Anda di halaman 1dari 3

Cover your mouth when you sneeze.

Then, wash your hands.


Get a tissue please.
Then wash your hands.

Cover your mouth when you cough.


Then wash your hands.
Get those germs off.
Wash your hands.

After you go to the restroom you know to wash your hands.


Wash your hands.
Before you eat, you know you need to wash your hands.
Wash your hands.

With warm water and soap...

When I touch a chair...

Cover your mouth...

Cover your mouth....

Scrub scrub scrub...

Keep scrubbing, keep rubbing,

(Cerpen) Orang yang Selalu Cuci Tangan)


Semua orang di kantornya sudah tahu, ia selalu mencuci tangannya. Kalau ada orang yang
menyebut namanya, yang diingat setiap orang adalah, Oh, yang selalu cuci tangan itu ya?,
dan akan selalu ditanggapi kembali dengan, Nah! Iya, yang selalu cuci tangan!

setiap kali ia merasa tangannya kotor ia selalu merasa harus cuci tangan di wastafel. Tentu
saja tak jarang tangannya itu memang kotor, Kadang baru duduk sebentar ia segera sudah
berdiri lagi, menuju wastafel untuk mencuci tangan yang dirasanya amat sangat kotor, begitu
kotor, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih kotor.

Barangkali ia sebetulnya hanya selalu merasa tangannya kotor.

Merasa?

Ya, tangannya itu sendiri sebetulnya bersih, tapi ia selalu merasa tangannya kotor.

Makanya ia selalu mencuci tangannya!

Demikianlah orang-orang di kantornya bergunjing tentang atasannya tersebut, yang selalu


mereka lihat sedang mencuci tangan di wastafel ketika mereka memasuki ruangannya.
Di depan wastafel ia mencuci tangan, pada saat mengangkat muka, ia melihat wajahnya
sendiri.

Wajah itulah, pikirnya, wajah itulah!

Mengapa tanganku selalu kotor?

Ia sendiri tak tahu sejak kapan mulai mencuci tangannya terus. Banyak orang mengira ia
hanya merasa tangannya kotor, tetapi dalam pandangannya tangannya memang betul-betul
kotor.

Mula-mula hanya seperti sedikit berdebu, tetapi lama-lama seperti berlumur lumpur.

Apakah ini karena aku selalu melakukan pekerjaan kotor?

Ia ingin sekali percaya, bahwa dirinya sebetulnya hanya merasa tangannya kotor, bukan
betul-betul kotor.

Sementara itu, ia masih terus melakukan pekerjaan kotor. Mulai dari yang betul-betul kotor,
sampai yang seolah-olah tidak kotor.

Pada suatu hari, ketika ia mencuci tangan di wastafel, air yang mengucur dari kran dalam
pandangan matanya agak kecoklat-coklatan.

Ah, kenapa airnya kotor sekali?

Untuk seorang manusia yang selalu mencuci tangan, air kran yang kotor adalah masalah
besar.

Mencuci tangan kok jadi tambah kotor, pikirnya, mana boleh jadi?

Segeralah para tukang dipanggil untuk memeriksa, apakah kiranya yang membuat air pencuci
tangan yang seharusnya membuat tangan menjadi bersih kini justru membuat tangan semakin
kotor.

Namun ketika dikucurkan, ternyata air kran itu baik-baik saja adanya.

Airnya tidak apa-apa Pak, ujar para tukang.

Kini ia khawatir, adalah matanya yang justru bermasalah.

Betapapun ia bersyukur, selama ini ternyata hanya perasaannya sajalah yang membuat ia
mengira tangannya selalu kotor, yang membuatnya selalu merasa harus mencuci tangan,
meskipun tangannya itu sama sekali tidak kotor.

Air kran yang mengucur di wastafel itu semakin lama semakin bertambah kotor. Semula
memang hanya kecoklat-coklatan, tetapi akhirnya menjadi kehitam-hitaman, bahkan
kemudian juga berlumpur dan berbau busuk agak kekuning-kuningan, yang ketika airnya
mengucur memperdengarkan suara seperti orang berdahak.
Grrrrhhhhhuuekkkhhhh..

Rasanya ia mau muntah, tetapi tidak ada yang keluar dari perutnya. Ia berjuang keras
meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang terlihat, terdengar, dan terbaui olehnya itu,
sebetulnya hanyalah sesuatu yang hanya dirasakannya sahaja.

uatu kali, ketika pekerjaan kotornya menumpahkan darah, kran itu pun mengucurkan darah.
Namun ia tetap yakin dan percaya bahwa yang dilihatnya adalah air kran biasa. Ia tidak ingin
lagi-lagi memanggil tukang dan lagi-lagi akan menerima tatapan mata yang memandangnya
dengan aneh karena, Airnya tidak apa-apa Pak!

Ia mencuci tangannya dengan darah yang mengucur dari kran itu dengan perasaan mencuci
tangan sebersih-bersihnya. Lantas ia mencuci muka, tempat segala kehormatannya
dipertaruhkan, dengan darah yang mengucur dari kran itu juga.

Sebelum keluar ruangan, ia menatap wajahnya pada cermin dan ia melihat wajahnya itu
bersimbah darah. Ia merasa tahu benar, perasaannya sajalah yang membuat ia melihat
wajahnya penuh dengan darah.

Begitulah, ia pun keluar ruangan dengan perasaan betapa tangan, wajah, dan bahkan jiwanya
telah menjadi sangat bersih, begitu bersih, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih bersih.

Semua orang terbelalak

Anda mungkin juga menyukai