ABSTRAK
PENERAPAN BIAYA EKSTERNALITAS DALAM BIAYA PEMBANGKITAN LISTRIK DI
INDONESIA. Melalui kebijakan pemerintah dalam mempercepat pembangunan pembangkitan listrik
10.000 MW dengan menggunakan berbahan bakar batu bara sampai tahun 2011, kemudian
dilanjutkan kebijakan berikutnya dalam pembangunan 1.000 MWe untuk memenuhi permintaan
listrik Indonesia sampai tahun 2015. Pertimbangan lingkungan akan diambil. Pertimbangan
lingkungan menjadi masalah tersendiri dalam pembangkitanan listrik yang sedang beroperasi
maupun yang akan dibangun. International Atomic Energy Agency telah mengembangkan model
untuk menentukan dampak pencemaran udara yang ditimbulkan dan menentukan biaya eksternalitas
khususnya dampak kesehatan akibat adanya kegiatan pembangkitan listrik dan estimasi biaya
eksternalitas untuk emisi polutan yang terdiri atas PM10, SO2, NO2. Model ini dikenal sebagai model
SIMPACTs (Simulation Impacts). Model ini memperlihatkan perhitungan biaya eksternalitas dalam
bentuk Chronic Morbidity, Acute Mortality dan Respiratory Health Admission. Semakin besar
kapasitas pembangkitan listrik dan semakin baru operasi pembangkitan listrik maka akan semakin
kecil biaya eksternalitasnya. Penerapan biaya eksternalitas di berbagai negara terbukti efisien, wajar,
insentif, dan dapat dilaksanakan. Diharapkan penerapan biaya eksternalitas ini dapat dilaksanakan
pada masa yang akan datang di Indonesia
Kata kunci: biaya eksternalitas, emisi, biaya pembangkitanan listrik
ABSTRACT
APPLICATION OF EXTERNALITY COST IN INDONESIAN POWER PLANTS. Through
Goverment policy in accelerating construction of 10,000.00 MWe Power Plant by consuming coal
fuel until 2011, then continuing the further policy of construction of 10,000.00 MWe to meet
electricity demand in Indonesia by 2014. Consideration of environment impact will be taken.
Enviroment consideration will be concerned in existing power plant and under construction one.
Badan Tenaga Atom Internasional have developed a model in elaborating its air emision impact and
estimating externality cost in term of human health due to pollutants such as PM10, SO2, NO2. This
model was known as SIMPACTs (Simulation Impact). It shows the calculation the externality cost in
Chronical Morbidity, Acute Mortality and Respiratory Health Admission. The larger of power plant
capacicy and newer of power plant opertion will lower externality cost. Application of externality cost
in many countries made it efficient, feasible, insentive and applicable. Application of externalitiy cost
will hopefully be introduced in the future for Indonsian Power Plants.
Keywords: externality cost, emission, power generating cost
1. PENDAHULUAN
Data tingkat kematian dini (premature death) di dunia pada umumnya akibat polusi
udara pada tiap tahunnya semakin meningkat. Apabila tidak ada usaha untuk
mengendalikan pencemaran udara tersebut diperkirakan akan bertambah, oleh karena itu
diperlukan kerjasama antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat. Perusahaan dalam
mengelola usahanya tidak terlepas dari kondisi konsumen atau masyarakat dan lingkungan
yang terkena dampak dari kegiatan tersebut. Namun apabila ada suatu produk yang
digunakan secara bebas tanpa mengeluarkan biaya atau membelinya, maka hal tersebut
akan menimbulkan faktor eksternalitas dalam perhitungannya. Faktor eksternalitas akan
menimbulkan masalah tersendiri khususnya bagi masyarakat yang mengkonsumsi atau
yang terkena dampak dari kegiatan tersebut. Pemecahan masalahnya tergantung dari
kesepakatan antara pemilik perusahaan dengan masyarakat di sekitar perusahaan tersebut,
yaitu dengan memasukkan kedalam biaya, artinya pemilik perusahaan akan membayar
biaya yang sudah disepakati dengan masyarakat akibat dampak yang ditimbulkannya,
dalam kasus ini disebut biaya eksternalitas. Oleh karena itu perlu ukuran yang akan
berdampak menguntungkan baik pemilik perusahaan tersebut maupun bagi masyarakat.
Pembangkitan listrik mengeluarkan berbagai macam polusi yang menyebabkan
terjadinya kerusakan pada kesehatan manusia, ekosistem alam, pertanian dan bahan
bangunan. Apabila biaya setiap kerusakan tidak dihitung dalam harga listrik, maka hal ini
disebut biaya eksternalitas. Estimasi biaya eksternalitas sangat penting digunakan dalam
pengambilan keputusan. International Atomic Energy Agency (IAEA) tahun 1998 telah
mengembangkan metodologi untuk menghitung biaya kesehatan manusia akibat kegiatan
pembangkitan listrik, model tersebut dinamakan B-GLAD. Kemudian pada tahun 2002
model ini telah disempurnakan menjadi model SIMPACTS yang merupakan model yang
telah disempurnakan dan menjadi versi windows yang telah dikembangkan dinegara Eropa.
Model ini mempunyai rincian model diantaranya model AIRPACT yang akan menghitung
dampak kerusakan lingkungan akibat polusi udara yang disebabkan oleh beberapa emisi,
pada kasus ini yaitu Particulate (PM10), SO2 dan NO2 yang merupakan akibat dari kegiatan
pembangkitan listrik. Kerusakan dampak lingkungan akan menimbulkan dampak
kesehatan manusia, hasil pertanian dan bangunan. Dampak tersebut akan dinilai secara
ekonomi dengan memperhitungkan GDP (Gross Domestic Product) dan daya beli masyarakat
(Power Purchasing Parity), sehingga hasil perhitungannya mencerminkan keadaan yang
sesungguhnya terjadi.
Pada beberapa negara maju, perhitungan biaya eksternalitas sudah dilakukan dan
perhitungan tersebut bermanfaat untuk kepentingan semua pihak baik pemerintah,
masyarakat maupun perusahaan itu sendiri. Di negara berkembang seperti Indonesia
penggunaan biaya eksternalitas pada umumnya belum ada yang melakukan, akan tetapi
seiring dengan pertumbuhan ekonomi, juga tuntutan globalisasi tentang pembangunan
yang berwawasan lingkungan maka untuk masa yang akan datang akan sangat diperlukan.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar fosil khususnya batubara,
adalah salah satu kegiatan pembangkitan tenaga listrik milik Perusahaan Umum Listrik
Negara (PLN) yang sekarang bernama Indonesia Power dan Pembangkitan Jawa Bali, yang
berada di Pulau Jawa, dan Bali juga tidak lepas dari masalah lingkungan, khususnya dalam
menangani permasalahan pencemaran udara yang ditimbulkannya, letaknya yang berada di
Pulau Jawa khususnya propinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur belum
diterapkannya perhitungan biaya eksternalitas pada perusahaan pembangkitan listrik
tersebut, merupakan salah satu alasan untuk mengambil kasus ini.
2. METODOLOGI
Analisis dalam penelitian ini menggunakan Impact Pathways Assessment (IPA)[1] yaitu:
menentukan Sumber Karakteristik. Pada tahap ini memasukkan data yang berhubungan
antara emisi dan pembangkit listrik, karakteristik bahan bakar, perubahan penyebab
pencemaran udara dari pembangkit listrik serta efisiensi dari alat pengendali polusi. Tujuan
menentukan sumber karakteristik pembangkit listrik adalah memasukkan faktor-faktor
yang diduga mempengaruhi pencemaran udara akibat kegiatan pembangkit listrik tersebut.
Ada empat sumber karakteristik yang akan dipertimbangkan, yaitu sumber lokasi, jenis
sumber emisi, parameter cerobong, dan emisi polutan.
2.1. Polutan Yang Terdispersi Udara
Daerah lokal yang dianalisis adalah wilayah lokal yang berjarak radius 50 km x 50 km
dari sumber emisi. Model penyebaran udara yang digunakan adalah Gaussian Plume
Atmospheric Dispersion yang dipakai untuk memperkirakan konsentrasi pada tempat atau
jarak tertentu. Pada prediksi ini dilakukan dengan asumsi bahwa konsentrasi diukur pada
kondisi maksimum di tanah. Pendekatan Model Gaussian ini menggunakan rumus sebagai
berikut:
Ct
Q exp
0,5( H / z )2 (1a)
y z
z = 0,36 X0,86 (1b)
z = 0,33 X0,86 (1c)
h = {7,4{h0,52) (FB) 0,52)]/[u] (1d)
Vs = [FL]/[( )(D/2)2(60)] (1e)
FB = 9,8(Vs)(D2/4)(Ts-Ta)/(273 + Ts) (1f)
H = h + h (2)
Keterangan:
Ct = Konsentrasi polutan rata-rata kurun waktu tertentu (t, jam) pada posisi (X, 0, 0)
(g/m3).
Q = Tingkat emisi polutan (g/detik)
= Rata-rata kecepatan angin yang dihitung pada ketinggian cerobong (meter/det).
u = Kecepatan angin rata-rata ditempat emisi (m/det).
y = Koefisien simpangan baku dispersi ke arah y (meter).
z = Koefisien simpangan baku dispersi ke arah z (meter).
H = Tinggi efektif plume center line (meter).
h = Tinggi kepulan asap, (meter).
h = Tinggi cerobong asap sesungguhnya, (meter).
u1 = Kecepatan angin (meter/det), pada ketinggian z1 (meter).
Vs = Kecepatan gas hasil pembakaran keluar dari cerobong (meter/det).
D = Diameter dalam bagian atas cerobong (meter).
FL = Laju alir gas hasil pembakaran (m3/menit).
FB = Buoyancy flux parameter Briggs.
Ts = Suhu gas keluar cerobong asap ( C).
Ta = Suhu udara ambient rata-rata ( C).
dimana :
a. ERF (Exposure Response Function) Slope adalah hubungan konsentrasi ambient
polutan yang menyebabkan dampak pencemaran udara pada penduduk
(kasus/(tahun.orang .g/m3))
b. IRR (Increased Risk Ratio) adalah perubahan (prosentase) pada suatu kasus dalam
suatu keterangan penyakit yang ada di kalangan penduduk pada tingkat nominal
keterangan penyakit per unit perubahan dalam konsentrasi ambient (prosentase
/g/m3).
c. Base line adalah tingkat nominal kasus dalam suatu keterangan penyakit pada
setiap jumlah kasus per orang ( kasus/ (tahun. orang).
d. Incident rate adalah tingkat setiap kasus per penduduk (kasus/(tahun.
penduduk)).
e. F pop adalah bagian dari jumlah total penduduk yang dipengaruhi oleh kesehatan.
(orang).
D = P x C x ERF (5)
dimana:
D : Kerusakan lingkungan oleh emisi polutan dari Pembangkit Listrik (kasus/tahun)
P : Jumlah penduduk pada lokasi (orang)
C : Tambahan konsentrasi emisi polutan pada lokasi (g/m3)
ERF: Koefisien fungsi Exposure-Response, (jumlah kasus kejadian per kapita per 1 g/m3)
cerobong tersebut dan akan dikeluarkan cerobong dalam keadaan sudah tersebar sehingga
akan semakin terdispersi saat dikeluarkan dicerobong, sehingga dapat mengurangi dampak
pencemaran udara diwilayah sekitar. Sementara kecepatan aliran gas semakin tinggi, maka
emisi polutan yang dikeluarkan akan semakin tinggi dan terdispersi ke udara sehingga
menyebabkan turunnya dampak pencemaran udara ke wilayah sekitar. Adapun suhu
udara, yang semakin tinggi maka akan lebih cepat menguraikan partikel dan gas ke udara
sehingga dampak kerusakan di wilayah sekitar juga dapat dikurangi.
memutuskan berapa biaya yang harus dikeluarkan kepada masyarakat apabila PLTU
dioperasikan. Disamping itu memasukkan biaya eksternalitas kedalam biaya pembangkit
juga dapat memperkecil pembebanan kewajiban lainnya seperti pajak. Sementara pihak
masyarakat dapat menghitung berapa dana yang harus diterima, sehingga dalam kegiatan
operasional PLTU tidak ada kecurigaan dan konflik diantara berbagai pihak. Dari Tabel 3
dapat dilihat bahwa biaya eksternalitas PLTU percepatan menunjukkan rata-rata sebesar
0,088 cent.$/kWh sampai dengan 0,110 cent.$/kWh. Biaya rata-rata eksternalitas tertinggi
dihasilkan oleh PLTU Rembang selanjutnya PLTU Tuban dan PLTU Banten serta PLTU
Indramayu.
Nilai insentif bagi perusahaan dapat dilihat dari penetapan biaya eksternalitas yang
dilakukan oleh setiap perusahaan, yang bagi perusahaan dapat menimbulkan rangsangan
untuk hati-hati terhadap tingkat emisi polutan yang dihasilkan agar selalu terkendali,
dengan demikian sekaligus dapat membantu untuk terwujudnya pembangunan yang
berwawasan lingkungan. Biaya eksternalitas dapat dilaksanakan diberbagai negara, terbukti
dengan diterapkannya biaya eksternalitas di negara-negara maju seperti USA, Uni Eropa
dan negara maju lainnya, dan tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan biaya
eksternalitas ini di negara Indonesia. Untuk data biaya eksternalitas dari beberapa Negara
dapat dilihat pada Tabel 5.
DAFTAR PUSTAKA
[1] SPADARO J.V, Airpacts Manual, International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria,
2002.
[2] THANH, B.D, Thailand Externality Study, Planning and Economic Studies Section
International Atomic Energy Agency, 2000.
[3] BMG, Data Meteorologi Dalam Satu Tahun PLTU Banten, 2010.
[4] BMG, Data Meteorologi Dalam Satu Tahun PLTU Indramayu, 2010.
[5] BMG, Data Meteorologi Dalam Satu Tahun PLTU Rembang, 2010.
[6] BMG, Data Meteorologi Dalam Satu Tahun PLTU Tuban, 2010.
[7] AGUS, SUGIYONO, Biaya Eksternal dari Pembangkit Listrik Batubara, 2005.
[8] EUR, External Costs of Electricity Generation, 2003.
DISKUSI
1. Pertanyaan dari Sdr. Sahala (PPEN-BATAN):
a. Harga eksternalitas 48 mills/kWh (4,8 cent$/kWh) kalau dibandingkan dengan PLTU
dan pembangkit lain, PLTU tidak akan bersaing.
b. Apa beda carbon tax dan eksternalitas?
Jawaban:
a. Benar, harga eksternalitas 48 mills/kWh tersebut berasal dari studi kasus PLTU
Suralaya. Dimana biaya tersebut terbagi 2 yaitu biaya emisi sebesar 2,34 mills/kWh
dan biaya/pajak karbon sebesar 2,55 cent/kWh. Sehingga total biaya eksternalitas
ialah 4,89 cent/kWh. Hasil ini relatif sama dengan studi di negara-negara Eropa
dimana biaya eksternalitas sebesar 4,633 cent/kWh
b. Sebenarnya biaya eksternalitas ada 2 yaitu biaya emisi dan biaya karbon. Biaya
emisi dihitung dari polutan seperti PM10, SOx, dan NOx. Sementara emisi karbon
berasal dari polusi CO2 yang ditandai dengan pengenaan pajak karbon. Jadi carbon
tax adalah bagian dari eksternalitas.