Anda di halaman 1dari 20

ANEMIA APLASTIK

A. Pendahuluan

Anemia adalah berkurangnya sel darah merah atau konsentrasi

hemoglobin akibat gangguan keseimbangan antara kehilangan sel darah

merah dan gangguan produksi. Anemia relatif lebih sering terjadi pada pasien

dengan keganasan hematologi atau tumor padat. Menurut kriteria WHO

anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada pria dan di bawah 12

g% pada wanita. Berdasarkan kriteria WHO yang direvisi/ criteria National

Cancer Institute, anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 14 g% pada pria

dan di bawah 12 g% pada wanita. Kriteria ini digunakan untuk evaluasi

anemia pada penderita dengan keganasan (1,2)

Anemia bukan suatu penyakit spesifik, melainkan sebuah gejala yang

dapat disebabkan oleh bermacam-macam reaksi patologis dan fisiologis.

Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak menimbulkan gejala , namun

dapat berlanjut ke keadaan anemia berat dengan gejala-gejala keletihan,

takipnea, napas pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan

gagal jantung.(3)

Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur dan jenis kelamin

dengan melihat jumlah hemoglobin, hematokrit, dan ukuran eritrosit. Selain

itu dengan dasar ukuran eritrosit (mean corpuscular volume/MCV) dan

kemudian dibagi lebih dalam berdasarkan morfologi eritrositnya. Pada

klasifikasi jenis ini, anemia dibagi menjadi anemia mikrositik, normositik dan

makrositik. Klasifikasi anemia dapat berubah sesuai penyebab klinis dan

patologis. (3)

1
Penyakit anemia aplastik pertama kali di deskripsikan oleh Ehrlich

tahun 1888, sampai sekarang penyakit ini mempunyai reputasi yang

rnenakutkan. Banyak pasien anemia aplastik meninggal karena proses

penyakitnya yang progresif. Dasar penyakit ini adalah kegagalan sumsum

tulang dalam memproduksi sel-sel hematopoetik dan limfopoetik, yang

mengakibatkan tidak ada atau berkurangnya sel-sel darah di darah tepi,

keadaan ini disebut sebagai pansitopenia. Pansitopenia adalah suatu keadaan

yang ditandai oleh adanya anemia, leukopenia, dan trombositopenia, dengan

segala manifestasinya (4,5)

Anemia aplastik ditandai dengan adanya aplasia atau hipoplasia tanpa

adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang, karena sumsum

tulang sebagian besar kasus bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka

anemia ini disebut juga anemia hipoplastik. (5)

Pada tujuh puluh persen kasus penyebab anemia aplastik didapat tidak

dapat diterangkan, sedangkan sisanya diduga akibat radiasi, bahan kimia

termasuk obat-obatan, infeksi virus, dan lain-lain. Gejala gejala yang timbul

pada pasien anemia aplastik merupakan gejala pansitopenia seperti pucat,

perdarahan, dan infeksi. Etiologi penyakit ini kebanyakan tidak diketahui

maka tata laksananya juga belum optimal dan seringkali menimbulkan

masalah-masalah baru pada pasien, bukan hanya memperburuk kondisi pasien

atau bahkan dapat mengancam jiwa pasien.(4)

2
B. Definisi

Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoesis yang ditandai

oleh penurunan atau tidak adanya produksi eritroid, mieloid, dan megakariosit

dalam sum-sum tulang dengan akibat adanya pansitopenia pada darah tepi,

serta tidak dijumpai adanya keganasan sistem hemapoietik ataupun kanker

metastatik yang menekan sum-sum tulang.(6)

Aplasia ini dapat terjadi hanya pada satu, dua, atau ketiga sistem

hematopoisis. Aplasia yang hanya mengenai sistem eritropoitik disebut

anemia hipoplastik (eritroblastopenia), yang hanya mengenai sistem

granulopoitik disebut agranulositosis sedangkan yang hanya mengenai sistem

megakariosit disebut Purpura Trombositopenik Amegakariosit (PTA). Bila

mengenai ketiga sistem disebut panmieloptisis atau lazimnya disebut anemia

aplastik.(6)

C. Epidemiologi

Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan di dunia.

Angka kejadian di Asia termasuk Cina, Jepang, Thailand, India, dan Indonesia

lebih tinggi dibandingkan dengan Eropa dan Amerika Serikat. Dari tahun

1980 sampai tahun 2003 tercatat 235 kasus anemia aplastik. Insidennya

adalah 3-6 kasus per 1 juta penduduk pertahun dan insiden meningkat

berdasarkan umur penderita. Laki-laki lebih sering terkena anemia aplastik

dibandingkan dengan wanita. Berdasarkan data Kemenkes RI tahun 2011

prevalensi angka kejadian anemia aplastik sangat rendah pertahun

diperkirakan sebesar 2-5 kasus persejuta penduduk. Meskipun angka kejadian

penyakit ini sangat jarang, anemia aplastik dapat menyerang segala umur dan

3
penyakit ini tergolong berpotensi menyebabkan kematian. Angka bertahan
(5,6,7)
hidup dari 3 bulan, 2 tahun dan 15 tahun adalah 73%,57%, dan 51%.

D. Etiologi

Penyebab anemia aplastik sendiri sebagian besar (50-70%) tidak

diketahui atau bersifat idiopatik. Secara etiologik penyakit ini dapat dibagi

menjadi 2 golongan besar yaitu :

a. Faktor congenital

Anemia aplastik yang diturunkan : sindroma Fanconi yang biasanya disertai

kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan

ginjal dan sebagainya.(6)

b.Faktor didapat

Sebagian anemia aplastik didapat bersifat idiopatik sebagian lainnya

dihubungkan dengan :

1. Bahan Kimia

Berdasarkan pengamatan pada pekerja pabrik sekitar abad ke-20an,

keracunan pada sumsum tulang, benzene juga sering digunakan sebagai

bahan pelarut. Benzene merupakan bahan kimia yang paling

berhubungan dengan anemia aplastik. Meskipun diketahui sebagai

penyebab dan sering digunakan dalam bahan kimia pabrik, sebagai obat,

pewarna pakaian, dan bahan yang mudah meledak. Selain penyebab

keracunan sumsum tulang, benzene juga menyebabkan abnormalitas

hematologi yang meliputi anemia hemolitik, hiperplasia sumsum,

metaplasia mieloid, dan akut mielogenous leukemia. Benzene dapat

meracuni tubuh dengan cara dihirup dan dengan cepat diserap oleh

4
tubuh, namun terkadang benzene juga dapat meresap melalui membran

mukosa dan kulit dengan intensitas yang kecil. Terdapat juga hubungan

antara pengguanaan insektisida menggunakan benzene dengan anemia

aplastik. Chlorinated hydrocarbons dan organophospat menambah

banyaknya kasus anemia aplastik seperti yang dilaporkan 280 kasus

dalam literatur. Selain itu DDT(chlorophenothane), lindane, dan

chlordane juga sering digunakan dalam insektisida.1 Trinitrotolune

(TNT), bahan peledak yang digunakan pada perang dunia pertama dan

kedua juga terbukti sebagai salah satu faktor penyebab anemia aplastik

fatal. Zat ini meracuni dengan cara dihirup dan diserap melalui kulit.

Kasus serupa juga diamati pada pekerja pabrik mesia di Great Britain

dari tahun 1940 sampai 1946. (8)

2. Obat

Beberapa jenis obat mempunyai asosiasi dengan anemia aplastik, baik

itu mempunyai pengaruh yang kecil hingga pengaruh berat pada

penyakit anemia aplastik. Hubungan yang jelas antara penggunaan obat

tertentu dengan masalah kegagalan sumsum tulang masih dijumpai

dalam kasus yang jarang. Hal ini disebabkan oleh dari beberapa

interpretasi laporan kasus dirancukan dengan kombinasi dalam

pemakaian obat. Kiranya, banyak agen dapat mempengaruhi fungsi

sumsum tulang apabila menggunakan obat dalam dosis tinggi serta

tingkat keracunan tidak mempengaruhi organ lain.3 Beberapa obat yang

dikaitkan sebagai penyebab anemia aplastik yaitu obat dose dependent

5
(sitostatika, preparat emas), dan obat dose independent (kloramfenikol,

fenilbutason, antikonvulsan, sulfonamid). (8,9)

3. Radiasi

Penyinaran yang bersifat kronis untuk radiasi dosis rendah atau radiasi

lokal dikaitkan dengan meningkat namun lambat dalam perkembangan

anemia aplastik dan akut leukemia. Pasien yang diberikan thorium

dioxide melalui kontras intravena akan menderita sejumlah komplikasi

seperti tumor hati, leukemia akut, dan anemia aplastik kronik.

Penyinaran dengan radiasi dosis besar berasosiasi dengan

perkembangan aplasia sumsum tulang dan sindrom pencernaan.1

Makromolekul besar, khususnya DNA, dapat dirusak oleh: (a) secara

langsung oleh jumlah besar energi sinar yang dapat memutuskan ikatan

kovalen; atau (b) secara tidak langsung melalui interaksi dengan

serangan tingkat tinggi dan molekul kecil reaktif yang dihasilkan dari

ionisasi atau radikal bebas yang terjadi pada larutan. Secara mitosis

jaringan hematopoesis aktif sangat sensitif dengan hampir segala bentuk

radiasi. Sel pada sumsum tulang kemungkinan sangat dipengaruhi oleh

energy tingkat tinggi sinar, yang dimana dapat menembus rongga perut.

Kedua, dengan menyerap partikel dan (tingkat energi yang rendah

membakar tetapi tidak menembus kulit). Pemaparan secara berulang

mungkin dapat merusak sumsum tulang yang dapat menimbulkan

anemia aplastik (8)

6
4. Virus

Beberapa spesies virus dari famili yang berbeda dapat menginfeksi

sumsum tulang manusia dan menyebabkan kerusakan. Beberapa virus

seperti parvovirus, epstein barr, herpesvirus, flavivirus, retrovirus

dikaitkan dengan potensi sebagai penyebab anemia aplastik (8,9)

5. Penyebab lain

Rheumatoid arthritis tidak memiliki asosiasi yang biasa dengan anemia

aplastik berat, namun sebuah studi epidemiologi di Prancis menyatakan

bahwa anemia aplastik terjadi tujuh kali lipat pada pasien dengan

rheumatoid arthritis. Terkadang anemia aplastik juga dijumpai pada

pasien dengan penyakit sistemik lupus erythematosus. Selain itu

terdapat juga sejumlah laporan yang menyatakan kehamilan berkaitan

dengan anemia aplastik, namun kedua hubungan ini masih belum

jelas.(8)

Tabel 1. Klasifikasi Etiologi Anemia Aplastik di Masa Lalu


Toksisitas langsung
Iatrogenik
Radiasi
Kemoterapi
Benzene
Metabolit intermediate beberapa jenis obat
Penyebab yang diperantarai imun
Iatrogenic: transfusion-associated graft-versus-host
disease
Fasciitis eosinofilik
Penyakit terkait hepatitis
Kehamilan
Metabolit intermediate beberapa jenis obat
Anemia aplastik idiopatik

7
Gambar 1. Etiologi anemia aplastik (9)

E. Patofisiologi dan Patogenesis

Dahulu, anemia aplastik dihubungkan erat dengan paparan terhadap

bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Anemia aplastik dianggap disebabkan

paparan terhadap bahan-bahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan,

atau senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan, hepatitis

viral, dan fasciitis eosinofilik. Jika pada seorang pasien tidak diketahui faktor

penyebabnya, maka pasien digolongkan anemia aplastik idiopatik. Sebagian

besar kasus anemia aplastik bersifat idiopatik. Beberapa etiologi anemia

aplastik tercantum dalam Tabel 1. (10)

Anemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau dosis

obat yang berlebihan. Obat yang banyak menyebabkan anemia aplastik adalah

kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah

fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik

8
misalnya mileran atau nitrosourea. Bahan kimia terkenal yang dapat

menyebabkan anemia aplastik adalah senyawa benzena. (10)

Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia aplastik sementara

atau permanen, misalnya virus Epstein-Barr, influenza A, dengue, TB

(milier). CMV dapat menekan produksi sel sumsum tulang melalui gangguan

pada sel-sel stroma sumsum tulang. Infeksi oleh HIV yang berkembang

menjadi AIDS dapat menimbulkan pansitopenia. Infeksi kronik oleh

parvovirus pada pasien dengan defisiensi imun juga dapat menimbulkan

pansitopenia. Akhir-akhir ini, sindrom anemia aplastik dikaitkan dengan

hepatitis walaupun merupakan kasus yang jarang. Meskipun telah banyak

studi dilakukan, virus yang pasti belum diketahui, namun diduga virus

hepatitis non-A, non-B, dan non-C. (10)

Pada kehamilan terkadang ditemukan pansitopenia disertai aplasia

sumsum tulang yang berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan

oleh estrogen pada seseorang dengan predisposisi genetik, adanya zat

penghambat dalam darah, atau tidak adanya perangsang hematopoiesis.

Anemia aplastik sering sembuh setelah terminasi kehamilan, dan dapat terjadi

lagi pada kehamilan berikutnya. (10)

Namun, sekarang diyakini ada penjelasan patofisiologis anemia

aplastik yang masuk akal, yang disimpulkan dari berbagai observasi klinis

hasil terapi dan eksperimen laboratorium yang sistematik. Di akhir tahun

1960-an, Math et al memunculkan teori baru berdasarkan kelainan autoimun

setelah melakukan transplantasi sumsum tulang kepada pasien anemia

9
aplastik. Keberhasilan transplantasi sumsum tulang untuk menyembuhkan

anemia aplastik memperlihatkan adanya kondisi defisiensi stem cell. (10)

Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan oleh

percobaan in vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat

pembentukan koloni hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu,

diketahui bahwa limfosit T sitotoksik memerantarai destruksi stem cell

hemopoietik pada kelainan ini. Sel-sel T efektor tampak lebih jelas di sumsum

tulang dibandingkan dengan darah perifer pasien anemia aplastik. Sel-sel

tersebut menghasilkan interferon- dan TNF- yang merupakan inhibitor

langsung hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel-sel CD34+.

Klon sel-sel T imortal yang positif CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastik

juga mensekresi sitokin T-helper-1 yang bersifat toksik langsung ke sel-sel

CD34 positif autologus. (10)

Sebagian besar anemia aplastik didapat secara patofisiologis ditandai

oleh destruksi spesifik yang diperantrai sel-T ini. Pada seorang pasien,

kelainan respons imun tersebut kadang-kadang dapat dikaitkan dengan infeksi

virus atau pajanan obat tertentu atau zat kimia tertentu. Sangat sedikit bukti

adanya mekanisme lain, seperti toksisitas langsung pada stem cells atau

defisiensi fungsi faktor pertumbuhan hematopoietik. Lagipula, derajat

destruksi stem cell dapat menjelaskan variasi perjalanan klinis secara

kuantitatif dan variasi kualitatif respons imun dapat menerangkan respons

terhadap terapi imunosupresif. Respons terhadap terapi imunosupresif

menunjukkan adanya mekanisme imun yang bertanggungjawab atas

kegagalan hematopoietik. (10)

10
F. Gejala dan Tanda Klinik

Permulaan dari suatu anemia aplastik sangat tersembunyi dan

berbahaya, yang disertai dengan penurunan sel darah merah secara berangsur

sehingga menimbulkan kepucatan, rasa lemah dan letih, atau dapat lebih hebat

dengan disertai panas badan namun pasien merasa kedinginan, dan faringitis

atau infeksi lain yang ditimbulkan dari neutropenia. Selain itu pasien sering

melaporkan terdapat memar (eccymoses), bintik merah (petechiae) yang

biasanya muncul pada daerah superficial tertentu, pendarahan pada gusi

dengan bengkak pada gigi, dan pendarahan pada hidung (epitaxis).

Menstruasi berat atau menorrhagia sering terjadi pada perempuan usia subur.

Pendarahan organ dalam jarang dijumpai, tetapi pendarahan dapat bersifat

fatal. (8)

Anemia aplastik mungkin asimptomatik dan ditemukan pada

pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi. Pada

tabel 2 terlihat bahwa perdarahan, badan lemah, dan pusing merupakan

keluhan yang paling sering ditemukan. (10)

Tabel 2. Keluhan pasien Anemia Aplastik (n=70)


(Salonder,1993)
Jenis keluhan %
Perdarahan 38
Badan lemah 30
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
Nafsu makan berkurang 29
Pucat 26
Sesak napas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13

11
Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda

infeksi atau pendarahan. Jejas purpuric pada mulut (purpura basah)

menandakan jumlah platelet kurang dari 10.000/l (10x109/liter) yang

menandakan risiko yang lebih besar untuk pendarahan otak. Pendarahan

retina mungkin dapat dilihat pada anemia berat atau trombositopenia.

Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu ditemukan pada anemia

aplastik, biasanya ditemukan pada infeksi yang baru terjadi atau diagnosis

alternatif seperti leukemia atau limpoma. (8)

Pada tabel 3 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang

diteliti sedangkan perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah

pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-macam, ditemukan pada

sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu

kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan

diagnosis. (10)

Tabel 3. Pemeriksaan Fisis Pada Pasien Anemia Aplastik (N=70)


(Salonder,1993)
Jenis Pemeriksaan Fisis %
Pucat 100
Perdarahan 63
Kulit 34
Gusi 26
Retina 20
Hidung 7
Saluran cerna 6
Vagina 3
Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0

12
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan pada Darah. Pasien dengan anemia aplastik memiliki

tingkat pansitopenia yang beragam. Anemia diasosiasikan dengan indeks

retikulosit yang rendah. Jumlah retikulosit biasanya kurang dari satu persen

atau bahkan mungkin nol. Makrositosis mungkin dihasilkan dari tingkat

eritropoietin yang tinggi, merangsang sedikit sisa sel eritroblas untuk

berkembang dengan cepat, atau dari klon sel eritroid yang tidak normal.

Jumlah total leukosit dinyatakan rendah, jumlah sel berbeda menyatakan

sebuah tanda pengurangan dalam neutropil. Platelet juga mengalami

pengurangan, tetapi fungsinya masih normal.1 Pada anemia ini juga dijumpai

kadar Hb <7 g/dl. Penemuan lainnya yaitu besi serum normal atau meningkat,

Total Iron Binding Capacity (TIBC) normal, HbF meningkat. (8)

Pemeriksaan pada Sumsum Tulang. Sumsum tulang biasanya

mempunyai tipikal mengandung spicule dengan ruang lemak kosong, dan

sedikit sel hematopoetik. Limfosit, plasma sel, makrofag, dan sel induk

mungkin mencolok, tetapi ini mungkin merupakan refleksi dari kekurangan

sel lain dari pada meningkatnya elemen ini. Anemia aplastik berat sudah

didefinisikan oleh International Aplastic Anemia Study Group sebagai

sumsum tulang kurang dari 25 persen sel, atau kurang dari 50 persen sel

dengan kurang dari 30 persen sel hematopoetik, dengan paling sedikit jumlah

neutropil kurang dari 500/l (0.5x109/liter), jumlah platelet kurang dari

20.000/l (20x109/liter), dan anemia dengan indeks koreksi retikulosit kurang

dari 1 persen. Pengembangan in vitro menunjukkan, kumpulan granulosit

monosit atau Colony Forming Unit-Granulocyte/Macrophage (CFU-GM)

13
dan eritroid atau Burst Forming Unit-Erythroid (BFU-E) dengan pengujian

kadar logam menyatakan tanda pengurangan dalam sel primitif. (8)

Pemeriksaan Radiologi. Nuclear Magnetic Resonance Imaging

(NMRI) dapat digunakan untuk membedakan antara lemak sumsum dan sel

hemapoetik. Ini dapat memberikan perkiraan yang lebih baik untuk aplasia

sumsum tulang dari pada teknik morpologi dan mungkin membedakan

sindrom hipoplastik mielodiplastik dari anemia aplastik. (8)

Pemeriksaan pada Plasma dan Urin. Serum memiliki tingkat faktor

pertumbuhan hemapoetik yang tinggi, yang meliputi erythropoietin,

thrombopoietin, dan faktor myeloid colony stimulating. Serum besi juga

memiiki nilai yang tinggi, dan jarak ruang Fe diperpanjang, dengan

dikuranginya penggabungan dalam peredaran sel darah merah. (8)

Gambar 2. Spesimen sumsum tulang dengan biopsy dari pasien anemia aplastik. (8)

Gambar 3. Spesimen sumsum tulang dengan biopsy dari pasien normal. (8,11)

14
G. Diagnosis Laboratorium

Tanda pasti yang menunjukkan seseorang menderita anemia aplastik

adalah pansitopenia dan hiposelular sumsum tulang, serta dengan

menyingkirkan adanya infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang. Anemia

aplastik dapat digolongkan menjadi ringan, sedang, dan berat berdasarkan

tingkat keparahan pansitopenia. Menurut International Agranulocytosis and

Aplastic Anemia Study Group (IAASG) kriteria diagnosis anemia aplastik

dapat digolongkan sebagai satu dari tiga sebagai berikut : (a) hemoglobin

kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang dari 30%; (b) trombosit kurang

dari 50x109/L; dan (c) leukosit kurang dari 3.5x109/L, atau neutrofil kurang

dari 1.5x109/L. Retikulosit < 30x109/L (<1%). Gambaran sumsum tulang

(harus ada spesimen adekuat) : (a) penurunan selularitas dengan hilangnya

atau menurunnya semua sel hemopoetik atau selularitas normal oleh

hyperplasia eritroid fokal dengan deplesi segi granulosit dan megakarosit; dan

(b) tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik.

Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus dieksklusi.

Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu ditentukan derajat penyakit anemia

aplastik. Hal ini sangat penting dilakukan karena mengingat strategi terapi

yang akan diberikan. Kriteria yang dipakai pada umumnya adalah kriteria

Camitra et al. Tergolong anemia aplastik berat (severe aplastic anemia) bila

memenuhi kriteria berikut : paling sedikit dua dari tiga : (a) granulosit <

0.5x109/L; (b) trombosit < 20x109/L ; (c) corrected retikulosit < 1%.

Selularitas sumsum tulang < 25% atau selularitas < 50% dengan < 30% sel-

sel hematopoetik. Tergolong anemia aplastik sangat berat bila neutrofil <

15
0.2x109/L. Anemia aplastik yang lebih ringan dari anemia aplastik berat

disebut anemia aplastik tidak berat (nonserve aplastic anemia). (8)

H. Diagnosis Banding

1. Purpura Trombositopenik Imun (PTI)

Purpura Trombositopenik Imun (PTI) ialah suatu penyakit

perdarahan yang didapat sebagai akibat dari penghancuran trombosit yang

berlebihan, yang ditandai dengan: trombositopenia (trombosit

<100.000/mm3), purpura, gambaran darah tepi yang umumnya normal,

dan tidak ditemukan penyebab trombositopeni yang lainnya. (6)

Biasanya pasien PTI merupakan anak sehat yang tiba-tiba

mengalami perdarahan baik pada kulit, petekie, purpura atau perdarahan

pada mukosa hidung (epistaksis). Lama terjadinya perdarahan pada PTI

dapat membantu membedakan antara PTI akut dan kronis. Tidak

didapatkannya gejala sistemik dapat membantu menyingkirkan

kemungkinan suatu bentuk sekunder dan diagnosis lainnya. Perlu juga

dicari riwayat tentang penggunaan obat atau bahan lain yang dapat

menyebabkan trombositopenia. Riwayat keluarga umumnya tidak

didapatkan. (6)

Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya

perdarahan tipe trombosit (platelet-type bleeding), yaitu petekie, purpura,

perdarahan konjungtiva, atau perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu

dipikirkan kemungkinan suatu penyakit lain, ditemukan adanya

pembesaran hati atau dan limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada

lebih kurang 10% anak dengan PTI. (6)

16
Selain trombositopenia, pemeriksaan darah tepi lainnya pada anak

dengan PTI umumnya normal sesuai dengan umurnya. Pada lebih kurang

15% pasien didapatkan anemia ringan karena perdarahan yang

dialaminya. Pemeriksaan hapusan darah tepi diperlukan untuk

menyingkirkan kemungkinan pseudotrombositopenia, sindroma

trombosit raksasa yang diturunkan (inherited giant platelet syndrome),

dan kelainan hematologi lainnya. Trombosit yang imatur (megatrombosit)

ditemukan pada sebagian besar pasien. Pada pemeriksaan dengan flow

cytometry terlihat trombosit pada PTI lebih aktif secara metabolic, yang

menjelaskan mengapa dengan jumlah trombosit yang sama, perdarahan

lebih jarang didapatkan pada PTI disbanding pada kegagalan sumsum

tulang. Pemeriksaan laboratorium sebaiknya dibatasi terutama pada saat

terjadinya perdarahan dan jika secara klinis ditemukan kelainan yang

khas. (6)

2. Leukimia Limfoblastik Akut (LLA)

Kecuali pada stadium dini, biasanya pada LLA ditemukan

splenomegali. Pemeriksaan darah tepi sukar dibedakan, karena kedua

penyakit gambaran yang serupa (pansitopenia dan relatif limfositosis)

kecuali bila terdapat sel blas dan limfosit yang lebih dari 90%, diagnosis

lebih cenderung pada LLA.(6)

3. Myelodisplastic syndrome (MDS).

MDS adalah kelompok penyakit clonal hematopoietic stem cell

yang terdapat adanya keabnormalan differensiasi dan maturasi dari

sumsum tulang, yang membawa pada kegagalan sumsum tulang dengan

17
sitopenia, disfungsi elemen darah, dan kemungkinan terjadi komplikasi

leukemia. Kegagalan sumsum tulang biasanya hiperselular dan

normoselular, walaupun begitu MDS dapat ditemukan dengan

hiposelular. Penting untuk membedakan MDS hiposelular dengan anemia

aplastik untuk menentukan manajemen dan prognosisnya. Yang

membedakan MDS hiposelular adalah adanya abnormalitas clonal

cytogenetic yaitu adanya abnormalitas pada tangan kromosom 5q,

monosomi 7q, dan trisomi 8. Pada MDS juga mungkin ditemukan adanya

cincin sideroblas (akumulasi besi pada mitokondria) (8)

I. Penatalaksanaan

Pengobatan suportif diberikan untuk mencegah dan mengobati

terjadinya infeksi dan perdarahan :

a. Pengobatan terhadap infeksi

Untuk menghindarkan anak dari infeksi, sebaiknya anak diisolasi

dalam ruangan khusus yang suci hama. Pemberiam obat antibiotika

hendaknya dipilih yang tidak menyebabkan depresi sumsum tulang.(6)

b. Transfusi darah

Gunakan komponen darah bila harus melakukan transfusi darah.

Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya mempertahankan

kadar hemoglobin yang tinggi, karena dengan transfusi darah yang

terlampau sering, akan timbul depresi terhadap sumsum tulang atau dapat

menyebabkan timbulnya reaksi hemolitik (reaksi transfusi), akibat

dibentuknya antibodi terhadap sel darah merah, leukosit dan trombosit.

Dengan demikian transfuse darah diberikan bila diperlukan. Pada keadaan

18
yang sangat gawat (perdarahan masif, perdarahan otak dan sebagainya)

dapat diberikan suspensi trombosit. (6)

c. Transplantasi sumsum tulang

Transplantasi sumsum tulang ditetapkan sebagai terapi terbaik pada

pasien anemia aplastik sejak tahun 70-an. Donor yang terbaik berasal dari

saudara sekandung dengan Human Leukocyte Antigen (HLA) nya cocok.(6)

J. Prognosis

Prognosis bergantung pada :

a. Gambaran sumsum tulang hiposeluler, dimana jaringan adiposa masih

lebih mendominasi dibanding daerah seluler.

b. Kadar Hb F yang lebih dari 200 mg% memperlihatkan prognosis yang

lebih baik.

c. Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm menunjukkan prognosis yang lebih

baik.

d. Adanya infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian infeksi

masih tinggi.

Gambaran sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik untuk

menentukan prognosis.(6)

Tanpa pengobatan penderita anemia aplastik sudah tinggi. Tingkat kematian

mendekati 70 persen dalam satu tahun. Namun dengan meningkatkan

ketersediaan transplantasi sel punca hematopoetik dan terapi imunosupresif

yang efektif, tingkat ketahanan hidup meningkat hingga setinggi 80

persen.(9)

DAFTAR PUSTAKA

19
1. Suryanty, R, Nelly R, Bidasari L. Peran Eritropoietin Pada Anemia Akibat
Keganasan Pada Anak Dalam Sari Pediatri. Vol. 7, No. 1. Sumatera:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RS HAM. Juni 2005. Hal. 34-38.
2. Oehadian, A. Pendekatan Klinis Dan Diagnosis Anemia. Vol. 39 No. 6.
Bandung: Subbagian Hematologi Onkologi Medik. 2012.
3. Irawan, H. Pendekatan Diagnosis Anemia Pada Anak Dalam Cermin Dunia
Kedokteran. Vol.40, No.6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Atma Jaya. 2013.
Hal. 422-5.
4. Isyanto, Abdulsalam M. Masalah Pada Tata Laksana Anemia Aplastik
Didapat Dalam Sari Pediatri. Vol. 7, No.1. Jakarta: FKUI. 2005. Hal.25-33.
5. Thaha, Lestari AA, Yasa. Diagnosis, Diagnosis Differensial Dan
Penatalaksanaan Immunosupresif Dan Terapi Sumsum Tulang Pada
Pasien Anemia Aplastik. Denpasar: FK Udayana. 2014.
6. Ugrasena, IDG. Anemia Aplastik Dalam Buku Ajar: Hematologi-Onkologi
Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Hal. 10-13.
7. Deby, N.D. Indeks Produksi Retikulosit Sebagai Diagnosis Dini Anemia Aplastik.
Lampung: Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. Volume 4, No. 7. 2015.
8. Laksmi N.M.D, dkk. Anemia Aplastik. Denpasar: Program Studi Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bagian Patologi Klinik
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. 2013.
9. Singh P, Ankur S, Anisha K, Sonali M, Dan Abhinaf BC. Aplastic Anemia-
A Quick Review. Volume 7 Issue 5. USA: Published: 2017.
10. Widjanarko, A, Aru, W.S, Hans, S. Anemia Aplastik dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2009. Hal 1116-1126.
11. Sianipar, N.B. Trombositopenia Dan Berbagai Penyebabnya. Malang:
Program Pendidikan Dokter Spesialis I, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
FK Universitas Brawijaya/RS Saiful Anwar, Malang, Indonesia. 2014.

20

Anda mungkin juga menyukai