Anda di halaman 1dari 28

CASE REPORT

Acute Coronary Syndrome

Disusun oleh:

dr. Aditya Ovia Putri

Pendamping:

dr. Santi Susanti

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIDERES

MAJALENGKA

2017

0
1

BAB I

STATUS PASIEN

1.1 KETERANGAN UMUM

Nama : Tn. J

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 70 tahun

Alamat : Kadipaten

Pekerjaan : Kuli Bangunan

Agama : Islam

Status Marital : Menikah

Masuk Rumah Sakit : 30 Juni 2017, pukul 14.52 WIB

1.2 ANAMNESIS

Keluhan utama: Nyeri dada

Anamesa khusus:

Os datang ke IGD RSUD Cideres dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri

seperti tertusuk-tusuk sejak 4 jam smrs. Nyeri dada muncul secara mendadak dan terus

menerus. Nyeri dada dirasakan semakin memberat. Nyeri dada menjalar ke leher, lalu

ke pundak kiri dan ke lengan kiri. Os juga mengeluh sesak dan keringat dingin saat

terjadi serangan nyeri dada.


2

Tiga hari sebelumnya os juga merasakan hal yang sama, namun membaik

dengan istirahat. BAB dan BAK os tidak ada perubahan.

Riwayat penyakit darah tinggi (+) diketahui sejak 5 tahun terakhir, namun os

tidak minum obat secara teratur. Tidak ada riwayat penyakit kencing manis, asma,

penyakit jantung lainnya dan penyakit ginjal. Os memiliki kebiasaan merokok sejak

usia 20 tahun hingga sekarang dan sering minum kopi.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit

Keadaan sakit : Sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan darah : 160/90 mmHg

Nadi : 72 kali per menit, regular, equal, isi cukup

Pernafasan : 24 kali permenit

Suhu : 36,8C

SpO2 : 95%

Pemeriksaan Organ

Kepala

Normocephal, simetris, warna rambut hitam, rambut mudah rontok (-), deformitas (-)

Mata
3

Pupil bulat isokor diameter 2 mm/2 mm, reflex cahaya +/+

Edema palpebral -/-, Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-

Hidung

Deformitas (-), epistaksis (-), sekret (-)

Telinga

Deformitas (-), secret (-)

Mulut

Sianosis (-), Pembesaran tonsil (-), faring hiperemis (-), gusi berdarah (-)

Leher

Pembesaran kelenjar tiroid (-)

Pembesaran KGB (-)

Peningkatan JVP (-)

Thorax

Pulmo

Inspeksi : simetris kanan = kiri, retraksi (-)

Palpasi : VF +/+ kanan=kiri

Perkusi : sonor kanan=kiri

Auskultasi : VBS kanan = kiri, ronkhi -/-, wheezing -/-

Cor

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis setinggi ICS V LMC sinistra


4

Perkusi : batas atas ICS II, batas kanan LPS dextra, batas kiri LMC sinistra

Auskultasi : BJ I dan II murni reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : datar, retraksi (-), spider nevi (-), caput medusa (-)

Auskultasi : BU (+) normal

Perkusi : tympani, shifting dullness (-)

Palpasi : lembut, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesa

Ekstemitas

Edema (-), akral hangat, pucat (-), CRT < 2 detik

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Darah rutin:

Hb : 14,4 g/dL

Leukosit : 9.500/mm3

Trombosit : 224.000/mm3

Darah Kimia:

GDS : 113

Kreatinin : 0.9

SGPT : 28
5

EKG:

1.5 DIAGNOSIS KERJA

Acute Coronary Syndrome (STEMI Inferior)

1.6 PENATALAKSANAAN

IVFD RL 20 tpm

O2 3-4 lpm via nasal canul

ISDN 3 x 5 mg PO

Clopidogrel 1 x 300 mg PO

Aspilet 1 x 160 mg PO

Rujuk untuk dilakukan terapi lanjutan


6

1.7 PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia

Quo ad sanationam : dubia ad bonam


7

BAB II

PEMBAHASAN ACUTE CORONARY SYNDROME/SINDROM KORONER

AKUT

2.1 Definisi Sindrom Koroner Akut

Sindrom koroner akut adalah suatu sindrom terkait iskemia akut mulai dari

unstable angina sampai infark miokardium dengan atau tanpa elevasi segmen ST akibat

ruptur plak akut atau erosi plak.

Infark Miokard Akut (IMA) adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran darah

ke otot jantung disebabkan oleh oklusi koroner akut disertai iskemia berkepanjangan

sehingga terjadi kematian sel miokardium dan memicu terjadinya trombus arteri

koroner (ruptur plak), keadaan ini dipermudah dengan adanya faktor-faktor seperti

hipertensi, diabetes melitus, merokok, hiperkolesterolemia dan kurangnya aktvitas

fisik.

2.2 Epidemiologi Sindrom Koroner Akut

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang

utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang

tinggi. SKA masih tetap merupakan masalah kesehatan publik yang bermakna di

negara industri, dan mulai menjadi bermakna di negara-negara berkembang. Di

Amerika Serikat, 1,36 juta penyebab rawat inap adalah kasus SKA, 0,81 juta di

antaranya adalah kasus infark miokardium, sisanya angina tidak stabil.


8

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut

Faktor-faktor yang menyebabkan infark miokard akut adalah suplai darah oksigen

ke miokard berkurang (aterosklerosis, spasme, arteritis, stenosis aorta, insufisiensi

jantung, anemia, hipoksemia), curah jantung yang meningkat (emosi, aktivitas

berlebihan, hipertiroidisme), dan kebutuhan oksigen miokard meningkat (kerusakan

miokard, hipertrofi miokard, hipertensi diastolik). Penyebab yang paling sering adalah

terjadinya sumbatan koroner sehingga terjadi gangguan aliran darah. Sumbatan

tersebut terjadi karena ruptur plak yang menginduksi terjadinya agregasi trombosit,

pembentukan trombus, dan spasme koroner. Penyebab infark miokard yang jarang

adalah penyakit vaskuler inflamasi, emboli (endokarditis, katup buatan), spasme

koroner yang berat (misal setelah menggunakan kokain), peningkatan viskositas darah

serta peningkatan kebutuhan oksigen yang bermakna saat istirahat.

2.4 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram

(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:

1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation

myocardial infarction).

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator

kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan

tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi

miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik


9

atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI

ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen

ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan serta kenaikan enzim

jantung. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil

peningkatan marka jantung.

2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment

elevation myocardial infarction)

NSTEMI terjadi karena adanya trombus non-oklusif yang dapat menyebabkan

kerusakan jaringan dan nekrosis miokard ringan. Diagnosis NSTEMI

ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST

yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat

presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang

T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa

perubahan. Enzim jantung juga mengalami peningkatan dari nilai normal.

3. Angina pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Angina pectoris tidak stabil terjadi karena terdapat thrombus non-oklusi. Gejala

klinis yang dapat dialami berupa nyeri dada khas lebih dari 20 menit, namun

gambaran EKG tidak khas dan pemeriksaan enzim jantung dalam keadaan

normal.
10

2.5 Patogenesis

Hampir semua kasus infark miokardium disebabkan oleh aterosklerosis arteri

coroner. Untuk memahaminya secara komprehensif diperlukan pengetahuan tentang

patofi siologi iskemia miokardium. Iskemia miokardium terjadi bila kebutuhan oksigen

lebih besar daripada suplai oksigen ke miokardium. Oklusi akut karena adanya trombus

pada arteri koroner menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke miokardium. Contoh

lain, pada pasien dengan plak intrakoroner yang bersifat stabil, peningkatan frekuensi

denyut jantung dapat menyebabkan terjadinya iskemi karena meningkatkan kebutuhan

oksigen miokardium, tanpa diimbangi kemampuan untuk meningkatkan suplai oksigen

ke miokardium.

Jika terjadi penyempitan arteri koroner, iskemia miokardium merupakan peristiwa

awal yang terjadi. Daerah subendokardial merupakan daerah pertama yang terkena,

karena berada paling jauh dari aliran darah. Jika iskemia makin parah, akan terjadi

kerusakan sel miokardium. Infark miokardium adalah nekrosis atau kematian sel

miokardium. Infark miokardium dapat terjadi nontransmural (terjadi pada sebagian

lapisan) atau transmural (terjadi pada semua lapisan).

Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan proses

sederhana karena penumpukan kolesterol saja, tetapi telah diketahui bahwa disfungsi

endotel dan proses inflamasi juga berperan penting. Proses pembentukan plak dimulai

dengan adanya disfungsi endotel karena faktor-faktor tertentu. Pada tingkat seluler,

plak terbentuk karena adanya sinyal-sinyal yang menyebabkan sel darah, seperti

monosit, melekat ke lumen pembuluh darah.


11

1. Inisiasi proses aterosklerosis: peran endotel. Aterosklerosis merupakan proses

pembentukan plak di tunika intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini

berlangsung terus selama hidup sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA.

Proses aterosklerosis ini terjadi melalui empat tahap, yaitu: kerusakan endotel,

migrasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein) ke dalam tunika intima,

respons inflamatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis. Beberapa faktor risiko

koroner turut berperan dalam proses aterosklerosis, antara lain hipertensi,

hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok. Adanya infeksi dan stres oksidatif

juga menyebabkan kerusakan endotel. Faktor- faktor risiko ini dapat

menyebabkan kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi

endotel. Disfungsi endotel memegang peranan penting dalam terjadinya proses

aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan

proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya

menyebabkan pertumbuhan plak. Endotel yang mengalami disfungsi ditandai

hal-hal sebagai berikut: a) Berkurangnya bioavailabilitas nitrit oksida dan

produksi endothelin-1 yang berlebihan, yang mengganggu fungsi hemostasis

vaskuler. b) Peningkatan ekspresi molekul adhesif (misalnya P-selektin,

molekul adhesif antarsel, dan molekul adhesif sel pembuluh darah, seperti

Vascular Cell Adhesion Molecules-1 [VCAM-1]). c) Peningkatan

trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa substansi aktif lokal.


12

Gambar 2.1 Fase awal disfungsi endotel

2. Perkembangan proses aterosklerosis: peran proses inflamasi. Jika endotel rusak,

sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju ke lapisan subendotel

dengan cara berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika sudah berada pada

lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami differensiasi menjadi makrofag.

Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding

arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks.

Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin

(misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor , IL-1,

IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan

merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang

mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel

otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima,

lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang menstabilisasi plak


13

dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah. Makrofag juga

menghasilkan matriks metaloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna matriks

ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak.

Gambar 2.2 Pembentukan fatty streaks

3. Stabilitas plak dan kecenderungan mengalami rupture. Stabilitas plak

aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos dan makrofag

memegang peranan penting dalam stabilitas plak dan kecenderungan untuk

mengalami ruptur. LDL yang termodifikasi meningkatkan respons inflamasi

oleh makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan

lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya mengalami

modifikasi lagi. Makrofag yang terstimulasi akan memproduksi matriks

metaloproteinase yang mendegradasi kolagen. Di sisi lain, sel otot pembuluh

darah pada tunika intima, yang membentuk kapsul fibrosis, merupakan subjek

apoptosis. Jika kapsul fibrosis menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan
14

paparan aliran darah terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini

menyebabkan terbentuknya bekuan. Proses proinflamatorik ini menyebabkan

pembentukan plak dan instabilitas. Sebaliknya ada proses antiinflamatorik yang

membatasi pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-

4 dan TGF- bekerja mengurangi proses inflamasi yang terjadi pada plak. Hal

ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka.

Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah

pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah

dan menjadi rentan mengalami rupture.

Gambar 2.3 Pembentukan lesi aterosklerotik yang semakin kompleks

4. Disrupsi plak, trombosis, dan SKA. Kebanyakan plak aterosklerotik akan

berkembang perlahan-lahan seiring berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap

stabil. Gejala muncul bila stenosis lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus

SKA terjadi karena ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan

hanya menyumbat kurang dari 50% diameter lumen. Beberapa penelitian


15

menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan inflamasi

dalam plak merupakan predisposisi untuk terjadinya ruptur. Setelah terjadi ruptur

plak maupun erosi endotel, matriks subendotelial akan terpapar darah yang ada

di sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan

agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan dalam

proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga

melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan jalur

hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan dengan sistem

hemostasis primer yang dimediasi trombosit. Ada dua macam trombus yang

dapat terbentuk: a) Trombus putih: merupakan bekuan yang kaya trombosit.

Hanya menyebabkan oklusi sebagian. b) Trombus merah: merupakan bekuan

yang kaya fibrin. Terbentuk karena aktivasi kaskade koagulasi dan penurunan

perfusi pada arteri. Bekuan ini bersuperimposisi dengan trombus putih,

menyebabkan terjadinya oklusi total.

SKA merupakan suatu kontinuum. Gejala muncul apabila terjadi

ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen jantung. Angina stabil

ditandai dengan adanya plak ateroskerosis dengan stenosis permanen. Gejala klinis

muncul apabila kebutuhan oksigen melebihi suplai oksigen ke jantung (latihan, stres).

Jika terjadi dalam jangka waktu lama, biasanya didapatkan aliran darah kolateral yang

signifikan. Angina tak-stabil terjadi karena menurunnya perfusi ke jantung (disrupsi

plak menyebabkan terbentuknya trombus dan penurunan perfusi) atau peningkatan

kebutuhan oksigen (oxygen mismatch).


16

Gambar 2.4 Diagram proses pembentukan lesi arteri koroner

Trombus biasanya bersifat labil dengan oklusi tidak menetap. Pada angina tak

stabil, miokardium mengalami stres tetapi bisa membaik kembali. NSTEMI terjadi bila

perfusi miokardium mengalami disrupsi karena oklusi trombus persisten atau

vasospasme. Adanya trombolisis spontan, berhentinya vasokonstriksi, atau adanya

sirkulasi kolateral membatasi kerusakan miokardium yang terjadi. Sedangkan STEMI


17

terjadi bila disrupsi plak dan trombosis menyebabkan oklusi total sehingga terjadi

iskemia transmural dan nekrosis.

Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi,

takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai

plak aterosklerosis.

2.6 Kriteria Diagnosis

Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan

fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien

dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina

Stabil, Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.

A. Anamnesis

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal

(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa

tertekan, diremas-remas atau ditindih benda berat di daerah substernal, retrosternal atau

prekordial, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau

epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten (beberapa menit) atau persisten

(lebih dari 20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti

diaphoresis, mual muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.

Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah

penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang

tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan
18

atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut

(lebih dari 75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia.

Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut

dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada

pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina

setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.

Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada

pasien dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Pria

2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri

perifer / karotis)

3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard,

bedah pintas koroner, atau IKP

4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes

mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko

tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol

Education Program)

B. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,

komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.

Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi

hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya


19

tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus

atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub

karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat

diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang

perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.

C. Elektrokardiogram

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah

kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin

sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta

V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah

kepada iskemia dinding inferior. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10

menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya

diulang setiap keluhan angina timbul kembali.

Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup

bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/

persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (20 menit) maupun tidak

persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.

Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan

yang bersebelahan. Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama

dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah

kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk
20

STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka

jantung tersedia.

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien

dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST 1 mm

pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST 1 mm di V1-V3.

Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang

mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut.

Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif

mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.

Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi

segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi

segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi

segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar 0,05 mV di sadapan V1-

V3 dan 0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat

dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi

di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris 0,2 mV mempunyai

spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut.

D. Pemeriksaan marka jantung

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis

miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T

sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi

dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit,
21

namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut

(penyebab koroner/nonkoroner).

Gambar 2.5 Biomarker pada SKA

Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner

seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,

miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin

I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru,

hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan

troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit,

kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai

spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.

Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis SKA,

di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga
22

4 jam. Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk

menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar troponin pada pasien infark

miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 4 jam setelah awitan infark dan

menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang

dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat menetap

hingga 2 minggu.

Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat

digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya

saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai

pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah)

dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-

MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark

periprosedural.

Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung

normal perlu menjalani observasi di ruang gawat-darurat. Definitif SKA dan angina

tipikal dengan gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit

dalam ruang intensive cardiovascular care (ICVCU/ICCU).

Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di

ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,

koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak

boleh menunda terapi SKA.


23

2.7 Penatalaksanaan

2.7.1 Tindakan Umum dan Langkah Awal

Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera menetapkan

diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang

dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan

diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat

darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang

dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus

diberikan semua atau bersamaan.

1. Tirah baring

2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri

<95% atau yang mengalami distres respirasi

3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama,

tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri

4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui

intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat

absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat

5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)

a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis

pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan

untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik

atau
24

b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75

mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan

agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)

6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang

masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang

dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga

kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan

terapi tiga dosis NTG sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid

dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti

7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang

tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual

2.7.2 Penanganan Lanjutan STEMI

Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP/PCI atau farmakologis, diindikasikan

untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen

ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Dalam

menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah

sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi

fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit

atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika

membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah

fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan

fasilitas IKP.
25

Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama 10 menit.

Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:

Untuk fibrinolysis 30 menit (door to needle time)

Untuk IKP primer 90 menit ( 60 menit apabila pasien datang dengan

awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang

mampu melakukan IKP) (door to balloon time)

Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi

antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera

mungkin sebelum angiografi, disertai dengan antikoagulan intravena (heparin).

Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada

tempattempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang

disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan

gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan

oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama. Pada

pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang

besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu

antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit.

2.8 Komplikasi

Komplikasi dari STEMI adalah :

A. Gangguan hemodinamik
26

Gagal jantung

Hipotensi

Kongesti paru

Syok kardiogenik

Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut

Aritmia supraventricular

Aritmia ventricular

Sinus bradikardi dan blok jantung

B. Gangguan kardiak

Regurgitasi katup mitral

Rupture jantung

Infark ventrikel kanan

Perikarditis
27

DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi ketiga. Perhimpunan Dokter


Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015.

2. ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients


presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal 2012;33:2569-
2619.

3. Alwi I. Infark miokard akut dengan elevasi ST. Ilmu Penyakit Dalam FK
Universitas Indonesia. 2011; 1615

4. Tunuguntla A. Acute Coronary Syndromes and Thrombolytics. Nebraska Heart


Institute. 2016.

5. Mirtha R. Patofisiologi Sindrom Koroner Akut. CDK-192 vol.39 no4.2012.

6. ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients


presenting without persistent ST-segment elevation. Eur Heart Journal
2011;32:2999-3054

7. Pedoman PERKI 2004 Tatalaksana Sindrom Koroner Akut dengan ST-elevasi

8. Pedoman PERKI 2004 Tatalaksana Sindrom Koroner Akut tanpa ST-elevasi

Anda mungkin juga menyukai