutub vascular masing-masing glomelurus yang berperan
penting dalam mengatur pelepasan rennin dan mengontrol volume cairan ekstraselular
(ECF) dan tekanan darah.
JGA terdiri dari 3 macam sel:
1. Juksta glomelurus (JG) atau sel glanular ( yang memproduksi dan menyimpan
renin) pada dinding arteriol averen.

4
2. Makula densa tubulus distal.
3. Mesangial ekstraglomerular atau sel lacis.

Makula densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai
dengan pewarnaan khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis
dan sel JG yang menyekresi lenin. Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor
ekstrarenal dan intrarenal. Dua mekanisme penting untuk mengontrol sekresi renin
adalah sel JG dan makula densa. Setiap penurunan tegangan dinding arteriol aferen
atau penurunan pengiriman Na ke makula densa dalam tubulus distal akan
merangsang sel JG untuk melepaskan renin dari granula tempat renin tersebut
disimpan didalam sel. Sel JG, yang sel mioepitelialnya secara khusus mengikat
arteriol aferen, juga bertindaksebagai transducer tekanan perfusi ginjal. Volume ECF
atau volume sirkulasi efektif (ECV) yang sangat menurun menyebabkan menurunnya
tekanan perfusi ginjal, yang sirasakan sebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG
kemudian melepaskan renin ke dalam sirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan
mekanisme renin-angiotensin-aldosteron. Mekanisme kontrol kedua untuk pelepasan
berpusat didalam sel makula densa, yang dapat berfungsi sebagai kemoreseptor,
mengawasi beban klorida yang terdapat pada tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi
volume, sedikit natrium klorida (NaCl) dialirkan ke tubulus distal (karena banyak
yang di absorbsi ke dalam tubulus proximal) kemudian timbal balik dari sel makula
densa ke sel JG menyebabkan peningkatan renin. Mekanisme sinyal klorida yang
diartikan menjadi perubahan sekresi renin ini belum diketahui dengan pasti. Suatu
peningkatan volume ECF yang menyebabkan peningkatan tekanan perfusi ginjal dan
meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki efek yang berlawanan dari
contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECF yaitu menekan sekresi renin.

Faktor lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal,
yang merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta1-adrenergik dalam JGA,
angiotensin II yang menghambat pelepasan renin. Banyak faktor sirkulasi lain yang
juga mengubah sekresi renin, termasuk elektrolit plasma (kalsium dan natrim) dan
berbagai hormon, yaitu hormon natriuretik atrial, dopamin, hormone antidiuretik
(ADH), hormon adrenokortikotropik (ACTH), dan nitrit oksida (dahulu dikenal
sebagai faktor relaksasi yang berasal dari endothelium [EDRF] ), dan prostaglandin.
Hal ini terjadi mungkin karena JGA adalah tempat integrasi berbagai input dan sekresi
renin itu mencerminkan interaksi dari semua faktor.

5
Gambar 2. Penampang satu kesatuan nefron

2.2 Fisiologi Ginjal (2)


Ginjal melaksanakan tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik dan
ekskretorik yaitu :
1. Filtrasi glomerulus
Terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsula
Bowman melalui tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus yaitu dinding
kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler yang dikenal sebagai membran basal dan
lapisan dalam kapsula bowman.

6
Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari selapis sel endotel gepeng, memiliki
lubang lubang dengan banyak pori pori besar atau fenestra, yang membuatnya seratus
kali lebih permeabel terhadap H2O dan zat terlarut dibandingkan kapiler di tempat lain.
Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen dan terselip di antara glomerulus
dan kapsula bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan struktural, sedangkan glikoprotein
menghambat filtrasi protein plasma kecil. Walaupun protein plasma yang lebih besar
tidak dapat difiltrasi karena tidak dapat melewati pori pori diatas, pori pori tersebut
sebenarnya cukup besar untuk melewatkan albumin dan protein plasma terkecil. Namun,
glikoprotein karena bermuatan sangat negatif akan menolak albumin dan pritein plasma
lain, karena yang terakhir juga bermuatan negatif. Dengan demikian, protein plasma
hampir seluruhnya tidak dapat di filtrasi dan kurang dari 1% molekul albumin yang
berhasil lolos untuk masuk ke kapsula bowman.
Lapisan dalam kapsula bowman terdiri dari podosit, sel mirip gurita yang
mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak tonjolan memanjang
seperti kaki yang saling menjalin dengan tonjolan podosit di dekatnya. Celah sempit
antara tonjolan yang berdekatan dikenal sebagai celah filtrasi, membentuk jalan bagi
cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan masuk ke dalam lumen kapsula bowman.
Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah tekanan darah
kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik kapsula
bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah
di dalam kapiler glomerulus. Tekana darah glomerulus yang meningkat ini mendorong
cairan keluar dari glomerulus untuk masuk ke kapsula bowman di sepanjang kapiler
glomerulus dan merupakan gaya utama yang menghasilkan filtrasi glomerulus.
GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid yang
melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotil plasma melawan filtrasi, penurunan
konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan peningkatan GFR. Sedangkan
tekanan hidrostatik dapat meningkat secara tidak terkontrol dan dapat mengurangi laju
filtrasi. Untuk mempertahankan GFR tetap konstan, maka dapat dikontrol oleh
otoregulasi dan kontrol simpatis ekstrinsik.
Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri, karena tekanan
tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam kapiler glomerulus. Jika tekanan
darah arteri meningkat, maka akan diikuti oleh peningkatan GFR. Untuk menyesuaikan
aliran darah glomerulus agar tetap konstan, maka ginjal melakukannya dengan mengubah

7
kaliber arterial aferen, sehingga resistensi terhadap aliran darah dapat disesuaikan.
Apabila GFR meningkat akibat peningkatan tekanan darah arteri, maka GFR akan
kembali menjadi normal oleh konstriksi arteriol aferen yang akan menurunkan aliran
darah ke dalam glomerulus.
Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap konstan adalah dengan
kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh masukan sistem saraf simpatis ke
arteriol aferen untuk mengatur tekanan darah arteri sehingga terjadi perubahan GFR
akibat refleks baroreseptor terhadap perubahan tekanan darah.
Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus difiltrasi
dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan 180 L filtrat glomerulus setiap hari
untuk GFR rata rata 125 ml/menit pada pria dan 160 liter filtrat per hari dengan GFR
115 ml/menit untuk wanita.
2. Reabsorpsi tubulus
Merupakan proses perpindahan selektif zat zat dari bagian dalam tubulus (lumen
tubulus) ke kapiler peritubulus agar dapat diangkut ke sistem vena kemudian ke jantung
untuk kembali diedarkan. Proses ini meupakan transport aktif dan pasif karena sel sel
tubulus yang berdekatan dihubungkan oleh tight junction. Glukosa dan asam amino
dereabsorpsi seluruhnya disepanjang tubulus proksimal melalui transport aktif. Kalium
dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif dan di sekresi ke dalam tubulus
distal. Reabsorpsi natrium terjadi secara aktif di sepanjang tubulus kecuali pada ansa
henle pars descendens. H2O, Cl-, dan urea direabsorpsi ke dalam tubulus proksimal
melalui transpor pasif.

Berikut ini merupakan zat zat yang direabsorpsi di ginjal :


a. Reabsorpsi Glukosa
Glukosa direabsorpsi secara transpor altif di tubulus proksimal. Proses reabsorpsi
glukosa ini bergantung pada pompa Na ATP-ase, karena molekul Na tersebut
berfungsi untuk mengangkut glukosa menembus membran kapiler tubulus dengan
menggunakan energi.
b. Reabsorpsi Natrium

8
Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98 99% akan direabsorpsi secara
aktif ditubulus. Sebagian natrium 67% direabsorpsi di tubulus proksimal, 25%
dereabsorpsi di lengkung henle dan 8% di tubulus distal dan tubulus pengumpul.
Natrium yang direabsorpsi sebagian ada yang kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat
juga berperan penting untuk reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan urea.
c. Reabsorpsi Air
Air secar apasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus. Dari H 2O yang
difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal dan ansa henle. Kemudian sisa
H2O sebanyak 20% akan direabsorpsi di tubulus distal dan duktus pengumpul dengan
kontrol vasopressin.
d. Reabsorpsi Klorida
Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi secara pasif mengikuti
penurunan gradien reabsorpsi aktif dan natrium yang bermuatan positif. Jumlah
Klorida yang direabsorpsikan ditentukan oleh kecepatan reabsorpsi Na
e. Reabsorpsi Kalium
Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi secara difusi
pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%, 40% kalium akan dirabsorpsi di ansa henle
pars assendens tebal, dan sisanya direabsorpsi di duktus pengumpul
f. Reabsorpsi Urea
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein. Ureum akan difiltrasi
seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi sebagian di kapiler
peritubulus, dan urea tidak mengalami proses sekresi. Sebagian ureum akan
direabsorpsi di ujung tubulus proksimal karena tubulus kontortus proksimal tidak
permeabel terhadap urea. Saat mencapai duktus pengumpul urea akan mulai
direabsorpsi kembali.

g. Reabsorpsi Fosfat dan Kalsium


Ginjal secara langsung berperan mengatur kadar kedua ion fosfat dan kalsium dalam
plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 40% direabsorpsi di tubulus
kontortus proksimal dan 50% direabsorpsi di ansa henle pars assendens. Dalam
reabsorpsi kalsium dikendalikan oleh homon paratiroid. Ion fosfat ayng difiltrasi,
akan direabsorpsi sebanyak 80% di tubulus kontortus proksimal kemudian sisanya
akan dieksresikan ke dalam urin.

9
3. Sekresi tubulus
Proses perpindahan selektif zat zat dari darah kapiler peritubulus ke dalam
lumen tubulus. Proses sekresi terpenting adalah sekresi H+, K+ dan ion ion organik.
Proses sekresi ini melibatkan transportasi transepitel. Di sepanjang tubulus, ion H +
akan disekresi ke dalam cairan tubulus sehingga dapat tercapai keseimbangan asam
basa. Asam urat dan K+ disekresi ke dalam tubulus distal. Sekitar 5% dari kalium yang
terfiltrasi akan dieksresikan ke dalam urin dan kontrol sekresi ion K + tersebut diatur
oleh hormon antidiuretik. Kemudian hasil dari ketiga proses tersebut adalah terjadinya
eksresi urin, dimana semua konstituen plasma yang mencapai tubulus, yaitu yang
difiltrasi atau disekresi tetapi tidak direabsorpsi, akan tetap berada di dalam tubulus
dan mengalir ke pelvis ginjal untuk eksresikan sebagai urin.

Gambar 3. Fungsi regulatorik dan ekskretorik

Fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar ditujukan
untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan eksternal :
1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh
2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk Na +, Cl-, K+,
HCO3-, Ca++, Mg++, SO4=, PO4= dan H+

10
3. Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui
peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O
4. Membantu memelihara keseimbangan asam basa tubuh, dengan menyesuaikan
pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin
5. Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan tubuh, terutama
melalui pengaturan keseimbangan H2O
6. Mengeksresikan (eliminasi) produk produk sisa (buangan) dari metabolisme
tubuh. Misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat
zat sisa tersebut bersifat toksik, terutama bagi otak
7. Mengeksresikan banyak senyawa asing. Misalnya obat, zat penambah pada
makanan, pestisida, dan bahan bahan eksogen non-nutrisi lainnya yang berhasil
masuk ke dalam tubuh
8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang pembentukan
sel darah merah
9. Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi berantai yang
penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya

2.3 Hormon pada ginjal (2)


Hormon yang bekerja pada ginjal
Hormon antidiuretik ( ADH atau vasopressin )
Merupakan peptida yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis posterior, hormon ini
menngkatkan reabsorbsi air pada duktus kolektifus.
Aldosteron
Merupakan hormon steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal, hormon ini
meningkatkan reabsorbsi natrium pada duktus kolektivus.
Peptida Natriuretik
Diproduksi oleh sel jantung dan meningatkan ekskresi natrium pada duktus
kolektivus.
Hormon paratiroid
Merupakan protein yang diproduksi oleh kelenjar paratiroid, hormon ini
meningkatkan ekskresi fosfat, reabsorbsi kalsium dan produksi vitamin D pada ginjal.

Hormon yang dihasilkan oleh ginjal


Renin

11
Merupakan protein yang dihasilkan oleh apparatus jukstaglomerular, hormon ini
menyebabkan pembentukan angiotensin II. Angiotensin II berfungsi langsung pada
tubulus proximal dan bekerja melalui aldosteron ada tubulus distal. Hormon ini juga
merupakan vasokonstriktor kuat.
Vitamin D
Merupakan hormon steroid yang dimetabolisme di ginjal, berperan meningkatkan
absorbsi kalsium dan fosfat dari usus.
Eritropoeitein
Merupakan protein yang diproduksi di ginjal, hormon ini meningkatkan pembentukan
sel darah merah di sumsum tulang.
Prostaglandin
Diproduksi di ginjal, memiliki berbagai efek terutama pada tonus pembuluh darah
ginjal.

BAB III
Gagal Ginjal Kronik

3.1 Definisi (8)


Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat
yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia ( retensi urea dan sampah nitrogen lainnya
dalam darah).
3.2 Kriteria (8)
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan
manifestasi:

12
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m 2 selama 3 bulan, dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.

3.3 Klasifikasi (8)

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit


Deraja Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m2)
t
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft Gault sebagai berikut :

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 umur) X berat badan *)


72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi


Penyakit Tipe mayor ( contoh )
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik,
diabetes obat, neoplasma)
Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopathi)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi

13
3.4 Epidemiologi (8)
Di Amerika Serikat, data tahun 1995 1999 menyatakan insiden penyakit
ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini
meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40 60 kasus perjuta penduduk
pertahun.
Menurut hasil riskesdas 2013 prevalensi penyakit gagal ginjal kronis
berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%),
diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada
kelompok umur 75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi
dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan (0,3%),
tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan
kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3
persen.

3.5 Etiologi(9)
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe
1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan
kerusakan pada organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh
darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi
peningkatan tekanan darah yang jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan
jantung, stroke, dan penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat
menyebabkan hipertensi. Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pada
ginjal antara lain :
1. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat menyebabkan
inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal. Merupakan penyakit
ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik
2. Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%) menyebabkan
pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar, dan asidosis
tubulus.

14
3. Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam rahim si
ibu. Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga terjadi aliran
balik urin ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan kerusakan pada
ginjal.
4. Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%)
5. Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor, pembesaran
glandula prostat pada pria danrefluks ureter.
6. Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik.
7. Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen
(Motrin, Advil) untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati
analgesik sehingga berakibat pada kerusakan ginjal.
8. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri
renalis.
9. Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell, penyalahgunaan
heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan kanker.

3.6 Faktor Resiko (10)


Faktor resiko gagal ginjal kronik diantara lain : pasien dengan diabetes melitus
atau hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih dari 50 tahun, individu dengan
riwayat diabetes melitus, hipertensi dan penyakit ginjal dalam keluarga serta
kumpulan populasi yang memiliki angka tinggi diabetes atau hipertensi seperti
African Americans, Hispanic Americans, Asian, Pacific Islanders, dan American
Indians.
3.7 Patofisiologi (5)
Sejumlah penyakit ginjal akhirnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan
ginjal. Jika jaringan ginjal yang tersisa tidak dapat memenuhi fungsinya, akan muncul
gambaran kegagalan ginjal. Penurunan ekskresi ginjal terutama sangat bermakna.
Penurunan GFR secara berbanding terbalik meningkatkan kadar kreatinin di plasma.
Konsentrasi plasma terhadap zat yang direabsorbsi juga meningkat, tetapi tidak terlalu
tinggi karena reabsorpsi di tubulus ginjal juga terganggu pada gagal ginjal. Pada gagal
ginjal, reabsorpsi Na+ dan air dihambat oleh berbagai faktor, seperti hormone
natriuretik, PTH, dan vanadat. Penurunan reabsorpsi Na+ di tubulus proksimal juga
secara langsung atau tidak langsung menurunkan reabsorpsi zat lainnya, seperti fosfat,
asam urat, HCO3- , Ca 2+
, urea, glukosa, dan asam amino. Reabsorpsi fosfat juga
dihambat oleh PTH.
Penurunan reabsorpsi NaCl di bagian asendens ansa Henle mengganggu
mekanisme pemekatan urin. Suplai volume dan NaCl yang besar dari nefron bagian

15
proksimal meningkatkan reabsorpsi Na+ dibagian distal serta membantu sekresi K+
dan H+ di nefron distal dan duktus koligentes. Akibatnya, konsentrasi elektrolit di
plasma dapat tetap normal, meskipun GFR sangat menurun (insufisiensi ginjal
terkompensasi). Gangguan baru terjadi jika penurunan GFR lebih rendah daripada
seperempat nilai normal. Namun, kompensasi ini terjadi dengan mengorbankan
rentang pengaturan, yang artinya ginjal yang rusak tidak mampu meningkatkan
ekskresi air, Na+, K+, H+, fosfat, dll.(missal, jika asupannya meningkat) secara
adekuat.
Diduga bahwa gangguan pada ekskresi air dan elektrolit,berperan paling tidak
sebagian, terhadap munculnya sebagian besar gejala gagal ginjal kronis. Volume yang
berlebihan dan perubahan konsentrasi elektrolit menimbulkan edema, hipertensi,
osteomalasia, asidosis, pruritus, dan arthritis, baik secara langsung maupun melalui
pengaktifan hormone. Hal diatas juga bisa menimbulkan gangguan pada sel
eksitatorik (polineuropati, kehilangan kesadaran, koma, kejang, edema serebri), fungsi
pencernaan (mual, tukak lambung, diare), dan sel darah (hemolisis, gangguan fungsi
leukosit, gangguan pembekuan darah).
Pada konsentrasi yang tinggi, asam urat dapat mengendap, terutama disendi,
sehingga menyebabkan gout. Namun konsentrasi asam urat yang sangat tinggi jarang
terjadi pada pada gagal ginjal. Peranan berkurangnya pembuangan zat, yang disebut
toksin uremia (misal, aseton, 2,3-butileneglikol, asam guanidinosuksinat,
metilguanidin, indol, fenol, amin aromatik dan alifatik, dll) dan molekul berukuran
sedang (lipid atau peptide dengan berat molekul antara 300 2000 Da), dalam
menimbulkan gejala gagal ginjal masih menjadi perdebatan. Konsentrasi urea yang
tinggi dapat membuat protein menjadi tidak stabil sehingga terjadi penyusutan sel.
Tetapi pengaruh ini sebagian dapat diatasi melalui pengambilan sejumlah osmolit
penstabil (terutama betain, gliserofosforikolin) oleh sel.
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan anemia,
sementara penurunan pembentukan kalsitriol menimbulkan gangguan metabolisme
mineral. Pembentukan renin dan prostaglandin di ginjal dapat meningkat atau
menurun (kematian sel penghasil rennin dan prostaglandin), bergantung pada
penyebab dan lamanya penyakitnya. Pembentukan rennin yang meningkat,
mendorong terjadinya hipertensi, sangat sering ditemukan pada gagal ginjal,
sedangkan penurunan pembentukannya menghambat terjadinya hipertensi.
Prostaglandin sebaliknya sebaliknya menyebabkan vasodilatasi dan penurunan

16
tekanan darah. Hilangnya inaktivasi hormone di ginjal dapat memperlambat siklus
pengaturan hormonal. Namun, peranan hal ini terhadap timbulnya gejala pada gagal
ginjal masih belum jelas.

3.8 Diagnosis

1. Gejala Klinis (8)


Pada gagal ginjal kronik, gejala gejalanya berkembang secara perlahan. Pada
awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui
dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama
kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia).
Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala gejala fisik yang melibatkan
kelainan berbagai organ seperti :
1. Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor
uremik
2. Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
3. Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah
4. Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema
5. Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan

17
komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal
(renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

2. Gambaran Laboratorium (8)


Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik
4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria

3. Gambaran Radiologis (8)


Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi
5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi

4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologis Ginjal (8)


Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang sudah
diberikan. Kontraindikasi pada ukuran ginjal yang mengecil, ginjal polikistik,

18
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal
nafas, dan obesitas.

3.9 Manifestasi Gagal Ginjal Kronik (12)

Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa

Homeostasis natrium dan air


Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungan natrium
dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan. Penyebabnya adalah
terganggunya keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium
atau natrium dari proses pencernaan yang menyebabkan ekspansi volume cairan
ekstra seluler (CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang
menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang
belum didialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, maka pemberian loop diuretik
bersama dengan pengurangan intake garam dapat digunakan sebagai terapi. Pasien
dengan penyakit ginjal kronis juga memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk
menyimpan natrium dan H2O.
Homeostasis kalium
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan penurunan
ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi oleh
karenakonstipasi, katabolisme protein, hemolisis, pendarahan , transfusion of stored
redblood cells, augmented dietary intake, metabolik asidosis dan beberapa
obat yang dapat menghambat kalium masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi
kalium di nefronbagian distal. Hipokalemia jarang terdapat pada penyakit ginjal
kronik dan biasanya merupakan tanda kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada
terapi diuretik atau kehilangan dari gastro intestinal.
Asidosis metabolik
Dengan berlanjutnya PGK, maka seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi
penyangga (buffer) akan turun yang dapat menyebabkan terjadinya asidosis
metabolik. Pada kebanyakan pasien dengan PGK yang stabil, pemberian 20-30
mmol/hari natrium bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Pemberian
natrium harus dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.

Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat

19
Kelainan mayor dari penyakit tulang pada PGK dapat diklasifikasikan sebagai high
bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah
atau normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder
hiperparatiroidisme berhubungan dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu :
1. Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat (PO43- ) dan
menimbulkan retensi PO43-
2. Tertahannya PO4 3- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan masa sel
kelenjar para tiroid. .
3. Tertahannya PO4 3- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan
sekresi PTH melalui turunnya ion Ca2 + dan dengan supresi produksi kalsitriol
(1,25 dihidroksi oleh kalsiferol ).
4. Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat
pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang
rendah dapatmenimbulkan hiperparatiroidisme melalui mekanisme langsung dan
tidak langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung pada
transkripsi PTH. Oleh karena itu penurunan kalsitriol pada panyakit ginjal kronik
menyebabkan peningkatan kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol
menimbulkan gannguan absorbsi Ca 2+ dari traktus gasrto interstinal, yang
kemudian menimbulkan hipokalsemia dan selanjutnya meningkatkan sekresi dan
produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan penurunan
sintesis kalsitriol, semuanya menyebabkan produksi PTH dan proliferasi dari
paratiroid sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder.
Low turn over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu
osteomalasia dan penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki karakteristik
berupa penurunan jumlah osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi
penurunan aktifitas. Pada osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang
tidak termineralisasi, atau peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan
defisiensi vitamin D, peningkatan deposit aluminium, atau asidosis metabolik.
Penyakit tulang adinamik dikenali sebagai kejadian lesi tulang hiperparatiroid
pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan ini
biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes.
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering
terjadi. Penatalaksaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol(1, 25 (OH) 2 D3 ).

20
Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian
pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna.

3.10 Komplikasi (8)


Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut :
1. Hiperkalemia
2. Asidosis metabolik
3. Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF )
4. Kelainan hematologi (anemia)
5. Osteodistrofi renal
6. Gangguan neurologi ( neuropati perifer dan ensefalopati)
7. Tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik

3.11 Tatalaksana (8)

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :


1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG untuk
mngetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus.
Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah :
a. Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di pecah
menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui
ginjal selain itu makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen,
posfat, sulfat, dan ion anorganik lainnya juga dieksresikan melalui ginjal. Oleh
karena itu, pemberian diet tinggi protein pada penderita gagal ginjal kronik

21
akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya
dan mengakibatkan sindrom uremia. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu
berasal dari sumber yang sama dan untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia

Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik


LGF ml/menit Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25 60 0,6 0,8/kg/hari, termasuk < 10 g
> 0,35 gr/kg/hr nilai
biologi tinggi
5 -25 0,6 0,8/kg/hari, termasuk < 10 g
> 0,35 gr/kg/hr protein
nilai biologi tinggi atau
tambahan 0,3 g asam
amino esensial atau asam
keton
<60(sind.nefrotik 0,8/kg/hari (+1 gr protein/ < 9 g
) g proteinuria atau 0,3 g/kg
tambahan asam amino
esensial atau asam keton

Tabel 3. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik

b. Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi
(ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko
kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat perburukan

22
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerular dan hipertrofi
glomerulus.

4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular


Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi, pengedalian
dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap
kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.

5. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi


a. Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g% atau
hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar besi
serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ total iron binding capacity, feritin
serum), mencari sumber perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis,dll. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.
Sasaran hemoglobin adalah 11 12 g/dl.
b. Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :
i. Mengatasi hiperfosfatemia
ii. Pembatasan asupan fosfat 600 800 mg/hari
iii. Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium, alluminium
hidroksida, garam magnesium. Diberikan secara oral untuk
menghambat absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam
kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan
calcium acetate
iv. Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat menghambta reseptor
Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida.

i. Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal
karena dapat meningkatkan absorpsi fosfat dan kaliun di

23
saluran cerna sehingga mengakibatkan penumpukan garam
calcium carbonate di jaringan yang disebut kalsifikasi
metastatik, disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan
yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.
ii. Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema
dan kompikasi kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air
yang masuk dianjurkan 500 800 ml ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asuapannya adalah kalium dan
natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia
dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena
itu, pemberian obat obat yang mengandung kalium dan
makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus
dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 5,5 mEq/lt.
Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan
hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan,
disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema
yang terjadi.
6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15
ml/mnt. Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

3.12 Prognosis (9)


Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka
panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang
dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu
sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai
tingkat lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat.

BAB IV
Anemia pada Gagal Ginjal Kronik
4.1 Definisi (13)
World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan
konsentrasi hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dan <

24
12,0 gr/dl pada wanita lainnya. The European Best Practice Guidelines untuk
penatalaksanaan anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik mengatakan bahwa
batas bawah hemoglobin normal adalah 11,5 gr/dl pada wanita, 13,5 gr/dl pada laki-
laki dibawah atau sama dengan 70 tahun dan 12,0 gr/dl pada laki-laki diatas 70 tahun.
Karena semua sistem organ dapat terkena, maka pada anemia dapat
menimbulkan manifestasi klinis yang luas, bergantung pada (1) kecepatan timbulnya
anemia, (2) usia individu, (3) mekanisme kompensasi, (4) tingkat aktivitasnya, (5)
keadaan penyakit yang mendasarinya, dan (6) beratnya anemia.
Eritrosit dibentuk di dalam sumsum tulang dari ruas tulang belakang
(vertebrae), trokanter femur dan pada tulang-tulang gepeng. Sel-sel eritrosit ini
mengalami pematangan di dalam sumsum tulang. Pada mulanya eritrosit mempunyai
inti yang disebut normoblas. Hemoglobin dibentuk di dalam protoplasma normoblas
ini. Kemudian inti sel akan menghilang dan sesudahnya akan ditransportasikan ke
peredaran darah. Di dalam darah eritrosit akan hidup kira-kira 120 hari, kemudian
akan dirusak di limpa dimana zat besi dari hemoglobin dikembalikan ke peredaran
darah, sedangkan gugus hem akan dipecah menjadi pigmen empedu. Pigmen empedu
kemudian diekskresi ke dalam empedu dan dibuang melalui feses, yang memberikan
warna coklat pada feses.
Sebagian dari pigmen empedu dirubah menjadi sterkobilin oleh bakteri usus,
yang diserap kembali dan diekskresi dalam bentuk urobilin dalam urin. Selama 2 hari
pertama dalam aliran darah, eritrosit masih mengandung benang-benang yang halus
dari RNA(untuk membentuk hemoglobin). Benang-benang ini hanya dapat dilihat
dengan pewarnaan khusus pada sel yang hidup yaitu pewarnaan brilliant cresyk blue.
Sel eritrosit yang muda ini disebut retikulosit dan dapat dihitung dengan mudah. Pada
orang normal jumlahnya 16 dari eritrosit.
Erythropoietin adalah hormon peptida yang terlibat dalam kontrol produksi
erythrocyte oleh sumsum tulang. Sumber utama dari erythropoietin adalah ginjal,
walaupun disekresikan juga dalam jumlah sedikit oleh hati. Sel ginjal yang
mensekresi adalah sekumpulan cell di interstitium. Stimulus dari pengsekresian
erythropoietin adalah berkurangnya tekanan parsial oksigen pada ginjal, seperti pada
anemia, hipoksia arterial, dan tidak adekuatnya aliran darah ginjal. Erythropoietin
menstimulasi sumsum tulang untuk meningkatkan produksi erythrocytes. Penyakit
ginjal bisa menyebabkan penurunan sekresi erythropoietin, dan memicu penurunan

25
aktivitas sumsum tulang adalah faktor penyebab penting dari anemia pada penyakit
ginjal kronik.
Salah satu dari tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah
pucat. Keadaan ini umumnya diakibatkan dari berkurangnya volume darah,
berkurangnya hemoglobin, dan vasokonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman O 2
ke organ-organ vital. Warna kulit bukan merupakan indeks yang dapat dipercaya
untuk pucat karena dipengaruhi pigmentasi kulit, suhu, dan kedalaman serta distribusi
bantalan kapiler. Bantalan kuku, telapak tangan, dan membrane mukosa mulut serta
konjungtiva merupakan indicator yang lebih baik untuk menilai pucat. Jika lipatan
tangan tidak lagi berwarna merah muda, hemoglobin biasanya kurang dari 8 gr.

4.2 Klasifikasi (13)

Anemia dapat diklasifikasikan menurut (1) faktor-faktor morfologik SDM dan


indeks-indeksnya atau (2) etiologi. Pada klasifikasi morfologik anemia, mikro- atau
makro- menunjukkan ukuran SDM dan kromik untuk menunjukkan warnanya. Sudah
dikenal tiga kategori besar. Pertama, anemia normositik normokrom, SDM memiliki
ukuran dan bentuk normal serta mengandung jumlah hemoglobin normal (mean
corpuscular volume [MCV] dan mean corpuscular hemoglobin concentration
[MCHC] normal atau normal rendah). Penyebab-penyebab anemia jenis ini adalah
kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronis yang meliputi infeksi, gangguan
endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum tulang, dan penyakit-penyakit
infiltrative metastatic pada sumsum tulang.

Kategori utama yang kedua adalah anemia makrositik normokromik, yang


memiliki SDM lebih besar dari normal tetapi normokromik karena konsentrasi
hemoglobin normal (MCV meningkat, MCHC normal). Keadaan ini disebabkan oleh
terganggunya atau terhentinya sintesis asam deoksiribonukleat (DNA) seperti yang
ditemukan pada defisiensi B12 atau asam folat atau keduanya. Anemia normokromik
dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker karena agen-agen mengganggu sintesis
DNA.

Kategori ketiga adalah anemia mikrositik hipokromik. Mikrositik berarti sel


kecil, dan hipokromik berarti pewarnaan yang berkurang. Karena warna berasal dari

26
hemoglobin, sel-sel ini mengandung hemoglobin, dalam jumlah yang kurang dari
normal (penurunan MCV dan penurunan MCHC). Keadaan ini umumnya
mencerminkan insufisiensi sintesis heme atau kekurangan zat besi, seperti pada
anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik, dan kehilangan darah kronis, atau
gangguan sintesi globin, seperti pada thalasemia. Thalasemia menyangkut
ketidaksesuaian jumlah rantai alfa dan beta yang disintesis, dengan demikian tidak
dapat terbentuk molekul hemoglobin tetramer normal.

Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologi. Penyebab utama yang


dipikirkan adalah (1) peningkatan hilangnya SDM dan (2) penurunan atau kelainan
pembentukan sel. Meningkatnya kehilangan SDM dapat disebabkan oleh perdarahan
atau oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat diakibatkan dari trauma atau ulkus atau
akibat perdarahan kronis karena polip di kolon, keganasan, hemoroid atau menstruasi.
Penghancuran SDM didalam sirkulasi dikenal sebagai hemolisis, terjadi jika
gangguan pada SDM itu sendiri memperpendek siklus hidupnya (kelainan instrinsik)
atau perubahan lingkungan yang menyebabkan penghancuran SDM (kelainan
ekstrinsik).

Keadaan-keadaan yang SDM-nya itu sendiri mengalami kelainan adalah :


1. Hemoglobinopati atau hemoglobin abnormal yang diwariskan, seperti, penyakit
sel sabit
2. Gangguan sintesis globin, seperti thalassemia
3. Kelainan membrane SDM, seperti sferositosis herediter dan eliptositosis
4. Defisiensi enzim, seperti defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan
defisiensi piruvat kinase

Klasifikasi etiologi utama yang kedua adalah berkurangnya atau terganggunya


produksi SDM (diseritropoiesis). Setiap keadaan yang memengaruhi funsi sumsum
tulang termasuk di dalam kategori ini. Termasuk di dalam kelompok ini adalah (1)
keganasan jaringan padat metastatic, leukemia, limfoma dan myeloma multiple;
pajanan terhadap obat-obat dan zat kima toksik; serta iradiasi dapat mengurangi
produksi efektif SDM; dan (2) penyakit-penyakit kronis yang mengenai ginjal dan
hati, serta infeksi dan defisiensi endokrin. Kekurangan vitamin-vitamin penting,

27
seperti B12, asam folat, vitamin C, dan zat besi dapat mengakibatkan pembentukan
SDM tidak efektif, menimbulkan anemia. Untuk menentukan jenis anemia, baik
pertimbangan morfologik dan etiologic harus digabungkan.7

4.3 Epidemiologi (13)

Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan salah satu penyakit yang memiliki
risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia, kurang lebih 26 juta orang
dewasa di Amerika dan warga negara lain berisiko terkena gagal ginjal kronik. Insiden
dan prevalensi gagal ginjal meningkat pada setiap tahunnya, outcome yang rendah,
dan biaya pengobatan yang tinggi. Banyak pasien dihadapkan pada problem medis
yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik, salah satu dan mayoritas problem
tersebut adalah anemia, yang berkembang sejak awal pasien terkena gagal ginjal
kronik dan berkontribusi pada penurunan kualitas hidup pasien. Hal ini ditunjukkan
dengan meningkatnya kemungkinan efek samping yang terjadi, termasuk komplikasi
dan kematian karena penyakit kardiovaskuler.

Sebuah studi populasi National Health and Nutrition Examination Survey


(NHANES) dari National Institutes of Health and Prevalence of Anemia in Early Renal
Insufficiency (PAERI) menyebutkan bahwa insiden terjadinya anemia adalah kurang
dari 10% pada gagal ginjal kronik stadium 1 dan 2, 20-40% pada gagal ginjal kronik
stadium 3, 50-60% pada gagal ginjal kronik stadium 4, dan lebih dari 70% pada gagal
ginjal kronik stadium 5.

Sebelum adanya terapi dengan eritropoietin, konsentrasi hemoglobin yang


normal hanya terjadi pada 3% pasien gagal ginjal kronik dengan dialisis, sebagian besar
pasien memiliki nilai hemoglobin 6-8 g/dL. Pada tahun 1980-an, 10% pasien dialisis
memerlukan terapi transfusi darah.

4.4 Etiologi (3)


Anemia pada penyakit ginjal kronik adalah jenis anemia normositik normokrom,
yang khas selalu terjadi pada sindrom uremia. Bisanya hematokrit menurun hingga
20-30% sesuai derajat azotemia. Komplikasi ini biasa ditemukan pada penyakit ginjal
kronik stadium 4, tapi kadang juga ditemukan sejak awal stadium 3.

28
Tabel 3. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt) Komplikasi


1 Kerusakan ginjal dengan LGF 90 -
normal
2 Kerusakan ginjal dengan 60-89 Tekanan darah mulai naik
penurunan LGF ringan
3 Penurunan LGF sedang 30-59 Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosistinemia
4 Penurunan LGF berat 15-29 Malnutrisi
Asidosis metabolik
Cenderung hiperkalemia
Dislipidemia
5 Gagal ginjal <15 Gagal jantung
Uremia

Penyebab utama anemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronik adalah kurangnya
produksi eritropoietin (EPO) karena penyakit ginjalnya. Faktor tambahan termasuk
kekurangan zat besi, peradangan akut dan kronik dengan gangguan penggunaan zat besi
(anemia penyakit kronik), hiperparatiroid berat dengan konsekuensi fibrosis sumsum
tulang, pendeknya masa hidup eritrosit akibat kondisi uremia. Selain itu kondisi
komorbiditas seperti hemoglobinopati dapat memperburuk anemia.

Tabel 4. Etiologi Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik

Etiologi Penjabaran etiologi


Penyebab utama Defisiensi relatif dari eritropoietin
Penyebab tambahan Kekurangan zat besi
Inflamasi akut dan kronik
Pendeknya masa hidup eritrosit
Bleeding diathesis
Hiperparatiroidisme/ fibrosis sumsum tulang
Kondisi komorbiditas Hemoglobinopati, hipotiroid, hipertiroid, kehamilan,

29
penyakit HIV, penyakit autoimun, obat imunosupresif

4.5 Patogenesis (14)

Terdapat 5 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada


gagal ginjal, yaitu : produksi eritropoetin yang menurun, suasana uremi darah, depresi
sum-sum tulang, defisiensi Fe dan asam folat, dan trombositopati. Anemia pada gagal
ginjal kronik terutama terjadi karena penurunan produksi eritropoietin.

1. Produksi Eritropoietin yang Menurun


Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yang
memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis
mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling
utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan
gagal ginjal yang berat. Produksi eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat
kerusakan yang progresif dari bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin. Sel
progenitor ginjal memproduksi 90% eritropoietin, yang akan menstimulasi produksi
sel darah merah. Adanya penurunan massa nefron ginjal pada pasien gagal ginjal
kronik menyebabkan menurunnya produksi eritropoietin, yang selanjutnya
menyebabkan terjadinya anemia.Peran penting defisiensi eritropoetin pada
patogenesis anemia pada gagal ginjal dilihat dari semakin beratnya derajat anemia.
Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan
bahwa dalam perbandingan dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien
anemia dengan penyakit ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum
eritropoetin yang tidak adekuat. Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah
merah dengan efek tambahan terjadi defisiensi erotropoetin. Proses inflamasi seperti
glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan pielonefritis kronik, yang biasanya
merupakan akibat pada gagal ginjal terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang
timbul akibat efek imunosupresif.

Mekanisme penurunan produksi EPO ini belum diketahui secara pasti. Hal ini
dapat terjadi sebagai bagian dari respon fisiologi untuk mencapai konsentrasi Hb
yang turun secara kronik. Secara tipikal, produksi EPO di sel ndothelial kapiler
tubulus ginjal bergantung pada mekanisme feed-back untuk mengukur kapasitas

30
pembawa oksigen total. Faktor penginduksi hipoksia (Hypoxia inducible factor/
HIF), yang diproduksi di ginjal dan jaringan lain, merupakan substansi pendegradasi
spontan yang dihambat adanya penurunan pembawa oksigen selama anemia atau
hipoksemia. Selanjutnya, HIF memicu transduksi sinyal dan sintesis EPO. Oleh
karena itu, respon yang muncul adalah ditingkatkannya produksi EPO pada anemia.
EPO kemudian berikatan dengan reseptor pada sel progenitor eritroid di sumsum
tulang belakang, secara spesifik Burst-Forming Units (BFU-E) dan Colony Forming
Units (CFU-E). Adanya EPO, progenitor eritroid ini berdiferensiasi menjadi
retikulosit dan sel darah merah (Red Blood Cells/ RBCs). Ketiadaan EPO memicu
program apoptosis, hal ini dimediasi oleh antigen Fas. Penurunan produksi sel darah
merah dan berkelanjutan pada kehilangan darah karena kematian sel darah merah
akan mendorong perburukan anemia.

Gambar 4. Eritropoiesis Pada Gagal Ginjal Kronik

2. Kondisi Inflamasi Akut dan Kronik


Kondisi inflamasi kronik dan akut yang memiliki pengaruh kuat pada anemia
gagal ginjal kronik, oleh agen inflamasi sitokin yang menurunkan produksi EPO dan
menginduksi apoptosis pada Colony Forming Units-Erythroid Cells (CFU-E). Pada
induksi awal apoptosis sel CFU-E menghentikan proses perkembangan menjadi sel
darah merah. Agen inflamasi sitokin juga ditemukan dapat menginduksi produksi

31
hepcidin, suatu peptida yang dihasilkan di hati, yang mengganggu dalam produksi sel
darah merah, dengan menurunkan ketersediaan besi untuk menjadi eritroblas. Hal ini
dapat mengurangi produksi sel darah merah. Berikut ini merupakan gambaran dari
pembentukan sel darah merah pada gagal ginjal kronik.

3. Waktu hidup sel darah merah yang lebih pendek


Sel darah merah pada pasien dengan gagal ginjal kronik juga memiliki waktu
hidup yang pendek. Pada normalnya waktu hidup sel darah merah adalah 120 hari,
pada gagal ginjal kronik menjadi 60-90 hari. Pada pasien tanpa gagal ginjal, sumsum
tulang belakang memiliki kapasitas untuk meningkatkan produksi sel darah merah dan
mengoreksi waktu hidup sel yang pendek, tetapi respon ini berkurang pada pasien
gagal ginjal karena defisiensi EPO.

4. Suasana Uremi Darah


Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatiroidism
juga menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada suasana uremia.
Toksin uremia juga berkontribusi pada apoptosis sehingga insiden anemia akan
meningkat setelah dialisis. Terdapat beberapa studi prospektif dan observasional yang
menyebutkan bahwa uremia berperan dalam supresi sumsum tulang belakang .

5. Depresi Sum-sum Tulang


Hyperparatiroidism dapat menekan produksi sel darah merah melalui 2
mekanisme.yang pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat
peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan.
Yang kedua, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum
tulang terhadap eritropoetin asing.

6. Defisiensi Fe dan Asam Folat


Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronis, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan

32
(asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai muncul tandadan gejala uremia dengan
keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan
penurunan berat badan. Adanya keluhan pada gastrointestinal ini dapat
mempermudah tejadinya anemia, karena deisiensi besi dan asam folat.

7. Trombositopati
Pada pasien gagal ginjal terdapat penurunan jumlah trombosit, yang
menyebabkan terjadinya trombositopati. Akibatnya mudah terjadi perdarahan pada
gastrointestinal dan mukosa.

4.6 Patofisiologi (15,16)


Ketika terjadi gangguan pada glomerulus maka fungsi ginjal pun terganggu,
termasuk fungsi endokrinnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dikaitkan dengan
konsekuensi patofisiologik yang merugikan, termasuk berkurangnya transfer oksigen
ke jaringan dan penggunaannya, peningkatan curah jantung, dilatasi ventrikel, dan
hipertrofi ventrikel.
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain
yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis
mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling
utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan
penyakit ginjal yang berat. Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia
pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik.Para peneliti mengatakan bahwa sel-sel
peritubular yang menghasilkan eritropoetin rusak sebagian atau seluruhnya seiring
dengan progresivitas penyakit ginjalnya. Selanjutnya pada penelitian terdahulu
menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan
pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal
menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat.
Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahan terjadi
defisiensi erotropoetin. Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit
reumatologi, dan pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal
ginjal terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek
imunosupresif. Defisiensi eritropoetin relatif pada penyakit ginjal kronik dapat

33
berespon terhadap penurunan fungsi glomerulus. Satu studi mengatakan bahwa untuk
mempertahankan kemampuan untuk meningkatkan kadar eritropoetin dengan cara
tinggal pada daerah yang tinggi. Selain itu, telah terbukti juga bahwa racun uremik
juga dapat menginaktifkan eritopoietin atau menekan respon sumsum tulangterhadap
eritropoietin.
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel
prekursor eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis
yang tidak adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan
proses ertropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan
gagal ginjal terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht biasanya meningkat dan
produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit,
karena penurunan kadar eritropetin serum. Substansi yang menghambat eritropoesis
ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH. Spermin dan spermidin yang
kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek
penghambatan pada eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis dan
trombopoesis. Karena ketidakspesifikkan, leukopenia, dan trombositopenia bukan
merupakan karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin
tidak memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit
ginjal kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder,
tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakan bahwa PTH memberikan efek
penghambatan pada eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan
paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada pasien uremia,
peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH dengan derajat anemia
pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada eritropoesis
belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH seperti fibrosis
sumsum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut bertanggung jawab dalam
hubungan antara hiperparatiroid dan anemia pada gagal ginjal.
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah
oleh karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada
pasien-pasien ini adalah dari hemodialisis. Pada suatu penelitian, dibuktikan pasien-
pasien hemodialisis dapat kehilangan darah rata-rata 4,6 L/tahun. Kehilangan darah
melalui saluran cerna, sering diambil untuk pemeriksaan laboratorium dan defisiensi
asam folat juga dapat menyebabkan anemia. Kekurangan asam folat bisa bersamaan
dengan uremia, dan bila pasien mendapatkan terapi hemodialisis, maka vitamin yang

34
larut dalam air akan hilang melalui membran dialisis. Kecendrungan terjadi
perdarahan pada uremia agaknya disebabkan oleh gangguan kualitatif trombosit dan
dengan demikian menyebabkan gangguan adhesi.
Kekurangan zat besi dapat disebabkan karena kehilangan darah dan absorbsi
saluran cerna yang buruk (antasida yang diberikan pada hiperfosfatemia juga
mengikat besi dalam usus). Selain itu, proses hemodialisis dapat menyebabkan
kehilangan 3 -5 gr besi per tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per
hari,sehingga kehilangan besi pada pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk
alasan yang masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin
pada penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan
kapasitas sistem transport besi. Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan
untuk mengeluarkan cadangan besi dari makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal
kronik.
Masa hidup eritrosit pada pasien gagal ginjal hanya sekitar separuh dari masa
hidup eritrosit normal. Peningkatan hemolisis eritrosit ini tampaknya disebabkan oleh
kelainan lingkungan kimia plasma dan bukan karena cacat pada sel darah itu sendiri.
Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialisis
kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel
darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%.
Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal
yang ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek,
ketika sel darah merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien
yang sehat memiliki waktu hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung pada
uremic plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada
eritrosit diperkirakan merupakan mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis.
Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi ketersediaan dari glutation
reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb
dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari
luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan.
Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm
juga menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH
yang utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM
manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler.
Hyperparatiroidism dapat menekan produksi sel darah merah melalui 2

35
mekanisme.yang pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat
peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan.
Yang kedua, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum
tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang menyatakan
adanya peningkatan Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan
uremia.
Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang
mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler
(hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral,
dengan penurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3-
diphosphoglycerate(DPG). Hemolisis dapat timbul akibat kompliksai dari prosedur
dialisis atau dari interinsik imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang
digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi
dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolisis.
Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter
yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin, penghambatan
hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat
disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan
kelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit.
Hipersplenisme merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh
pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati
kronis dapat mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien
dengan gagal ginjal terminal. Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang , yang
dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid,
atau karena pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat
disebabkan karena proses patologik lainnya seperti splenomegali atau mikroangiopati
yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan hipertensi maligna.
Penyebab lain yang mempengaruhi eritropoiesis pada pasien dengan gagal
ginjal terminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat
terpapar oleh konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat
yang mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang
kadar feritin serumnya meningkat atau normal pada pasien hemodialisis, menandakan
anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi alumnium.
Patogenesisnya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang

36
menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis menyebabkan hambatan
sintesis dan ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi
eritropoesis melalui penghambatan metabolisme besi normal dengan mengikat
transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi
antara prekursor sel darah merah pada sumsum tulang.

Gambar 5. Homeostasis besi pada penyakit ginjal kronik


Inflamasi (15,16)
Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, saturasi
transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang bermanifestasi
dengan tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di
sirkulasi seperti interleukin 6 berhubungan dengan respon yang buruk terhadap
pemberian eritropoetin pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.
Feritin pada Penyakit ginjal kronik

Struktur dan Fungsi Feritin

Feritin merupakan protein cadangan besi utama yang dijumpai pada jaringan
tubuh manusia. Feritin terdiri dari 24 subunit dengan 2 tipe yaitu di hati (L) dan
jantung (H), dengan berat molekul 19 dan 21 kDa. Subunit H memiliki peranan yang

37
penting dalam mendetoksifikasi besi secara cepat oleh karena aktivitas
feroksidasenya, dimana oksidasi besi menjadi bentuk Fe(III). Sedangkan subunit L
memfasilitasi nukleasi besi, mineralisasi dan cadangan besi jangka panjang.
Feritin merupakan tempat penyimpanan zat besi terbesar dalam tubuh. Fungsi
feritin adalah sebagai penyimpanan zat besi terutama di dalam hati, limpa dan
sumsum tulang. Zat besi yang berlebihan akan disimpan dan bila diperlukan dapat
dimobilisasi kembali. Hati merupakan tempat penyimpanan feritin terbesar di dalam
tubuh dan berperan dalam mobilisasi feritin serum. Pada penyakit hati akut maupun
kronik kadar feritin serum meningkat, hal ini disebabkan pengambilan feritin dalam
sel hati terganggu dan terdapat pelepasan feritin dari sel hati yang rusak. Pada
penyakit keganasan sel darah merah, kadar feritin serum meningkat disebabkan
meningkatnya sintesis feritin oleh sel leukemia. Pada keadaan infeksi dan inflamasi
terjadi gangguan pelepasan zat besi dari sel retikuloendotelial dan disekresikan ke
dalam plasma. Sintesis feritin dipengaruhi oleh konsentrasi cadangan besi intrasel dan
berkaitan pula dengan cadangan zat besi intrasel (hemosiderin).

Ferritin pada keadaan inflamasi


Kadar C-Reactive Protein (CRP) akan meningkat cepat pada infeksi, disebut
respon fase akut. Peningkatan CRP berhubungan dengan peningkatan konsentrasi
interleukin-6 (IL-6) di dalam plasma yang sebagian besar diproduksi oleh makrofag.
Makrofag merupakan sel imun yang berperan langsung dengan kadar besi dalam
tubuh manusia. Makrofag membutuhkan zat besi untuk memproduksihighly toxic
hydroxyl radical, juga merupakan tempat penyimpanan besi yang utama pada saat
terjadi proses inflamasi. Sitokin, radikal bebas, serta protein fase akut yang dihasilkan
oleh hati akan mempengaruhi homeostasis besi oleh makrofag dengan cara mengatur
ambilan dan keluaran besi sehingga akan memicu peningkatan retensi besi dalam
makrofag pada saat terjadi inflamasi. Besi juga mengatur aktivitas sitokin, proliferasi,
dan aktivitas limfosit sehingga diferensiasi dan aktivasi makrofag akan terpengaruh.

Protein fase akut memegang peran dalam proses inflamasi yang kompleks.
Konsentrasi protein fase akut meningkat secara signifikan selama proses inflamasi
akut karena tindakan pembedahan, infark miokard, infeksi, dan tumor. Peningkatan
disebabkan oleh sintesis di hati, namun tidak dapat digunakan untuk menentukan
penyebab inflamasi. Pengukuran protein fase akut dapat digunakan untuk mengamati

38
progresivitas dari inflamasi serta melihat respon terapi dengan melihat nilai protein
fase akut saat mulai meningkat dan kadar yang tertinggi. Kadar feritin serum tidak
dapat menggambarkan indeks cadangan besi dalam tubuh pada saat terjadi kerusakan
sel tubuh. Feritin diproduksi oleh sistem reticulo endotelial, yang berperan penting
dalam proses metabolisme zat besi saat pembentukan hemoglobin dari sel darah
merah senescent. Proses inflamasi dan infeksi akut akan memicu blokade pelepasan
zat besi sehingga akan menurunkan kadar zat besi serum.

Hiperferitinemia Pada Penyakit Ginjal Kronik


Kadar feritin serum tinggi yang ekstrim, >2000 ng/ml, biasanya menandakan
adanya kelebihan besi yang juga dikenal dengan hemosiderosis. Kebanyakan laporan
kasus mengenai kelebihan besi dijumpai pada masa belum digunakannya ESA, ketika
transfusi darah lebih sering digunakan dalam mengatasi anemia.
Peningkatan serum feritin selama inflamasi, infeksi, penyakit hati dan kondisi-
kondisi lain yang tidak berhubungan dengan besi dapat menghalangi kemampuan
dalam menilai status besi pada pasien GGK yang berada dalam kondisi-kondisi
tersebut. Feritin serum merupakan penanda adanya malignansi, seperti pada
neuroblastoma, renal cell carcinoma dan limfoma Hodgkin. Hiperferitinemia juga
berhubungan dengan disfungsi hati. Inflamasi kronik sering terjadi pada pasien-pasien
dengan penyakit ginjal kronik dan lebih dari 40-70% pasien dengan penyakit ginjal
kronik dapat mengalami peningkatan kadar CRP. Sehingga, inflamasi kemungkinan
keadaan yang sering terjadi pada hiperferitinemia pada penyakit ginjal kronik.

Gambar 6. Metabolisme Besi

39
Inflamasi Dan Anemia Pada Penyakit ginjal kronik

Inflamasi dan respon fase akut berkaitan dengan sistem hematopoetik. Selama
periode awal respon fase akut, konsentrasi hemoglobin selalu menurun secara drastis.
Hal ini disebabkan oleh pengrusakan eritrosit yang meningkat oleh makrofag
retikuloendotelial inflamasi yang teraktivasi yang membersihkan sirkulasi dari eritrosit
yang dilapisi dengan imunoglobulin atau kompleks imun. Pada pasien-pasien dengan
fungsi ginjal yang normal, penurunan hemoglobin yang tiba-tiba merangsang sekresi
eritropoetin selama 4-10 hari. Ternyata, sekresi eritropoetin yang meningkat ini
dihambat oleh sitokin-sitokin proinflamasi pada pasien-pasien yang mengalami respon
fase akut.
Faktor pertumbuhan seperti eritropoetin dan beberapa sitokin penting untuk
pertumbuhan dan diferensiasi progenitor eritrosit pada sumsum tulang. Pada konsentrasi
rendah, sitokin-sitokin proinflamasi TNF- dan IL-1 menstimulasi pertumbuhan awal
progenitor. Efek inflamasi yang mensupresi eritropoesis terutama disebabkan oleh
peningkatan aktivitas sitokin-sitokin proinflamasi pada sel-sel prekursor pada berbagai
tingkatan eritropoesis. Dikatakan bahwa efek inhibisi pada prekursor eritroid ini
terutama disebabkan oleh perubahan sensitivitas terhadap eritropoetin. Efek inhibisi
TNF- dan IL-1 pada eritropoesis dapat diatasi dengan pemberian dosis tinggi ESA.
Pada pasien-pasien dengan gagal ginjal terminal, resistensi ESA berhubungan dengan
respon inflamasi seperti pada pasien dengan peningkatan CRP atau fibrinogen kurang
respon terhadap ESA. Gunell dkk melaporkan bahwa albumin serum yang rendah dan
kadar CRPyang meningkat juga memprediksi resistensi terhadap ESA pada pasien-
pasien hemodialisis dan peritoneal dialisis, yang mendukung konsep bahwa respon
inflamasi menyebabkan hipoalbuminemia dan anemia pada pasien-pasien gagal ginjal
terminal.

4.7 Diagnosis (14,17)


Anamnesis pada anemia dengan gagal ginjal ditanyakan tentang riwayat
penyakit terdahulu, pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan

40
pemeriksaan apus darah perifer. Kebanyakan pasien yang tidak memiliki komplikasi,
anemia ini bersifat hipoproliferatif normositik normokrom, apus darah tepi
menunjukkan burr cell. Perubahan morfologi sel darah merah menampilkan proses
hemolitik primer, mikroangiopati atau hemoglobinopati. Jumlah total retikulosit
secara umum menurun. Mean corpuscular volume meningkat pada defisiensi asam
folat, defisiensi B 12 dan pasien dengan kelebihan besi. Mean corpuscular volume
menurun pada pasien dengan thalasemia, defisiensi besi yang berat, dan intosikasi
aluminium yang berat.
Pada era penggunaan rekombinant human eritropoetin (rHuEPO), penilaian
terhadap simpanan besi melalui perhitungan feritin serum, transferin, dan besi sangat
diperlukan. Pada keadaan dimana tidak ada faktor yang memperberat seperti penyakit
inflamasi, penyakit hati, atau respons yang buruk dari rHuEPO, feritin serum
merupakan indikator yang tepat dari simpanan besi tubuh. Jika simpanan menurun,
nilai feritin serum menurun sebelum saturasi transferin. Walaupun penyakit kronik
dapat menurunkan besi dan transferin, pasien dengan saturasi transferin kurang dari
20% dan feritin kurang dari 50 ng/ mm dapat dianggap terjadi defisiensi besi. Di sisi
lain pasien memiliki saturasi lebih dari 20% yang gagal berrespons terhadap
replacement besi harus diperkirakan mengalami intoksikasi aluminium atau
hemoglobinopati. Walaupun alat serologi dapat mengidentifikasi defisiensi besi
dengan spesifisitas, Memastikan dengan pasti penyebab membutuhkan berbagai jalur
kehilangan besi pada pasien tersebut termasuk saluran gastro intestinal (4-5 ml blood
loss / hari atau 5 ml kehilangan besi/ hari), prosedur dialisis (4-50 ml/ terapi dimana
mungkin disebabkan karena antikoagulan yang inadequat dan teknik penggunaan
kembali dialister yang buruk), flebotomi yang rutin untuk kimia darah dan konsumsi
besi pada terapi rHuEPO.
Besi merupakan unsur yang terbanyak didapatkan di darah dalam bentuk
hemoglobin, serum iron (SI), total iron binding capacity (TIBC) dan ferritin.
Pemeriksaan SI bertujuan mengetahui banyaknya besi yang ada di dalam serum yang
terikat dengan transferin, berfungsi mengangkut besi ke sumsum tulang. Serum iron
diangkut oleh protein yang disebut transferin, banyaknya besi yang dapat diangkut
oleh transferin disebut total iron binding capacity (TIBC). Ferritin adalah cadangan
besi tubuh yang sensitif, kadarnya menurun sebelum terjadi anemia. Pada anemia
tidak selalu terjadi perubahan pada SI, TIBC dan ferritin tergantung pada penyebab
anemia. Pada anemia defisiensi besi dengan pemeriksaan status besi (Fe) didapatkan

41
kadar SI dan saturasi transferin menurun dan TIBC meningkat atau normal.
Perbandingan antara Fe serum dan TIBC yang dapat diperoleh dengan cara [Fe
serum/TIBC] x 100% merupakan nilai yang menggambarkan suplai Fe ke eritroid
sumsum tulang, dan sebagai penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran Fe antara
plasma dan cadangan Fe dalam tubuh. Bila saturasi transferin < 16% menunjukkan
suplai besi yang tidak adekuat untuk mendukung eritropoiesis, < 7% diagnosis anemia
defisiensi besi dapat ditegakkan, sedangkan 7-16% dapat digunakan untuk
mendiagnosis anemia defisiensi besi bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau
pemeriksaan lainnya.

Menurut KDIGO, anemia pada pasien gagal ginjal kronik ditetapkan, bila:
1. Pada pasien dewasa atau anak usia >15 tahun jika kadar Hb <13 g/dL pada pria atau
<12 g/dL pada wanita.
2. Pada pasien anak jika kadar Hb <11 g/dL (usia 0,5 5 tahun), <11,5 g/dL (usia 5
12 tahun), dan <12 g/dL (usia 12 15 tahun).(9,10)

Pemantauan anemia pada pasien gagal ginjal kronik diperlukan karena hasil penelitian
membuktikan terdapat korelasi positif antara penurunan laju filtrasi ginjal dan insidensi
anemia. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan-pemeriksaan seperti
yang telah disebutkan di atas.

Sebagai panduan umum, KODGI juga telah mengeluarkan rekomendasi pemantauan


anemia pada pasien gagal ginjal kronik, yakni:
Pada pasien gagal ginjal kronik tanpa anemia, lakukan pemantauan kadar Hemoglobin
(Hb) jika terindikasi (setelah tindaka bedah mayor, dirawat, atau perdarahan) atau secara
berkala (tergantung stadium):
a. Setiap tahun pada pasien CKD stage 3
b. Dua kali per tahun pada pasien CKD non hemodialisa
c. Tiap tiga bulan pada pasien CKD stage 5 dengan hemodialisa maupun
peritoneal dialisa
Pada pasien PGK dengan anemia tanpa terapi ESA, lakukan pemantauan kadar Hb
jika terindikasi atau secara berkala (tergantung stadium):
a. Tiap tiga bulan pada pasien CKD stage 3-5 dengan hemodialisa dan gagal
ginjal kronik dengan peritoneal dialisa

42
b. Setiap bulan pada pasien CKD stage 5 dengan hemodialisa

4.8 Tatalaksana (18)


Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht
> 30%, baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Bila dengan terapi
konservatif target Hb dan Ht belum tercapai dilanjutkan dengan terapi EPO. Dampak
anemia pada gagal ginjal terhadap kemampuan fisik dan mental dianggap dan
menggambarkan halangan yang besar terhadap rehabilitasi pasien dengan gagal ginjal
terminal . Walaupun demikian efek anemia pada oksigenasi jaringan mungkin seimbang
pada pasien uremia dengan penurunan afinitas oksigen dan peningkatan cardiac output
saat hematokrit dibawah 25 %. Walaupun demikian banyak pasien uremia memiliki
hipertensi dan miokardiopati. Karena tubuh memiliki kemampuan untuk
mengkompensasi turunnya kadar hemoglobine dengan meningkatnya cardiac output.
Selain itu banyak pasien memiliki penyakit jantung koroner yang berat dan walaupun
anemia dalam derajat sedang dapat disertai dengan miokardial iskemik dan
angina. Terapi anemia pada gagal ginjal bervariasi dari pengobatan simptomatik melalui
transfusi sel darah merah sampai ke penyembuhan dengan transplantasi ginjal. Transfusi
darah hanya memberikan keuntungan sementara dan beresiko terhadap infeksi (virus
hepatitis dan HIV) dan hemokromatosis sekunder. Peran dari transfusi sebagai
pengobatan anemi primer pada pasien gagal ginjal terminal telah berubah saat dialisis
dan penelitian serologic telah menjadi lebih canggih. Transplantasi ginjal pada banyak
kasus, harus menunggu dalam waktu yang tidak tertentu dan tidak setiap pasien dialisis
memenuhi syarat.
Terdapat variasi terapi antara transfusi darah dan transplantasi, yaitu:
1. Suplementasi eritropoetin
2. Pembuangan eritropoesis inhibitor endogen dan toksin hemolitik endogen dengan
terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis.
3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine
4. Mengkoreksi hiperpara tiroidism.
5. Terapi Androgen
6. Mengurangi iatrogenic blood loss
7. Suplementasi besi
8. Suplementasi asam folat

43
9. Menghindari hazard fisik dan kimia selama ekstra korporeal blood sircuit.

1. Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan
recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi.
Seperti yang telah didemonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang kaya
eritropoetin, human recombinant eritropoetin diberikan intravena kepada pasien
hemodialisa ,telah dibuktikan menyebabkan peningkatan eritropoetin yang drastis.
Hal ini memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah transfusi
darah berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang membutuhkan transfusi
reguler. Saat sejumlah erotropoetin diberikan IV 3x seminggu setelah setiap
dialisa, pasien reguler hemodialisis merespon dengan peningkatan Ht dengan
dosis tertentu dalam beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa AB yang
melawan materi rekombinan dan menghambat terhadap penggunaan eritropoetin
tidak terjadi. Efek samping utamanya adalah meningkatkan tekanan darah dan
memerlukan dosis Heparin yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi
ekstra korporial selama dialisis. Pada beberapa pasien, trombosis pada pembuluh
darah dapat terlihat. Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan
viskositas darah tetapi juga peningkatan tonus vaskular perifer. Komplikasi
trombosis juga berkaitan dengan tingginya viskositas darah bagaimanapun
sedikitnya satu kelompok investigator terlihat peningkatan trombosit. Penelitian in
vitro menunjukkan efek stimulasi human recombinant eritropoetin pada
diferensiasi murine megakariosit. Lalu trombositosis mungkin mempengaruhi
hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum predialisis ureum kreatinin yang meningkat
dan hiperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi dializer karena
tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena peningkatan keadaan umum.
Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh eritropoetin dapat menimbulkan
defisiensi besi khususnya pada pasien dengan peningkatan blood loss. Seluruh
observasi ini mengindikasikan bahwa recombinant human eritropoetin harus
digunakan dengan hati-hati. Hal ini juga memungkinkan bahwa kebanyakan efek
samping ini dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit tidak meningkat ke normal,
tetapi pada nilai 30-35%. Produksi recombinant human eritropoetin merupakan
manajemen yang utama pada pasien uremia.

44
Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO
1. Indikasi:
Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab
lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
a. Cadangan besi adekwat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi
transferin > 20%
b. Tidak ada infeksi yang berat
2. Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap EPO
3. Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan:
a. Hipertensi tidak terkendali
b. Hiperkoagulasi
c. Beban cairan berlebih/fluid overload

Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup. Terdapat
beberapa kriteria pengkajian status besi pada gagal ginjal kronis:
a. Anemia dengan status besi cukup
b. Anemia defisiensi besi:
a. Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L
b. Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100 mcg/L
Saturasi Transferin < 20 %.

1.1 Terapi Eritropoietin Fase koreksi:


Tujuan:
Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.
a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu
selama 4 minggu.
b. Target respon yang diharapkan :
Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam 2-4 minggu.
c. Pantau Hb,Ht tiap 4 minggu
d. Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai target Hb
tercapai (> 10 g/dL)
e. Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%
f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis
25%
g. Pemantauan status besi:
Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan suplemen sesuai
dengan panduan terapi besi.

1.2 Terapi EPO fase pemeliharaan


a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL).
Dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu Pantau Hb dan Ht setiap bulan Periksa
status besi setiap 3 bulan

45
b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi
cukup) maka dosis EPO diturunkan 25% Pemberian eritropoetin ternyata
dapat menimbulkan efek samping diantaranya:
a. hipertensi:
a. tekanan darah harus dipantau ketat terutama selama terapi
eritropoetin fase koreksi
b. pasien mungkin membutuhkan terapi antihipertensi atau
peningkatan dosis obat antihipertensi
c. peningkatan tekanan darah pada pasien dengan terapi eritropoietin
tidak berhubungan dengan kadar Hb.
b. Kejang:
a. Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi
b. Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan
darah yang tidak terkontrol.

Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon yang tidak adekwat. Respon


EPO tidak adekwat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang dikehendaki
setelah pemberian EPO selama 4-8 minggu.
Terdapat beberapa penyebab respon EPO yang tidak adekuat yaitu:
a. Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan penyebab tersering)
b. Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC, SLE,AIDS)
c. Kehilangan darah kronik
d. Malnutrisi
e. Dialisis tidak adekwat
f. Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor antagonis)
g. Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa, intoksikasi alumunium,
hemoglobinopati seperti talasemia beta dan sickle cell anemia, defisiensi asam folat
dan vitamin B12, multiple mioloma, dan mielofibrosis, hemolisis, keganasan).

2. Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialysis


Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal dialisis pada
dasarnya dapat juga mempengaruhi patogenesis anemia pada gagal ginjal, sejak
prosedur ini dapat membuang toksin yang menyebabkan hemolisis dan menghambat
eritropoesis. Selain itu, pengalaman klinis membuktikan bahwa perkembangan nya
lebih cepat daripada menggunakan terapi eritropoetin. Ketidakefektivan pada terapi
pengganti ginjal merupakan akibat keterbatasan pengetahuan tentang toksin dan cara
terbaik untuk menghilangkannya. Pendekatan sederhana untuk meningkatkan terapi
dtoksifikasi pada uremia dengan meningkatkan batas atas ukuran molekular yang
dibuang dengan difusi dan atau transportasi konvektif tidak menghasilkan hasil yang

46
memuaskan. Misalnya, tidak ada data yang membuktikan bahwa hemofiltrasi yang
mencakup pembuangan jangkauan molekuler yang lebih besar dibanding hemodialisis
dengan membaran selulosa yang kecil, merupakan dua terapi utama dalam
mengkoreksi anemia pada gagal ginjal. Selain itu continious ambulatory peritoneal
dialysis (CAPD) , juga merupakan terapi dengan pembuangan jangkauan molekuler
yang besar, ini lebih baik dibandingkan dengan hemodialisis standar dengan
membaran selulosa yang kecil. Hal ini masih tidak jelas jika keuntungan CAPD ini
hanya karena pembuangan yang lebih baik dari inhibitor eritropoesis. Beberapa
penelitian mengindikasikan CAPD meningkatkan produksi eritropoetin, mungkin juga
diluar ginjal dan karena oleh itu meningkatkan eritropoesis. Walaupun mekanismenya
belum diketahui.

3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine


Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada kasus intoksikasi aluminium, terapi
dapat selektif dan efektif efek aluminium yang memperberat pada anemia dengan
gagal ginjal selalu harus diasumsikan ketika terjadi anemia mikrositik dengan normal
atau peningkatan feritin serum pada pasien reguler hemodialisis. Diagnosis
ditegakkan denan peningkatan nilai aluminium serum, riwayat terpapar aluminium
baik oral maupun dialisat , gejala intoksikasi aluminium seperti ensekalopati penyakit
tulang aluminium , dan keberhasilan percobaan terapi. Terapi utama adalah pemberian
chelator deferoxamin (DFO) IV selama satu sampai dua jam terakhir saat hemodialisa
atau hemofiltrasi atau CAPD. Range dosis 0,5 2,0 gr. , 3 kali seminggu. DFO
memobilisasi aluminium sebagai larutan yang kompleks, dimana kemudian dibuang
dengan terapi dialisis atau prosedur filtrasi. Efek samping utama adalah hipotensi ,
toksisitas okular, komplikasi neurologi seperti kejang dan mudah terkena infeksi
jamur. Efek samping ini berespons terhadap pemberhentian terapi sementara waktu ,
pengurangan dosis atau pemberhentian terapi. Efek DFO pada anemia dapat berakibat
drastis seperti pada gambar 4. yang menggambarkan perubahan nilai hemoglobine,
feritin serum, dan konsentrasi aluminium , MCV, MCH pada pasien dengan
ostemalasia yang berhubungan dengan aluminium. Pada permulaan terapi pasien
mengalami anemia mikrositik peningkatan nilai aluminium serum dan feritin . Setelah
beberapa bulan terapi dengan DFO , MCV dan MCH pada nilai diatas normal,
hemoglobine meningkat secara signifikan dan feritin serum dan aluminium menurun.

47
4. Mengkoreksi hiperparatiroidism
Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal, paratiroidektomi bukan
merupakan indikasi untuk terapi anemia. Pengobatan supresi aktivitas kelenjar
paratiroid dengan 1,25- dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan dengan
peningkatan anemia.

5. Terapi Androgen
Sejak tahun 1970 an androgen telah digunakan untuk terapi gagal ginjal. Efek
yang positif yaitu meningkatkan produksi eritropoetin, meningkatkan sensitivitas
polifrasi eritropoetin yang sensitif terhadap populasi stem cell. Testosteron ester
(testosteron propionat, enanthane, cypionate), derivat 17-metil androstanes
(fluoxymesterone,oxymetholone, methyltestosterone), dan komponen 19
norterstosteron (nandrolone dekanoat, nandrolone phenpropionate) telah sukses
digunakan pada terapi anemia dengan gagal ginjal. Respon nya lambat dan efek dari
obat ini dapat terbukti dalam 4 minggu terapi. Nandrolone dekanoat cukup diberikan
dengan dosis 100-200 mg, 1 x seminggu. Testosteron ester tidak mahal tetapi harus
dibatasi karena efek sterilitas yang besar. Komponen 19-nortestosteron memiliki ratio
anabolik : androgenik yang paling tinggi dan yang paling sedikit menyebabkan
hirsutisme serta paling aman untuk pasien wanita. Fluoksimesterone dapat
menyebabkan priapismus pada pasien pria. Penyakit Hepatoseluler kolestatik dapat
menyebabkan komplikasi pada penggunaan zat ini dan lebih sering pada 17
methylated steroid. Pada keadaan meningkatnya transaminase darah yang progesif
dan bilirubin serum yang meningkat, terapi harus dihentikan. Namun, komponen 17-
methylated steroid ini memiliki ratio anabolik/ androgen yang baik dan dapat
diberikan secara oral. Terapi dengan androgen dapat menimbulakan gejala prostatism
atau pertumbuhan yang cepat dari Ca prostat. Rash kulit, perubahan suara seperti laki-
laki, dan perubahan fisik adalah efek samping lainnya pada terapi ini.

6. Mengurangi iatrogenic blood loss


Sudah tentu penatalaksanaan anemia pada penyakit ginjal terminal juga termasuk
pencegahan dan koreksi terhadap faktor iatrogenik yang memperberat. Kehilangan

48
darah ke sirkulasi darah ekstrakorporeal dan dari pengambilan yang berlebihan
haruslah dalam kadar yang sekecil mungkin.

7. Suplementasi besi
Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi dengan absorpsi besi pada usus.
Monitoring penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum satu atau dua
kali pertahun merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak dipengaruhi oleh uremia,
suplementasi besi oral lebih dipilih ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagal
untuk memperbaiki defisiensi besi, penggantian besi secara parenteral harus
dilakukan. Hal ini dilakukan dengan iron dextran atau interferon. Terapi IV lebih
aman dan nyaman dibanding injeksi intra muskular. Syok anafilaktik dapat terjadi
pada 1% pasien yang menerima terapi besi parenteral. Untuk mengurangi kejadian
komplikasi yang berbahaya ini, pasien harus di tes dengan 5 menit pertama dengan
dosis kecil dari total dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replinish penyimpanan besi
dapat diberikan dengan dosis terbagi yaitu 500mg dalam 5-10 menit setiap harinya
atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron dextran dan
diinfuskan perlahan dalam beberapa jam.
Berikut adalah panduan pemberian suplementasi Fe pada pasien gagal ginjal kronik
dengan anemia menurut KDIGO (2012):
a. Saat memberikan terapi Fe, pertimbangkan rasio risiko-manfaat
(meminimalkan transfusi darah, pemberian ESA, gejala dan komplikasi
anemia, serta risiko efek samping terapi Fe).
b. Pada pasien PGK dewasa dengan anemia tanpa terapi ESA atau Fe, dianjurkan
pemberian Fe IV sebagai uji coba (trial) jika diinginkan peningkatan kadar Hb
tanpa pemberian ESA atau kadar TSAT 30% dan kadar feritin 500 ng/mL.
c. Pada pasien PGK dewasa yang tidak mendapat terapi Fe namun mendapat
terapi ESA, dianjurkan pemberian Fe IV sebagai uji coba (trial) jika
diinginkan peningkatan kadar Hb atau penurunan dosis ESA dan TSAT 30%
dan kadar feritin 500 ng/mL.
d. Pada pasien PGK non-dialisis yang membutuhkan suplementasi Fe, pemilihan
rute pemberian Fe berdasarkan derajat defisiensi Fe, ketersediaan akses
intravena, respons terhadap pemberian Fe oral sebelumnya, efek samping
pemberian Fe oral/IV sebelumnya, tingkat kepatuhan pasien, dan biaya terapi.
e. Pemberian Fe berikutnya disesuaikan berdasarkan respons Hb, status Fe,
respons terhadap terapi ESA, dan status klinis pasien.

49
f. Untuk semua pasien PGK anak dengan anemia yang tidak mendapat terapi Fe
atau ESA, direkomendasikan pemberian Fe oral (atau Fe IV jika menjalani
hemodialisis) saat TSAT 20% dan kadar feritin serum 100 ng/mL.Untuk
semua pasien PGK anak dengan anemia yang mendapat terapi ESA namun
tidak mendapat terapi Fe, direkomendasikan pemberian Fe oral (atau Fe IV
jika menjalani hemodialisis) untuk mempertahankan TSAT >20% dan feritin
serum >100 ng/mL.
g. Pemantauan status Fe (TSAT dan feritin serum) dilakukan minimal setiap 3
bulan selama mendapat terapi ESA. Pemantauan dianjurkan lebih sering saat
mulai atau peningkatan dosis terapi ESA, saat terjadi kehilangan darah,
pemantauan respons setelah 1 siklus terapi Fe IV, atau kondisi lain dimana
terjadi kehilangan Fe.
h. Pasien yang mendapat Fe IV dianjurkan untuk dipantau selama 60 menit pasca
infus terhadap terjadinya reaksi alergi.
i. Hindari pemberian Fe IV pada pasien dengan infeksi sistemik

Selanjutnya, untuk terapi besi fase pemeliharaan, berikut adalah


panduan pemberian suplementasi besi menurut PERNEFRI (2001):
a. Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoiesis selama
terapi EPO
b. Target terapi: Feritin serum > 100 mcg/L - < 500 mcg/L
Saturasi transferin > 20 % - < 40 %
c. Dosis
1) IV : iron sucrose : maksimum 100 mg/minggu
iron dextran : IV : 50 mg/minggu iron gluconate : IV : 31,25-
125 mg/minggu
2) IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu
3) Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari
d. Status besi diperiksa setiap 3 bulan
e. Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan terapi
besi dosis pemeliharaan.
f. Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin > 40%,
suplementasi besi distop selama 3 bulan.
g. Bila pemeriksaan ylang setelah 3 bulan feritin serum < 500 mcg/L dan
saturasi transferun < 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan
dosis 1/3-1/2 sebelumnya.

8. Suplementasi asam folat

50
Asam folat hilang masuk ke dialisat dari darah. Oleh karena itu, defisiensi asam folat
dan anemia makrositik dapat terjadi pada pasien dengan asupan protein yang rendah
sejak diet dari pasien dialisis reguler yaitu bebas dan biasanya mengandung asam folat
yang cukup, defisiensi asam folat dan kebutuhan untuk suplementasi asam folat oral
tidak diperlukan. Akhirnya, dokter harus lebih hati-hati dalam terapi darah
ekstrakorporeal yang membawa resiko potensial yang didominasi oleh darah yang
terkontaminasi dan kompartemen dialisat seperti logam dan kimia, yang dapat
menyebabkan kerusakkan sel darah merah dan hemodialisis.

4.9 Transfusi Darah (18)

Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah
menurut PERNEFRI (2001) adalah:

1. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik


2. Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb < 7 g /dL
3. Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
4. Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun yang telah
mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum
tersedia, dapat diberikan transfusi darah dengan hati-hati. Target pencapaian Hb
dengan transfusi darah adalah : 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi
EPO). Transfusi diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi,
hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa
pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan dengan
peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat, walaupun pada pasien dengan
penyakut jantung. Pada kelompok pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal,
pemberian transfusi darah sedapat mungkin dihindari. Transfusi darah memiliki
resiko penularan Hepatitis virus B dan C, infeksi HIV serta potensi terjadinya reaksi
transfusi.

Adapun menurut KODGI (2012), transfusi darah diberikan pada pasien gagal ginjal
kronik dengan ketentuan:
1. Untuk penanganan anemia kronik, direkomendasikan sedapat mungkin menghindari
transfusi sel darah merah untuk menghindari risikonya. Risiko transfusi darah
diantaranya adalah transfusion error, volume overload, hiperkalemia, keracunan

51
sitrat, hipotermia, koagulopati, immunologically-mediated transfusion, iron overload,
dan infeksi.
2. Pada pasien kandidat transplantasi organ, direkomendasikan sedapat mungkin
menghindari transfusi sel darah merah untuk meminimalkan risiko allosensitization.
3. Untuk penanganan anemia kronik, direkomendasikan pemberian transfusi sel darah
merah pada pasien di mana terapi ESA tidak efektif dan risiko terapi ESA melebihi
manfaatnya (misal, riwayat keganasan/riwayat stroke).
4. Pertimbangan untuk memberikan transfusi pasien PGK dengan anemia non-akut
tidak berdasarkan ambang batas kadar Hb, namun berdasarkan gejala anemia.
5. Pada kondisi klinis akut tertentu, direkomendasikan pemberian transfusi jika
manfaatnya melebihi risiko (meliputi saat koreksi cepat anemia dibutuhkan untuk
menstabilkan kondisi pasien atau saat koreksi Hb pre-operasi dibutuhkan).

Tabel 5. Pedoman Manajemen Untuk Memperbaiki Anemia Pada Penyakit Ginjal


Kronik

52
Pedoman Manajemen Untuk Memperbaiki Anemia Pada Penyakit Ginjal
Kronik

Eritropoietin

Dosis permulaan : 50150 units/kg/minggu IV atau SC (1, 2, atau 3


kali/minggu)

11-12 gr%
Target Hb :
Peningkatan Hb 1-2 gr% periode selama 4
Tingkat koreksi optimal :
minggu

Darbopoietin alfa

Dosis permulaan : 0.45 mcg/kg diberikan IV tunggal atau injeksi SC


1X/minggu

Target Hb : 0.75 mcg/kg diberikan IV tunggal atau injeksi SC


1X/2 minggu
Tingkat koreksi optimal :
12 gr%

Peningkatan Hb 1-2 gr% periode selama 4


minggu

Zat Besi

1. Monitor kadar zat besi dari saturasi transferin (TSat) dan serum ferritin

2. Jika pasien kekurangan zat besi (TSat <20% ; serum feritin <100 mcg/L),
beri zat besi 50 100 mg IV 2X/minggu selama 5 minggu, jika indeks zat
besi masih rendah, ulangi

3. Jika indeks zat besi normal,Hb masih tidak mencukupi, berikan zat besi
seperti yang di uraikan diatas, monitor Hb, TSat, dan ferritin

4. Tahan terapi zat besi saat TSat >50% dan/atau ferritin >800mcg/L

53
Situasi 7.
akut: Situasikronik
kronik:(KDIGO 2012)
Gambar Algoritma transfusi
Kondisipada pasien
kronik gagal ginjal
khusus:
Perdarah akut yang berat Anemia kronik dan terapi ESA tak
Klinis anemia kronik berat dan kontraindikasi
Penyakit arteri koroner tak stabil efektif (hemoglobinopati, kegagalan
relative terhadap ESA (riwayat keganasan dan
Preoperatif koreksi Hb cepat sumsum tulang, resisten terhadap ESA)
stroke)

Potensial untuk transplant?

Transfusi
Ya Tidak

Risiko allosensitisasi? Transfusi

Tinggi Rendah

Riwayat transplantasi Laki-laki belum pernah transfusi


Riwayat kehamilan Wanita belum pernah transfusi
Riwayat transfusi Wanita nullipara

54
Nilai perbandingan risiko-manfaat sebelum transfusi
BAB V

KESIMPULAN

Anemia merupakan salah satu dari gejala klinik pada penyakit ginjal kronis. Anemia
pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2
dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya fungsi ekskresi ginjal.
Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor
lain yang memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Terdapat 3
mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu : hemolisis,
produksi eritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel prekursor
eritrosit terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi seperti
intoksikasi aluminium. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis
ditanyakan tentang riwayat penyakit terdahulu , pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan
darah lengkap dan pemeriksaan apus darah perifer. Pada era penggunaan rekombinant human
eritropoetin (rHuEPO) , penilaian terhadap simpanan besi melalui perhitungan feritin serum,
transferin, dan besi sangat diperlukan. Feritin serum merupakan indikator yang tepat dari
simpanan besi tubuh. Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10
g/dL dan Ht > 30%, baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Terapi
anemia pada gagal ginjal bervariasi dari pengobatan simptomatik melalui transfusi sel darah
merah sampai ke penyembuhan dengan transplantasi ginjal. Peran dari transfusi sebagai
pengobatan anemia primer pada pasien gagal ginjal terminal telah berubah saat dialisis dan
penelitian serologic telah berkembang. Transplantasi ginjal pada banyak kasus, harus
menunggu dalam waktu yang tidak tertentu dan tidak setiap pasien dialisis memenuhi syarat.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. National Kidney Foundation. KDOQI clinical practice guidelines and clinical practice
recommendations for anemia in chronic kidney disease. American Journal of Kidney
Disease May 2006; 47 (5): SUPPL 3.

2. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001. p. 463 503.
3. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 1040.
4. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit
Dalam UPH.
5. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p. 110 115.
6. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and
stratification, New York National Kidney Foundation, 2002.
7. Suwitra, Ketut dan Widiana, Gde Raka dalam : The 9 th National Congress of InaSN &
Annual Meeting of Nephrology, Bali : 2005.
8. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 1040.

9. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit
Dalam UPH.

10. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and
stratification, New York National Kidney Foundation, 2002.

11. Sukandar E, Gagal Ginjal Kronis Dan Terminal: Nefrologi Klinik, Edisi III. Bandung.
Penerbit ITB: 2006;465-514.

56
12. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser AL, Loscalzo J. Harrisons
Principles of internal medicine. 18th ed. United States of America: The McGraw-Hill
Companies, Inc; 2012.
13. Lankhorst, CE dan Wish, JB. (2010). Anemia in Renal Disease: Diagnosis and
Management, Blood Reviews., 24, 39-47.
14. National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic
Kidney Disease: Evaluation, classification and stratification. Am J Kidney Dis 39:
suppl 1, 2002.
15. Wilson LM. Penyakit ginjal kronik. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani
DA, editors: Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 6nd ed. Jakarta: EGC;
2012.p. 912-45.
16. Singh AK. Anemia of Chronic Kidney Disease. Clin J Am 2008; vol. 3: 3-6.
17. Suwitra, Ketut dan Widiana, Gde Raka dalam : The 9 th National Congress of InaSN &
Annual Meeting of Nephrology, Bali : 2005.
18. Perhimpunan Nefrologi Indonesia dalam: Konsensus Manajemen Anemia Pada pasien
Gagal Ginjal Kronik: 2001

57

Anda mungkin juga menyukai