Anda di halaman 1dari 26

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat
penyelenggaraan-Nya, makalah yang berjudul Health Belief Model ini bisa
diselesaikan. Makalah ini ditulis dengan tujuan sebagai tugas mata kuliah
Psikologi Industri . Tujuan yang lebih khusus dari penulisan makalah ini ialah
untuk menambah pengetahuan tentang apa yang di maksud dengan Health Belief
Model.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dosen yang telah
memberikan tugas untuk menulis makalah ini, serta kepada siapa saja yang telah
terlibat dalam proses penulisannya, terlibih kepada teman teman seangkatan
Program studi magister epidemiologi 2017 Universitas Airlangga.
Akhirnya, harapan penulis semoga makalah yang berjudul Health Belief
Model ini bermanfaat bagi pembaca. Penulis telah berusaha sebisa mungkin untuk
menyelesaikan makalah ini, namun penulis menyadari makalah ini belumlah
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapakan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna menyempurnakan makalah ini.

Surabaya, 28 Agustus 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
I.1 Latar Belakang 3
I.2 Rumusan Masalah 3
I.3 Tujuan 3
BAB II PEMBAHASAN 4
2.1 Pengertian Health Belief Model 4
2.2 Sejarah Perkembangan Health Belief Model 5
2.3 Komponen Health Belief Model 6
2.4 Kelebihan dan Kekurangan Health Belief Model 10
2.5 Contoh Kasus dan Pembahasan 12
2.5.1 Contoh Kasus 12
2.5.2 Pembahasan 20
BAB III PENUTUP 25
3.1 Kesimpulan 25
3.1 Saran 25
DAFTAR PUSTAKA 26

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perubahan bisa terjadi setiap saat, dan merupakan proses yang dinamik
serta tidak dapat dielakkan. Berubah berarti beranjak dari keadaan yang semula.
Tanpa berubah tidak ada pertumbuhan dan tidak ada dorongan. Perubahan juga
dapat terjadi pada perilaku dari seseorang maupun suatu kelompok.
Perilaku merupakan basil hubungan antara perangsang (stimulus) dan
respon (Notoatmojo,1993), sedangkan Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari
badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara
sosial dan ekonomis.
Perilaku kesehatan masyarakat merupakan faktor yang sangat
mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat. Sebagian besar penyakit bermula
dari perubahan perilaku yang buruk.
Penurunan kualitas kesehatan masyarakat akibat perilaku kesehatan
masyarakat yang buruk ini kemudian menjadi suatu hal yang sangat krusial bagi
petugas kesehatan. Perilaku yang buruk, rusaknya lingkungan, dan penurunan
kualitas kesehatan menjadi siklus yang harus diputus untuk menciptakan
kehidupan masyarakat yang sehat.
Melalui teori Health Belief Model, kita mampu mempelajari perilaku
kesehatan masyarakat yang akan mempermudah pemahaman tehadap perubahan
kualitas kesehatan masyarakat. Melalui pemahaman dan pengaplikasian
teori Health Belief Model yang baik akan tercipta kualitas kesehatan masyarakat
indonesia yg baik pula.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud health belief model ?
2. Bagaimana contoh penerapan dari health belief model
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang health belief model
2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan dari health belief model

3
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Health Belief Model


Health Belief Model (HBM) seringkali dipertimbangakan sebagai
kerangka utama dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan manusia dan
telah mendorong penelitian perilaku kesehatan sejak tahun 1950-an. Hal ini
menjadikan HBM sebagai model yang menjelaskan pertimbangan seseorang
sebelum mereka berperilaku sehat. Oleh karena itu, HBM memiliki fungsi sebagai
model pencegahan atau preventif (Salihat, 2009).
Bila di telusuri menggunakan susunan kata, teori health belief model
terdiri 3 kata dasar yaitu health, menurut UU No.36 tahun 2009 Tentang
Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual
maupunsosialyang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial danekonomi. Kata dasar yang kedua yaitu belief dalam bahasa inggris
artinya percaya atau keyakinan. Menurut peneliti belief adalah keyakinan terhadap
sesuatu yang menimbulkan perilaku tertentu. Sedangkan kata yang terakhir yaitu
model adalah seseorang yang bisa dijadikan panutan atau contoh dalam
perilaku, cita-cita dan tujuan hidup yang akan dicapai individu. Biasanya teori
modeling ini sangat efektif pada perkembangan anak di usia dini, namun dalam
materi peneliti kali ini teori modeling di umpakan sebuah issue atau pengalaman
pengobatan dari seseorang yang memiliki riwayat sakit yang sama dan memilih
serta menjalani pengobatan alternative yang mendapatkan hasil yang positif
(Putri, 2016).
Health belief model merupakan suatu konsep yang mengungkapkan alasan
dari individu untuk mau atau tidak mau melakukan perilaku sehat (Janz & Becker,
1984 as cited in Putri, 2016). Health belief model juga dapat diartikan sebagai
sebuah konstruk teoretis mengenai kepercayaan individu dalam berperilaku sehat
(Conner, 2005 as cited in Putri, 2016).
Teori Health Belief Model merupakan salah satu teori yang digunakan untuk
memahami dan mengidentifikasi bagaimana dan kemana mengarahkan strategi
untuk perubahan perilaku dan juga menjelaskan pada tiap aspek penting beberapa

4
perilaku manusia. Teori ini dapat digunakan untuk meramalkan atau memodifikasi
perilaku kesehatan karena kemungkinan individu akan melakukan tindakan
pencegahan, penanganan, dan dapat dikaitkan dengan perkembangan penyakit
kronis yang tergantung secara langsung pada hasil dari keyakinan atau penilaian
kesehatan (Kirscht, 1988 dalam Salhat, 2009; Machfoedz, 2006 as cited in
Ummuzahro, 2015).
Konsep utama dari health belief model adalah perilaku sehat ditentukan
oleh kepercaaan individu atau presepsi tentang penyakit dan sarana yang tersedia
untuk menghindari terjadinya suatu penyakit (Putri, 2016).
Dari pengertian-pengertian mengenai health belief model yang sudah
dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa health belief model adalah model yang
menspesifikasikan bagaimana individu secara kognitif menunjukkan perilaku
sehat maupun usaha untuk menuju sehat atau penyembuhan suatu penyakit.
Health belief model ini didasari oleh keyakinan atau kepercayaan individu tentang
perilaku sehat maupun pengobatan tertentu yang bisa membuat diri individu
tersebut sehat ataupun sembuh (Putri, 2016).
2.2 Sejarah Perkembangan Teori Health Belief Model
Pada tahun 1950-an peneliti kesehatan publik Amerika Serikat mulai
mengembangkan suatu model yang memiliki target indikasi untuk program
edukasi kesehatan. (Hochbaum 1958; Rosenstock 1966 as cited in Ummuzahroh,
2015). Tapi, psikolog sosial di Amerika Serikat ini mendapati masalah dengan
sedikitnya orang yang berpartisipasi dalam program pencegahan dan deteksi
penyakit. Penelitian yang terus berkembang melahirkan model kepercayaan sehat
atau health belief model (Ummuzahror, 2015).
Irwin Rosenstock (1974) adalah tokoh yang mencetuskan health belief
model untuk pertama kali bersama Godfrey Hochbaum (1958). Yaitu teori yang di
rancang agar dapat memahami dengan baik bagaimana orang mempersepsikan
ancaman suau penyakit. Mereka mengembangkannya dengan mengemukakan
kerentanan yang dirasakan untuk penyakit TBC. (Hochbaum, 1958 pada Jones
and Barlett, 2010 1966 as cited in Ummuzahroh, 2015).
Rosenstock dan lebih jauh oleh Baker selama 1970-1980an
mengembangkan teori health belief model untuk memprediksi perilaku kesehatan

5
preventif dan juga respon untuk perawatan pada pasien yang sakit akut dan kronis.
Namun akhir akhir ini teori health belief modeldi kembangkan untuk memprediksi
berbagai perilaku yang berhubungan dengan kesehatan. Health belief model
adalah model kognitif yang menjelaskan dan memperediksi perilaku sehat dengan
fokus pada sikap dan perilaku pada individu (Widyautama, 2016).
Sedangkan menurut Notoatmodjo (2010), munculnya model ini didasarkan
pada kenyataan bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan orang
atau masyarakatuntuk menerima usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit
yang diselenggarakan oleh provider (Ummuzahroh, 2015).
2.3 Komponen Health Belief Model
Health Belief Model memiliki empat konstruksi utama yaitu persepsi
kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility), keseriusan yang dirasakan
(perceived seriousness), manfaat yang didapatkan (perceived benefits), dan
hambatan yang dihadapi (perceived barriers) (Jones & Bartlett, 2010 as cited in
Ummuzahroh, 2015).
Dalam perkembangannya, perilaku/tindakan seseorang untuk mencegah atau
mengobati penyakit juga dipengaruhi oleh self-efficacy dan petunjuk/pendorong
untu bertindak (cues to action) (Jones & Bartlett, 2010 as cited in Ummuzahroh,
2015).
Sementara itu perubahan perilaku yang lakukan oleh dividu dipengaruhi
oleh modifying factors antara lain usia, jenis kelamin, ras/suku, motivasi,
kepribadian, sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan (Jones & Bartlett, 2010 as
cited in Ummuzahroh, 2015).
1. Persepsi terhadap kerentanan (perceived susceptibility)
Perceived Susceptibility adalah kepercayaan seseorang dengan
menganggap menderita penyakit adalah hasil melakukan perilaku terentu. Hal
ini mengacu pada persepsi subyektif seseorang menyangkut risiko yang
timbul dari kondisi kesehatannya. Perceived susceptibility juga diartikan
miliki hubungan positif dengan perilaku sehat. Jika persepsi kerentanan
terhadap penyakit tinggi maka perilaku sehat yang dilakukan seseorang juga
tinggi. Ketika seseorang peracya bahwa mereka beresiko terhadap sebuah
penyakit, mereka akan lebih sering melakukan sesuatu untuk mencegah

6
terjadinya penyakit tersebut. Namun, sebaliknya ketika seseorang percaya
bahwa mereka tidak beresiko atau memiliki resiko yang rendah, maka
perilaku yang tidak sehat cenderung di hasilkan. Contoh dari perceived
susceptibility adalah seorang pekerja seks komersial yang memiliki
kepercayaan bahwa pekerjaannya memiliki resiko yang tinggi untuk tertular
penyakit infeksi menular seksual maupun HIV maka dia akan menggunakan
kondom ketika berhubungan untuk mencegah dirinya terkena penyakit
tersebut.
2. Persepsi terhadap keseriusan (perceived severity)
Perceived severity merupakan kepercayaan subjektif dari individu
terhadap seberapa parah konsekuensi secara medis (kematian, cacat dan rasa
sakit) maupun dari segi sosial (efek terhadap pekerjaan, kehidupan keluarga)
dari penyakit yang akan di deritanya. Perceived severity dapat terbentuk dari
informasi medis maupun pengetahuan individu, namun juga dapat terbentuk
atas kepercayaan individu tentang kesulitan dari sebuah penyakit yang
tercipta atau mempengauhi hidup mereka secara umum. Perceived
seriousness juga memiliki hubungan yang positif dengan perilaku sehat. Jika
persepsi keparahan individu tinggi maka ia akan berperilaku sehat.
Contohnya adalah individu percaya kalau merokok dapat menyebabkan
kanker maka dia akan berhenti merokok karena besar masalah kesehatan yang
akan dia alami apabila terus merokok.
Ketika perceived susceptibility di kombinasikan dengan perceived
severity akan menghasilkan penerimaan ancaman (perceived threat).
Asumsinya adalah apabila seseorang berfikit kesakitan akan betul-betul
mengancam dirinya maka ancaman yang di rasakan meningkat dan
menyebabkan perilaku pencegajan juga meningkat.
3. Persepsi terhadap keuntungan (Perceived benefits)
Perceived Benefits adalah kepercayaan terhadap keuntungan dari
metode yang disarankan untuk mengurangi resiko penyakit. Penerimaan
susceptibilitysesorang terhadap suatu kondisi yang dipercaya dapat
menimbulkankeseriusan (perceived threat) menghasilkan suatukekuatan yang
mendukung kearah perubahan perilaku. Ini tergantung pada kepercayaan

7
seseorang terhadap efektivitas dari berbagai upaya yang tersedia dalam
mengurangi ancaman penyakit, atau keuntungan-keuntunganyangdirasakan
(perceived benefit) dalam mengambil upaya-upaya kesehatan tersebut. Ketika
seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap adanya kepekaan
(susceptibility) dan keseriusan (seriousness), sering tidak diharapkan untuk
menerima apapun upaya kesehatan yang direkomendasikan kecuali jika upaya
tersebut dirasa manjur dan cocok. Contohnya adalah Individu yang sadar akan
keuntungan deteksi dini penyakit akan terus melakukan perilaku sehat seperti
medical check up rutin.
Perceived benefits secara ringkas berarti persepsi keuntungan yang
memiliki hubungan positif dengan perilaku sehat. Individu yang sadar akan
keuntungan deteksi dini penyakit akan terus melakukan perilaku sehat.
4. Persepsi terhadap hambatan (perceived barriers)
Perceived barriers secara singkat berarti persepsi hambatan atau
persepsi menurunnya kenyamanan saat meninggalkan perilaku tidak sehat.
Perceived barriers atau hambatan yang dirasakan untuk berubah, atau
apabilaindividu menghadapi rintangan yang ditemukan dalam mengambil
tindakantersebut. Aspek-aspek negatif yang potensial dalam suatu upaya
kesehatan (seperti:ketidakpastian, efek samping), atau penghalang yang
dirasakan (seperti:khawatir tidak cocok, tidak senang, gugup), yang mungkin
berperan sebagaihalangan untuk merekomendasikan suatu perilaku.Contoh
lain SADARI (periksa payudara sendiri) untuk perempuan yang dirasa agak
susah dalm menghitung masa subur membuat perempuan enggan SADARI.
Hubungan perceived barriers dengan perilaku sehat adalah negatif. Jika
persepsi hambatan terhadap perilaku sehat tinggi maka perilaku sehat tidak
akan dilakukan.
5. Cuest to action
Tambahan dari empat kepercayaan heaalth belief model adalah cues of
action atau pemicu. Pemicu timbulnya perilaku adalah kejadian, orang, atau
barang yang dapat mendorong seseorang merubah perilakunya.Cues to action
bisa juga di katakan sebagai hal yang mempercepat tindakan atau membuat
seseorang merasa butuh mengambil tindakan atau melakukan tindakan nyata

8
untuk melakukan perilaku sehat. Cues to action juga berarti dukungan atau
dorongan dari lingkungan terhadap individu yang melakukan perilaku sehat.
Bentuk dari cues of action banyak bentuknya salah satunya yaitu illness
of family member, media reports, saran dari orang lain, nasehat dari petugas
kesehatan, poster, dll.
6. Self-efficacy
Self-efficacy adalah keyakinan pada kemampuan diri sendiri unuk
melakukan sesuatu Seseorang umumnya tidak mencoba melakukan sesuatu
yang baru kecuali mereka berpikir mereka mampu melakukannya. Jika
seseorang percaya sebuah perilaku baru itu berguna (perceived benefit), tetapi
tidak berfikir dia mampu melakukannya (perceived barrier), kemungkinan
besar bahwa perilaku itu tidak akan dilakukan.
7. Faktor lainnya (modifying factors)
Selain 6 faktor pembentuk di atas (5 pembentuk utama) ada juga yang
di sebut modifying factors yang dapat di bagi kedalam 3 variable yaitu :
a. Variabel demografi yang terdiri dari usia, jenis kelamin, latar belakang
budaya, sosial dan ekonomi
b. Variabel psikologis yang terdiri dari kepribadian, kelas sosial, tekanan
sosial
c. Variabel struktural yang terdiri dari pengetahuan dan pengalaman tentang
masalah
HBM menjelaskan perubahan dan pemeliharaan perilaku kesehatan sebagai

petunjuk cara kerja dari perilaku kesehatan yang meliputi persepsi individu,

faktor-faktor yang berpengaruh dan kemungkinan untuk bertindak.

Agar lebih jelas dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

9
Individual Perceptions Modifying Factors Likelihood of Action

Age, sex, ethnicity, Perceived benefits


personality, socioeconomic, minus perceived
knowledge barriers

Perceived
susceptibility/perceived Perceived threat of Likelihood of
disease behavior
seriousness

Cues to action

Gambar 2.1 Component of the Health Belief Model


Sumber: Stretcher, V., & Rosenstock I.M. (1997). The Health Belief Model. In
Glanz K., Lewis F.M., & Rimer B.K., (Eds). Health Education: Theory,
Research and Practice. San Fransisco: Jossey-Bass

Model ini menjelaskan dan memprediksikan kemungkinan terjadinya


perubahan perilaku yang dihubungkan dengan pola keyakinan (belief) atau
perasaan (perceived) tertentu. Model ini didasarkan atas sekuensi agar perubahan
perilaku terjadi yaitu:
1. Adanya perasaan bahwa kesehatannya dalam keadaan terancam
2. Adanya perasaan individu tentang kerentanannya dan keseriusan penyakit
3. Faktor perubahan atau keterbatasan (modifying factors) berkaitan dengan
umur, jenis kelamin, etnis, kepribadian, sosial ekonomi dan pengetahuan
yangberhubungan dengan perasaan tentang adanya manfaat dan hambatan
dalam perubahan perilaku.
4. Adanya petunjuk, edukasi, gejala atau media informasi yang dapat
mempengaruhi seseorang tentang bahaya penyakit sehingga merasa perlu
mengambil tindakan (Jones & Bartlett, 2010 as cited in Ummuzahroh,
2015).
2.4 Kelebihan dan Kekurangan Health Belief Model
1. Kelebihan health belief model
a. Mudah di gunakan
b. Bentuk intervensi yang praktis bagi tenaga kesehatan khususnya untuk
tindakan preventif

10
c. Analisator perilaku yang beresio terhadap kesehatan
2. Kekurangan health belief model
a. Rosenstock berpendapat bahwa model HBM mungkin lebih berlaku untuk
masyarakat kelas menengah saja.
b. Sheran dan Orbel (1995) menyatakan dalam penelitian sebelumnya, item
kuesioner HBM tidak random dan dapat dengan mudah dibaca oleh
responden sehingga validasinya diragukan.
c. Penelitian cross sectional untuk memperjelas hubungan perilaku dan
keyakinan seseorang.

11
2.5 Contoh Kasus dan Pembahasan
2.5.1 Contoh Kasus

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU MEROKOK PADA


PENDERITA HIPERTENSI DI DESA SIDOKARTO KECAMATAN
GODEAN, SLEMAN, YOGYAKARTA

Septian Emma Dwi Jatmika, Muchsin Maulana


Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
Email: iandjee@rocketmail.com

Abstract
Background: Smoking is a risk factor for hypertension. Prevention can be done by
controlling these risk factors to reduce the risk of further complications in
patients. Methods: The study was descriptive observational. Inclusion criteria
respondent are 30 samples. Research Instrument using questionnaires which
measured knowledge, attitudes, and behaviors of smoking variable with
hypertension. Results: The results showed 66.67% of respondents behaved poorly
in smoking and 10% of respondents had less knowledge. While 63.3% of
respondents had a negative attitude. Conclusion: The study overview of
knowledge can be categorized quite good. However, the smoking behavior of
respondents categorized as less, supported by the negative attitude of the
respondent... Keywords: knowledge, attitudes, smoking, hypertension Abstrak
Latar Belakang: Merokok adalah salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi.
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengendalikan faktor risiko tersebut untuk
mengurangi risiko komplikasi lebih lanjut pada penderita. Metode: Jenis
penelitian adalah observasional deskriptif. Jumlah responden yang memenuhi
kriteria inklusi sebesar 30 sampel. Instrument penelitian menggunakan kuesioner
yang mengukur tentang variabel pengetahuan, sikap, dan perilaku merokok
dengan kejadian hipertensi. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan sebesar 66,67%
responden berperilaku kurang baik dalam merokok dan 10% responden memiliki
pengetahuan kurang baik. Sedangkan sebesar 63,3% responden memiliki sikap
negatif. Kesimpulan: Gambaran pengetahuan responden penelitian dapat

12
dikategorikan cukup baik. Namun perilaku merokok responden tergolong kurang
baik, didukung dengan sikap responden yang negatif. Kata kunci: pengetahuan,
sikap, perilaku merokok, hipertensi
1. Pendahuluan
Merokok menjadi gaya hidup sebagian besar penduduk di negara
bekembang, termasuk Indonesia. Perokok di Indonesia pada usia 15 tahun keatas
belum mengalami penurunan sejak tahun 2007 sampai 2013, angka ini cenderung
meningkat dari 34,2% tahun 2007 menjadi 36,3% tahun 2013. Faktanya, 64,9%
laki-laki dan 2,1% perempuan masih merokok pada tahun 2013. Rerata jumlah
batang rokok yang dihisap paling banyak 18,3 batang perhari di Bangka Belitung.
Merokok terbukti memiliki dampak buruk bagi kesehatan. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Sani mengungkapkan bahwa merokok menyebabkan
peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan kadar katekolamin yang berperan
penting sebagai penyebab kelainan jantung. Selain itu, kebiasaan merokok pada
penderita hipertensi meningkatkan risiko kardiovaskuler lainnya seperti penyakit
jantung koroner (PJK), stroke, gagal jantung, dan penyakit arteri perifer.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Csanyi, dkk menyatakan
hipertensi dan kebiasaan merokok dapat menimbulkan atherosklerosis dini
sehingga merokok merupakan salah satu faktor terjadinya hipertensi dan
komplikasi penyakit lainnya.
Sebutan lain hipertensi adalah The Silent Killer karena penyakit ini
sering membuat penderitanya kecolongan sebab tidak menimbulkan gejala
spesifik. Berdasarkan pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi
menunjukkan penurunan dari 31,7% tahun 2007 menjadi 25,8% tahun 2013. Hal
ini diduga dipengaruhi oleh alat ukur tensi yang tidak terstandar dan kesadaran
masyarakat untuk mengakses fasilitas kesehatan. Akan tetapi, hasil wawancara
menunjukkan adanya peningkatan prevalensi hipertensi dari 7,6% tahun 2007
menjadi 9,5% tahun 2013.
Faktor risiko seseorang menderita hipertensi ditentukan melalui interaksi
dua atau lebih faktor risiko antara lain: faktor yang tidak dapat dikendalikan (non
modifiable risk factors) dan faktor yang dapat dikendalikan (modifiable risk
factors). Faktor yang tidak dapat dikendalikan antara lain umur dan jenis kelamin.

13
Sedangkan, faktor yang dapat dikendalikan antara lain merokok, hipertensi,
penyakit diabetes mellitus, obesitas dan dislipidemia.
Hipertensi dapat berkembang dari komplikasi ringan sampai komplikasi
berat seperti stroke. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya kesehatan untuk
menurunkan prevalensi hipertensi di masyarakat melalui pengobatan hipertensi
yang sudah ada. Namun di Indonesia masih menggunakan sistem penemuan kasus
secara pasif artinya menunggu pasien datang ke fasilitas kesehatan. Upaya
pencegahan lainnya dengan mengendalikan faktor risiko hipertensi untuk
mengurangi risiko komplikasi. Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk lima besar
provinsi dengan kasus hipertensi tertinggi yaitu sebesar 35,8%.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Supriyono menunjukkan 46,67%
masyarakat masih berperilaku merokok di dalam rumah Berdasarkan hasil
Riskesdas 2010, prevalensi perokok DIY sebesar 31,6% dan 66,1% berperilaku
merokok di dalam rumah. Sedangkan pada tahun 2012 presentase rumah tangga
bebas asap rokok sebesar 44,6% di DIY.
Desa Sidokarto merupakan daerah pedesan yang terletak di Kecamatan
Godean, Kabupaten Sleman, DIY. Prevalensi perokok di pedesaan yang
menghisap 6-10 batang perhari sebesar 32,3%, sedangkan prevalensi di perkotaan
dengan jumlah batang rokok yang sama sebesar 27,4%.
Guna menurunkan angka hipertensi ringan sampai dengan komplikasi,
maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengetahuan tentang rokok, sikap, dan
perilaku merokok penderita hipertensi di Desa Sidokarto, Kecamatan Godean,
Sleman, Yogyakarta.
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional deskriptif yang
bertujuan mendeskripsikan tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku merokok
penderita hipertensi. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2013 di Desa Sidokarto,
Kecamatan Godean, Sleman, Yogyakarta dengan jumlah sampel sebesar 30
responden, diambil secara purpossive sampling. Kriteria inklusi responden yaitu
pasien laki-laki yang terdiagnosis hipertensi, memiliki kebiasaan merokok, pernah
merokok, atau sudah berhenti merokok, tidak ada gangguan komunikasi serta
bersedia menjadi responden. Instrument penelitian menggunakan kuesioner yang
mengukur variabel pengetahuan, sikap, dan perilaku merokok dengan kejadian

14
hipertensi. Analisis data penelitian ini adalah analisis univariat melalui proses
komputerisasi.
2. Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian
1) Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur
Hasil penelitian menunjukkan, sebesar 36,67% responden berada
pada kelompok umur 71-80 tahun di Desa Sidokarto, Kecamatan
Godean, Sleman, Yogyakarta
2) Gambaran Kejadian Hipertensi Berdasarkan Pengetahuan, Sikap, dan
Perilaku Merokok
Berdasarkan hasil penelitian, sebesar 66,67% responden
berperilaku merokok yang kurang baik, sebesar 46,67% responden
memiliki pengetahuan cukup baik tentang rokok, dan 63,33%
memiliki sikap negative tentang rokok.
Sebesar 33,33% responden merokok dalam kurun waktu 30 hari
terakhir dengan jumlah rokok paling banyak dihisap (13,33%) lebih
dari 20 batang perhari. Sebesar 30% responden merokok dalam kurun
waktu 7 hari terakhir dan 26,67% responden merokok selama 24 jam
terakhir dengan jumlah rokok paling banyak dihisap (13,33%) 4-6
batang perhari. Tipe perokok adiktif dan sudah menjadi kebiasaan
lebih banyak ditemukan dalam penelitian ini dibandingkan tipe
perokok lain.
B. Pembahasan
1) Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Rokok
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan merupakan hasil
penginderaan terhadap suatu objek.8 Peneliti mengkategorikan
pengetahuan menjadi tiga kategori yaitu pengetahuan baik, cukup baik
dan kurang baik. Penelitian ini menunjukkan sebesar 46,67%
responden memiliki pengetahuan yang cukup baik. Pengetahuan
diukur melalui pertanyaan-pertanyaan tentang penyakit yang
ditimbulkan akibat rokok antara lain penyakit jantung dan penyakit
hipertensi. Sebesar 96,67% responden mengetahui hipotensi dan

15
gangguan kehamilan dan seluruh responden menyatakan merokok
menyebabkan penyakit asma dan kanker paru. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningsih, yaitu 62,7%
responden mengetahui bahwa merokok dalam jangka waktu lama
dapat menyebabkan penyakit hipertensi. Merokok terbukti
meningkatkan tekanan darah. Merokok sebatang setiap hari akan
meningkatkan tekanan sistolik 10-25 mmHg dan menambah detak
jantung 5-20 kali per menit.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Aditama,
sebesar 89,3% responden mengetahui bahwa kanker paru dapat
diakibatkan oleh rokok. Faktor penyebab utama kanker paru adalah
kebiasaan merokok. Penelitian yang sama menyatakan sebesar 88%
responden mengetahui bahwa merokok menyebabkan penyakit
jantung. Kebiasaan merokok berpengaruh pada jantung dan pembuluh
darah melalui mekanisme aterosklerotik, gangguan metabolisme
lemak, gangguan sistem homeostatik, gangguan irama jantung serta
penurunan kemampuan untuk oksigenasi. Sebesar 66,7% responden
mengetahui bahwa stroke merupakan dampak merokok. Stroke sangat
sering terjadi akibat hipertensi yang tak terkendali.
Hasil penelitian Ningsih menunjukkan, seluruh responden
mengetahui bahwa nikotin merupakan zat yang berbahaya bagi tubuh
manusia yang terkandung dalam rokok dan 70% responden
mengetahui karbon monoksida merupakan zat yang berbahaya bagi
tubuh manusia yang terkandung dalam rokok. Hasil penelitian yang
sama, menyatakan dengan detail terkait pengetahuan responden
tentang zat-zat kimia berbahaya dalam rokok. Peneliti memberikan
pertanyaan mengenai ada tidaknya zat-zat seperti nikotin, tar dan
karbon monoksida sebesar 48,9% responden tidak mengetahui nama-
nama dari zat yang terkandung dalam rokok seperti tar dan
karbonmonoksida (CO), sedangkan 85,3% responden hanya
mengetahui zat nikotin yang terkandung di dalam rokok. Hasil
penelitian ini mengungkapkan bahwa pengetahuan masyarakat masih

16
kurang mengenai zat-zat kimia dalam rokok dan efek dari zat tersebut
bagi tubuh.
Pengetahuan responden yang baik tidak berbanding lurus dengan
perilaku merokok. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang
baik tidak selalu mengubah perilaku, akan tetapi merupakan kumpulan
hal yang positif antara perubahan perilaku dan variabel-variabel
lainnya yang dapat mendukung perubahan perilaku.
Tingkat pengetahuan seorang perokok mengenai dampak merokok
beragam disetiap negara karena dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
dan masih kurang luasnya kampanye kesehatan.13 Responden dalam
penelitian ini yang berpengetahuan baik namun memiliki perilaku
merokok yang kurang baik dipengaruhi oleh perilaku merokok yang
sudah menjadi kebiasaan responden (60%) dank arena adiksi (60%).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sirait,dkk menunjukkan bahwa
disamping pengetahuan yang kurang, juga karena pengaruh adiksi dari
nikotin yang terdapat pada rokok.
2) Sikap Responden Terhadap Perilaku Merokok
Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan
informasi tentang suatu objek tertentu. Begitu pula halnya dengan
merokok, semakin banyak manfaat yang diketahui tentang merokok
semakin baik sikap yang dibentuk, begitu juga sebaliknya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 63,3% responden
memiliki sikap negatif terhadap perilaku merokok artinya responden
setuju dengan penggunaan tembakau sehingga cenderung untuk
berperilaku merokok. Hasil penelitian ini menunjukkan sebesar
56,67% responden beranggapan bahwa merokok sangat baik dipakai
untuk menyambut tamu di acara-acara selamat di kampung. Sebesar
40% responden setuju bahwa tidak ada orang yang meninggal karena
merokok, maka merokok tidak perlu dilarang. Sebesar 30% responden
setuju bahwa merokok itu merupakan hak asasi manusia sehingga
merokok dapat dimana saja dan kapan saja Sedangkan responden yang
memiliki sikap positif terhadap perilaku merokok dikarenakan

17
responden mengetahui tentang bahaya rokok serta dampak yang
ditimbulkan. Berdasarkan hasil penelitian ini juga didapatkan sikap
positif terhadap perilaku merokok dimana sebagian besar responden
menjawab setuju bahwa masyarakat juga berkewajiban memberikan
informasi tentang merokok dan bahayanya kepada masyarakat lain
yaitu sebesar 83,3% dan separuh lebih (60%) responden setuju bahwa
seharusnya pemerintah melarang orang-orang yang merokok di
tempat-tempat umum, perkantoran dan sekolah.
3) Perilaku Merokok Responden
Variabel Perilaku merokok dikategorikan menjadi 3 yaitu baik,
cukup baik dan kurang baik. Hasil yang ditunjukkan penelitian ini
sebesar 66,67% perilaku merokok responden kurang baik. Peneliti
mengkategorikan perilaku merokok respoden dalam 30 hari terakhir, 7
minggu terkahir, 24 jam terakhir dan berdasarkan tipe merokok.
Sebesar 13,33% responden dalam 30 hari terakhir menghisap >20
batang rokok/hari. Sebesar 13,33% responden dalam 7 hari terakhir
menghisap 4-6 batang rokok/hari. Sedangkan dalam 24 jam terakhir
sebesar 13,33% respoden menghisap 4-6 batang rokok/hari.
Berdasarkan jumlah rokok yang dihisap, perokok dikategorikan
menjadi 3 yaitu perokok ringan, perokok sedang dan perokok berat.
Perokok ringan adalah perokok yang merokok kurang dari 10 batang
per hari. Perokok sedang adalah perokok yang menghisap rokok 10-20
batang per hari. Sedangkan perokok berat adalah perokok yang
menghisap rokok lebih dari 20 batang per hari.
Berdasarkan pengkategorian tersebut dapat diketahui bahwa
sebagian kecil responden (13,33%) termasuk kedalam kelompok
perokok ringan. Sama halnya dengan penelitian lain didapatkan hasil
bahwa sebagian besar responden (87,5%) termasuk kedalam
kelompok perokok ringan sedangkan sebesar 12,5% responden
termasuk kedalam kelompok perokok sedang.9 Penelitian yang
dilakukan oleh Sirait, dkk menunjukkan hasil tidak sejalan dengan

18
penelitian ini, yaitu sebesar 49,8% perokok laki-laki menghisap 11-20
batang perhari dan sebesar 5,6% mengkonsumsi >20 batang perhari.
Sedangkan hasil penelitian Umar,dkk menyatakan sebesar 55,6%
responden penderita penyakit jantung koroner merupakan perokok
berat (.20 batang/hari).16 Nikotin dalam tembakau dapat
menyebabkan tekanan darah meningkat setelah hisapan pertama.
Selain dari lamanya merokok, risiko merokok terbesar tergantung
pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseorang yang merokok
lebih dari satu pack rokok sehari akan 2 kali lebih rentan terkena
hipertensi daripada mereka yang tidak merokok.
Berdasarkan karakteristik responden kelompok umur sebesar
36,67% responden adalah kelompok umur 71-80 tahun. Hasil
penelitian Rahajeng dan Tuminah, menyatakan bahwa semakin tinggi
umur responden mempunyai risiko terhadap hipertensi. Tingginya
risiko pria untuk mengalami hipertensi seringkali dipicu oleh perilaku
tidak sehat (merokok dan konsumsi alkohol), depresi dan rendahnya
status pekerjaan, perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan dan
pengangguran. Demikian halnya pengaruh faktor pendidikan.18 Hasil
penelitian Lewa, dkk menunjukkan bahwa lansia yang terpapar
dengan kebiasaan merokok akan meningkatkan risiko kejadian
hipertensi sistolik sebesar 2,8 kali lebih besar dibandingkan dengan
lansia yang tidak terpapar kebiasaan merokok.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian lain yang
menyatakan bahwa lansia yang merokok mempunyai kemungkinan
sebesar 1,179 kali dan 1,07 kali, lebih besar terkena hipertensi
hipertensi sistolik dibandingkan dengan lansia yang tidak
merokok.20,21 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tipe-tipe
perilaku merokok yang paling banyak adalah karena zat adiktif dan
kebiasan yaitu sebesar 60%. Responden merokok bukan hanya untuk
mengendalikan perasaan mereka, akan tetapi sudah menjadi
kebiasaan. Perokok tipe ini merupakan suatu perilaku yang bersifat
otomatis, seringkali tanpa dipikirkan dan tanpa disadari

19
menghidupkan api rokok bila rokok yang dihisap telah habis. Selain
itu, dalam penelitian ini sebesar 60% responden termasuk dalam
kategori tipe perilaku merokok kecanduan. Hal ini akan membuat
perilaku merokok menjadi lebih sulit untuk dihentikan. Responden
yang sudah menjadi pecandu rokok akan menambah dosis rokok yang
digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya
berkurang. Sedangkan persentase tipe perilaku merokok yang paling
sedikit dalam penelitian ini dipengaruhi oleh perasaan positif yaitu
sebesar 20% artinya responden merokok merasakan penambahan rasa
positif seperti nikmat yang dirasakan setelah minum kopi atau makan,
akan bertambah nikmat dengan merokok.

DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T, Y., Rokok dan Kesehatan, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press),
Jakarta, 1997.
Green, L, W., Kreuter, M, W., Health Promoting Planning : An Educational And
Environment, Mayfield Publishing, 1991.
Crofton, J., Simpson, D., Tembakau: Ancaman Global, PT. Elex Media
Computindo, Jakarta, 2009.
Sarwono., Sosialisasi Kesehatan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
2004.
Bustan, M, N., Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Rineka Cipta, Jakarta,
2007.

2.5.2 Pembahasan Berdasarkan Teori HBM


Health Belief Model pada kasus perokok ini adalah perubahan sikap dari
seseorang sebagai perokok aktif menjadi tidak perokok. Adapun pembahasan
kasus ini akan di pilah berdasarkan pada komponen HBM. Antara lain.
1. Perceived Susceptibility
Pada kasus di atas, Perceived Susceptibility terhadap rokok terlihat bahwa
46,67% responden memiliki pengetahuan dan pandangan kerentanan terhadap
rokok yang cukup baik. Pengetahuan mereka diukur melalui pertanyaan-

20
pertanyaan tentang penyakit yang ditimbulkan akibat rokok antara lain
penyakit jantung dan penyakit hipertensi. Sebesar 96,67% responden
mengetahui hipotensi dan gangguan kehamilan dan seluruh responden
menyatakan merokok menyebabkan penyakit asma dan kanker paru.
2. Persepsi terhadap keseriusan (perceived severity)
96,67% responden mengetahui hipotensi dan gangguan kehamilan dan
seluruh responden menyatakan merokok menyebabkan penyakit asma dan
kanker paru. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ningsih, yaitu 62,7% responden mengetahui bahwa merokok dalam
jangka waktu lama dapat menyebabkan penyakit hipertensi. Merokok terbukti
meningkatkan tekanan darah. Merokok sebatang setiap hari akan
meningkatkan tekanan sistolik 10-25 mmHg dan menambah detak jantung 5-
20 kali per menit.
Resiko penyakit yang di sebabkan oleh rokok sangatlah serius karena
sebagian besar berpotensi mengakibatkan kematian secara cepat pada
serangan yang tiba-tiba, namun pandangan seseorang terhadadap tinggkat
keseriusan akibat penyakit-penyakit tersebut sangat bersifat subyektif
sehingga hal ini juga turut mempengaruhi keseriusan dan usaha seseorang
untuk berperilaku sehat.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Aditama, sebesar
89,3% responden mengetahui bahwa kanker paru dapat diakibatkan oleh
rokok. Faktor penyebab utama kanker paru adalah kebiasaan merokok.
Penelitian yang sama menyatakan sebesar 88% responden mengetahui bahwa
merokok menyebabkan penyakit jantung. Kebiasaan merokok berpengaruh
pada jantung dan pembuluh darah melalui mekanisme aterosklerotik,
gangguan metabolisme lemak, gangguan sistem homeostatik, gangguan irama
jantung serta penurunan kemampuan untuk oksigenasi. Sebesar 66,7%
responden mengetahui bahwa stroke merupakan dampak merokok. Stroke
sangat sering terjadi akibat hipertensi yang tak terkendali.

21
3. Persepsi terhadap keuntungan (Perceived benefits)
Keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh terhadap sebuah perubahan
menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan oleh seseorang untuk melakukan
perubahan perilaku.
Pandangan orang yang belum merokok berbeda dengan pandangan
seorang perokok aktif. Orang yang bukan perokok aktif akan
mempertimbankan keuntungan dan kerugian apa yang bisa dialami jika dia
merokok atau tetap tidak merokok. Sedangkan pada perokok aktif akan
mempertimbangkan sebaliknya keuntungan dan kerugian apa yang akan dia
peroleh jika berhenti merokok atau tetap aktif merokok.\
Berdasarkan jumlah rokok yang dihisap, perokok dikategorikan menjadi 3
yaitu perokok ringan, perokok sedang dan perokok berat. Perokok ringan
adalah perokok yang merokok kurang dari 10 batang per hari. Perokok
sedang adalah perokok yang menghisap rokok 10-20 batang per hari.
Sedangkan perokok berat adalah perokok yang menghisap rokok lebih dari 20
batang per hari. Bila di komfersikan ke nilai rupiah, maka dapat hitung bahwa
perokok berat harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp.20.000,- per hari atau
Rp.600.000,- per bulan atau Rp.7.120.000,- per tahun untuk membeli rokok.
Namun pada seorang perokok berat ada pula hal-hal yang dalam
pandangannya akan memberikan kerugian jika dia berhenti merokok. Seperti
para pekerja malam, rokok dijadikan sebagai alat untuk mengusir rasa
ngantuk, bahkan ada sebagian yang akan di kucilkan dalam kelompok
sosialnya jika tidak merokok karena sebagian besar anggota kelompok
sosialnya dalah perokok sehingga usaha untuk berhenti merokok dalam
pandangan mereka akan menimbulkan kerugian pada sisi sosiaal ekonomi.
4. Persepsi terhadap hambatan (perceived barriers)
Hasil penelitian ini menunjukkan sebesar 56,67% responden beranggapan
bahwa merokok sangat baik dipakai untuk menyambut tamu di acara-acara
selamat di kampung. Sebesar 40% responden setuju bahwa tidak ada orang
yang meninggal karena merokok, maka merokok tidak perlu dilarang. Sebesar
30% responden setuju bahwa merokok itu merupakan hak asasi manusia
sehingga merokok dapat dimana saja dan kapan saja

22
Selain itu iklan dan presepsi yang di bangun oleh para produsen rokok
memberikan gambaran kepada masyarakat seaka-akan bahwa merokok itu
banyak manfaatnya.
5. Cuest to action
Bentuk dari cues of action banyak bentuknya salah satunya yaitu illness of
family member, media reports, saran dari orang lain, nasehat dari petugas
kesehatan, poster, dll.
Pengaruh orang-orang terdekat seperti keluarga, teman/sahabat, promosi
larangan dan bahaya rokok, saran dari orang yang dijadikan panutan maupun
petugas kesehatan ikut menentukan perilaku seseorang untuk berhenti
merokok.
6. Self-efficacy
Self-efficacy atau dapat diartikan sebagai keyakinan pada kemampuan diri
sendiri atau rasa percaya diri menjadi tolak ukur awal bagi seseorang untuk
melakukan usaha berhenti merokok atau tidak merokok bagi yang bukan
perokok. Dari kayakinan diri inilah yang akan memperlihatkan kesungguhan
seseorang untuk melakukan usaha berhenti merokok.
7. Faktor lainnya (modifying factors)
Selain 6 faktor pembentuk di atas (5 pembentuk utama) ada juga yang di
sebut modifying factors yang dapat di bagi kedalam 3 variable yaitu :
a) Variabel demografi yang terdiri dari usia, jenis kelamin, latar belakang
budaya, sosial dan ekonomi
Hasil penelitian menunjukan, kelompok umur yang paling banyak
merokok berada pada kelompok umur 71-80 tahun sebesar 36,67%
responden, lebih banyak pada laki-laki, sedangkan sosial budaya
masyarakat setempat masih menganggap perilaku merokok adalah
perilaku yang normal dan wajar.
b) Variabel psikologis yang terdiri dari kepribadian, kelas sosial, tekanan
sosial
Kepribadian yang sesuai dengan norma-norma, dan tekanan sosial
dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku merokok atau tidak
merokok

23
c) Variabel struktural yang terdiri dari pengetahuan dan pengalaman tentang
masalah
Seharusnya pengetahuan dan pengalaman mempunyai hubungan
yang erat dengan sikap dan perilaku, namun pada penelitian di atas tidak
ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan terhadap bahaya rokok
dengan perilaku merokok
8. Likelihood of behivor
Dari faktor-faktor yang telah di uraikan di atas akan menghasilkan
kemunkinan-kemungkinan terjadi perubahan perilaku sehat yaitu :
a) Pada perokok : akan berhenti merokok atau tetap merokok
b) Pada non perokok : akan tetap tidak merokok atau mencoba-coba untuk
merokok

24
BAB 3

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN

Health belief model adalah model yang menspesifikasikan bagaimana


individu secara kognitif menunjukkan perilaku sehat maupun usaha untuk menuju
sehat atau penyembuhan suatu penyakit. Health belief model ini didasari oleh
keyakinan atau kepercayaan individu tentang perilaku sehat maupun pengobatan
tertentu yang bisa membuat diri individu tersebut sehat ataupun sembuh
Health Belief Model memiliki empat konstruksi utama yaitu persepsi
kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility), keseriusan yang dirasakan
(perceived seriousness), manfaat yang didapatkan (perceived benefits), dan
hambatan yang dihadapi (perceived barriers) (Jones & Bartlett, 2010 as cited in
Ummuzahroh, 2015).
Dalam perkembangannya, perilaku/tindakan seseorang untuk mencegah atau
mengobati penyakit juga dipengaruhi oleh self-efficacy dan petunjuk/pendorong
untu bertindak (cues to action) (Jones & Bartlett, 2010 as cited in Ummuzahroh,
2015).
3.2 SARAN

Dari makalah ini di harapkan dapat membantu masyarakat maupun tenaga

kesehatan untuk lebih mengetahui tentang konsep dan penerapan health belief

model sehingga dapat di gunakan untuk menyusun langkah konkrit dalam

tindakan preventif terhadap perilaku masyarakat yang tidak sehat

25
DAFTAR PUSTAKA

Salihat, Kurnia. 2009. Hubungan Persepsi Literatur. Universitas Indonesia :


Jakarta
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/124279-S-5618-Hubungan%20persepsi-
Literatur.pdf (Di akses pada 28 Agustus 2017)
Putri, Devi. 2016. Gambaran Health Belief Model Pada Penderita Kanker Yang Memilih
Dan Menjalani Pengobatan Alternatif. Universitas Sunan Ampel : Surabaya
http://digilib.uinsby.ac.id/13200/ (Di akses pada 28 Agustus 2017)
Ummuzahroh, 2015. Konsep Health Belief Model.
https://www.scribd.com/document/286894081/Konsep-Health-Belief-Model-doc
(Di akses pada 28 Agustus 2017)
Widyautama, A. 2016. Studi Deskriptif Mengenai Health Belief pada Mahasiswa
Perokok Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung. Universitas
Islam Bandung : Bandung
http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/4816/06bab2_wid
yautama_10050010126_skr_2016.pdf?sequence=6&isAllowed=y (Di akses
28 Agustus 2017)

26

Anda mungkin juga menyukai