HEPATITIS B
PEMBIMBING
dr. Supris Yurit EP, MSc, SpPD
PENULIS
Wan Muhammad Mulkan
030.12.277
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Selama pembuatan laporan
kasus ini penulis mendapat banyak dukungan dan juga bantuan dari berbagai pihak, maka dari
itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada orang tua, dokter pembimbing
penyusunan laporan kasus dr. Supris , dan seluruh dokter bagian Ilmu Penyakit Dalam di
RSUD Karawang serta teman-teman kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini jauh dari sempurna, baik
dari segi penyusunan, pembahasan, maupun penulisan. Oleh karena itu kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi profesi, pendidikan, dan masyarakat. Akhir kata penulis mohon maaf atas segala
kekurangan yang ada.
1.1 Identitas
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 50 tahun
Tempat Tanggal Lahir : Karawang, 01 September 1966
Alamat : Babakan Jembar
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pekerjaan :-
Pendidikan : SMA
Status pernikahan : Menikah
Tanggal MRS : 25 Juli 2017
No. RM : 00.69.01.34
Ruang : 139
1.2 Anamnesis
Kesan : Kardiomegali
1.5 Diagnosis
Differential Diagnosis:
CHF + AKI + Hepatitis + Dyspepsia
CHF + AKI + Sirosis Hepatis + Dyspepsia
Working Diagnosis:
Hepatitis + AKI + CHF + Dyspepsia
1.6 Tatalaksana
- Bed rest
- Diet rendah gula, garam, lemak, dan kolesterol
- Terapi nutrisi pada penderita sirosis hepatis
- IVFD NaCL 0,9% 20 tpm
- Injeksi Pantoprazole 2 x 1 amp (40 mg)
- Injeksi Ondansetron 3 x 1 amp (4 mg)
- Curcuma 3 x 1
- Chana 3 x 2
1.7 Prognosis
- Ad vitam : dubia
- Ad functionam : dubia ad malam
- Ad sanationam : dubia ad malam
1.8 Follow up
Hari 1 ( 25 Juli 2017 )
S OS mengeluh nyeri pada daerah perut (+), mual (-), muntah (-). Belum
BAB selama 4 hari.
Bengkak pada kedua kaki dan punggung terasa nyeri.
O Keadaan umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos mentis
Tekanan darah: 70/50mmHg Nadi: 104 x/menit
Suhu: 36,7 C Pernapasan: 16 x/menit
SO2 : 99%
S Os mengeluh masih merasakan nyeri pada perut. Batuk (+) dengan dahak
warna hijau
O Keadaan umum: Tampak sakit ringan
Kesadaran: Compos mentis
Tekanan darah: 60/40 mmHg Nadi: 82 x/menit
Suhu: 36,5 C Pernapasan: 24 x/menit
SO2 : 68%
Tn. S 50 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut sejak 2 minggu yll
SMRS. Nyeri terasa pada seluruh bagian perut dengan nyeri lebih terasa sakit pada ulu hati.
Perut terasa kembung dan cepat merasa kenyang. BAB lancar tanpa keluhan berwarna kuning
dan tidak pernah mengeluh berdarah. Os juga mengeluh kaki dan tangan bengkak. Awalnya
kaki terlebih dahulu bengkak. Berat badan dirasa menurun sejak 2minggu terakhir. Os
mengatakan keluhan tersebut baru pertama kali dirasakan
Sekitar 1 minggu sebelum dirawat, Os sempat melakukan cek kesehatan di poli RS
dengan keluhan demam, nyeri dada menjalar kebelakang, dan memerlukan 2 bantal untuk
tidur. Os juga mengeluh mudah lelah saat melakukan aktifitas ringan seperti berjalan.
Jantung terasa berdebar-debar. Lalu oleh dokter pasien diminta untuk melakukan
pemeriksaan USG dan Rontgen. Namun saat ditanyakan hasil USG maupun rontgen, pasien
tidak mengetahui. Os juga mengeluh batuk berdahak yang susah keluar, dahak berwarna
kuning kehijauan yang dirasa 1 minggu.
Riwayat penyakit dahulu tidak didapatkan riwayat Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asam
Urat, Kolesterol, Penyakit paru, Penyakit jantung dan ginjal.
Os diketahui memiliki riwayat konsumsi alcohol selama 10 tahun dan os mengatakan
hamper setiap minggu os rutin mengkonsumsi alcohol. Os juga memiliki riwayat merokok
dengan menghabiskan 2 bungkus perhari serta rutin mengkonsumsi kopi 6 gelas perhari. Os
juga mengatakan memiliki kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan warung seperti Bodrex dan
Paramex.
Dari keluarga tidak didapatkan riwayat Hipertensi, Diabetes Mellitus, keluhan yang
sama dengan Os, Penyakit paru, jantung, dan ginjal.
Malaise
Mual
Bilirubin total: 1,52, Globulin : 5.2, SGPT : 394,2 U/L > SGOT: 136,8 U/L,
Albumin:1.7 g/dl, Bilirubin direct : 0.71 mg/dl, Bilirubin Indirek :0.81 mg/dl.
Diagnosis Banding
2. Hepatitis A, C dan D
EKG
Irama sinus ( gelombang P diikuti oleh gelombang QRS )
Frekuensi QRS menurut EKG 100 x / menit
Axis Jantung Deviasi ke kanan
Gelombang P pulmonal
PR interval normal
Morfologi QRS normal
ST-T chain terdapat ST defleksi V5 dan V6
Gelombang T normal
Rontgen Thorax
Jantung kiri membesar dengan CTR > 50%. Apeks jantung tertanam.
Corakan bronkovaskular normal, terlihat kalsifikasi pada kedua lapang paru
Sinus kostofrenikus kanan tumpul dan kiri terlihat tajam
Tulang dan jaringan lunak baik
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat disebabkan
oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta bahan-bahan kimia.
Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang
menginfeksi hati hominoidae, termasuk manusia, dan menyebabkan peradangan yang disebut
hepatitis.
1.2 Etiologi
Virus hepatitis B merupakan virus DNA yang termasuk golongan Hepadnaviridae, yang
mempunyai empat buah open reading frame: inti, kapsul, polymerase, dan X. Gen inti
mengkode protein nukleokapsid yang penting dalam membungkus virus dan HBeAg. Gen
permukaan mengkode protein pre-S1, pre-S2, dan protein S. gen X mengkode protein X yang
berperan penting dalam proses karsinogenesis. Sampai saat ini tedapat delapan genotype virus
hepatitis B: genotip A, B, C, D, E, F, G, H. genotip B dan C paling banyak ditemukan di Asia.
1.3 Patogenesis
Virus HBV dapat ditransmisikan dengan efektif melalui cairan tubuh, perkutan dan
melalui membran mukosa. Dimana konsentrasi dalam jumlah tinggi terdapat dalam cairan
tubuh berupa darah, serum dan eksudat luka. Konsentrasi sedang terdapat pada semen, cairan
vagina dan air liur. Konsentrasi yang lebih rendah/tidak ada berada pada urin, feses, keringat,
air mata dan ASI.
Secara umum, HBV akan masuk ke peredaran darah secara parenteral dan partikel
Dane ( HBsAg dan HBcAg) masuk kedalam hati dan terjadi proses replikasi virus.
Selanjutnya sel hati akan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HBsAg bentuk bulat dan
tubuler serta HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. HBV akan merangsang respon
imun tubuh yaitu respon imun non-spesifik. Proses eliminasi terjadi tanpa restriksi HLA yaitu
dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T.
Selanjutnya terjadi proses pengaktifan sistem imun spesifik dengan mengaktifkan sel
Limfosit T dan sel Limposit B. aktivasi akan terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut
dengan kompleks peptide VHB- MHC kelas I yang terdapat pada permukaan dinding sel hati
dan pada permukaan dinding Antigen Presenting Cell (APC) dan di bantu rangsangan sel T
CD+4 yang sebelumnya mengalami kontak dengan kompleks peptide HBV- MHC kelas II.
Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada dalam sel hati yang terinfeksi.
Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan
meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik.
Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan CD4+ akan menyebabkan produksi antibody
antara lain anti-HBs, anti-HBc dan anti HBe. Fungsi anti-HBs adalah menetralisasi partikel
HBV bebas dan mencegah masuknya virus kedalam sel.
1) Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu yang
sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya virus hepatitis B dari
tubuh kropes. Hepatitis B akut terdiri atas 3 yaitu :
Gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam tinggi, anoreksia,
mual, nyeri didaerah hati disertai perubahan warna air kemih menjadi gelap.
Pemeriksaan laboratorium mulai tampak kelainan hati (kadar bilirubin serum,
SGOT dan SGPT, Fosfatose alkali, meningkat).
2. Fase lkterik
3. Fase Penyembuhan
b. Hepatitis Fulminan
Bentuk ini sekitar 1 % dengan gambaran sakit berat dan sebagian besar mempunyai
prognosa buruk dalam 7-10 hari, lima puluh persen akan berakhir dengan kematian.
Adakalanya penderita belum menunjukkan gejala ikterus yang berat, tetapi
pemeriksaan SGOT memberikan hasil yang tinggi pada pemeriksaan fisik hati
menjadi lebih kecil, kesadaran cepat menurun hingga koma, mual dan muntah yang
hebat disertai gelisah, dapat terjadi gagal ginjal akut dengan anuria dan uremia.
c. Hepatitis Subklinik
2) Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu dengan
sistem imunologi kurang sempurna sehingga mekanisme, untuk menghilangkan VHB
tidak efektif dan terjadi koeksistensi dengan VHB. Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B
akut akan mengalami Hepatitis B kronik. Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak
menunjukkan perbaikan yang mantap.
1.6 Diagnosis
Masa inkubasi HBV adalah 1-4 bulan. Setelah masa inkubasi, pasien masuk dalam
periode prodromal, dengan gejala konstitusional berupa malaise, anoreksia, mual, muntah,
myalgia dan mudah lelah. Sebagian pasien dapat merasakan nyeri abdomen kuadran kanan
atas atau nyeri epigastrium intermitten yang ringan sampai moderat. Gejala tersebut
kemungkinan bisa muncul sebelum timbulnya gejala ikterus.
Diagnosis Hepatitis B meliputi anamnesis dari gejala klinis, pemeriksaan fisik maupun
dari pemeriksaan serologi. Uji serologis Hepatitis B melibatkan pengukuran beberapa HBV
antigen spesifik dan antibodi. Perbedaan marker Atau kombinasi marker antigen digunakan
untuk mengidentifikasi fase infeksi HBV yang berbeda dan untuk menentukan apakah pasien
memiliki infeksi HBV akut atau kronis, kebal terhadap HBV sebagai akibat dari infeksi atau
vaksinasi sebelumnya, atau Rentan terhadap infeksi.
Pada hepatitis B akut, HBsAg muncul di serum dalam waktu 2-10 minggu setelah
paparan virus, sebelum onset gejala dan peningkatan kadar ALT. pada sebagian pasien
dewasa, HBsAg hilang dalam 4-6 bulan. Anti HBs dapat muncul beberapa minggu setelah
serokonversi HBsAg. Adanya HBsAg persistent selama lebih dari 6 bulan menunjukkan
bahwa pasien menderita infeksi hepatitis B kronik.
1.7 Tatalaksana
Status HBeAg pasien telah diketahui memiliki peran penting dalam prognosis pasien
dengan hepatitis B kronik. Pasien dengan HBeAg positif diketahui memiliki risiko morbiditas
dan mortalitas yang lebih tinggi.14 Namun, pada pasien dengan HBeAg negatif, respon terapi
jangka panjang seringkali lebih sulit diprediksi dan relaps lebih sering dijumpai. Beberapa
panduan yang ada telah mencoba membedakan indikasi terapi hepatitis B berdasarkan status
HBeAg, dengan pasien HBeAg negatif diindikasikaan memulai terapi pada kadar DNA VHB
yang lebih rendah.15,16 Kadar ALT serum telah lama dikenal sebagai penanda kerusakan hati,
namun kadar ALT yang rendah juga menunjukkan bahwa pasien berada pada fase immune
tolerant dan akan mengalami penurunan respon terapi. Adanya tingkat kerusakan histologis
yang tinggi juga merupakan prediktor respon yang baik pada pasien dengan hepatitis B.
Sampai sekarang telah terdapat setidaknya 2 jenis obat hepatitis B yang diterima
secara luas, yaitu golongan interferon (baik interferon konvensional, pegylated interferon -
2a, maupun pegylated interferon -2b) dan golongan analog nukleos(t)ida. Golongan analog
nukleos(t)ida ini lebih jauh lagi terdiri atas lamivudin, adefovir, entecavir, telbivudin, dan
tenofovir. Semua jenis obat tersebut telah tersedia dan beredar di Indonesia, namun khusus
untuk tenofovir, saat panduan ini disusun, peredarannya di Indonesia hanya dikhususkan
untuk pasien HIV. Baik interferon maupun analog nukleos(t)ida memiliki kekurangan dan
kelebihan masing-masing.
Interferon
Interferon (IFN) adalah mediator inflamasi fisiologis dari tubuh berfungsi dalam
pertahanan terhadap virus. Senyawa ini memiliki efek antiviral, immunomodulator, dan
antiproliferatif. Interferon akan mengaktifkan sel T sitotoksik, sel natural killer, dan makrofag.
Selain itu, interferon juga akan merangsang produksi protein kinase spesifik yang berfungsi
mencegah sintesis protein sehingga menghambat replikasi virus. Protein kinase ini juga akan
merangsang apoptosis sel yang terinfeksi virus. Waktu paruh interferon di darah sangatlah
singkat, yaitu sekitar 3- 8 jam.
Saat ini tersedia 2 jenis pegylated interferon, yaitu pegylated-interferon -2a (Peg-IFN
-2a) dan pegylatedinterferon -2b (Peg-IFN -2b). IFN konvensional diberikan dalam dosis
5 MU per hari atau 10 MU sebanyak 3 kali per minggu, sementara Peg-IFN 2a diberikan
sebesar 180 g/minggu, dan Peg-IFN 2b diberikan pada dosis Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia 11 1-1.5 g/kg/minggu. Semua pemberian terapi
interferon diberikan secara injeksi subkutan. Pada awalnya, terapi interferon, terutama
interferon konvensional diberikan selama 16-24 minggu, namun pada Peg-IFN, buktibukti
terbaru menunjukkan bahwa pemberian Peg-IFN -2a dengan dosis 180 g/minggu selama 48
minggu ternyata menunjukkan hasil lebih baik daripada pemberian selama 24 minggu.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa terapi interferon boleh digunakan pada pasien
dengan karakteristik: (1) Pasien muda yang telah memenuhi indikasi terapi, tanpa penyakit
penyerta, dan memiliki biaya yang mencukupi. (2) Pada pasien yang diketahui terinfeksi VHB
genotip A atau B, mengingat penelitian yang ada telah membuktikan bahwa terapi interferon
akan memberikan efektivitas yang lebih baik pada infeksi VHB dari genotip tersebut.
Sebaliknya, interferon tidak boleh diberikan pada pasien dengan karakteristik: (1)
Pasien sirosis dekompensata. (2) Pasien dengan gangguan psikiatri. (3) Pasien yang sedang
hamil. (4) Pasien dengan penyakit autoimun aktif.
Lamivudin
Secara umum dapat disimpulkan bahwa lamivudin adalah pilihan terapi yang murah,
aman, dan cukup efektif baik untuk pasien hepatitis B dengan HBeAg positif maupun negatif.
Namun tingginya angka resistensi dan rendahnya efektivitas bila dibandingkan dengan terapi
lain membuat obat ini mulai ditinggalkan. Walaupun begitu, terapi lamivudin tetap bisa
disarankan menjadi terapi lini pertama di Indonesia dan masih bisa menjadi pilihan utama
pada beberapa kondisi seperti pada sirosis dekompensata atau profilaksis pada pasien yang
akan menjalani kemoterapi.
1. Pasien naif dengan DNA VHB <2 x 10 3 IU/mL, status HBeAg positif, ALT >2x batas
atas normal.
2. Lamivudin dapat diteruskan bila pada minggu ke-4 pasien mencapai DNA VHB < 2 x
103 IU/mL, serta pada minggu ke-24 mencapai DNA VHB < 2 x 103 IU/mL.
Adefovir Dipivoxil
1. Pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif, dengan DNA VHB rendah, dan ALT tinggi.
2. Pasien dengan riwayat gagal terapi dengan pemberian analog nukleosida.
Entecavir
Entecavir (ETV) adalah analog 2-deoxyguanosine. Obat ini bekerja dengan menghambat
priming DNA polimerase virus, reverse transcription dari rantai negatif DNA, dan sintesis
rantai positif DNA. Entecavir diberikan secara oral dengan dosis 0.5 mg/ hari untuk pasien
naif dan 1 mg/hari untuk pasien yang mengalami resistensi lamivudin. Profil keamanan
entecavir cukup baik dengan barrier resistensi yang tinggi. Salah satu keuntungan entecavir
adalah tingginya efektivitas dengan tingkat resistensi yang relatif rendah. Terapi ini bisa
menjadi pilihan pada pasien dengan resistensi lamivudin.
1. Pasien naif dengan DNA VHB <2x 108 IU/mL, Status HBeAg positif, ALT >2x batas
atas normal.
2. Telbivudin juga dapat diteruskan bila pada minggu ke-24 mencapai DNA VHB tak
terdeteksi.
1.8 Komplikasi
Hepatitis B kronik merupakan penyulit jangka lama pada Hepatitis B akut. Penyakit ini
terjadi pada sejumlah kecil penderita Hepatitis B akut. Kebanyakan penderita Hepatitis B
kronik tidak pernah mengalami gejala hepatitis B akut yang jelas.
Hepatitis fulminan merupakan penyulit yang paling ditakuti karena sebagian besar
berlangsung fatal. 50% kasus hepatitis virus fulminan adalah dari tipe B dan banyak diantara
kasus hepatitis B akut fulminan terjadi akibat ada koinfeksi dengan hepatitis D atau hepatitis
C. Angka kematian lebih dari 80% tetapi penderita hepatitis fulminan yang berhasil hidup
biasanya mengalami kesembuhan biokimiawi atau histologik. Terapi pilihan untuk hepatitis B
fulminan adalah transplantasi hati.
Sirosis hati merupakan kondisi dimana jaringan hati tergantikan oleh jaringan parut yang
terjadi bertahap. Jaringan parut ini semakin lama akan mengubah struktur normal dari hati dan
regenerasi sel-sel hati. Maka sel-sel hati akan mengalami kerusakan yang menyebabkan
fungsi hati mengalami penurunan bahkan kehilangan fungsinya
1.9 Prognosis
Dengan penanggulangan yang cepat dan tepat, prognosisnya baik dan tidak sampai
menyebabkan kematian. Pada sebagian kasus penyakit berjalan ringan dengan perbaikan
biokimiawi terjadi secara spontan dalam 1 3 tahun. Pada sebagian kasus lainnya, hepatitis
kronik persisten dan kronk aktif berubah menjadi keadaan yang lebih serius, bahkan berlanjut
menjadi sirosis. Secara keseluruhan, walaupun terdapat kelainan biokimiawi, pasien tetap
asimtomatik dan jarang terjadi kegagalan hati.
Infeksi Hepatitis B dikatakan mempunyai mortalitas tinggi. Pada suatu survey dari 1.675
kasus dalam satu kelompok, tertnyata satu dari delapan pasien yang menderita hepatitis
karena tranfusi (B dan C) meninggal sedangkan hanya satu diantara dua ratus pasien dengan
hepatitis A meninggal dunia. Di seluruh dunia ada satu diantara tiga yang menderita penyakit
hepatitis B meninggal dunia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014:
2. https://www.cdc.gov/hepatitis/hbv/pdfs/serologicchartv8.pdf
3. Krajden M, McNabb G, Petric M. The laboratory diagnosis of hepatitis B virus.
Canadian Journal of Infectious Diseases and Medical Microbiology. 2005;16(2):65-72.
4. European Association for The Study of the Liver. EASL 2017 Clinical Practice
Guidelines on the management of hepatitis B virus infection. Journal of Hepatology.
2017 Apr 18.
5. Gani RA, Hasan I, Djumhana A, Setiawan P. Konsensus nasional penatalaksanaan
hepatitis B di Indonesia. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. 2012.
6. World Health Organization. Guidelines for the Prevention Care and Treatment of
Persons with Chronic Hepatitis B Infection: Mar-15. World Health Organization; 2015
Aug 5.