Anda di halaman 1dari 15

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS)

Ulserasi aptosa rekuren merupakan lesi yang paling sering terjadi dalam

mulut. Ulser ini biasanya berbentuk bulat atau ovoid, memiliki dasar kekuningan,

dikelilingi halo eritema, dan menimbulkan rasa ketidaknyamanan bagi pasien.

Terdapat beberapa diagnosis banding untuk pasien yang menunjukan gejala ulser

rekuren pada rongga mulut yaitu recurrent aphthous stomatitis (RAS), sindroma

Behcet, infeksi HSV rekuren, eritema multiforme rekuren, dan neutropenia siklik

(Sonis, et al., 1995; Greenberg and Glick, 2003; Vivek and Nair, 2011).

3.1.1 Epidemiologi

Recurrent aphthous stomatitis (RAS) terjadi hampir pada 20-25% populasi,

tetapi ketika diteliti lebih lanjut pada kelompok etnik dan sosial ekonomi insidensi

bervariasi dari 5-50% (Greenberg and Glick, 2003; Gandolfo, et al., 2006).

Individu dalam kelompok kelas ekonomi menengah dan tinggi paling banyak

mengalami RAS (Sonis, et al., 1995).

Insidensi RAS paling banyak terjadi pada remaja dan dewasa muda, serta

sekitar 66% pada pelajar (Sonis, et al., 1995; Gandolfo, et al., 2006). Hampir 80%

RAS terjadi sebelum usia 30 tahun, yang dimulai pada usia 5 tahun dan mencapai

puncaknya pada usia 10 dan 19 tahun (Vivek and Nair, 2011)

14
15

Wanita merupakan kelompok yang sering mengalami RAS. Biasanya

terjadinya RAS ini sering dihubungkan dengan pergantian musim yaitu banyak

terjadi pada musim salju dan semi. Banyak dari penderita RAS merupakan orang

yang tidak merokok (Sonis, et al., 1995; Greenberg and Glick, 2003; Gandolfo, et

al., 2006).

3.1.2 Etiologi

Etiologi terjadinya RAS telah banyak diteliti, namun belum sepenuhnya

diketahui. Penyebab spesifik untuk RAS telah teridentifikasi sekitar 30% dari

kasus yang terjadi (Sonis, et al., 1995).

Infeksi yang dicurigai mengakibatkan terjadinya RAS adalah infeksi virus

herpes simplex (HSV), namun penggunaan antivirus sebagai terapi untuk HSV

tidak berdampak signifikan untuk RAS. Penelitian lebih lanjut dilakukan pada

virus varicella-zoster dan cytomegalovirus untuk mengetahui hubungannya

dengan RAS, namun penelitian tersebut tidak mendapatkan hasil (Greenberg and

Glick, 2003).

Konsep terbaru menyebutkan bahwa RAS merupakan sindroma klinis dengan

beberapa penyebab. Faktor predisposisi RAS yaitu :

1. Herediter

Faktor ini dianggap memiliki peran utama terjadinya RAS. Penelitian pada

1.303 anak dari 530 keluarga menunjukan peningkatan insidensi RAS pada

anak yang orang tuanya positif RAS sekitar 90%. Peningkatan jumlah human

leucocyte antigen (HLA) yang menyerang sel melalui mekanisme sitotoksik


16

dengan jalan mengaktifkan sel mononukleus ke epitelium (Banuarea, 2010;

Greenberg and Glick, 2003).

2. Trauma

Berbagai trauma yang menyebabkan RAS seperti tergigit, penggunaan sikat

gigi, injeksi jarum, makanan, perawatan gigi, gigi tiruan, atau tambalan gigi

(Banuarea, 2010).

3. Stres

Stres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan

yang berpengaruh terhadap fisik dan emosi. Stres dinyatakan sebagai salah

satu faktor predisposisi RAS karena aktifnya hormon glukokortikoid. Adanya

hormon kortisol merupakan respon dari stres kronis, adanya peningkatan

kadar kortisol merupakan indikator bagi seseorang yang mengalami stres

kronis atau stres berulang. Stres kronis menyebabkan meningkatnya

katabolisme protein sehingga sintesis protein menurun selanjutnya

metabolisme sel terganggu dan rentan terhadap rangsangan lain yang

menyebabkan ulser (Banuarea, 2010; Silverthorne. 2001).

Respon stres pada manusia melibatkan alur sinyal yang kompleks diantara sel

saraf dan somatik. Ketika rangsang stres muncul hipotalamus akan

membentuk corticotropin-releasing hormone (CRH) yang ditransportasikan

ke pituitary anterior. CRH akan berinteraksi dengan reseptor spesifik di

kelenjar hipofisis anterior membentuk adenocorticotropic hormone (ACTH).

ACTH kemudian dilepas ke sirkulasi sistemik dan berinteraksi dengan

resptor spesifik di membran plasma zona fasikulata dan zona retikularis


17

korteks adrenal sehingga menstimulasi kortisol yang merupakan faktor utama

dalam respon stres (Randall, 2012; Marks et. al. 2010).

Gambar 3.1 Skema pembentukan kortisol (Randall, 2012)

Kortisol mempunyai efek metabolik yaitu meningkatkan konsentrasi glukosa

darah dengan menggunakan simpanan protein dan lemak. Suatu anggapan

yang logis adalah bahwa peningkatan simpanan glukosa, asam amino, dan

asam lemak tersedia untuk digunakan bila diperlukan, misalnya dalam

keadaan stress. (Guyton. 2000, Sherwood 1996).

Terdapat hubungan antara stres dan keparahan RAS, penelitian pada hewan

menunjukan adanya lesi seperti stomatitis aptosa setelah pemberian stres

(Sonis, et al., 1995).


18

Gambar 3.2 Kontrol Pengeluaran Kortisol (Silverthorne, 2001)

4. Hormonal

Terjadinya RAS pada wanita biasanya berhubungan dengan siklus menstruasi

yang menimbulkan spekulasi bahwa adanya hubungan hormon sebagai

etiologinya (Greenberg and Glick, 2003).

Umumnya timbul ulser baru selama tujuh hari setelah periode ovulasi dan

berhubungan dengan penurunan estrogen dan peningkatan progesteron.

Diduga keratinisasi epitel mukosa oral berkurang akibat penurunan estrogen

yang menyebabkan mukosa rentan terhadap trauma sehingga mengakibatkan

ulser (Banuarea, 2010).

5. Defisiensi Nutrisi

Defisiensi zat besi, asam folat, dan vitamin B12 dalam darah merupakan faktor

yang berpengaruh pada terjadinya RAS (Greenberg and Glick, 2003).


19

6. Alergi

Adanya reaksi hipersensitif terhadap alergen tertentu, seperti susu, keju,

gandum dan tepung (Greenberg and Glick, 2003).

Kebiasaan merokok pun menjadi faktor yang meningkatkan frekuensi dan

keparahan RAS. Detergen pada pasta gigi yaitu sodium lauryl sulfate (SLS)

dicurigai sebagai etiologi RAS, tetapi pada penelitian yang menggunakan pasta

gigi non-SLS menunjukan tidak ada efek signifikan pada perkembangan ulser

(Greenberg and Glick, 2003).

3.1.3 Gambaran Klinis

3.1.3.1 Minor Recurrent Aphthous Stomatitis

Minor recurrent aphthous stomatitis disebut juga minor aphthae, mild

aphthae, atau Mikuliczz aphthae merupakan jenis RAS yang paling sering terjadi

sekitar 75-85% dari semua kasus RAS. Lesi biasanya muncul pada mukosa bukal,

labial, dan vestibulum, jarang terjadi pada palatum durum dan gingiva yang

berkeratin (Langlais and Miller, 2003; Vivek and Nair, 2011)

Karakteristik dari jenis ini adalah ulser kecil, dangkal, berbentuk oval atau

bulat, nyeri, berukuran kurang dari 10 mm, dengan jaringan nekrotik ditengahnya

yang ditutupi oleh pseudomembran berwarna kuning keabuan. Ulser memiliki

margin yang menonjol dan dikelilingi halo eritema (Vivek and Nair, 2011).
20

Gambar 3.3 Minor Recurrent Aphthous Stomatitis (Vivek and Nair, 2011)

Pada saat RAS jenis ini muncul akan terdapat lebih dari satu ulser, namun

biasanya tidak lebih dari lima ulser dalam satu waktu (Langlais and Miller, 2003).

Nyeri pada ulser akan hilang dalam 3 hingga 4 hari pada saat terjadi proses

reepitelialisasi. Ulser akan sembuh tanpa meninggalkan bekas dalam 10 hingga 14

hari bergantung infiltrasi limfositik (Greenberg and Glick, 2003; Vivek and Nair,

2011).

3.1.3.2 Major Recurrent Aphthous Stomatitis

Major Recurrent Aphthous Stomatitis disebut juga major aphthous,

periadenitis mucosa necrotica recurrens, suttons disease, scarifying stomatitis,

atau recurrent scarring aphthous merupakan jenis RAS yang terjadi sekitar 10

hingga 15% dari kasus RAS. Ulser ini adalah bentuk yang lebih parah dari aptosa

minor, berukuran lebih besar yaitu lebih dari 10 mm, lebih merusak jaringan,

dasar ulser lebih dalam, dan terjadi lebih sering (Langlais and Miller, 2003; Vivek

and Nair, 2011).


21

Gambar 3.4 Major Recurrent Aphthous Stomatitis (Vivek and Nair, 2011)

Aptosa mayor biasanya multipel pada palatum mole, tonsil, mukosa labial

dan bukal, lidah, dan gingiva. Karakteristik dari ulser ini adalah berbentuk seperti

kawah dengan bagian tengah merupakan jaringan nekrotik, batas yang monjol

berwarna kemerahan, asimetris, dan unilateral (Langlais and Miller, 2003).

Masa prodormal dari aptosa mayor ini hampir sama dengan aptosa minor,

namun biasanya disertai demam, malaise, dan disfagia. Nyeri yang hebat dan

limfadenopati adalah gejala yang umum terjadi. Ulser akan muncul selama 10

hingga 20 hari, bahkan hingga satu bulan (Langlais and Miller, 2003; Vivek and

Nair, 2011).

Bekas luka akan muncul setelah ulser ini sembuh karena erosi yang dalam

pada jaringan ikat. Kerusakan otot dapat terjadi dalam fenestrasi jaringan. Apabila

jaringan periodontal terliba dapat mengakibatkan kehilangan perlekatan jaringan

(Langlais and Miller, 2003)

Ulser jenis ini biasanya terdapat pada wanita muda dengan kepribadian yang

selalu cemas, kondisi immunocompromised (seperti HIV), dan immune-mediated

disease (seperti celiac disease, Crohns disease, cyclic neutropenia, dan Behcets

disease) (Langlais and Miller, 2003; Vivek and Nair, 2011).


22

3.1.3.3 Herpetiform Ulceration

Herpetiform Ulceration merupakan jenis RAS yang terjadi sekitar 5 hingga

10% dari kasus RAS. Tipe ulser pada mukosa oral yang terlihat seperti herpes

sehingga dinamakan herpetiform, berukuran kurang dari 5 mm dan terdapat

multipel sekitar 5-100 buah ulser. Terkadang ulser-ulser kecil bergabung menjadi

ulser yang lebih besar dan terjadi selama dua minggu (Langlais and Miller, 2003;

Vivek and Nair, 2011).

Berbeda dengan aptosa minor dan mayor yang memiliki tempat spesifik, ulser

ini tidak memiliki tempat spesifik sehingga dapat terjadi pada seluruh mukosa

mulut, tetapi ujung lidah, margin lidah, dan mukosa labial lebih sering terserang

(Langlais and Miller, 2003).

Gambar 3.5 Herpetiform Ulceration


(Langlais and Miller, 2003; Vivek and Nair, 2011)

Episode pertama dari ulserasi herpetiform terjadi pada pasien diakhir usia 20-

30 tahun, yaitu sekitar 10 tahun setelah insidensi puncak dari aptosa minor. Durasi

dari rekurensi bervariasi dan tidak dapat diprediksi, tetapi kebanyakan pasien akan

sembuh dalam dua minggu dan beberapa lainnya dalam beberapa bulan tanpa

meninggalkan bekas (Langlais and Miller, 2003).


23

3.1.4 Patofisiologi Recurrent Aphthous Stomatitis

Mukosa oral terdiri dari lapisan epitel berlapis gepeng dan terdapat banyak

pembuluh darah. Epitel mukosa oral mempertahankan integritas struktural dengan

adanya proses regenerasi sel yang terus-menerus melalui pembelahan secara

mitosis pada lapisan terdalam dan bermigrasi ke permukaan untuk menggantikan

sel lama (Cunningham, 2002).

Pada regenerasi sel yang berlangsung cepat akan menghasilkan penyembuhan

lesi yang cepat pula, namun kemungkinan untuk terjadinya mutasi atau kerusakan

sel juga tinggi. Adanya suplai darah yang banyak dan kerapuhan sel epitel, resiko

untuk terjadinya trauma, inflamasi, maupun infeksi pun meningkat (Cunningham,

2002).

Lesi dimulai dengan masa prodormal yang ditandai dengan rasa terbakar 2

hingga 48 jam sebelum ulser tersebut muncul, disertai rasa tak enak dalam mulut

dan terkadang terdapat malaise (Greenberg and Glick, 2003).

Selanjutnya periode inisial atau pre ulseratif, ditandai dengan munculnya

area eritema pada mukosa oral. Selang beberapa jam muncul papula putih kecil

(Greenberg and Glick, 2003).

Pada periode ulseratif, papula berulserasi dan secara bertahap membesar

selama 48-72 jam. Lesi berbentuk bulat, simetris, dan dangkal (mirip dengan ulser

karena virus) tetapi tidak ada jaringan yang muncul dari vesikel yang ruptur. Lesi

terlihat cekung dengan margin yang eritem (Greenberg and Glick, 2003).

Pada awal lesi akan terdapat infiltrasi limfosit yang diikuti kerusakan epitel

dan infiltrasi neutrofil ke dalam jaringan. Sel mononuklear pun akan mengelilingi
24

pembuluh darah (perivaskular), tetapi tidak terjadi vasculitis (Cawson and Odell,

2002).

Nodus limfatikus kelenjar submandibular, servikal anterior, dan parotid

biasanya teraba, terutama jika ulser terinfekesi secara sekunder (Langlais and

Miller, 2003).

Pada tahap penyembuhan, rasa perih akan menghilang dan terlihat adanya

pseudomembran yang menutupi ulser. Epitel akan terbentuk kembali melalui

proses regenerasi (Greenberg and Glick, 2003).

3.1.5 Terapi dan Penatalaksanaan Recurrent Aphthous Stomatitis

Recurrent Aphthous Stomatitis merupakan suatu penyakit yang bersifat self-

limiting yaitu dapat sembuh sendiri tanpa diberikan terapi, biasanya dalam 10

hingga 14 hari. Terapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi inflamasi,

mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan pada area ulser, dan mempercepat

penyembuhan. Terapi yang bersifat luas dianjurkan, yaitu dengan menggunakan

antibiotik, imunomodulator, obat kumur antimikroba, dan suplemen makanan

(Sonis, et al., 1995).

Terapi yang diberikan harus sesuai dengan tingkat keparahan penyakit. Pada

kasus ringan yaitu terdapat dua hingga tiga lesi kecil diberikan lapisan pelindung

seperti orabase atau zilactin, untuk mengurangi nyeri dapat digunakan anestesi

topikal atau diklofenak topikal. Pada kasus yang parah digunakan steroid topikal

seperti fluocinonide, betamethasone, atau clobetasol. Gel dapat diaplikasikan

langsung pada lesi dua hingga tiga kali sehari yaitu setelah makan dan sebelum
25

tidur. Pada ulser yang besar dapat digunakan kasa yang diberikan steroid topikal

dan ditempelkan pada ulser sekitar 15 hingga 30 menit (Greenberg and Glick,

2003).

Steroid topikal terdapat dalam bentuk ointment (Triamcinolone acetonide in

orabase) dan sebagai krim (Triamcinolone cream). Penggunaan ointment tidak

seefektif penggunaan krim. Jika sediaan krim digunakan, orabase ointment dapat

digunakan untuk menutupi krim setelah sebelumnya ulser dikeringkan (Sonis, et

al., 1995).

Pada pasien dengan aptosa mayor atau kasus multipel aptosa minor parah

yang tak memberikan respon terhadap terapi topikal dapat diberikan terapi

sistemik. Obat yang digunakan untuk mengurangi jumlah ulser yaitu colchicine,

pentoxifylline, dapsone, dan thalidomide (Greenberg and Glick, 2003).

Penggunaan thalidomide dapat menurunkan insidensi dan keparahan dari

RAS mayor baik pada pasien dengan HIV positif maupun negatif, tetapi

penggunaan obat ini tidak dianjurkan bagi wanita hamil karena dapat

menyebabkan kecacatan. Efek samping lain dari penggunaan obat ini adalah

neuropati periferal, gangguan gastrointestinal, dan rasa mengantuk (Greenberg

and Glick, 2003).

3.2 Diagnosa Banding

Terdapat beberapa diagnosis banding untuk pasien yang menunjukan gejala

recurrent aphthous stomatitis (RAS) yaitu ulser trumatik dan infeksi HSV rekuren

(Greenberg and Glick, 2003).


26

3.2.1 Ulser Trumatik

Ulser traumatik dapat terjadi pada berbagai tingkatan usia, baik pada wanita

maupun pria. Ulser ini dapat disebabkan oleh :

1. Trauma mekanis, seperti gigi yang patah atau tajam, tambalan yang kurang

baik, iritasi gigi tiruan, iritasi kawat ortodonti, tergigit, atau kebiasaan mengigit

bibir.

2. Trauma kimia, seperti aspirin, hidrogen peroksida, silver nitrat, dan fenol.

3. Trauma suhu, seperti makanan atau minuman yang terlalu panas (Langlais,

2000; Gandolfo, 2006; Houston, 2009).

Gambar 3.6 Ulser Traumatik (1) karena penggunaan gigi tiruan (2) karena
makanan yang terlalu panas (Langlais and Miller, 2003)

Gejala klinis dari ulser ini bergantung dengan faktor penyebab, biasanya

memiliki dasar kekuningan dengan tepi ireguler berwarna merah tanpa adanya

indurasi. Ulser ini akan sembuh secara spontan tanpa adanya jaringan parut dalam

waktu 6-10 hari setelah faktor penyebabnya dihilangkan (Laskaris, 2006).

3.2.2 Infeksi Virus Herpes Simplex Rekuren

Pasien dengan infeksi herpes simplex biasanya akan mengalami infeksi

herpes rekuren pada labial (Recurrent Herpes Labialis) atau intraoral (Recurrent
27

Intraoral Herpes). Herpes rekuren bukan berarti terinfeksi kembali tetapi aktivasi

kembali virus yang laten pada jaringan saraf. Rekurensi ini diaktivasi karena

adanya trauma pada bibir, demam, paparan sinar matahari, imunosupresi,

menstruasi, bahkan stres emosional. Virus yang berada pada ganglion trigeminal

akan menuju cabang saraf dan menginfeksi sel epitelial, menyebar dari sel ke sel

untuk menyebabkan lesi (Greenberg and Glick, 2003).

Gambar 3.7 (1) Recurrent Herpes Labialis (2) Recurrent Intraoral Herpes
(Langlais and Miller, 2003)

Recurrent Herpes Labialis (RHL) dimulai dengan masa prodormal yaitu rasa

gatal, berdenyut, dan terbakar sekitar 6 hingga 24 jam, juga terdapat edema di

tempat lesi, diikuti dengan pembentukan kluster vesikel kecil yang berukuran 1

hingga 3 mm dan kluster yang berukuran 1 hingga 2 cm. Vesikel tersebut

kemudian erupsi, bergabung, dan berulserasi kemudian mengeras dan sembuh

tanpa adanya bekas luka (Langlais and Miller, 2003; Greenberg and Glick, 2003).

Recurrent Intraoral Herpes (RIH) tampilannya seperti RHL namun vesikel

pecah lebih cepat. Lesi biasanya terdiri dari kluster vesikel atau ulser berukuran 1

hingga 2 mm. Biasanya terdapat di mukosa berkeratin seperti gingiva, palatum,


28

dan linggir alveolar, namun terdapat pula pada permukaan oral lainnya

(Greenberg and Glick, 2003).

Dokter harus meminimalkan faktor-faktor yang dapat memicu rekurensi.

Beberapa rekurensi dapat dikurangi dengan penggunaan sunblock selama

mendapat paparan sinar matahari intens. Pengobatan termasuk pemberian lysine,

vitamin C, dan agen antiviral seperti acyclovir 400 mg dua kali sehari,

valacyclovir 250 mg dua kali sehari, famciclovir 250 mg, dan penciclovir

(Langlais and Miller, 2003; Greenberg and Glick, 2003).

Anda mungkin juga menyukai