Anda di halaman 1dari 21

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS)

Recurrent aphthous stomatitis (RAS) atau stomatitis aptosa rekuren adalah

kelainan karakteristik yang digambarkan oleh ulser yang terjadi secara berulang

pada mukosa oral tanpa adanya tanda-tanda penyakit lain. Stomatitis aptosa

rekuren merupakan lesi yang paling sering terjadi dalam mulut. RAS merupakan

keadaan patologik yang ditandai dengan ulser yang berulang, dangkal, berbentuk

oval, tepi regular, terasa panas dan nyeri, serta terjadi beberapa hari hingga 2-6

minggu. Penyebab terjadinya stomatitis aptosa rekuren umumnya tidak diketahui.

Ada beberapa penyakit yang menjadi diagnosis banding stomatitis aptosa rekuren,

salah satunya dikarenakan gambaran klinis dan waktu kejadiannya yang serupa

(Greenberg and Glick, 2003; Field and Longman, 2003; Laskaris, 2006).

3.1.1 Epidemiologi

Stomatitis aptosa rekuren terjadi pada 20% populasi umum. Sekitar 5-50%

terjadi stomatitis aptosa rekuren pada populasi berdasarkan ras yang spesifik atau

berdasarkan status sosial dan ekonominya. Umumnya ulserasii terjadi dimulai dari

usia anak-anak atau remaja, angka kejadian ulserasii berada pada puncaknya di

usia dewasa, dan kemudian angka kejadian perlahan menurun pada kelompok usia

lanjut. RAS terjadi lebih banyak pada wanita dibandingkan pada pria. Hal ini

disebabkan oleh pengaruh hormon endokrin yang terganggu selama menstruasi

(Cawson and Odell, 2002; Greenberg and Glick, 2003; Langlais, 2003).

21
22

3.1.2 Etiologi

Etiologi terjadinya RAS belum diketahui dengan jelas, namun pada

beberapa penelitian menunjukkan bahwa respon imun memegang peranan utama

pada patogenesisnya. Faktor trauma, alergi, defisiensi hematologi, genetik,

gangguan hormon endokrin, stres, dan virus menjadi faktor predisposisi terjadinya

RAS (Lamey and Lewis, 1991; Laskaris, 2006).

1. Defisiensi hematologi

Beberapa penelitian menyangkal etiologi bahwa RAS berhubungan dengan

defisiensi asam folat dan zat besi. Namun defisiensi vitamin B1, B2, B6, dan

B12, asam folat, serta zat besi ditemukan pada 18 hingga 28 persen kasus RAS.

Defisiensi zat besi, asam folat, vitamin B12 atau vitamin B kompleks dalam

darah merupakan faktor yang berpengaruh pada terjadinya RAS. Kekurangan

vitamin B12 dan asam folat dapat menunjukkan terjadinya anemia pada pasien.

Selain itu, defisiensi merupakan hasil dari asupan makanan bergizi yang tidak

mencukupi. Defisiensi hematologi, khusunya vitamin B12, yang merupakan

faktor penting dalam etiopatogenensis RAS, tidak bergantung pada jenis

kelamin pasien. Sedangkan jumlah asam folat dalam darah secara signifikan

lebih umum tampak pada pasien wanita dibandingkan pria (Lamey and Lewis,

1991; Greenberg and Glick, 2003; Scully et al., 2003; Burgan et al., 2006).

2. Psikologis

Faktor psikologis meningkatkan angka kejadian timbulnya RAS terhadap

populasi pelajar pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Cemas dan

stres merupakan faktor penting RAS. Stres merupakan respon tubuh dalam
23

menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berpengaruh terhadap fisik dan

emosi. Stres menyebabkan aktifnya hormon glukokortikoid, katabolisme

protein meningkat dan sintesis protein menurun, sehingga metabolisme sel

terganggu dan rentan terhadap rangsangan lain yang kemudian menyebabkan

ulser (Lamey and Lewis, 1991).

Stres psikologis dapat berperan dalam manifestasi RAS sebagai faktor pemicu

atau faktor modifikasi. Faktor ini dilihat selama masa stres seseorang, seperti

masa ujian sekolah, perawatan gigi, masalah pekerjaan, dan masa peralihan

yang signifikan dalam hidup seseorang. Stres psikologis mendorong aktivitas

imunoregulasi dengan meningkatkan kadar leukosit pada daerah inflamasi,

karakteristik ini biasanya terlihat selama patogenesis RAS. Patofisiologis stres

tiap pasien berbeda-beda. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

kecemasan dapat mengakibatkan kebiasaan buruk atau parafungsional, seperti

menggigit pipi atau bibir, dan trauma fisik lainnya yang mengakibatkan proses

ulserasii (Gallo et al., 2009; Kumar et al., 2014).

3. Trauma

Trauma lokal berperan pada luka mukosa yang memicu ulser pada pasien

RAS. Timbulnya ulser dapat terjadi akibat adanya luka tusuk. Luka tusuk

yang ada di mukosa oral terjadi akibat anestesi dental atau trauma akibat

tertusuk makanan yang keras. Pasien non-aptosa yang mengalami trauma

mukosa oral memiliki bentuk ulser iregular, tanda dan durasi inflamasinya

minimal, serta sembuh dalam beberapa hari bergantung tingkat keparahan

traumanya. Sedangkan pada pasien RAS, bentuk lesi iregular hasil trauma
24

akan berubah menjadi tipe regular dalam satu atau dua hari. Reaksi jaringan

pada pasien non-aptosa dirancang untuk meminimalisasi reaksi inflamasi dan

mengaktifkan fase penyembuhan secepat mungkin, sedangkan pada pasien

RAS tidak (Lamey and Lewis, 1991; Boras and Savage, 2007; Kumar et al.,

2014).

4. Hormon

Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara kadar serum hormon

seksual dan timbulnya RAS. Sebagian wanita dengan RAS memiliki siklus

ulserasii oral yang berhubungan dengan fase luteal dalam siklus menstruasi.

RAS terjadi selama fase menstruasi pada beberapa wanita. RAS umumnya

timbul selama 7-10 hari setelah periode ovulasi, terjadi penurunan estrogen

dan peningkatan progesteron. Keratinisasi epitel mukosa oral berkurang akibat

penurunan estrogen, menyebabkan mukosa rentan terhadap trauma, sehingga

terbentuk ulser (Lamey and Lewis, 1991; Porter et al., 2000; Slebioda et al.,

2014).

Secara histologis, mukosa pipi memiliki susunan epitel yang sama dengan

mukosa vagina bagiian sepertiga proksimal. Keduanya tersusun dari epitel

squamus yang tidak berkeratin dan terlihat derajat maturasinya sesuai

pengaruh kadar hormon estrogen dan progesteron. Efek progesteron dalam

jaringan periodonsium adalah meingkatkan produksi prostaglandin yang

berkaitan dengan self limiting process, meningkatkan leukosit PMN,

mengurangi efek antiinflamasi glukokortikoid, mengubah sintesis protein

kolagen dan nonkolagen serta metabolisme fibroblas, dan meningkatkan


25

permeabilitas vaskuler. Pada wanita usia subur dengan RAS, kadar

progesteron menurun, dan kadar progesteron yang menurun dapat dikaitkan

dengan beberapa kemungkinan keadaan patologis (Soetiarto et al., 2009).

5. Alergi

Peningkatan kadar IgE atau reaksi hipersensitivitas terhadap beberapa jenis

makanan atau alergen tertentu sehingga timbul RAS. Untuk itu perlu

dilakukan tes alergi terhadap alergen yang dicurigai menjadi penyebab

timbulnya RAS (Lamey and Lewis, 1991; Greenberg and Glick, 2003).

6. Herediter

Terjadi peningkatan angka kejadian timbulnya RAS pada anak-anak yang

memiliki orang tua menderita RAS. Penelitian yang dilakukan sebelumnya

pada 1.303 anak dari 530 keluarga menunjukan peningkatan insidensi RAS

pada anak yang orang tuanya positif RAS sekitar 90%. Peningkatan jumlah

human leucocyte antigen (HLA) yang menyerang sel melalui mekanisme

sitotoksik dengan jalan mengaktifkan sel mononukleus ke epitelium (Lamey

and Lewis, 1991; Greenberg and Glick, 2003).

7. Imunologi

Abnormalitas imunologi dikategorikan sebagai faktor penyebab terjadinya

RAS oleh banyak penelitian. Faktor ini melibatkan aktivitas sel sitolitik yang

merespon antigen asing. Aksi sitotoksik limfosit dan monosit pada epitel oral

diduga merupakan penyebab ulserasi. Analisis histologi menunjukkan RAS

terdiri dari ulserasii mukosa dengan infiltrasi sel inflamasi. Sel T-helper

mendominasi fase pre-ulseratif dan fase penyembuhan, di mana sel T-


26

suppressor mendominasi fase ulseratif. Terlihat peningkatan perlekatan

neutrofil dan penurunan kuantitas serta fungsi regulasi sel T pada jaringan

dengan lesi. Kadar serum IgE ditemukan meningkat pada pasien RAS dalam

beberapa penelitian. Lesi ulser yang terbentuk dikarenakan reaksi sistem

imun, bukan karena imunoreaktivitas karena respon terhadap faktor lokal.

Reaksi ini memungkinkan ekspresi protein permukaan sel epitel yang tidak

tepat sebagai akibat trauma minor. Jumlah limfosit di dalam sirkulasi darah

meningkat pada pasien RAS yang merupakan respon terhadap perubahan

permukaan sel epitel, hal ini terlihat pada fase awal lesi RAS (Greenberg and

Glick, 2003; Langlais, 2003; Boras and Savage, 2007; Kumar et al., 2014).

Gambar 3.1 Mekanisme respon imunologis pada RAS (Slebioda et al., 2014)
27

8. Virus

Infeksi virus yang kemungkinan menjadi penyebab terjadinya RAS adalah

infeksi virus herpes simpleks (HSV), namun penggunaan terapi antivirus HSV

tidak berdampak secara signifikan terhadap RAS. Penelitian lebih lanjut

dilakukan pada virus varicella-zoster dan sitomegalovirus untuk mengetahui

hubungannya dengan RAS, namun penelitian tersebut tidak mendapatkan

hasil. Ulser mayor terkadang merupakan gambaran infeksi HIV, ditemukan

sitomegalovirus, namun hal ini kemungkinan hanya virus yang menumpang

(Cawson and Odell, 2002; Greenberg and Glick, 2003).

3.1.3 Gambaran Klinis

RAS memiliki tiga gambaran klinis, yaitu minor recurrent aphthous

stomatitis, major recurrent aphthous stomatitis, dan herpetiform ulceration.

Berikut dijelaskan tiga gambaran klinis tersebut.

3.1.3.1 Minor Recurrent Aphthous Stomatitis

Minor recurrent aphthous stomatitis, disebut juga minor aphthae atau

minor ulcer, merupakan bentuk RAS yang paling umum ditemukan yang

mencapai angka 80% dari semua kasus RAS. Ulser pada saat muncul terasa perih,

kecil dan dangkal berbentuk oval atau sirkular, diameter ulser sekitar 2-6 mm (di

bawah 1 cm), serta dasar ulser berwarna putih kekuningan dengan dikelilingi tepi

yang kemerahan. Ulser pada umumnya muncul pada mukosa tidak berkeratin

bagian anterior mukosa oral, seperti mukosa bukal, labial, dan dasar mulut, jarang
28

terjadi pada gusi dan palatum keras (Lamey and Lewis, 1991; Greenberg and

Glick, 2003; Laskaris, 2006).

Pasien dengan minor aphthae memiliki satu sampai lima ulser pada satu

waktu. Ulser akan sembuh dalam 7 hingga 14 hari tanpa meninggalkan bekas luka

(Lamey and Lewis, 1991; Laskaris, 2006).

Gambar 3.2 Minor Recurrent Aphthous Stomatitis pada mukosa labial bawah
(Laskaris, 2006)

3.1.3.2 Major Recurrent Aphthous Stomatitis

Major Recurrent Aphthous Stomatitis, disebut juga major aphthous, major

ulcer, periadenitis mucosa necrotica recurrens, Suttons disease, scarifying

stomatitis, atau recurrent scarring aphthous, merupakan bentuk RAS yang

kemunculannya terjadi sekitar 10% dari seluruh kasus RAS. Ulser ini berukuran

lebih besar dari minor aphthae, berdiameter sekitar 1-2 cm. Karakteristik ulser ini

adalah adanya rasa sakit yang tajam dan dasar ulser lebih dalam (Lamey and

Lewis, 1991; Greenberg and Glick, 2003; Laskaris, 2006).


29

Gambar 3.3 Major Recurrent Aphthous Stomatitis pada mukosa labial bawah
(Laskaris, 2006)

Major aphthae pada umumnya muncul pada bagian posterior mukosa oral

dan daerah yang berkeratin, seperti pada palatum lunak, tonsil, mukosa labial dan

bukal, lidah, dan gingiva. Jumlah ulser yang muncul sekitar 1 hingga 5 ulser.

Ulser ini berbentuk seperti kawah dengan bagian tengah jaringan nekrotik

berwarna putih kekuningan, tepi berwarna kemerahan, asimetris, dan unilateral

(Lamey and Lewis, 1991; Greenberg and Glick, 2003; Laskaris, 2006).

Major aphthae biasanya disertai demam, malaise, dan disfagia. Gejala

yang umum terjadi adalah nyeri hebat dan limfadenopati. Ulser ini akan muncul

selama beberapa minggu, sekitar 3 hingga 6 minggu, dan akan meninggalkan

bekas luka karena erosi yang dalam pada jaringan ikat. Pada beberapa penelitian

yang telah dilakukan, mayor aphthae dimasukkan ke dalam daftar perubahan

mukosa oral yang mengindikasikan adanya infeksi HIV (Lamey and Lewis, 1991;

Langlais and Miller, 2003; Greenberg and Glick, 2003; Laskaris, 2006).
30

3.1.3.3 Herpetiform Ulceration

Herpetiform Ulceration merupakan jenis RAS pada mukosa oral yang

secara klinis menyerupai ulser yang timbul pada herpes primer, oleh karena itu

dinamakan herpetiformis. Ulser ini merupakan variasi bentuk dari RAS. Ulser

herpetiformis terjadi sekitar 10% dari semua kasus RAS, dan umumnya terjadi

pada wanita. Ulser herpetiformis dapat timbul pada seluruh bagian mukosa oral,

namun umumnya timbul pada bagian anterior lidah, tepi lidah, dan mukosa labial

(Lamey and Lewis, 1991; Langlais and Miller, 2003; Greenberg and Glick, 2003).

Gambar 3.4 Herpetiform Ulceration pada dasar mulut dan mukosa labial
(Langlais and Miller, 2003; Laskaris, 2006)

Karakteristik ulser herpetiformis adalah ulser yang berbentuk kecil, nyeri,

ulser dangkal, berdiameter 1-2 mm, dan dasar putih kekuningan dengan tepi

eritema. Ulser herpetiformis berukuran kecil multipel sebanyak 10 hingga 100

buah ulser yang timbul pada mukosa oral. Ulser-ulser kecil ini bergabung

membentuk ulser ireguler pada daerah yang lebih besar. Masa penyembuhan ulser

herpetiformis serupa dengan masa penyembuhan minor aphthae, sembuh dalam

waktu satu hingga dua minggu dan sembuh tanpa meninggalkan bekas luka

(Lamey and Lewis, 1991; Langlais and Miller, 2003; Laskaris, 2006).
31

3.1.4 Patofisiologi Recurrent Aphthous Stomatitis

Lesi dimulai dengan masa prodormal yang ditandai dengan rasa terbakar 2

hingga 48 jam sebelum ulser tersebut muncul, disertai rasa tak enak dalam mulut

dan terkadang terdapat malaise. Selanjutnya periode inisial atau pre ulseratif,

ditandai dengan munculnya area eritema pada mukosa oral. Selang beberapa jam

muncul papula putih kecil (Greenberg and Glick, 2003).

Pada periode ulseratif, papula berulserasii dan secara bertahap membesar

selama 48-72 jam. Lesi berbentuk bulat, simetris, dan dangkal (mirip dengan ulser

karena virus) tetapi tidak ada jaringan yang muncul dari vesikel yang ruptur. Lesi

terlihat cekung dengan margin yang eritem. Pada awal lesi akan terdapat infiltrasi

limfosit yang diikuti kerusakan epitel dan infiltrasi neutrofil ke dalam jaringan.

Sel mononuklear pun akan mengelilingi pembuluh darah (perivaskular), tetapi

tidak terjadi vasculitis (Cawson and Odell, 2002; Greenberg and Glick, 2003).

Nodus limfatikus kelenjar submandibular, servikal anterior, dan parotid

biasanya teraba, terutama jika ulser terinfekesi secara sekunder. Pada tahap

penyembuhan, rasa perih akan menghilang dan terlihat adanya pseudomembran

yang menutupi ulser. Epitel akan terbentuk kembali melalui proses regenerasi

(Langlais and Miller, 2003; Greenberg and Glick, 2003).


32

Prodormal

burn sensation 2-48 jam rasa tidak nyaman malaise

Inisial/pre-ulseratif

eritema mukosa oral papula putih kecil

Ulseratif
infiltrasi neutrofil sel PMN di
papula --> ulser infiltrasi limfosit
ke jaringan perivaskular

Penyembuhan
pseudomembran epitel terbentuk kembali
rasa perih hilang
menutup ulser (regenerasi)

Gambar 3.5 Skema patofisiologi RAS

3.1.5 Penatalaksanaan Recurrent Aphthous Stomatitis

Penatalaksanaan pasien dengan RAS yang dilakukan pada kunjungan

pertama adalah memperoleh riwayat lengkap pasien, terutama kemungkinan

adanya alergi dan adanya pemeriksaan hematologi. Pengobatan yang diberikan

harus sesuai dengan tingkat keparahan penyakitnya. Lapisan pelindung seperti

orabase atau zilactin dapat diberikan pada kasus ringan dengan dua atau tiga lesi

kecil. Pasien diberikan vitamin B1 (300 mg satu kali sehari) dan vitamin B6 (50

mg 3 kali sehari) sebagai terapi. Penggunaan obat kumur klorheksidin atau

benzidamin dapat diberikan sebagai tambahan. Anestesi topikal atau diklofenak

topikal dapat digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri pada lesi minor.

Penggunaan steroid topikal potensi tinggi seperti fluosinonid, betametason, atau


33

klobetasol, yang diaplikasikan langsung pada lesi akan mempersingkat masa

penyembuhan dan mengurangi ukuran ulser pada kasus yang lebih parah. Gel

diaplikasikan langsung pada lesi setelah makan dan sebelum tidur dua hingga tiga

kali sehari, atau dapat dikombinasikan dengan bahan adhesif seperti Orabase

(Lamey and Lewis, 1991; Greenberg and Glick, 2003).

Lesi yang lebih besar dapat diobati dengan penggunaan kasa yang telah

ditetesi steroid topikal yang kemudian ditempelkan pada ulser dan diamkan

selama 15 hingga 30 menit untuk efek yang lebih baik. Obat topikal lain yang

dapat mengurangi masa penyembuhan lesi RAS, seperti pasta amlexanox dan

tetrasiklin topikal, dapat digunakan sebagai obat kumur atau diaplikasikan pada

kasa (Greenberg and Glick, 2003).

Steroid intralesi dapat digunakan untuk mengobati lesi RAS mayor. Injeksi

steroid intralesi atau steroid sistemik dengan dosis rendah (10-20 mg prednison)

selama 4 hingga 8 hari dapat menurunkan gejala pada kasus yang parah secara

drastis. Terapi sistemik digunakan untuk pasien dengan major aphthae atau kasus

yang parah seperti minor aphthae multipel (ulser herpetiformis) yang tidak

merespon terapi topikal. Colchicine, pentoxifylline, dapsone, dan thalidomide

merupakan obat-obatan yang dapat menurunkan jumlah ulser pada kasus major

aphthae. Penggunaan thalidomide dapat menurunkan insidensi dan keparahan dari

RAS mayor baik pada pasien dengan HIV positif maupun negatif, tetapi

penggunaan obat ini tidak dianjurkan bagi wanita hamil. Efek samping lain dari

penggunaan obat ini adalah neuropati periferal, gangguan gastrointestinal, dan

rasa mengantuk (Greenberg and Glick, 2003; Laskaris, 2006).


34

3.2 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk pasien yang menunjukan gejala recurrent

aphthous stomatitis (RAS), yaitu ulser trumatik, sindroma Behcet, dan infeksi

HSV rekuren (Greenberg and Glick, 2003).

3.2.1 Ulser Trumatik

Ulser traumatik merupakan lesi oral yang umum ditemukan, disebabkan

oleh trauma. Etiologinya adalah trauma karena gigi yang tajam atau fraktur,

penambalan yang kasar, instrumen dental, tergigit, iritasi gigi tiruan, luka saat

menyikat gigi, dan luka bakar termal atau kimiawi (Lamey and Lewis, 1991;

Laskaris, 2006).

Gambaran klinisnya dapat berbeda-beda, namun pada umumnya hanya

satu lesi ulser, nyeri, permukaan merah halus atau putih kekuningan dan tepi

eritema tipis. Ulser traumatik biasanya lunak saat dipalpasi, dan sembuh dengan

sendirinya dalam waktu 6-10 hari atau setelah penyebabnya dihilangkan. Daerah

yang terkena umumnya pada lidah, palatum, mukosa labial, dan mukosa bukal.

Diagnosis ulser traumatik berdasarkan riwayat dan gambaran klinisnya (Lamey

and Lewis, 1991; Langlais and Miller, 2003; Laskaris, 2006).

Pengobatan ulser traumatik dapat dengan menghilangkan penyebabnya,

atau dengan menggunakan steroid topikal dalam waktu singkat, dan penggunaan

obat kumur antiseptik seperti klorheksidin. Biopsi dilakukan jika ulser tidak

hilang setelah perawatan dilakukan (Langlais and Miller, 2003; Laskaris, 2006).
35

Gambar 3.6 Ulser traumatik pada palatum karena trauma termal dan pada tepi
lidah (Langlais and Miller, 2003; Laskaris, 2006)

3.2.2 Sindroma Behcet

Sindroma Behcet merupakan penyakit inflamasi multisistemik kronis.

Sindroma ini dinamakan berdasarkan penemunya seorang dermatolog yang

berasal dari Turki bernama Hulusi Behcet. Sindroma Behcet dikategorikan

sebagai triad gejala, yaitu ulserasii oral rekuren, ulserasii genital rekuren, dan lesi

mata. Konsep ini kemudian berubah dari triad gejala menjadi penyakit

multisistem. Insidensi tertinggi sindroma Behcet terjadi pada populasi dewasa

muda (Greenberg and Glick, 2003; Laskaris, 2006).

Etiologi sindroma Behcet belum jelas diketahui, walaupun imunogenetik

menjadi perhatian karena terjadinya peningkatan prevalensi HLA-B51, HLA-B5,

HLAB27, dan HLA-B12 pada penderita. Sindroma Behcet yang disebabkan oleh

imunokompleks menunjukkan vaskulitis pembuluh darah dan inflamasi epitel. Hal

ini disebabkan oleh limfosit T dan sel plasma yang imunokompeten, serta adanya

peningkatan aktivitas neutrofil (Greenberg and Glick, 2003; Laskaris, 2006).

Sindroma ini paling banyak muncul pada mukosa oral. Ulser oral rekuren

muncul pada 90% pasien yang terjangkit, sehingga sulit membedakannya dengan

RAS. Lesi ini dapat muncul pada seluruh bagian mukosa oral atau faring. Area
36

genital merupakan daerah kedua yang paling banyak terjangkit sindroma ini, yaitu

terdapat ulser di skrotum dan penis pada pria, sedangkan pada wanita terdapat

ulser di labia. Kriteria diagnosis klinis mayor untuk penyakit ini meliputi: (a)

ulserasii oral rekuren (aphthae); (b) ulserasii genital rekuren; (c) lesi okular

(konjungtivitis, iritis, uveitis, vaskulitis retina, penurunan penglihatan); (d) lesi

kulit (papula, pustula, folikulitis, eritema, ulser); (e) tes patergi positif. Gambaran

klinis minor juga dapat timbul, seperti artritis, artralgia, tromboflebitis, trombosis

vena, oklusi arteri, keterlibatan sistem saraf utama, pulmonari, ginjal, dan

gastrointestinal. Untuk hasil yang akurat, ulserasii oral rekuren ditambah dua dari

empat kriteria mayor harus ada (Greenberg and Glick, 2003; Laskaris, 2006).

Gambar 3.7 Sindroma Behcet pada tonsil, lidah, dan mukosa bukal (Langlais and
Miller, 2003; Greenberg and Glick, 2003; Laskaris, 2006)

Penatalaksanaan sindroma Behcet bergantung pada tingkat keparahan dan

daerah yang terjangkit. Steroid topikal digunakan untuk kasus ringan, sedangkan
37

steroid sistemik, siklosporin, dan obat imunosupresif lain digunakan untuk kasus

yang parah. Azathioprine yang dikombinasikan dengan prednisone digunakan

untuk mengurangi penyakit okular yang disertai keterlibatan oral dan genital.

Pentoxifylline juga dapat digunakan untuk sindroma yang melibatkan mata.

Colchicine dan thalidomide digunakan untuk sindroma yang manifestasinya pada

mukokutan dan gastrointestinal. Lesi mukosa oral dapat diobati menggunakan

steroid topikal atau steroid intralesi seperti pada RAS (Greenberg and Glick,

2003; Laskaris, 2006).

3.2.3 Infeksi Virus Herpes Simplex Primer

Infeksi HSV primer timbul pada pasien yang tidak memiliki imunitas

terhadap kontak virus yang terjadi sebelumnya. HSV terjadi ketika pasien

berkontak dengan individu yang terjangkit HSV aktif atau lesi rekuren. HSV

primer juga menyebar secara asimtomatik ketika HSV muncul dalam sekresi

saliva. Infeksi HSV disebabkan oleh HSV1, tetapi infeksi primer oral HSV2 dapat

terjadi karena kontak oral dan genital (Greenberg and Glick, 2003).

Masa inkubasi HSV primer berkisar 5 hingga 7 hari. Pasien dengan oral

herpes primer memiliki riwayat gejala prodormal generalisata yang diikuti lesi

lokal 1 hingga 2 hari. Gejala generalisata ini terdiri dari demam, sakit kepala,

malaise, mual, dan muntah. Sekitar 1 hingga 2 hari setelah gejala prodormal,

muncul vesikel kecil berdinding tipis yang dikelilingi dasar terinflamasi pada

mukosa oral. Vesikel ini pecah dengan cepat, meninggalkan ulser bulat yang

dangkal. Lesi-lesinya muncul pada semua bagian mukosa oral. Selama


38

perkembangannya, beberapa lesi menyatu membentuk lesi iregular yang lebih

besar. Kriteria penting dalam mendiagnosis penyakit ini adalah timbulnya

gingivitis marginalis akut generalisata. Seluruh gingiva edema dan inflamasi,

bahkan kadang timbul beberapa ulser kecil gingiva. Pemeriksaan faring posterior

menunjukkan inflamasi, nodulus limfatikus submandibula dan servikal secara

karakteristik membesar dan lunak. Demam hilang dalam waktu 3 hingga 4 hari,

dan lesi mulai hilang dalam waktu 7 hingga 10 hari (Greenberg and Glick, 2003).

Gambar 3.8 Gingivostomatitis herpes primer yang menyebabkan vesikel dan ulser
yang dikelilingi inflamasi (Greenberg and Glick, 2003)

Gambar 3.9 Gingivitis marginalis akut pada infeksi HSV primer


39

3.2.4 Infeksi Virus Herpes Simplex Rekuren

Infeksi yang berkaitan dengan virus herpes simplex adalah penyebab

umum timbulnya ulserasii oral. Infeksi ini berupa infeksi primer yang

karakteristiknya melibatkan daerah ulserasii oral yang luas, atau infeksi sekunder

yang area ulserasiinya kecil, umumnya terjadi pada pasien imunokompromi

(Lamey and Lewis, 1991).

Infeksi herpes rekuren pada mulut terdiri dari infeksi recurrent herpes

labialis (RHL) dan recurrent intraoral herpes simplex (RIH). Herpes rekuren

bukan merupakan reinfeksi, melainkan reaktivasi virus yang laten pada jaringan

saraf. Herpes rekuren dapat timbul karena trauma pada bibir, demam, terbakar

sinar matahari, imunosupresi, dan menstruasi. Virus berjalan dari saraf menuju sel

epitel yang terinfeksi, menyebar dari satu sel ke sel lainnya sehingga

menyebabkan lesi. Lesi RAS dan herpes dapat timbul pada intraoral dan keduanya

dapat dibedakan berdasarkan prosesnya (Greenberg and Glick, 2003).

Gambar 3.10 Lesi krusta pada Recurrent Herpes Labialis (Greenberg and Glick,
2003)
40

Lesi recurrent herpes labialis dimulai dengan masa prodormal, yaitu

terasa gatal dan terbakar. Hal ini ditandai dengan adanya edema, yang kemudian

diikuti timbulnya formasi sekumpulan vesikel kecil. Masing-masing vesikel

berdiameter 1 hingga 3 mm, dengan ukuran kumpulan vesikelnya berkisar 1

hingga 2 cm. Lesi-lesi ini berdiameter hingga sentimeter sehingga terasa tidak

nyaman dan menimbulkan bercak. Lesi yang lebih besar umumnya timbul pada

pasien imunosupresi. Lesi recurrent intraoral herpes simplex menyerupai

gambaran lesi RHL, namun vesikelnya pecah dengan cepat yang kemudian

terbentuk ulser. Bentuk lesinya berupa sekumpulan vesikel kecil atau ulser,

berdiameter 1 hingga 2 mm, dan umumnya berkumpul pada daerah kecil mukosa

berkeratin di gingiva, palatum, dan linggir alveolar, namun terdapat pula pada

permukaan mukosa lainnya. Sebaliknya, lesi RAS berbentuk lebih besar,

penyebarannya di daerah mukosa yang lebih besar, dan umumnya timbul pada

daerah yang tidak berkeratin di mukosa bukal, mukosa labial, dan dasar mulut

(Langlais and Miller, 2003; Greenberg and Glick, 2003).

Infeksi herpes rekuren pada bibir dan mulut harus diobati sesuai dengan

gejalanya. Dokter harus meminimalisasi faktor-faktor pemicunya. Beberapa

rekurensi dapat dihilangkan dengan memakai sunblock selama terpapar sinar

matahari. Obat-obatan dapat menekan pertumbuhan formasi lesi dan

mempersingkat masa penyembuhan lesi rekuren yang baru. Pengobatan termasuk

pemberian lysine, vitamin C, dan agen antiviral seperti acyclovir 400 mg dua kali

sehari, valacyclovir 250 mg dua kali sehari, famciclovir 250 mg, dan penciclovir

(Langlais and Miller, 2003; Greenberg and Glick, 2003).


41

3.2.5 Infeksi Virus Varicella-Zoster

Varicella zoster (VZV) merupakan virus herpes, dan seperti pada infeksi

primer dan rekuren, VZV juga tampak pada ganglia sensoris. VZV menyebabkan

dua infeksi mayor, yaitu chickenpox (varicella) dan shingles (herpes zoster [HZ]).

Chickenpox merupakan infeksi generalisata primer yang timbul pertama kali

ketika seorang individu kontak dengan virus. Infeksi ini serupa dengan

gingivostomatitis herpes akut pada virus herpes simplex. Gambaran klinis VZV

dan HZ adalah munculnya vesikel. Adanya dental anomali, nekrosis pulpa, dan

resorpsi internal akar juga merupakan tanda HZ (Greenberg and Glick, 2003).

Penatalaksanaan VZV menggunakan asiklovir, obat antiherpes terbaru,

atau famsiklovir untuk mengurangi nyeri akutnya. Penggunaan steroid intralesi

dan anestesi lokal bertujuan untuk mengurangi masa penyembuhan dan mencegah

postherpetic neuralgia. Terapi efektif terhadap postherpetic neuralgia adalah

pemakaian capsaicin (Greenberg and Glick, 2003).

Anda mungkin juga menyukai