Anda di halaman 1dari 8

Pintu yang Terkunci

Deara menatap pintu kamarnya yang terkunci. Ia tak mau diganggu lagi oleh siapapun di
keluarganya. Ia merasa cukup lelah dengan apa yang keluarga tuntut atas dirinya. Ia dilarang
kembali ke les menarinya. Di sana, ia bertemu dengan seorang teman perempuan bernama Leva
yang sering membawanya ke diskotik. Setiap ia les hari Kamis, ia pasti pulang larut, kadang
sampai menginap di tempat Leva.

Deara sudah sering dimarahi oleh kedua orang tuanya. Usianya baru beranjak 19 tahun. Ia baru
saja masuk.kuliah. Ia mengambil jurusan Manajemen Idi Fakultas Ekonomi, mengikuti apa yang
orang tuanya minta. Hanya saja, ia masih lebih suka menari dibandingkan bidang yang ia geluti
dalam masa kuliahnya. Ia tak suka dengan keputusan orang tuanya. Beberapa kali mereka beradu
pendapat soal passion Deara.

Deara pun memikirkan hal itu benar benar. Terbayanglah di kepalanya tentang harus hidup tanpa
melakukan apa yang ia sukai. Kepalanya penuh dengan ingatan masa lalu ketika ia berhenti menari.
Seakan tidak ada lagi yang bisa ia kerjakan. Iapun memutuskan untuk mencari Leva waktu itu
diam diam dan menceritakan segalanya.

Kau adalah pengatur hidupmu, Deara. Kau yang memutuskan hidup kamu mau dibawa ke mana.

Deara terdiam. Ia sadar bahwa ialah yang akan menjalankan kehidupannya. Bukan orang lain.
Hanya ia sendiri yang bisa menentukan kebahagiaannya. Bukan kedua orang tuanya. Bukan
mereka yang akan menjalani kehidupan itu, tapi orang lain. Ia pun memutuskan untuk kembali
menari. Ia pun memberontak dengan kabur dari rumahnya setelah orang tuanya masih tidak
memberinya ijin untuk kembali menari. Setelah ia kabur, orang tuanya pun mencarinya lagi.
Akhirnya, ia kembali boleh mencari, namun kondisinya tidak seperti yang diharapkannya.

Kepalanya pun penuh dengan pertanyaan kenapa orang tuanya tidak pernah mau mendengarkan
dirinya. Sesaat ia terjerumus ke dalam amarah yang mendalam. Ia merasa selalu dikontrol oleh
orang tuanya. Mungkin memang lebih baik terpisah, itu yang ia pikirkan. Ia akan mencari kerja,
tak perlu kuliah. Leva akan membantu dia.
Ibunya, Kristina mengetuk pintu. Ia sudah biasa menghadapi Deara seperti ini. Ia sendiri merasa
kesal, namun Dearalah satu satunya penerus keluarga. Ia anak satu satunya yang diharapkan
bisa meneruskan nama baik keluarganya.

Deara... Ayo keluar. Sudah waktunya makan. Nanti kami jadi sakit.

Deara tidak menjawab. Ia masih merasa lebih baik sendirian saja tanpa ada gangguan dari siapapun
waktu itu. Ia butuh sendirian. Ia tak ingin ada orang lain mengganggunya.

Ia pun menyetel musik keras keras. Kristina hanya terdiam. Deara memang tak biasanya seperti
itu saat marah. Ia berubah.

Di dalam, Deara pun menari. Ia tak mau peduli lagi. Ia tampak hidup dalam dunianya sendiri, tanpa
siapapun. Ia tidak tidur waktu itu. Ia menari demi mempertahankan cintanya kepada tarian.
Walaupun mungkin orang menganggap dia gila, tapi itulah keputusan yang ia buat. Ia sadar ia
harus berjuang demi mimpinya. Ia pun merekam dengan menggunakan smartphone mahal yang
baru saja dibelinya.

Musik itu bertempo cepat. Lagunya sejenis rock metal. Ia pun membuat gerakan yang kuat dan
tidak lembut. Setiap gerakan dibuat dengan tegas. Ia menciptakan sendiri tarian itu. Tak ada yang
melihat, ia bebas saat itu. Ia pun berusaha memperbaiki gerakan yang ia rasa merusak artist tarian
yang disebutnya tarian kemarahan itu. Ia mengulang lagi, menari sampai kepalanya cukup pushing
karena intensitas dan kekuatan gerakan. Musik masih tetap ia dengarkan walau ia pusing dan lelah.
Ia tak mau menemui siapapun.

Kristina terdiam. Ia pun menelepon suaminya, Leon agar Leon cepat pulang. Leon sendiri adalah
seorang CEO perusahaan. Ia cukup sibuk dan agak kesal karena menganggap hal itu tidak penting.
Banyak hal yang ia harus putuskan waktu itu. Ia pun tidak ingin diganggu dengan berbagai macam
alasan. Ia memang tipikal pemimpin yang bossy dan tidak suka bertele tele.

Sudahlah. Kata Leon menjawab kekhawatiran istrinya. Nanti juga dia keluar. Aku sedang
sibuk. Aku pulang terlambat hari ini karena ada program baru yang harus dibuat. Sudah, ya?

Iya. Makan di rumah saja, ya.

Iya.
Deara sebenarnya sepintas mendengar telepon Sang Bunda. Ia tahu Kristina khawatir. Hanya saja,
ia juga tahu bahwa kemungkinan besar Sang Ayah tidak akan peduli dengan dirinya. Perusahaan
seakan lebih penting dari putri satu satunya. Dalam hatinya, ia pun terluka. Ia tidak mau peduli
lagi dengan kedua orang tuanya saat itu. Yang ia rasa, ia harus putuskan adalah bahwa ia mungkin
harus berpisah. Ia tidak mau diajak berdebat lagi tentang passion yang ia miliki. Saat itu, ia hanya
mau sendirian.

Hari sudah malam. Deara masih belum mau keluar dari kamarnya. Sang Ibu sebenarnya sudah
menangis diam diam. Bujukannya seakan tidak dihiraukan. Leon yang baru pulang kerja
langsung marah marah. Ia sebenarnya sudah merasa lelah dan ingin istirahat. Ia tak mau
mengurusi putrinya yang belum mau keluar kamar.

Kristina pun menghubungi Leva, satu satunya teman Deara yang ia kenal. Ia meminta bantuan
Leva karena sadar hatinya tidak tenang. Ia gelisah. Leva saat itu sedang berpesta dan tengah
mabuk. Jadi, Kristina sendiri pun juga malas meneruskan pembicaraan lewat telepon.

Deara masih membuat tariannya. Ia tak peduli akan perutnya yang lapar dan tubuhnya yang mulai
merasa sakit karena gerakan cukup sulit yang ia ciptakan. Ia masih marah dengan kedua orang
tuanya yang membuat keputusan sepihak tanpa ada persetujuan darinya. Tak lama kemudian, ia
pun tertidur.

Saat dengan malam, Deara terbangun. Ia pun diam diam membuka jendela kamarnya. Musik
masih terus menerus berlangsung. Tampaknya, orang tua Deara tidak mendengar suara itu. Deara
pun menyiapkan pakaian, dan barang barang lain yang ia perlu bawa. Ia harus keluar dari
rumahnya. Ia pun keluar kamar dari jendelanya. Ia berjalan kaki keluar rumah dengan memakai
jaket tebal. Ia pun memesan ojek online dan pergi ke sebuah hotel. Di dekat hotel, ia menarik uang
dari ATMnya. Ia menarik Rp. 5.000.000,00. Ia hanya tidak mau orang tuanya memblok rekening
tabungan yang masih berisi belasan juga waktu itu.

Ia pun mengirim pesan ke Leva.

Temui aku besok di hotel Mawar. Pagi hari. Aku kabur dari rumah. Aku ga mau hidup diatur
mereka lagi. Papa juga kayak ga peduli sama aku lagi.
Ia sempat memesan makan malam di restoran hotel. Ia makan sendirian. Tak ada siapapun di sana.
Ia hanya melihat sekelompok pelayan. Mereka tak mengajaknya bicara. Mereka hanya
mengajukan menu kepadanya, menanyakan pesanan, dan menulis pesanannya. Setelah selesai
makan, ia pun tidur di kamarnya.

Paginya, ia gelisah karena Leva tidak bisa dihubungi. Beberapa kali ia menelepon, tapi tidak ada
sambungan panggilan. Leva pun tidak pernah datang sampai siang hari. Ia kesal dan marah marah
karena sekarang Leva tampak tidak peduli kepadanya.

Ia pun mengambil uang lagi, berharap orang tuanya belum memblokir tabungannya. Ternyata,
benar orang tuanya belum memblokir tabungannya. Ia berhasil mengambil uang cukup banyak. Ia
pun keluar dengan menyamar, memakai kaca mata hitam, dan topi. Ia pun mewarnai rambutnya
dengan cat rambut yang ia beli di convenience store yang buka 24 jam dan memotong rambutnya
yang panjang menjadi pendek. Ia tak mau pergi ke kampus. Ia pun mencari di google tempat kursus
menari dan tempat kost yang murah. Setelah ia temukan tempat baru tersebut, ia pergi ke sana dan
mendaftar. Dia tahu ia tidak merasa bebas. Tapi, paling tidak, ia berjuang. Ia sepintas melihat
Kristina dan Leon yang sedang menyebarkan kertas kepada beberapa orang. Namun, ia tak mau
menggubris. Tas yang ia pakai ia sembunyikan di depan dadanya.

Ia masuk ke tempat les yang cukup jauh dari rumahnya. Di sana, seorang murid mengenalinya.
Mereka pernah menari bersama di kompetisi grup.

Dea, ya? sapa Kayla.

Bukan. Aku Ria. Siapa, ya?

Aku Kayla, masih murid.

Oh, aku mau daftar di sini.

Boleh. Mau daftar jadi guru atau murid? tanya salah seorang yang mendengar mereka.

Aku mau coba jadi guru. Tapi, aku belum bahwa CV dan lainnya.

Tak apa. kata seorang perempuan berusia 40 tahunan.Kami butuh guru baru, mendesak hari
ini.

Ada apa? tanya Kayla.


Salah satu guru di sini meninggal tadi subuh.

Oh... Siapa?

Miss Leva.

Deara terdiam. Ia pun mengecek smartphone yang ia miliki.

Sebentar... Sepertinya saya kenal.

Ia membuka aplikasi social media, Facebook. Ia menemukan berita itu. Leva meninggal. Banyak
komentar negatif yang ada di sana, yang menyebut dia menerima azab, dan beberapa cacian bahwa
ia pelacur, dan lainnya. Tapi, yang pasti Leva meninggal karena overdosis.

Dia teman saya.

Mau kerja di sini sekarang? Jam 3 sore sampai 6 sore, terus jam 7 dan 8 malam, ada kelas lomba
jadi sudah ada murid. Jadi kau tak bisa melayat hari ini.

Ya, saya mau.

Deara pun diwawancara kerja saat itu. Ia sangat berterima kasih atas kesempatan itu. Ia berhasil
meminta Sang Bos merahasiakan identitasnya. Sang Bos pun tidak peduli karena ia butuh guru
secara darurat. Ia pun suka dengan talenta dan passion yang dimiliki Deara. Deara boleh tinggal
di sana sampai ia menemukan tempat tinggal baru.

Setelah beberapa bulan, seorang wanita mengenali Deara. Ia teringat akan orang tua Deara yang
sempat mencarinya. Meskipun ia masih bingung karena Deara dipanggil dengan nama Ria. Ia yang
bernama Kinnara memutuskan untuk menanyakan hal tersebut kepada Ria alias Deara. Ia diam
diam mengambil foto Deara ketika anaknya sedang latihan.

Miss, sepertinya saya pernah melihat Miss dulu. Bukan di sini maksudnya.

Oh, ya? Saya tidak ingat, lho. Jawab Deara.

Iya, Miss kayaknya pernah. Dulu tinggal di mana?

Wah, saya sih memang tinggal di sini baru beberapa bulan. Sebelumnya sih pindah pindah. Di
Semarang pernah, terus Bandung, Surabaya. Gitu deh.
Oh, begitu. Anak saya suka sama Miss. Nanti kapan kapan kalau sempat, kita pergi bersama,
ya?

Ga usah, Tante. Aku ga mau ngerepotin Tante soalnya. Aku juga sibuk.

Oh, ya sudah. Kata Kinnara.

Deara pun kembali melatih anak anak. Ia memang tidak mau terlalu dekat dengan siapapun demi
menjaga identitasnya. Ia hanya ingin fokus pada mengajar dan melakukan hal yang menjadi
passionnya selama ini. Ia takut jika identitasnya terbongkar, ia akan kembali ke masa lalunya di
mana ia tidak bisa menari kembali karena halangan dari orang tuanya.

Sementara itu, Kinnara yang mencurigainya pergi ke rumah Leon dan Kristina untuk memastikan
kebenaran. Kinnara menunjukkan foto Deara saat menemui mereka berdua. Kristina terkejut. Ia
tahu bahwa orang di foto itu jelas adalah anaknya, anak satu satunya yang menghilang karena
pertengkaran dengan kedua orang tuanya.

Ini memang dia. Aduh. Jadi malu. Muridnya banyak, ya.

Banyak yang suka sama dia. Anak saya, Kimmy juga menyukainya. Kimmy sekarang jadi lebih
bagus dalam tariannya.

Syukurlah. Kata Kristina.

Kami mau menemui dia. Kata Leon. Ketika Leva meninggal, kami kira ia juga ikut terjerumus
ke lingkungan yang salah. Kami memang tidak mau dia bergaul dengan Leva. Hanya itu saja.
Kami tidak bermaksud menghentikan dia untuk terus menari. Kami menyesali dulu kami meminta
dia berhenti dan kami kehilangan dirinya.

Baiklah. Saya akan membantu kalian. Kata Kinnara.

Setelah beberapa lama, Deara memang mulai merindukan kembali keluarganya. Namun, ia tetap
keras kepala mempertahankan impiannya. Ia memutuskan tidak pulang ke rumah dulu. Ia juga
masih takut kalau ia kembali ia tidak akan boleh meneruskan passionnya lagi. Ia masih ingin
menari dan ia takut rumahnya akan mencegah tariannya.

Beberapa minggu kemudian, agar Deara tidak curiga macam macam, Kinnara mengajaknya
makan bersama. Kinnara berusaha membuat suasana tidak menjadi tegang. Ia juga melihat saat itu
Deara sedang berbahagia karena Kimmy juga berhasil memenangkan pertandingan menari di
sekolahnya. Deara pun tidak dapat menolak ajakan itu. Tidak ada rasa curiga seperti sebelumnya.
Kinnara juga sadar bahwa waktunya harus tepat untuk merukunkan kedua belah pihak sehingga ia
mengambil beda waktu yang cukup panjang.

Saat makan bersama, Kristina dan Leon memang duduk terpisah dari Kinnara dan keluarganya.
Namun, setelah beberapa saat, Kristina menghampiri Deara. Deara terkejut. Ia sendiri saat itu juga
tidak sanggup menolak ibu kandungnya sendiri. Sudah cukup lama ia tidak mencicipi masakan
Sang Bunda dan mendapatkan nasihat dari Sang Ayah. Kadang, ia ingin kembali kuliah sambil
tetap bekerja. Hanya saja, ia ingin mengambil jurusan yang berkaitan dengan menari.

Deara pun menangis sambil memeluk Sang Bunda. Ia senang karena kedua orang tuanya tidak
memarahi kepergiannya bahkan merekalah yang meminta maaf terlebih dahulu kepada Sang Anak.
Ketidaktegaannya membuatnya membuka pintu yang sempat ia kunci. Setelah itu, Deara kembali
pulang ke rumahnya. Ia tetap bekerja di tempat yang sama dan sekaligus meneruskan
pendidikannya. Leon pun menyetujui keputusannya atas memilih menari sebagai sumber mata
pencahariannya. Meskipun begitu, ia tetap membantu anaknya untuk mempersiapkan sang anak
agar ia bisa membuka sekolah menari sendiri atas namanya. Akhirnya setelah kunci itu ia buka,
Deara bisa meneruskan kehidupannya dengan lebih bahagia dan mantap. Tentu saja, dengan
kebersediaan kedua orang tuanya dalam mendukung cita citanya.
Biodata

Penulis yang bernama Vicynthia Tjahjadi sebenarnya adalah seorang guru piano. Selain bermusik,
ia juga suka menulis. Ia pernah belajar menulis dengan Indari Mastuti beberapa tahun yang lalu.
Dalam bidang penulisan, ia pernah menulis beberapa buku non fiksi, di antsranya adalah mengenai
osteoporosis dan diabetes. Ia senang memberikan informasi yang berguna kepada orang lain.
Walaupun, secara manfaat, ia masih lebih suka dengan menulis nonfiksi, fiksi juga menjadi bahan
favorite untuk ia tulis. Sejak kecil, ia memang hobi membuat cerita fantasi. Saat ini, ia ikut serta
event menulis Satu Minggu Satu Cerita sebagai penyaluran hobi menulisnya.

Anda mungkin juga menyukai