setiap kali ia merasa tangannya kotor ia selalu merasa harus cuci tangan di wastafel. Tentu
saja tak jarang tangannya itu memang kotor, Kadang baru duduk sebentar ia segera sudah
berdiri lagi, menuju wastafel untuk mencuci tangan yang dirasanya amat sangat kotor, begitu
kotor, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih kotor.
Merasa?
Ya, tangannya itu sendiri sebetulnya bersih, tapi ia selalu merasa tangannya kotor.
Ia sendiri tak tahu sejak kapan mulai mencuci tangannya terus. Banyak orang mengira ia
hanya merasa tangannya kotor, tetapi dalam pandangannya tangannya memang betul-betul
kotor.
Mula-mula hanya seperti sedikit berdebu, tetapi lama-lama seperti berlumur lumpur.
Ia ingin sekali percaya, bahwa dirinya sebetulnya hanya merasa tangannya kotor, bukan
betul-betul kotor.
Sementara itu, ia masih terus melakukan pekerjaan kotor. Mulai dari yang betul-betul kotor,
sampai yang seolah-olah tidak kotor.
Pada suatu hari, ketika ia mencuci tangan di wastafel, air yang mengucur dari kran dalam
pandangan matanya agak kecoklat-coklatan.
Untuk seorang manusia yang selalu mencuci tangan, air kran yang kotor adalah masalah
besar.
Mencuci tangan kok jadi tambah kotor, pikirnya, mana boleh jadi?
Segeralah para tukang dipanggil untuk memeriksa, apakah kiranya yang membuat air pencuci
tangan yang seharusnya membuat tangan menjadi bersih kini justru membuat tangan semakin
kotor.
Namun ketika dikucurkan, ternyata air kran itu baik-baik saja adanya.
Betapapun ia bersyukur, selama ini ternyata hanya perasaannya sajalah yang membuat ia
mengira tangannya selalu kotor, yang membuatnya selalu merasa harus mencuci tangan,
meskipun tangannya itu sama sekali tidak kotor.
Air kran yang mengucur di wastafel itu semakin lama semakin bertambah kotor. Semula
memang hanya kecoklat-coklatan, tetapi akhirnya menjadi kehitam-hitaman, bahkan
kemudian juga berlumpur dan berbau busuk agak kekuning-kuningan, yang ketika airnya
mengucur memperdengarkan suara seperti orang berdahak.
Grrrrhhhhhuuekkkhhhh..
Rasanya ia mau muntah, tetapi tidak ada yang keluar dari perutnya. Ia berjuang keras
meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang terlihat, terdengar, dan terbaui olehnya itu,
sebetulnya hanyalah sesuatu yang hanya dirasakannya sahaja.
uatu kali, ketika pekerjaan kotornya menumpahkan darah, kran itu pun mengucurkan darah.
Namun ia tetap yakin dan percaya bahwa yang dilihatnya adalah air kran biasa. Ia tidak ingin
lagi-lagi memanggil tukang dan lagi-lagi akan menerima tatapan mata yang memandangnya
dengan aneh karena, Airnya tidak apa-apa Pak!
Ia mencuci tangannya dengan darah yang mengucur dari kran itu dengan perasaan mencuci
tangan sebersih-bersihnya. Lantas ia mencuci muka, tempat segala kehormatannya
dipertaruhkan, dengan darah yang mengucur dari kran itu juga.
Sebelum keluar ruangan, ia menatap wajahnya pada cermin dan ia melihat wajahnya itu
bersimbah darah. Ia merasa tahu benar, perasaannya sajalah yang membuat ia melihat
wajahnya penuh dengan darah.
Begitulah, ia pun keluar ruangan dengan perasaan betapa tangan, wajah, dan bahkan jiwanya
telah menjadi sangat bersih, begitu bersih, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih bersih.