Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Anatomi dan Fungsi Peritoneum


Peritoneum merupakan selapis sel mesotelium komplek dengan membran
basalis yang ditopang oleh jaringan ikat yang kaya akan pembuluh darah.
Peritoneum terdiri dari peritoneum parietal yang melapisi dinding bagian dalam
rongga abdomen, diafragma dan organ retroperitoneum dan peritoneum visceral
yang melapisi seluruh permukaan organ dalam abdomen. Luas total peritoneum
lebih kurang 1,8 m2. Setengahnya (1) m2 berfungsi sebagai membran
semipermeabel terhadap air, elektrolit, serta makro dan mikro molekul. (Cheong,
2001)
Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas organ
intraperitoneum. Normal terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga peritoneum,
yang memelihara permukaan peritoneum tetap licin. (Zhang, 2011)

2.2. Definisi
Adhesi peritoneal adalah pembentukan jaringan ikat patologis antara
omentum, usus dan dinding perut. Perlengketan ini dapat berupa jaringan ikat
tipis seperti film, jaringan fibrosis yang tebal mengandung pembuluh darah dan
jaringan saraf, atau perlengketan langsung antara dua permukaan organ (Binda,
2009). Menurut etiologinya, adhesi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai
bawaan atau didapat sebagai reaksi post inflamasi atau pasca operasi yang
merupakan kasus terbanyak. (Binda, 2004; Schoman, 2009)
Di antara pembentukan adhesi pasca operasi, dapat dibedakan atas tiga
proses: adhesion formation (perlekatan terbentuk pada tempat operatif); de novo
ahesion formation (perlekatan terbentuk tidak pada tempat operatif), dan adhesion
reformation (adhesi yang terbentuk setelah pembebasan adhesi sebelumnya).
Diamond dkk membedakan pembentukan adesi peritoneal menjadi 2 tipe (Arung,
2011). Tipe 1 atau de novo adhesion formation dimana adhesi terbentuk pada
lokasi yang sebelumnya tidak ada dijumpa adhesi, termasuk tipe 1A (tidak ada
prosedur operasi sebelumnya di tempat adhesi) dan tipe 1B (ada prosedur operasi
sebelumnya di tempat adhesi). Tipe 2 adalah pembentukan adhesi kembali dimana
dibagi lagi menjadi 2 sub tipe; tipe 2A (tidak ada prosedur operasi di lokasi adhesi
selain adhesiolisis) dan tipe 2B (terdapat prosedur operasi lainnya di lokasi adhesi
selain adhesiolisis). (Arung, 2011)

2.3. Etiologi
Banyak faktor yang dapat menimbulkan adhesi pasca laparotomi, antara
lain; infeksi intrabdominal (peritonitis, endometriosis, apendisitis akut,
divertikulitis, penyakit crohns, kolesistitis, penyakit radang pelvis ( PID), abses
intraabdomen dan abses hati), trauma (abrasi atau tindakan operasi yang kasar),
cedera panas (kauterisasi, paparan lampu operasi), iskemia (termasuk jahitan yang
tegang, tebal dan kasar, kauterisasi, kekeringan serosa, devaskulerisasi), paparan
benda-benda asing seperti bubuk tepung dari sarung tangan, atau potongan
benang. (Schonman, 2009)
Sebagian besar adhesi peritoneal disebabkan oleh prosedur pembedahan
didalam rongga peritoneal (Corona, 2011). Prevalensi kejadian adhesi peritoneal
pasca tindakan operasi intra abdominal antara 63% -97% (Cheong, 2001; Bates,
2011). Secara keseluruhan, sekitar sepertiga dari pasien yang menjalani operasi
bedah terbuka pada perut atau panggul datang kembali ke pusat rawatan rata-rata
dua kali dalam 10 tahun diakibatkan oleh kondisi yang berhubungan dengan
komplikasi adhesi peritoneal. Lebih dari 20 % penderita datang kembali ke pusat
kesehatan pada tahun pertama setelah operasi awal, dan 4,5% dari pasien tersebut
akibat obstruksi adhesi usus halus. (Shou-Chuan, 2003)
Pembedahan kolorektal merupakan jenis operasi yang paling banyak
menyebabkan adhesi peritoneal. Obstruksi usus halus adalah komplikasi yang
paling umum dari adhesi peritoneal (Fang, 2010; Pismensky, 2011; Cheong, 2001;
Bates, 2011). Pada Westminster Hospital (London, Inggris) obstruksi usus
menyumbang 0,9% dari seluruh rawatan. Sebuah survei di Inggris 1992
melaporkan jumlah kasus obstruksi adhesi usus halus tahunan mencapai 12.000-
14.400. Pada tahun 1988 di Amerika Serikat, kasus rawatan untuk adhesiolisis
menyumbang hampir 950.000 rawatan (Kamel, 2010). Semua studi ini
menunjukkan bahwa obstruksi adhesi usus halus adalah masalah kesehatan yang
signifikan baik di negara maju dan berkembang. (Ikechebelu, 2010)
2.4. Patofisiologi Pembentukan Adhesi

2.4.1. Respon Trauma Pada Peritoneum

Trauma pada jaringan mesothelium peritoneum menimbulkan reaksi


inflamasi sebagai respon tubuh. Di tingkat selular, dilepaskan prostaglandin dan
diaktifkan komponen inflamasi seperti netrofil, makrofag, sel mast, basofil,
platelet, sel endothelial limfosit dan leukosit. Sel mast melepaskan mediator
inflamasi berupa histamin, serotonin, enzim lisosom, faktor kemotaksis, dan
sitokin serta metabolit oksigen reaktif untuk membunuh bakteri, mengeliminir
benda asing dan memperbaiki fungsi tubuh baik secara anatomi dan fisiologi.
(Arung, 2011)

Histamin menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah


peritoneum menghasilkan transudasi yang kaya fibrinogen ke dalam rongga
peritoneum, dan menyebabkan netrofil memasuki daerah luka. Fungsi utama sel
netrofil adalah fagositosis, menghancurkan bakteri dan membantu membersihkan
jaringan yang mati. Infiltrasi sel netrofil mencapai puncaknya setelah 24 jam dan
secara perlahan digantikan oleh monosit. Monosit selanjutnya berubah menjadi
makrofag yang akan melanjutkan penghancuran bakteri dan debrideman luka.
(Arung, 2011; Mahdy, 2008)

Makrofag mensekresikan Transforming Growth Factor Beta (TGF ) yang


merangsang proliferasi fibroblast dan regulasi sel mesotelium untuk menghasilkan
fibrin. Pada hari kedua makrofag akan membentuk lapisan pada peritoneum yang
mengalami trauma. Deposit fibrin akan terbentuk antara 48 sampai 72 jam
pascalaparotomi. Pada hari ketiga dan keempat terjadi infiltrasi dan proliferasi sel
fibroblast. Pada saat ini juga terjadi proliferasi sel endotel pada proses
neovaskulerisasi, proses re-epitelisasi jaringan peritoneum. (Arung, 2011;
Liakakos, 2001)

Fibrinolisis dimulai minimal tiga hari setelah trauma dan meningkat pesat
pada hari kedelapan setelah regenerasi sel mesotelium secara komplek. Bila
proses fibrinolisis berlangsung normal maka pada hari keempat dan kelima sel
mesotelium akan tumbuh di sepanjang garis luka dan menutupi kerusakan secara
total. Mulai hari ke lima dan keenam jumlah makrofag akan menurun dan pada
hari ke delapan sel mesotelium akan menutupi luka dan beregenerasi secara
komplek. (Emre, 2009; Cahill, 2008)

Seluruh permukaan peritoneum yang mengalami trauma akan mengalami


reepitelisasi secara simultan sehingga defek peritoneum baik besar maupun kecil
akan sembuh secara sempurna dengan sama cepat. Berbeda pada kulit, proses
penyembuhan terjadi secara sentripetal dari pinggir. (Jomezadeh, 2012; Binda,
2004)

2.4.2. Mekanisme Terjadinya Adhesi


Cedera pada peritonium menyebabkan terjadinya peningkatan
permiabilitas pembuluh darah pada area tersebut, hal ini menyebabkan terjadinya
eksudasi dari sel-sel inflamasi yang mengawali terbentuknya matrik fibrin, yang
menghubungkan kedua permukaan peritoneal yang cedera. (Cahill, 2008)
Setelah terjadinya pembentukan jaringan ikat fibrin, fibrinolisis akan
memecah jaringan ikat tersebut. Bila sistem fibrinolisis tersebut gagal dalam
melisis jaringan ikat tersebut maka akan terbentuk jaringan ikat yang persisten.
(Bates, 2011)

Secara normal penyembuhan luka terjadi tanpa adanya pembentukan


adhesi. Kerusakan jaringan akan diikuti dengan pembentukan fibrin.
Tromboplastin, protrombin dan trombin akan mengaktifasi fibrinogen menjadi
fibrin. Bekuan platelet yang berasal dari agregasi platelet bersama dengan bekuan
fibrin membentuk jaringan fibrin. (Aysan, 2012)

Banyak studi eksperimental telah membuktikan bahwa berbagai bentuk


cedera pada mesothelium secara nyata menurunkan potensi fibrinolisis. Whitaker
dkk, menunjukkan bahwa kultur murni sel mesothelium memiliki kemampuan
fibrinolisis. Didukung suatu studi Antibodi Inhibisi dan Antigenik Immunoassays
yang menjelaskan bahwa tissue Plasminogen Activator (tPA) adalah plasminogen
aktivator utama pada biopsi peritoneal manusia, yang merangsang lisisnya fibrin
dan mencegah perlekatan serosa. (Cohen, 2007)
Namun, selama periode awal setelah pembedahan terjadi proses iskemia
dan inflamasi, hal ini menyebabkan Plasminogen Activator Activity (PAA)
menghilang ini terutama dikaitkan dengan peningkatan dramatis Plasminogen
Activator inhibitor (PAI) dalam peritoneum yang cedera. Pengamatan pada sel
menunjukkan PAI dihasilkan oleh mRNA hibridisasi. Studi-studi ini menegaskan
bahwa mesothelium memainkan peran penting dalam penghambatan fibrinolisis
peritoneum akibat cedera. (Cohen, 2007)

PERITONEAL INJURY

Blood vessel
Inflamation
Wall end mesothelium Cells
Damages

- Increase proteins, cytokines Prothrombin


- Increases cells
Fibrinogen
(macrophages,platelets,
lymphocytes, mesothelials) Thrombin

Fibrin

tPA Plasminogen PAI-1


uPA PAI-2

PAI-1 tPA
PAI-2 uPA
Fibrin in growth
(Fibroblasts, collagen synthesis)
Plasmin
Plasmin
TIMPs

Pr-MMPs MMPs
ECM

Fibrin degrafation
products
Degradation Capillaires
products ingrowth

Normal Normal healing


Adhesion (Peritoneal repair)
healing
Gambar 2.1: Keseimbangan antara plasminogen aktivator dan plasminogen inhibitor
terhadap pembentukan adhesi peritonium

Terganggunya proses fibrinolisis maka makrofag akan bertahan dan


fibroblast berproliferasi. Dalam waktu lima hari jaringan fibrin yang terbentuk
akan digantikan oleh sel fibroblast serta pembentukan pembuluh darah baru, akan
membawa antiplasmin untuk melawan efek fibrinolisis dan mempertebal jaringan
fibrosa untuk membentuk adhesi fibrosa yang permanen. (Aysan, 2012)
2.5. Usaha untuk Pencegahan Adhesi Intraperitoneum
Beberapa bahan pencegahan terhadap adhesi peritoneal pasca operasi telah
diselidiki. Bahan tersebut berperan dalam mengaktifkan fibrinolisis, menghambat
koagulasi, mengurangi respon inflamasi, atau menciptakan barier antara
permukaan luka yang berdekatan. Pencegahan terhadap terjadinya adhesi dibagi
atas 4 kelompok utama; prinsip umum, teknik operasi, barir mekanik, dan dengan
cairan atau bahan kimia tertentu. (Bates, 2011)

2.5.1. Prinsip umum


Beberapa hal dasar harus diaplikasikan untuk mencegah terjadinya adhesi
peritonium pada saat intraoperatif, seperti menghindari diseksi peritonium yang
tidak perlu, mencegah terjadinya kontaminasi isi saluran cerna atau cairan
empedu, dan penggunaan sarung tangan bebas tepung. (Aysan, 2012)
WS Halsted 1852-1922 adalah ahli bedah pertama yang mengakui
pentingnya langkah-langkah tersebut. Kerusakan peritoneal harus dihindari
dengan penanganan yang hati-hati terhadap jaringan, hemostasis yang teliti, irigasi
yang terus menerus dan menghindari jaringan terekspos, serta mencegah
penjahitan atau penjepitan jaringan yang tidak perlu. Penggunaan bahan jahitan
yang biokompatibel, instrumen atraumatik dan sarung tangan bebas tepung juga
dianjurkan. Beberapa penelitian eksperimental telah menunjukkan bahwa
penggunaan sarung tangan yang bertepung selama laparotomi mempunyai
hubungan dengan peningkatan risiko adhesi peritoneal pasca operasi. Durasi
operasi juga menentukan terhadap pembentukan adhesi peritoneal. Semakin
singkat durasi operasi, semakin menurunkan adhesi pasca operasi. (Aysan, 2012)

2.5.2. Teknik operasi


Teknik operasi terbuka dibandingkan laparaskopi mempunyai peranan
penting terhadap kejadian adhesi peritonium. Insiden adhesi peritonium pada
operasi kholesistektomi terbuka sebesar 7.1%, dibandingkan dengan laparaskopi
yang hanya 0,2%. Secara keseluruhan teknik operasi laparaskopi menurunkan
angka kejadian adhesi peritonium. (Dubuissaon,2010)
2.5.3 Barir mekanik
Secara teori, material inert dapat mencegah terjadinya adhesi antar kedua
permukaan peritonium yang cedera. Banyak bahan biodegradable film ataupun gel
yang telah digunakan secara experimental dengan tujuan untuk menurunkan angka
kejadian adhesi. Hyaluronic acid/carboxymethylcellulosa adalah bahan yang
paling sering digunakan pada saat ini, namun selain mahal, pada beberapa kasus
diduga menyebabkan terjadinya peningkatan kebocoran anastomosis pada operasi
penyambungan usus. (Siamond, 1998; Yang, 2012; Emre,2009)
Barir mekanik baik cair atau padat dapat mencegah pembentukan adhesi
peritoneal dengan mencegah kontak antara permukaan serosa yang rusak untuk
beberapa hari (5-7 hari) kritis selama terjadinya re-epitelisasi. Barir mekanik
yang ideal harus dapat terurai, aman, non-inflamasi, non-imunogenik, bertahan
selama fase kritis mesotelisasi, bertahan pada tempat yang cedera tanpa jahitan
atau staples, serta dapat dengan cepat dan mudah diterapkan. Barir mekanik tidak
boleh mengganggu proses penyembuhan, menyebabkan infeksi, atau
perlengketan. Pada saat ini barir mekanik dianggap sebagai terapi tambahan yang
paling berguna untuk mengurangi pembentukan adhesi peritoneal pasca operasi.
(Mahdy, 2008; Celepli, 2011; Jomezadeh, 2012)
Cairan seperti kristaloid, dekstran, hyaluronic acid, asam hialuronat dan
icodextrin telah digunakan untuk mencegah adhesi. Cairan tersebut memisahkan
permukaan peritonium yang cedera tetapi efektivitasnya masih kontroversial.
Kristaloid, seperti NaCl dan ringer laktat, meski digunakan dalam jumlah besar
tetapi terlalu cepat diserap. Cairan yang paling umum digunakan adalah solusi
hipertonik 32% dekstran 70, tetapi mulai ditinggalkan karena mempunyai
komplikasi serius. Barir cairan lain yang memiliki kemampuan untuk tinggal lebih
lama di dalam rongga perut, seperti asam hialuronat (Sepracoat , Genzyme
Corporation, Cambridge, MA, Amerika Serikat), asam hialuronat (Intergel
Hyalobarrier gel, Baxter, Pisa , Italia), dan icodextrin (Adept,Baxter Healthcare
Corporation, Deerfield, IL, Amerika Serikat) telah menunjukkan hasil yang
menjanjikan dalam studi eksperimental dan klinis. (Emre, 2009; Darmas, 2008;
Mashhadi,2008)
Barir mekanik bioabsorbable yang paling ekstensif dipelajari adalah
Seprafilm dan Interceed. Seprafilm diserap dalam waktu 7 hari dan dikeluarkan
dari tubuh dalam waktu 28 hari . Percobaan terkontrol acak prospektif telah
menunjukkan kemampuan Seprafilm dalam mengurangi insiden dan tingkat
adhesi pasca operasi. Namun, Seprafilm dapat menyebabkan kegagalan
anastomosis, sehingga tidak dapat diterapkan pada kasus anastomosis. (Darmas,
2008; Diamond, 1998)

2.5.4 Zat kimia


Zat cair dan bahan kimia tertentu secara teori lebih baik dalam menutupi
daerah yang berpotensi untuk terjadinya adhesi dibandingkan barir mekanik.
Namun demikian, penggunaan zat cair dan zat kimia tertentu masih perlu
penelitian lebih lanjut. (Yang, 2010; Wang, 2010)
Bahan kimia bekerja secara umum mencegah pembentukan fibrin dengan
cara menghambat proliferasi fibroblastik. Banyak bahan yang digunakan untuk
menghambat proliferasi seperti obat anti inflamasi non-steroid (OAINS),
kortikosteroid, calcium channel blockers, antagonis histamin, antibiotik, bahan
fibrinolitik, antikoagulan, antioksidan, hormon, dan vitamin. (Emre, 2009)
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) mengurangi perlengketan
peritoneal pada beberapa model hewan melalui penghambatan sintesis
prostaglandin dan tromboksan. OAINS menurunkan permeabilitas pembuluh
darah, inhibitor plasmin, agregasi platelet, dan koagulasi dan juga meningkatkan
fungsi makrofag. Rodgers dkk telah menunjukkan bahwa pemberian obat anti-
inflamasi postoperasi pada lokasi cedera mengurangi pembentukan adhesi pasca
operasi pada hewan coba. Hewan coba tikus telah digunakan untuk menyelidiki
Nimesulide, suatu selektif siklooksigenase-2 inhibitor dalam mencegah terjadinya
pembentukan adhesi. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa pemberian injeksi
intramuskular sebelum operasi dan pemberian nimesulide pasca operasi secara
intraperitoneal ke tempat yang cedera dapat mengurangi pembentukan adhesi
pasca operasi. (Emre, 2009)
Pemberian kortikosteroid mengurangi permeabilitas pembuluh darah dan
pembebasan sitokin dan faktor kemotaktik dan mengurangi pembentukan adhesi
peritoneal pada beberapa model hewan coba. Namun, kortikosteroid memiliki
efek samping, seperti imunosupresi dan memperpanjang penyembuhan luka.
Kirdak telah menyelidiki efektivitas dosis yang berbeda metilprednisolon dalam
mencegah perlengketan peritoneal pada tikus. Mereka menemukan bahwa
pemberian topikal metilprednisolon dalam dosis yang berbeda tidak memberikan
perbedaan efektivitas dalam mencegah pembentukan adhesi peritoneal, dan lebih
jauh lagi steroid tidak dapat mencegah terjadinya adhesi peritoneal. (Celepli,
2011)
Pemberian Hormon dapat mencegah pembentukan adhesi pada hewan
coba, tetapi beberapa studi belum dapat mengkonfirmasi efektivitas ini pada
manusia. Progesteron dilaporkan memiliki efek imunosupresif, anti-inflamasi, dan
dapat mencegah pembentukan adhesi. Namun, Confino telah menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan yang signifikan secara keseluruhan dalam kejadian
pembentukan adhesi pada kelinci yang diberikan hormon progesteron. (Cohen,
2007)
Penggunaan antikoagulan untuk mencegah pembentukan adhesi peritoneal
telah banyak dilaporkan dalam literatur. Banyak molekul telah digunakan, seperti
heparin atau dicumarol, yang mencegah adhesi dengan meningkatkan fibrinolisis
akibat aktivitas esterase serin. Heparin adalah antikoagulan yang paling banyak
diteliti digunakan untuk pencegahan adhesi. Namun, keberhasilan dalam
mengurangi pembentukan adhesi belum terbukti dalam uji klinis. (Yang, 2010)
Bahan fibrinolitik seperti rekombinan TPA, telah mengurangi
perlengketan pada hewan coba yang diberikan secara lokal. Namun, bahan-bahan
fibrinolitik dapat menyebabkan komplikasi perdarahan. (Yang, 2010)
Beberapa antibiotik biasanya digunakan untuk profilaksis terhadap infeksi
pasca operasi dan pembentukan adhesi. penelitian lain telah menunjukkan bahwa
aplikasi intra-abdomen menyebabkan pembentukan adhesi. Sortini telah
menunjukkan bahwa antibiotik menyebabkan pembentukan adhesi yang lebih
besar dibandingkan dengan saline. antibiotik dalam solusi irigasi intraperitoneal
telah terbukti meningkatkan pembentukan adhesi peritoneal dalam hewan coba
tikus, dan tidak direkomendasikan sebagai bahan tunggal untuk pencegahan
adhesi. (Zhang, 2011; Mahdy, 2008)
Vitamin E merupakan vitamin yang paling banyak dipelajari dalam
pencegahan adhesi. penelitian In vitro telah menunjukkan bahwa vitamin E
memiliki antioksidan, anti-inflamasi, antikoagulan dan antifibroblastik. Corrales
et al telah menunjukkan bahwa vitamin E, yang diberikan,secara intraperitoneal
sama efektifnya dengan membran karboksimetilselulosa dalam mencegah adhesi
pasca operasi. Sebaliknya, efek yang sama belum tercapai setelah pemberian
intramuskular. Dengan demikian, pemberian vitamin E intraperitoneal mungkin
dianjurkan untuk mencegah pembentukan adhesi. (Darmas, 2008)
Satu studi telah dilakukan untuk menjelaskan efek dari konsentrasi yang
berbeda metilen biru pada proses pembentukan adhesi peritoneal dan untuk
menentukan dosis minimum yang efektif dapat mencegah pembentukan adhesi
seperti pada hewan coba tikus. Disimpulkan bahwa metilen biru 1% memiliki
potensi terbaik anti adhesi. Pemberian anestesi lokal meskipun mekanismenya
tidak jelas, dilaporkan memiliki efek anti-inflamasi, seperti yang ditunjukkan
dalam beberapa studi hewan coba. anestesi lokal mengaktifkan sistem fibrinolitik,
mengurangi faktor VIII, plasminogen dan konsentrasi 2-antiplasmin, dan
menghambat agregasi trombosit. beberapa studi telah menunjukkan bahwa
pemberian intraperitoneal lidokain dan prilocaine dapat menghambat
pembentukan adhesi peritoneal pasca operasi tanpa menghambat proses
penyembuhan luka pada hewan coba tikus. (Mahdy, 2008)
Studi lain telah meneliti penggunaan terapi gen untuk pencegahan adhesi
pasca operasi. Hepatocyte growth factor (HGF) dapat menghambat deposisi
kolagen dan bersifat fibrinolitik. penggunaan terapi gen sebagai bahan
pencegahan terhadap adhesi peritoneal masih perlu evaluasi yang lebih luas
sebelum uji klinis. (Arung, 2011)

2.6 Hipotermia
Beberapa penelitian telah membuktikan pengaruh suhu terhadap
pembentukan adhesi peritoneal. Binda melakukan percobaan dengan hewan coba
tikus dengan membat model laparaskopi dimana dengan menurunkan suhu gas
CO2 yang digunakan menjadi 21o menurunkan kejadian adhesi peritonium
dibandingkan pada suhu 37oC. (Binda, 2006; Binda, 2009)
Fang melakukan penelitian dengan menggunakan infus peritoneal salin
dingin dan mendapatkan penurunan adhesi peritonium. Penurunan kejadian
pembentukan adhesi peritonium dengan menggunakan salin dingin diduga melalui
empat kemungkinan mekanisme : (1) menurunkan derajat inflamasi, (2) menekan
mediator inflamasi yang dapat meningkatkan produksi fibrin, (3) memisahkan
secara barir mekanik pada usus kecil, dan (4) menghilangkan fibrin dari
permukaan serosa sehingga mengurangi pembentukan adhesi. (Fang, 2010)
Secara patofiologi, hipotermia melindungi jaringan dan sel setelah
hipoksia karena menurunkan konsumsi oksigen oleh sel. Hipotermia
memperlambat pemecahan glukosa, phosphocreatine dan ATP dan pembentukan
laktat dan fosfat anorganik. Pembentukan adhesi peritoneum dianggap sebagai
proses cedera reperfusi akibat iskemik. Hipotermia mengurangi infiltrasi sel-sel
polimorfonuklear dan menurunkan produksi tumor necrosis factor-a, interleukin-
1b dan macrophage inflammatory protein-2 yang dianggap sebagai pemicu
timbulnya adhesi peritonium. (Fang, 2010; Binda 2004)

Anda mungkin juga menyukai