Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

SIROSIS HEPATIS

Pembimbing:
dr. Ratna Gina, Sp.Rad
dr. Inez Noviani, Sp.Rad

Disusun Oleh :
Fadhilannisa Rinanda
030.12.094

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


RSUD KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala kemudahan dan
berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Ilmu
Radiologi di RSUD Kota Karawang dengan judul Sirosis Hepatis.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Ratna
Gina, Sp.Rad dan dr. Inez Noviani, Sp.Rad selaku pembimbing atas pengarahannya selama
penulis belajar dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan para
pembaca. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan dan masih perlu
banyak perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari pembaca.

Karawang, 7 April 2017

Fadhilannisa Rinanda

030.12.094

ii
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL

SIROSIS HEPATIS

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk


menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi di RSUD

Kota Karawang

Periode 3 April 6 Mei 2017

Karawang, 7 April 2017

dr. Ratna Gina, Sp.Rad dr. Inez Noviani, Sp.Rad

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTARii

LEMBAR PENGESAHANiii

DAFTAR ISI...iv

BAB I PENDAHULUAN.1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 2

2.1 ANATOMI HATI..2

2.2 FISIOLOGI HATI.3

2.3 SIROSIS HEPATIS...4

BAB III KESIMPULAN... 31

DAFTAR PUSTAKA 32

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Sirosis hepatis merupakan dampak tersering dari perjalanan klinis yang panjang dari
semua penyakit hati kronis yang ditandai dengan kerusakan parenkim hati. Deskripsi suatu
sirosis hepatis berkonotasi baik dengan status patofisiologi maupun klinis, dan untuk
menetapkan prognosis pasien dengan penyakit hati.

Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita yang
berusia 45-46 tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker). Umur rata-rata
penderitanya terbanyak golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya sekitar umur 40-49
tahun. Penyebab sirosis hepatis sebagian besar adalah penyakit hati alkoholik dan non
alkoholik steatohepatitis serta hepatitis C. Angka kejadian sirosis hepatis di Indonesia akibat
hepatitis B berkisar antara 21,2-46,9% dan hepatitis C berkisar 38,7-73,9%.(1)

Penegakkan diagnosis sirosis hepatis didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan


fisik, serta pemeriksaan penunjang. Terlepas dari etiologinya, perubahan gambaran morfologi
sirosis dapat dilihat dengan pemeriksaan radiologi. Ultrasonografi, Computed Tomography
(CT) scan, dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat menunjukkan adanya perubahan
morfologi hepar tersebut. Selain itu, pemeriksaan gastroskopi juga dapat dilakukan sebagai
diagnostik dan terapeutik untuk varises di esofagus dan gaster pada penderita sirosis hepatis.
Gold standard sirosis hepatis adalah biopsi hepar, namun pemeriksaan tersebut tidak
diperlukan bila secara klinis, laboratoris, dan radiologi menunjukkan kecenderungan sirosis
hepatis.(1,2)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hati

Gambar 1. Anatomi Hati

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh dan memiliki berbagai fungsi. Tiga
fungsi dasar hati yaitu produksi dan sekresi empedu, yang disalurkan ke sistem intestinal;
keterlibatan dalam berbagai kegiatan metabolik untuk metabolisme karbohidrat, lemak,
serta protein; dan filtrasi darah, menghilangkan bakteri dan partikel asing lainnya yang
telah masuk ke darah dari lumen usus.
Hati mensintesa heparin, suatu zat antikoagulan, yang memiliki fungsi penting dalam
detoksikasi. Hati juga memproduksi pigmen empedu dari hemoglobin dan sekresi garam
empedu yang dialirkan ke duodenum melalui duktus biliaris. Hati memiliki konsistensi
yang halus dan lentur, serta menempati bagian atas rongga perut tepat dibawah diafragma.
Sebagian besar dari hati tertutup di bawah dari iga kanan dan hemidiafragma kanan
memisahkan hati dari pleura, paru-paru, perikardium, serta jantung. Hati meluas ke kiri
untuk mencapai hemidiafragma kiri. Permukaan cembung atas hati dibentuk dari kubah
2
diafragma. Bagian posteroinferior (atau permukaan viseral) dibentuk dari jaringan yang
berdekatan dan oleh karena itu bentuknya tidak teratur. Bagian ini berhubungan dengan
esofagus, lambung, duodenum, fleksura kolik kanan, ginjal kanan, glandula suprarenal
kanan, dan kantong empedu.
Hati dibagi menjadi lobus kanan besar dan lobus kiri kecil yang dipisahkan oleh
ligamentum falciform. Lobus kanan hati dibagi lagi menjadi lobus kuadratus dan lobus
kaudatus yang disertai dengan adanya kandung empedu, fisura ligamentum teres, vena
cava inferior, dan fisura ligamentum venosum.(3)
Ahli bedah sering membagi hati lebih lanjut ke delapan segmen vaskular independen
berdasarkan pembuluh darah, dengan masing-masing segmen menerima cabang utama
dari arteri hepatika, vena portal, vena hepatika (mengalirkan darah dari hati ke vena cava
inferior), dan drainase bilier.(4)

2.2 Fisiologi Hati

Gambar 2. Fisiologi Hati

Organ hati diatur oleh oleh unit-unit fungsional yang dikenal dengan lobules,
dimana terdapat jaringan heksagonal yang mengelilingi vena sentralis. Pada enam
sudut luar di setiap lobulus terdapat tiga pembuluh darah; cabang arteri hepatika,
cabang vena porta hepatika, dan duktus biliaris. Darah yang berasal dari cabang
arteri hepatika dan vena porta dialirkan dari daerah perifer lobulus menuju ke celah
kapiler yang besar dan luas yang dikenal dengan sinusoid.
Sel Kupffer yang melintasi sinusoid menelan dan menghancurkan sel darah
merah tua serta bakteri yang beredar di aliran darah. Saluran tipis yang membawa

3
empedu, yang dikenal dengan kanalikuli biliaris, berada diantara sel-sel hati.
Hepatosit memproduksi empedu secara terus-menerus dan disekresikan pada
kanalikuli yang akan membawa empedu menuju ke duktus biliaris pada daerah
perifer lobulus.(5)

2.3 Sirosis Hepatis


a) Definisi
Sirosis hepatis merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang
ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif.
Gambaran morfologi dari sirosis hepatis meliputi fibrosis difus, nodul
regeneratif, perubahan arsitektur lobular, dan pembentukan hubungan vaskular
intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika)
dan eferen (vena hepatika). (1)

b) Epidemiologi
Sirosis hepatis merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita
yang berusia 45-46 tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker). Diseluruh
dunia sirosis hepatis menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Penderita sirosis
hepatis lebih banyak laki-laki, jika dibandingkan dengan wanita rasionya sekitar
1,6 : 1. Umur rata-rata penderitanya terbanyak golongan umur 30-59 tahun dengan
puncaknya umur 40-49 tahun. Insidens sirosis hepatis di Amerika diperkirakan 360
per-100.000 penduduk. Penyebab sirosis hepatis sebagian besar adalah penyakit hati
alkoholik dan non alkoholik steatohepatitis serta hepatitis C. Di Indonesia, data
prevalensi penderita sirosis hepatis secara keseluruhan belum ada. Angka kejadian
sirosis hepatis di Indonesia akibat hepatitis B berkisar antara 21,2-46,9% dan
hepatitis C berkisar 38,7-73,9%. (1)

c) Etiologi
Etiologi sirosis hepatis bermacam-macam, kadang lebih dari satu macam
etiologi ada pada satu penderita. Etiologinya adalah sebagai berikut: (1,3)
Penyakit hati alkoholik
Hepatitis C kronik
Hepatitis B kronik dengan/atau tanpa hepatitis D

4
Steatohepatitis non alkoholik
Kolangitis sklerosis primer
Hepatitis autoimun
Sirosis bilier primer
Hemokromatosis herediter
Hepatotoksik akibat obat-obatan atau toksin
Infeksi parasite tertentu (Schistomiosis)
Fibrosis kistik
Galaktosemia
Sirosis kardiak
Penyakit Wilson
Defisiensi alfa-1 antitripsin

d) Patofisiologi
Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cedera kronik ireversibel pada parenkim
hati disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cedera fibrosis),
pembentukan nodul degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul. Hal ini
sebagai akibat adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang retikulin,
disertai dengan deposit jaringan ikat. Distorsi jaringan vaskular menyebabkan
timbulnya pembentukan vaskular intra hepatik antara pembuluh darah hati aferen
(vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika), dan regenerasi nodular
parenkim hati sisanya.
Terjadinya fibrosis hati disebabkan adanya aktivasi dari sel stelata hati.
Aktivasi ini dipicu oleh faktor pelepasan yang dihasilkan hepatosit dan sel Kupffer.
Sel stelata merupakan sel penghasil utama matriks ekstraselular (ECM) setelah terjadi
cedera pada hepar. Pembentukan ECM disebabkan adanya pembentuk jaringan mirip
fibroblast yang dihasilkan sel stelata dan dipengaruhi oleh beberapa sitokin seperti
transforming growth factor (TGF-) dan tumor necrosis factor (TNF-). ECM
terdiri atas kolagen (terutama tipe I, III, dan V), glikoprotein, dan proteoglikan.
Deposit ECM di celah Disse (celah diantara hepatosit dan sinusoid) akan
menyebabkan perubahan bentuk dan memacu kapilarisasi pembuluh darah.
Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah pertukaran normal aliran vena porta
dengan hepatosit, sehingga material yang seharusnya dimetabolisme oleh hepatosit

5
akan langsung masuk ke aliran darah sistemik dan menghambat material yang
diproduksi hati masuk ke darah. Proses ini akan menimbulkan hipertensi portal dan
penurunan fungsi hepatoselular.(1,3)

e) Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit sirosis hepatis lambat, asimtomatis, dan seringkali tidak
dicurigai sampai adanya komplikasi penyakit hati. Banyak penderita yang sering tidak
terdiagnosis sebagai sirosis hepatis sebelumnya dan sering ditemukan pada waktu
autopsi. Diagnosis sirosis hepatis asimtomatis biasanya dibuat secara incidental ketika
tes pemeriksaan fungsi hati atau penemuan radiologi, sehingga kemudian penderita
melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan biopsi hati.
Sebagian besar penderita yang datang ke klinik biasanya sudah dalam stadium
dekompensata, disertai adanya komplikasi seperti perdarahan varises, peritonitis
bacterial spontan, atau ensefalopati hepatis. Gambaran klinis dari penderita sirosis
hepatis adalah mudah lelah, anoreksia, berat badan menurun, atrofi otot, ikterus,
spider angiomata, splenomegali, asites, caput medusa, palmar eritema, white nails,
ginekomastia, hilangnya rambut pubis dan ketiak pada wanita, asterixis (flapping
tremor), foetor hepaticus, duputyrens contracture (sirosis akibat alkohol).(1)

Tabel 1. Tanda klinis sirosis hepatis dan penyebabnya

Tanda Penyebab
Spider angioma / spider nevi Estradiol meningkat
Palmar eritema Gangguan metabolisme hormon
seks
Perubahan kuku:
*Muehrches line *Hipoalbuminemia
*Terrys nails *Hipoalbuminemia
*Clubbing *Hipertensi portopulmonal
Osteoartropati hipertrofi Chronic proliverative periostitis
Kontraktur Duputyren Proliferasi fibroplastik dan
deposit kolagen
Ginekomastia Estradiol meningkat

6
Hipogonadisme Perlukaan gonad primer / supresi
fungsi hipotalamus
Ukuran hati: besar, normal, Hipertensi portal
mengecil
Splenomegali Hipertensi portal
Asites Hipertensi portal
Caput medusa Hipertensi portal
Murmur Cruveilhier-Baungarten Hipertensi portal
(bising daerah epigastrium)
Foetor hepaticus Diamethyl sulfide meningkat
Ikterus Bilirubin meningkat (minimal 2-3
mg/dl)
Asterixis (flapping tremor) Ensefalopati hepatikum

f) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang spesifik untuk sirosis hepatis: (1)

Tabel 2. Tes Laboratorium pada sirosis hepatis

7
g) Pemeriksaan Radiologi
Peranan klasik pada berbagai modalitas gambar dalam mendiagnosa sirosis
hepatis adalah mendeteksi adanya perubahan morfologi pada hepar. Sirosis hepatis
menunjukkan adanya kontur nodul hepar, perubahan dalam distribusi volume,
termasuk pembesaran lobus kaudatus dan segmen lateral lobus kiri, atrofi segmen
medial lobus kanan dan kiri, pelebaran fisura dan porta hepatis, serta adanya
regenerasi nodul. Penemuan sekunder yang berkaitan dengan adanya hipertensi porta
dapat ditemukan, termasuk adanya varises, asites, splenomegali, infiltrasi lemak pada
omentum dan mesenterika, penebalan dinding saluran cerna dikarenakan adanya
kongesti vena, serta arterioportal atau arteriovenous shunts intrahepatik. Perubahan
morfologi tersebut dapat dilihat melalui beberapa pemeriksaan radiologi, seperti
ultrasonografi (USG), Computed Tomography (CT) scan, dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI).(2,7)

Gambar 3. Pada gambaran USG pasien perempuan dengan sirosis menunjukkan adanya
gambaran tekstur yang kasar disertai pembesaran lobus kiri hepar. (2)

8
Gambar 4. Pada gambaran CT Scan pasien dengan sirosis menunjukkan arteri hepatika yang
berliku-liku sebagai akibat dari pembesaran lobus kiri dan lobus kaudatus.(2)

Gambar 5. Magnetic Resonance Imaging (MRI) potongan koronal dapat menunjukkan tanda
pembesaran lobus kiri hepar pada pasien sirosis.(2)

9
Radiografi
Radiografi merupakan pemeriksaan paling sederhana dalam diagnosis dan
pengelolaan pasien dengan sirosis. Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi adanya
asites, mencari bukti adanya perforasi usus pada pasien dengan suspek peritonitis bakterial,
dan memantau distensi usus pada pasien dengan pengobatan dekompensasi atau perdarahan
varises.(2)

Gambar 6. Seorang laki-laki 51 tahun dengan sirosis yang disertai asites masif. Pada ginjal,
ureter, kandung kemih, putaran usus halus terlihat terutama di regio midabdomen. Abdomen
tampak kabur.(2)

Pemeriksaan radiografi dada rutin pada pasien dengan sirosis dapat menunjukkan
elevasi diafragma dari asites. Dapat ditemukan juga ginekomastia. Vena azygos dapat
membesar karena aliran kolateral dan efusi pleura yang disebabkan oleh adanya fistula
pleuroperitoneal.

10
Gambar 7. Pirau dapat terjadi melalui jalur retroperitoneum dan azygos. Pada rontgen dada
pasien tersebut terdapat pembesaran vena azygos pada arkus azygos (panah). Pencitraan ini
dikonfirmasi dengan MRI potongan sagital.(2)

Gambar 8. Seorang laki-laki 48 tahun dengan sirosis akibat hepatitis C, didaptkan adanya
asites dan efusi pleura.(2)
11
Terkadang varises esofagus berukuran besar dapat dijumpai sebagai massa
jaringan lunak di gastroesophageal junction. Temuan foto polos umumnya dikonfirmasi oleh
modalitas pencitraan lain atau bukti klinis.(2)

Gambar 9. Densitas jaringan lunak abnormal terlihat di mediastinum bawah (panah),


tumpang tindih diatas bayangan aorta desenden. Densitas ini merupakan dilatasi varises
esofagus masif dan dikonfirmasi dengan CT-scan (panah) tepat diatas hemidiafragma kiri,
berbatasan langsung dengan aorta.(2)

Ultrasonografi (USG)
USG merupakan pemeriksaan pencitraan yang aman dan relatif murah, sehingga
dapat digunakan untuk pemeriksaan rutin setiap tahun pada pasien hepatitis kronis. Penemuan
fibrosis hepar pada USG mirip dengan hepatosteatosis. Fibrosis pada parenkim hepar
melemahkan penetrasi sinar, meningkatkan ekogenisitas parenkim, dan gambaran vaskular
tidak terlihat jelas. Sirosis hepatis ditandai dengan perubahan pada distribusi volume hepar,
permukaan nodul, penekanan fisura, heterogenitas, distorsi arsitektur hepar, nodul sirosis
termasuk regenerasi dan displasia, serta tanda adanya hipertensi porta.
Penemuan yang paling mengindikasikan adanya sirosis hepatis adalah permukaan
yang disertai dengan nodul, dimana lebih sensitif pada bagiah bawah permukaan hepar
daripada bagian atas (86% >< 53%). Banyak usaha yang diperlukan untuk mengukur
ekogenisitas parenkim hepar yang kasar. Tekstur kasar pada parenkim hepar dapat
menurunkan penetrasi sinar.(7)

12
Tanda adanya hipertensi porta
o Perubahan aliran Doppler
Sistem vena porta
Pembesaran vena porta: >13 mm (42% sensitif, 95-100%
specifik)
Aliran vena porta lambat <15 cm/sec
Aliran balik vena porta
Trombosis vena porta +/- transformasi kavernosa
Pembesaran vena mesenterika superior dan vena splenikus:
>10mm
Vena hepatika
Pembentukan gelombang portalisasi vena hepatika
Arteri hepatika
"Corkscrew" appearance
Peningkatan kecepatan (kompensasi adanya penurunan aliran
vena porta) (8)

Gambar 10. Pada gambaran USG, ditemukan hipertensi porta yang ditandai dengan adanya
aliran balik vena porta.(8)

13
Gambar 11. Tampilan melintang, USG real-time menunjukkan kontur eksternal yang tidak
teratur dari lobus kiri (panah). (2)

Gambar 12. Perkembangan dari trombus vena portal pada sirosis lanjut, dengan defisit sinyal
USG Doppler (panah). Tampak asites. (2)

14
Gambar 13. Skrining USG real-time. Sebuah CT Scan mendapatkan hasil
negatif. Ultrasonografi biposi terpandu menunjukkan karsinoma hepatoseluler
di lobus kanan hati. Perhatikan pseudo-kapsul disekitar lesi (pada tampilan
diperbesar lebih terlihat).(2)

Gambar 14. Ultrasonografi Doppler pada seorang pasien dengan sirosis yang
memiliki massa hipoekoik, seperti yang terdeteksi pada USG. Kursor
ditempatkan di tepi lesi menunjukkan pirau vaskular dengan kecepatan
maksimum lebih dari 50 cm / detik.(2)

15
CT Scan
CT scan merupakan alat diagnostik paling sensitif dalam mendeteksi perubahan
morfologi hepar. CT scan berguna untuk menunjukkan bukti morfologi sirosis hepatis dan
dalam menunjukkan kelainan mesenterika dan gastrointestinal, serta perkembangan
pembuluh darah kolateral pada hipertensi porta. (2,7)

Gambar 15. Pada sirosis stadium lanjut, CT scan dengan gambar vena porta
menunjukkan lobus kiri (L) dan kaudatus (C) yang membesar, dengan area
fibrosis fokal dan atrofi pada lobus kanan posterior, dan deformasi kontur
(panah). Tampak secara insidental kolateral yang menonjol pada regio
kurvatura (panah putih).(2)

16
Gambar 16. CT Scan fase vena porta menunjukkan penebalan dinding
kandung empedu, splenomegali, kolateral dalam omentum (panah), dan
ditandai ascites (A). Hati telah atrofi dan tidak teratur. (2)

Gambar 17. Ditemukan gambaran fibrosis pada pasien laki-laki 55 tahun dengan sirosis
alkoholik. (a) Terdapat gambaran bentuk huruf V pada daerah hipoatenuasi (panah) pada
segmen V hepar. Ditemukan juga gambaran retraksi pada kontur hepar (ujung panah). (b)
Fase vena porta pada gambaran axial menunjukkan adanya penurunan aliran vena porta
(panah). (9)

17
CT scan umumnya digunakan untuk mengevaluasi pasien stadium dekompensasi akut
yang diduga mengalami peritonitis bakteri subakut, dengan tujuan untuk menyingkirkan
penyebab inflamasi lainnya. CT scan sangat penting dalam menggambarkan lesi yang
ditunjukkan oleh ultrasonografi atau dalam mengevaluasi pasien dekompensasi. Selain itu,
CT scan semakin banyak dimasukkan ke dalam manajemen pasien stabil yang menjalani
skrining untuk mengidentifikasi lesi neoplastik.

Dengan kemajuan teknologi, yang memungkinkan pemindaian dinamis secara cepat


menggunakan multi-slice CT scanner, scanning hati dalam beberapa tahapan peningkatan
kontras kini rutin direkomendasikan sebagai metode yang paling sensitif untuk mendeteksi
Space Occupying Lesions (SOL) dan mengevaluasi struktur vaskular. Namun, keterbatasan
substansial tetap dalam menggambarkan lesi kecil (< 2 cm), terutama pada pasien dengan
sirosis lanjut.

Bentuk yang paling khas dari karsinoma hepatoseluler (HCCA) adalah nodul
hiperdens yang ditemukan pada pencitraan fase arteri, dengan hiperdens dan/atau hipodens
pada pencitraan fase vena porta. Pada CT scan, hiperdens dalam fase arteri sudah cukup
karakteristik untuk meyakinkan diagnosis.

Lima fitur utama telah dipilih, yang, dalam kombinasi, mendukung diagnosis HCCA:
(1) konfigurasi seperti massa, (2) hyperenhancement fase arteri, (3) hypoenhancement fase
vena portal atau selanjutnya, (4) peningkatan diameter 10 mm atau lebih dalam 1 tahun, dan
(5) tumor dalam lumen vena. Skala kategorisasi 5-poin ini berdasarkan tingkat kepastian dari
jinak, lesi intermediet, atau diagnosis HCCA. (2)

18
Gambar 18. Karakteristik hepatocellular carcinoma unifokal pada laki-laki
dengan sirosis akibat komsumsi alkohol. Scan Precontrast menunjukkan lesi
hipodens diatemeter 4,7-cm di lobus kiri hati.(2)

Gambar 19. Fase arteri CT scan (pasien yang sama seperti pada gambar
sebelumnya). Tampak peningkatan densitas pada lesi.(2)

Nino-Murcia et al mendeskripsikan peningkatan gambaran arteri dengan pembuluh


internal yang abnormal atau penampilan beraneka ragam. Dalam beberapa kasus, fokus
hiperdens tunggal mungkin satu-satunya bukti HCCA, tanpa membedakan karakteristik dari

19
gamabran precontrast atau fase vena portal. Namun, terdapat sebagian dari lesi hipodens atau
isodens pada fase pencitraan arteri. Nodul displastik mungkin juga sangat mirip dengan
HCCA karakteristik enhancement.

Nodul hipoattenuasi yang digambarkan pada CT scan memiliki potensi malignansi


tinggi. Pada seri oleh Takayasu et al, 36 (60%) dari 60 lesi hipodens dikonversi menjadi lesi
hiperdens, dengan tingkat konversi kumulatif 60 lesi ini mencapai 58,7% dalam waktu 3
tahun pemantauan. Tiga belas lesi dibiopsi segera setelah konversi diamati untuk
membuktikan bahwa mereka HCCA. Kehadiran antibodi virus hepatitis C dan ukuran lesi
pada saat deteksi berkorelasi dengan tingkat konversi. (2)

Gambar 20. Nodul regeneratif pada pasien dengan sirosis. Tampak beberapa
lesi hiperdens subsentimeter pada pencitraan fase arteri. Sulit untuk
membedakan nodul ini dari lesi ganas. Nodul mewakili spektrum kontinu dari
respon terhadap cedera hati, dengan meningkatnya tingkat displasia berpuncak
pada karsinoma hepatoseluler.(2)

20
Gambar 21. Regenerasi makronodul pada sirosis yang diinduksi alkohol. (a) CT fase arteri
menunjukkan nodul multipel isodens pada daerah tepi hepar. (b) Gambaran sirosis
makronodular intraoperatif.(9)

Dalam hal tingkat kepercayaan, CT multidetektor adalah modalitas pencitraan yang


kuat, dengan sensitivitas dilaporkan 100% untuk tumor lebih besar dari 2 cm, tapi sensitivitas
rendah (setinggi 96%) untuk lesi di kisaran 1 sampai 2 cm. Merupakan kewajiban ahli
radiologi untuk waspada pada pasien berisiko tinggi yang menjalani skrining dan evaluasi
pretransplantasi dan menyarankan suspek tumor intrahepatik untuk dikonfirmasi oleh
modalitas pencitraan tambahan seperti MRI, biopsi, atau pengawasan serial ketat jika
karakteristik pencitraan yang ditemukan atipikal, sesuai dengan pedoman American
Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) untuk lesi di kisaran 1 sampai 2 cm.
Penggunaan sistem klasifikasi LI-RAD diharapkan dapat meningkatkan konsistensi dalam
pelaporan dan kelainan. (2,7)

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI menawarkan metode alternatif pencitraan hati non-invasif berdasarkan
karakteristik spesifik jaringan. MRI juga memiliki kelebihan dalam pencitraan jaringan.
Selain menunjukkan perubahan morfologi pada sirosis, MRI cocok untuk evaluasi struktur
vaskular untuk patensi atau invasi tumor. gambar T1-weighted penting dalam memberikan
detil anatomi, dan gambar T2-weighted lebih sensitif dalam mendeteksi lesi massa,
karakteristik kista, dan hemangiomata. Teknologi MRI terus berkembang pesat, dengan
perkembangan teknik, seperti penggunaan gradien-echo spin-echo (SE) cepat, dan urutan
difusi-weighted, yang memungkinkan akuisisi cepat dari gambar yang diperlukan dalam

21
hubungannya dengan penggunaan kontras paramagnetik. Pola tumor pasca pemberian agen
kontras gadolinium dimasukkan ke dalam kriteria LI-RAD. (2,7)

Gambar 22. Kontras ganda sebagai protokol MRI. Gambar T2-weighted : terdapat delay 15
menit setelah injeksi superparamagnetic iron oxides dan gadolinium chelates. A : Gambaran
pada pasien normal dengan intensitas sinyal homogeny rendah pada parenkim hepar. B :
Gambaran pada pasien sirosis hepatis menunjukkan hiperintens retikulasi (panah),
menggambarkan fibrosis septal. (7)

Gadolinium, melalui sifat paramagnetik nya, mengurangi waktu relaksasi T1 dan T2,
dengan peningkatan rasio signal-to-noise. Gadolinium adalah senyawa organik kelasi untuk
membentuk agen kontras ekstraseluler yang, setelah memasuki hati, terdistribusikan dari
intravaskular ke ruang interstitial. Agen-agen kini telah dikembangkan dengan karakteristik
agen kontras ekstraseluler dikombinasikan dengan karakteristik hepatosit-selektif. Agen
gabungan, seperti gadobenate dimeglumine dan asam gadoxetic, dapat digunakan untuk
pencitraan fase dinamis untuk deteksi lesi hati dan karakterisasi dengan sensitivitas mirip
dengan agen kontras ekstraseluler.(2)

22
Gambar 23. Seorang laki-laki 48 tahun dengan sirosis akibat infeksi hepatitis
C dan splenomegali. Sebuah scan MRI pregadolinium menunjukkan sebuah
tumor isointense 5-cm x 6-cm dengan kapsul. Gambar fase arteri (b)
menunjukkan peningkatan kapsuler. Sebuah computed tomography (CT) scan
(d-f) dari pasien yang sama menunjukkan lesi dari dengan densitas sedikit
lebih tinggi dari parenkim hati pada gambar precontrast, diikuti oleh
peningkatan minimal pada fase arteri (e) dan menjadi lebih isodens dengan
hati pada gambar fase vena Portal (f). Kedua, lesi yang lebih kecil (lobus
kanan, posterior) tidak jelas pada gambar pra atau fase arteri tetapi menjadi
lebih hipodens pada fase vena porta. (2)

MRI memiliki peranan yang semakin meningkat dalam skrining terutama di pusat-
pusat transplantasi khusus. Tingkat kepercayaan MRI, terutama ketika agen kontras yang
lebih baru digunakan, tampaknya setara, atau melebihi, tingkat kepercayaan spiral CT scan
dual atau MDCT scan tiga fase. Dalam pelaporan awal, sensitivitas secara keseluruhan MRI
dilaporkan oleh Bartolozzi et al adalah 86% untuk penilaian precontrast dan postcontrast.
Sensitivitas serupa telah dilaporkan oleh Kondo et al, yang menganalisis secara retrospektif
gambar hati dari 33 pasien secara segmen demi segmen. Sebanyak 261 segmen, termasuk 39
HCCA dan 21 metastasis, secara independen ditinjau oleh 3 ahli radiologi. Agen hati yang
lebih spesifik seperti gadobenate dimeglumine, ferucarbotran, dan asam gadoxetic telah
meningkatkan akurasi, kini dilaporkan memiliki spesifisitas melebihi 95%. Namun, MRI
masih memiliki keterbatasan yang signifikan dalam spesifisitas deteksi tumor kecil, yang
dengan pengembangan lebih lanjut dari agen kontras spesifik jaringan mungkin dapat
diatasi.(2)

23
Pencitraan Nuklir
99m
Teknik pencitraan fungsional menggunakan koloid sulfur berlabel Tc memberikan
beberapa pencitraan dari fungsi hati. Agen diambil oleh sel reticuloepithelial (RE), dan
pergeseran koloid ke organ RE lainnya (sumsum tulang, limpa) memberikan bukti langsung
dari adanya hipertensi portal. Selain itu, serapan heterogen memungkinkan pengenalan
disfungsi hati yang mendasari. Estimasi volumetrik hati dapat dibuat tetapi telah digantikan
oleh teknik pencitraan lain. (2)

Gambar 24. Seorang laki-laki berusia 56 tahun dengan sirosis sekunder akibat
penyalahgunaan alkohol. Koloid sulfur Technetium-99m (99mTc) (6 millicuries)
diberikan secara intravena. Gambar planar menunjukkan splenomegali tanpa defek
fokal. Sebuah Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
menunjukkan pergeseran radiokoloid ringan sampai limpa dan sumsum tulang, yang
mengindikasikan keberadaan "ringan" dari hipertensi portal. (2)

Fluorine-18 fluorodeoxyglucose (18F-FDG) diambil oleh sel-sel tumor, tetapi


penggunaan agen ini dalam hubungannya dengan Positron Emission Tomography (PET)
scanning tampaknya lebih cocok untuk lesi yang lebih besar. Oleh karena itu, saat ini, Trojan
et al percaya bahwa 18F-FDG PET tidak mungkin untuk menggantikan teknik lainnya.
Sensitivitas muncul di kisaran hanya 55%, dibandingkan dengan sensitivitas 90% dari CT
scan, dan Khan et al melaporkan bahwa tumor cenderung memiliki tingkat yang lebih rendah
dalam penyerapan. Implikasi prognostik dari temuan ini belum dijelaskan. Dalam
penyelidikan, Kim et al menyatakan harapan bahwa teknik pencitraan fungsional mungkin

24
dapat memprediksi respon tumor terhadap kemoterapi. Karena sensitivitas PET relatif rendah,
modalitas ini tidak direkomendasikan sebagai alat skrining klinis untuk HCCA, dan
penggunaannya masih dalam penelitian. Kurtaran et al melaporkan bahwa PET mungkin
bermanfaat dalam membedakan lesi hepatik jinak, seperti focal nodular hyperplasia (FNH),
dari lesi ganas, karena ada penurunan penyerapan di FNH. (2)

Angiografi
Angiografi telah berevolusi dari modalitas invasif yang digunakan dalam evaluasi
diagnostik tumor dan komplikasi lain sirosis (dalam dekade sebelum pengenalan modalitas
pencitraan non invafsif) menjadi metode pencitraan dengan intervensi dan terapeutik yang
jauh lebih canggih. Karakteristik angiografi dari sirkulasi hati pada sirosis dan vaskularisasi
tumor, termasuk demonstrasi dari karateristik pirau AV HCCA, didesripsikan beberapa
dekade yang lalu, dan pengetahuan tentang karakteristik ini sekarang membentuk pondasi
dari pemahaman kita tentang pencitraan hati dinamis menggunakan USG, CT scan, dan MRI.
Saat ini peranan diagnostic dari angiografi telah disingkirkan oleh USG dan CT scan. (2)

Gambar 25. Penampilan khas sirosis (pada perempuan berusia 22 tahun) pada angiografi.
Injeksi trunkus celiaca menunjukkan arteri hepatika yang membesar, cabang intrahepatik
yang berliku-liku, dengan konfigurasi "pembuka botol".(2)

Demonstrasi angiografi dari perfusi hati tetap penting dalam penilaian transplantasi,
mengingat variabilitas yang luar biasa dari arteri hepar dan drainase vena, meskipun Smith et
al menunjukkan bahwa pengembangan berbasis komputer, teknik 3-dimensi dapat membuat

25
teknik ini menjadi usang. Dapat diterima bahwa angiografi, meskipun berguna dalam
menunjukkan anatomi pembuluh darah, bukan teknik yang paling sensitif yang tersedia untuk
mendiagnosis HCCA kecil. Pasien dengan noninvasif multifokal HCCA asimtomatik terbatas
pada hati dan fungsi hati yang baik adalah kandidat untuk transcatheter arterial
chemoembolization (TACE). Penilaian yang akurat dari hemodinamik portal pasien dengan
sirosis diperlukan untuk tujuan prognostik. Penilaian tersebut memerlukan pengukuran
tekanan hati, pengukuran langsung dari tekanan atrium kanan, dan pengukuran tekanan vena
kava inferior pada hati.

Gambar 26. Visualisasi indirek dari sistem vena porta dapat diperoleh dengan injeksi arteri
mesenterika superior dengan pencitraan tertunda. angiogram fase vena ini menunjukkan
kolateral menonjol dan opasitas samar (panah) dari vena portal. (2)

Escorsell et al menentukan bahwa tekanan portal adalah faktor prognostik independen


dalam risiko perdarahan varises. Bukti menunjukkan bahwa risiko tersebut sangat rendah
pada pasien dengan penurunan tekanan varises 20% atau lebih. Pengukuran tekanan Portal
diperlukan pada pasien yang menjalani intervensi farmakologis yang dirancang untuk
mengurangi gradien tekanan portal. (2)

26
Gambar 27. Tekanan wedge vena hepatika dapat diukur setelah kateterisasi langsung dari
vena hepatika, dengan penyumbatan sementara vena dengan balon. Dalam penelitian ini,
tekanan wedge vena hepatika adalah 20 mmHg, tekanan vena hepatika yang normal adalah 8
mmHg, tekanan atrium kanan adalah 4-8 mmHg, vena cava inferior pada tingkat hati adalah 8
mm Hg, dan vena cava inferior di bawah hati adalah 9 mm Hg. Gradien tekanan adalah
perbedaan antara tekanan atrium kanan dan tekanan wedge vena hepatika.(2)

h) Penatalaksanaan
Terapi medis spesifik dapat diterapkan pada berbagai penyakit hati dalam
upaya untuk mengurangi gejala dan mencegah perkembangan sirosis. Beberapa
contoh terapi tersebut meliputi: (6)
Prednisone dan azathioprine : Untuk hepatitis autoimun
Interferon dan obat antiviral lainnya : Untuk hepatitis B dan C
Phlebotomy : Untuk hemokromatosis
Asam usodeoxycholic : Untuk sirosis biliaris primer
Trientine dan zinc : Untuk penyakit Wilson
Sirosis hepatis secara klinis fungsional dibagi atas kompensata dan
dekompensata. Penanganan sirosis hepatis kompensata ditujukan pada penyebab
hepatitis kronis. Hal ini ditunjukkan untuk mengurangi progresifitas penyakit sirosis
27
hepatis agar tidak semakin lanjut dan menurunkan terjadinya karsinoma hepatoselular.
Untuk HBV kronis dapat diberikan preparat interferon secara injeksi atau oral dengan
preparat analog nukleosida jangka panjang. Sedangkan untuk HCV kronis bisa
diberikan preparat interferon.
Adapun untuk tatalaksana sirosis hepatis dekompensata tergantung dari
komplikasi penyerta. (1)

Tabel 3. Tatalaksana sirosis hepatis dengan komplikasi

i) Komplikasi
Komplikasi sirosis hepatis yang utama adalah hipertensi portal, asites,
peritonitis bacterial spontan, perdarahan varises esofagus, sindroma hepatorenal,
ensefalopati hepatikum, dan kanker hati. (1)
Hipertensi Portal
Terjadi peningkatan Hepatic Venous Pressure Gradiant (HVPG) lebih dari 5
mmHg. Merupakan suatu sindroma klinis yang sering terjadi dimana bila gradient
tekanan portal (perbedaan antara tekanan vena porta dan vena cava inferior) diatas
10-12 mmHg, komplikasi tersebut dapat terjadi.

28
Asites
Penyebab asites yang paling banyak adalah hipertensi pulmonal, disamping
adanya hipoalbuminemia (penurunan fungsi sintesis pada hati) dan disfungsi
ginjal yang akan mengakibatkan akumulasi cairan pada peritoneum.
Varises Esofagus
Merupakan kolateral portosistemik yang paling penting. Pecahnya varises
esofagus mengakibatkan perdarahan yang dapat berakibat fatal. Diagnosis varises
esofagus ditegakkan dengan esofagogastroduodenoskopi.
Peritonitis Bakterial Spontan
Merupakan komplikasi berat dan sering terjadi pada asites yang ditandai dengan
infeksi spontan cairan asites tanpa adanya focus infeksi intraabdominal. Escheria
coli adalah bakteri usus yang sering menyebabkan peritonitis bacterial spontan.
Ensefalopati Hepatikum
Mekanisme ensefalopati hepatikum adalah terjadinya hiperammonia, terjadi
penurunan hepatic uptake sebagai akibat dari intrahepatic portal-systemic shunts
dan/atau penurunan sintesis urea dan glutamik. Beberapa faktor presipitasi
timbulnya ensefalopati hepatikum adalah infeksi, perdarahan, dan
ketidakseimbangan elektrolit.
Sindrom Hepatorenal
Merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa kelainan organik ginjal, yang ditemukan
pada sirosis hepatis tahap lanjut.

j) Prognosis
Perjalanan alamiah sirosis hepatis tergantung pada sebab dan penanganan
etiologi yang mendasari penyakit. Beberapa sistem skoring dapat digunakan untuk
menilai keparahan sirosis hepatis dan menentukan prognosisnya. Sistem skoring ini
antara lain skor Child Turcotte Pugh (CTP) yang digunakan untuk memprediksi angka
kelangsungan hidup pasien dengan sirosis tahap lanjut.

29
Tabel 4. Klasifikasi Child Turcotte Pugh

Penderita sirosis hepatis dikelompokkan menjadi CTP-A (5-6 poin), CTP-B


(7-9 poin), dan CTP-C (10-15 poin). Penderita sirosis dengan CTP kelas A
menunjukkan penyakit hatinya terkompensasi baik, dengan angka kesintasan berturut-
turut 1 tahun dan 2 tahun sebesar 100% dan 85%. Sedangkan CTP kelas B angka
kesintasan berturut-turut 1 tahun dan 2 tahunnya sebesar 81% dan 60%. Kesintasan
penderita sirosis dengan CTP kelas C 1 tahun dan 2 tahun berturut-turut adalah 45 dan
35%.(1)

30
BAB III
KESIMPULAN

Penegakkan diagnosis sirosis hepatis didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan


fisik, serta pemeriksaan penunjang. Sirosis hepatis memiliki manifestasi klinis yang
bervariasi, dimulai dari hepatomegali, splenomegali, hipertensi portal, asites, hingga
keganasan seperti hepatoma. Pemeriksaan penunjang pada sirosis hepatis dapat berupa
laboratorium maupun radiologi. Terdapat berbagai modalitas untuk mendiagnosis sirosis
hepatis. Modalitas tersebut antara lain foto polos, CT scan dengan atau tanpa kontras, MRI,
USG, pencitraan nuklir, hingga angiografi. Penggunaan foto polos yang merupakan
pemeriksaan paling sederhana biasanya harus dikonfirmasi dengan modalitas lain, sedangkan
modalitas lain dapat digunakan untuk diagnosis sirosis. Pemeriksaan penunjang yang
merupakan acuan sebagai diagnosis pasti untuk sirosis hepatis adalah biopsi hati dengan
panduan USG, akan tetapi penggunaan modalitas seperti CT scan dan MRI dapat
memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Angiografi biasanya lebih digunakan
untuk tindakan terapeutik. Seiring dengan kemajuan teknologi, diharapkan akan
ditemukannya modalitas terapi baru yang dapat mendiagnosis sirosis hepatis lebih akurat.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 6. Jakarta: Interna
Publishing, 2014. h. 1978-83.
2. Taylor CR. Cirrhosis Imaging. In: Karani J, editor. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/366426-overview#a1. Accessed on: April 5th,
2017.
3. Snell, Richard S. Clinical Anatomy by Regions. 9th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2012: h.196-7.
4. Hansen JT. Netters Clinical Anatomy. 2nd ed. 2010. Philadelphia: Elsevier. h.147.
5. Sherwood, Lauralee. Human Physiology From Cells to Systems. 6th ed. Kanada:
Elsevier, 2010. h.616-17.
6. Wolf DC. Cirrhosis. In: Anand BS, editor. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/185856-overview#a1. Accessed on: April 4th ,
2017.
7. Yeom SK, Lee CH, Cha SH, Park CM. Prediction of Liver Cirrhosis, Using
Diagnostic Imaging Tools. World J Hepatol 2015;7(17):2069-79.
8. Gaillard PF. Cirrhosis. Available at: https://radiopaedia.org/articles/cirrhosis.
Accessed on: April 6th, 2017.
9. Sangster GP, Previgliano CH, Nader M, et al. MDCT Imaging Findings of Liver
Cirrhosis: Spectrum of Hepatic and Extrahepatic Abdominal Complications. Hindawi
Publishing Corporation 2013:1-11.

32

Anda mungkin juga menyukai