Chapter II
Chapter II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.2. Definisi
Adhesi peritoneal adalah pembentukan jaringan ikat patologis antara
omentum, usus dan dinding perut. Perlengketan ini dapat berupa jaringan ikat
tipis seperti film, jaringan fibrosis yang tebal mengandung pembuluh darah dan
jaringan saraf, atau perlengketan langsung antara dua permukaan organ (Binda,
2009). Menurut etiologinya, adhesi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai
bawaan atau didapat sebagai reaksi post inflamasi atau pasca operasi yang
merupakan kasus terbanyak. (Binda, 2004; Schoman, 2009)
Di antara pembentukan adhesi pasca operasi, dapat dibedakan atas tiga
proses: adhesion formation (perlekatan terbentuk pada tempat operatif); de novo
ahesion formation (perlekatan terbentuk tidak pada tempat operatif), dan adhesion
reformation (adhesi yang terbentuk setelah pembebasan adhesi sebelumnya).
Diamond dkk membedakan pembentukan adesi peritoneal menjadi 2 tipe (Arung,
2011). Tipe 1 atau de novo adhesion formation dimana adhesi terbentuk pada
lokasi yang sebelumnya tidak ada dijumpa adhesi, termasuk tipe 1A (tidak ada
prosedur operasi sebelumnya di tempat adhesi) dan tipe 1B (ada prosedur operasi
sebelumnya di tempat adhesi). Tipe 2 adalah pembentukan adhesi kembali dimana
dibagi lagi menjadi 2 sub tipe; tipe 2A (tidak ada prosedur operasi di lokasi adhesi
selain adhesiolisis) dan tipe 2B (terdapat prosedur operasi lainnya di lokasi adhesi
selain adhesiolisis). (Arung, 2011)
2.3. Etiologi
Banyak faktor yang dapat menimbulkan adhesi pasca laparotomi, antara
lain; infeksi intrabdominal (peritonitis, endometriosis, apendisitis akut,
divertikulitis, penyakit crohns, kolesistitis, penyakit radang pelvis ( PID), abses
intraabdomen dan abses hati), trauma (abrasi atau tindakan operasi yang kasar),
cedera panas (kauterisasi, paparan lampu operasi), iskemia (termasuk jahitan yang
tegang, tebal dan kasar, kauterisasi, kekeringan serosa, devaskulerisasi), paparan
benda-benda asing seperti bubuk tepung dari sarung tangan, atau potongan
benang. (Schonman, 2009)
Sebagian besar adhesi peritoneal disebabkan oleh prosedur pembedahan
didalam rongga peritoneal (Corona, 2011). Prevalensi kejadian adhesi peritoneal
pasca tindakan operasi intra abdominal antara 63% -97% (Cheong, 2001; Bates,
2011). Secara keseluruhan, sekitar sepertiga dari pasien yang menjalani operasi
bedah terbuka pada perut atau panggul datang kembali ke pusat rawatan rata-rata
dua kali dalam 10 tahun diakibatkan oleh kondisi yang berhubungan dengan
komplikasi adhesi peritoneal. Lebih dari 20 % penderita datang kembali ke pusat
kesehatan pada tahun pertama setelah operasi awal, dan 4,5% dari pasien tersebut
akibat obstruksi adhesi usus halus. (Shou-Chuan, 2003)
Pembedahan kolorektal merupakan jenis operasi yang paling banyak
menyebabkan adhesi peritoneal. Obstruksi usus halus adalah komplikasi yang
paling umum dari adhesi peritoneal (Fang, 2010; Pismensky, 2011; Cheong, 2001;
Bates, 2011). Pada Westminster Hospital (London, Inggris) obstruksi usus
menyumbang 0,9% dari seluruh rawatan. Sebuah survei di Inggris 1992
melaporkan jumlah kasus obstruksi adhesi usus halus tahunan mencapai 12.000-
14.400. Pada tahun 1988 di Amerika Serikat, kasus rawatan untuk adhesiolisis
menyumbang hampir 950.000 rawatan (Kamel, 2010). Semua studi ini
menunjukkan bahwa obstruksi adhesi usus halus adalah masalah kesehatan yang
signifikan baik di negara maju dan berkembang. (Ikechebelu, 2010)
2.4. Patofisiologi Pembentukan Adhesi
Fibrinolisis dimulai minimal tiga hari setelah trauma dan meningkat pesat
pada hari kedelapan setelah regenerasi sel mesotelium secara komplek. Bila
proses fibrinolisis berlangsung normal maka pada hari keempat dan kelima sel
mesotelium akan tumbuh di sepanjang garis luka dan menutupi kerusakan secara
total. Mulai hari ke lima dan keenam jumlah makrofag akan menurun dan pada
hari ke delapan sel mesotelium akan menutupi luka dan beregenerasi secara
komplek. (Emre, 2009; Cahill, 2008)
PERITONEAL INJURY
Blood vessel
Inflamation
Wall end mesothelium Cells
Damages
Fibrin
PAI-1 tPA
PAI-2 uPA
Fibrin in growth
(Fibroblasts, collagen synthesis)
Plasmin
Plasmin
TIMPs
Pr-MMPs MMPs
ECM
Fibrin degrafation
products
Degradation Capillaires
products ingrowth
2.6 Hipotermia
Beberapa penelitian telah membuktikan pengaruh suhu terhadap
pembentukan adhesi peritoneal. Binda melakukan percobaan dengan hewan coba
tikus dengan membat model laparaskopi dimana dengan menurunkan suhu gas
CO2 yang digunakan menjadi 21o menurunkan kejadian adhesi peritonium
dibandingkan pada suhu 37oC. (Binda, 2006; Binda, 2009)
Fang melakukan penelitian dengan menggunakan infus peritoneal salin
dingin dan mendapatkan penurunan adhesi peritonium. Penurunan kejadian
pembentukan adhesi peritonium dengan menggunakan salin dingin diduga melalui
empat kemungkinan mekanisme : (1) menurunkan derajat inflamasi, (2) menekan
mediator inflamasi yang dapat meningkatkan produksi fibrin, (3) memisahkan
secara barir mekanik pada usus kecil, dan (4) menghilangkan fibrin dari
permukaan serosa sehingga mengurangi pembentukan adhesi. (Fang, 2010)
Secara patofiologi, hipotermia melindungi jaringan dan sel setelah
hipoksia karena menurunkan konsumsi oksigen oleh sel. Hipotermia
memperlambat pemecahan glukosa, phosphocreatine dan ATP dan pembentukan
laktat dan fosfat anorganik. Pembentukan adhesi peritoneum dianggap sebagai
proses cedera reperfusi akibat iskemik. Hipotermia mengurangi infiltrasi sel-sel
polimorfonuklear dan menurunkan produksi tumor necrosis factor-a, interleukin-
1b dan macrophage inflammatory protein-2 yang dianggap sebagai pemicu
timbulnya adhesi peritonium. (Fang, 2010; Binda 2004)