Anda di halaman 1dari 2

Institut Teknologi Bandung

ITB | News

Konflik Punclut: Mempertimbangkan Lingkungan dalam Bisnis (2)

krisna
Selasa, 24 - Mei - 2005, 09:53:01

Kronologi konflik yang terjadi di kawasan Punclut sebenarnya bermula dari tahun 1950. Konflik ini memang
banyak diwarnai oleh penerbitan dan pembatalan Surat Keputusan (SK). Bibit konflik mulai ada saat tahun
1961 Pemerintah memberikan Hak Milik Tanah di Punclut kepada 948 pejuang RI dengan syarat mereka
akan membangun rumah dalam waktu lima tahun. Namun, karena tidak segera dibangun, mulai bermunculan
warga yang mendirikan rumah. Konflik semakin kompleks saat pengembang, PT Dam Utama Sakti Prima
(DUSP) diberi ijin untuk membangun Punclut tahun 1994. PT DUSP semakin memperluas wilayah dan
kewenangannya di atas kawasan Puclut dengan memohon Hak Guna Bangunan (HGB) atas wilayah seluas
37,31 hektar. Hal ini semakin memperkuat pro dan kontra pembangunan Punclut (2003-2005). Muncul pula
rencana untuk membangun jalan raya untuk mempermudah akses ke seluruh KBU. Sebenarnya, masalah
dasar dari konflik Punclut bagaikan memakan buah simalakama. Pemda ingin membangun Punclut (dan
KBU) karena kawasan ini akan semakin carut marut jika dibiarkan begitu saja, namun karena Pemda tidak
memiliki modal yang cukup untuk membangun, harus diserahkan kepada pihak swasta (pengembang).

Menggandeng swasta dalam pembangunan Punclut memang menuai banyak kritik dan protes karena dalam
pelaksanaannya, swasta banyak membangun hal-hal yang secara spesifik hanya menguntungkan pihak
swasta itu sendiri. Dampak pada lingkungan alamiah dan sosial adalah salah satu faktor utama yang
dihiraukan. Sobirin menunjukkan salah satu contohnya yaitu dibangunnya Snow Princess Resort, persis di
pinggir tebing yang gradien curamnya lebih dari 40 persen (rawan longsor). Sementara itu,Persis di bawah
tebing itu terdapat sekolah. Observatorium Bosscha, salah satu dari (hanya) empat observatorium bintang di
kawasan selatan katulistiwa juga terkena dampaknya. Pembangunan yang berlebihan membuat suasana
malam di sekitar Bosscha menjadi terlalu terang. Kini, sulit untuk mengamati bintang dari Bosscha. Padahal,
Bosscha juga pantas menyandang sebutan salah satu warisan ilmiah milik Institut Teknologi Bandung.

Sebagai solusi, sobirin mengajak agar setiap pihak: Pemda, pengembang, dan masyarakat (juga mewakili
lingkungan alami) berhenti bertengkar. Perlu diadakan diskusi bersama yang melahirkan win-win solution.

1/2
Beliau juga mengusulkan diimplementasikan konsep ekohidrologi, bagaimana hutan mendaur ulang air; serta
konsep Jungle Town Singapura. Singapura tidak memiliki konsep kawasan lindung karena Singapura
dianggap seluruhnya sebagai kawasan yang pantas dilindungi. Pemukiman dan peradaban manusia menjadi
bagian dari kawasan dan manusia wajib melindungi keharmonisan alamiah yang ada. Solusi lain yang juga
ditawarkan adalah konsep ekowisata. Konsep ekowisata yang berprinsip konservasi dan berbasis
masyarakat lokal sangat cocok untuk diterapkan dalam pengembangan kawasan KBU, termasuk Punclut.

Dalam diskusi di akhir sesi, muncul berbagai pertanyaan dan usulan. Salah satu yang menarik adalah
mengapa tidak mendesak Pemda Bandung untuk mempertimbangkan lagi alternatif menggandeng
pengembang melalui analisis biaya. Mengingat bahwa kerugian lingkungan yang akan terjadi akan memakan
biaya yang jauh lebih besar ketimbang keuntungan yang didapat dari pengembangan wilayah Punclut oleh
swasta. Menurut Sobirin, yang sulit adalah menghitung kerugian-kerugian lingkungan yang terjadi itu sangat
sulit. Konklusi akhir kuliah tamu ini mengena bagi para mahasiswa SBM dan MBA; dalam setiap
pertimbangan pembangunan bisnis, hendaknya faktor dampak lingkungan alamiah dan sosial (termasuk
didalamnya kearifan budaya lokal) perlu diperhitungkan dan bahkan, diprioritaskan.

Copyright 2008 Institut Teknologi Bandung

2/2

Anda mungkin juga menyukai