Anda di halaman 1dari 11

Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011

Pusat Pengembangan Energi Nuklir


Badan Tenaga Nuklir Nasional

PENERAPAN BIAYA EKSTERNALITAS DALAM BIAYA


PEMBANGKITAN LISTRIK DI INDONESIA

Mochamad Nasrullah, Masdin


Pusat Pengembangan Energi Nuklir (PPEN)-BATAN
Jl. Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta 12710
Telp./Fax.: 021-5204243, Email: nasr@batan.go.id

ABSTRAK
PENERAPAN BIAYA EKSTERNALITAS DALAM BIAYA PEMBANGKITAN LISTRIK DI
INDONESIA. Melalui kebijakan pemerintah dalam mempercepat pembangunan pembangkitan listrik
10.000 MW dengan menggunakan berbahan bakar batu bara sampai tahun 2011, kemudian
dilanjutkan kebijakan berikutnya dalam pembangunan 1.000 MWe untuk memenuhi permintaan
listrik Indonesia sampai tahun 2015. Pertimbangan lingkungan akan diambil. Pertimbangan
lingkungan menjadi masalah tersendiri dalam pembangkitanan listrik yang sedang beroperasi
maupun yang akan dibangun. International Atomic Energy Agency telah mengembangkan model
untuk menentukan dampak pencemaran udara yang ditimbulkan dan menentukan biaya eksternalitas
khususnya dampak kesehatan akibat adanya kegiatan pembangkitan listrik dan estimasi biaya
eksternalitas untuk emisi polutan yang terdiri atas PM10, SO2, NO2. Model ini dikenal sebagai model
SIMPACTs (Simulation Impacts). Model ini memperlihatkan perhitungan biaya eksternalitas dalam
bentuk Chronic Morbidity, Acute Mortality dan Respiratory Health Admission. Semakin besar
kapasitas pembangkitan listrik dan semakin baru operasi pembangkitan listrik maka akan semakin
kecil biaya eksternalitasnya. Penerapan biaya eksternalitas di berbagai negara terbukti efisien, wajar,
insentif, dan dapat dilaksanakan. Diharapkan penerapan biaya eksternalitas ini dapat dilaksanakan
pada masa yang akan datang di Indonesia
Kata kunci: biaya eksternalitas, emisi, biaya pembangkitanan listrik

ABSTRACT
APPLICATION OF EXTERNALITY COST IN INDONESIAN POWER PLANTS. Through
Goverment policy in accelerating construction of 10,000.00 MWe Power Plant by consuming coal
fuel until 2011, then continuing the further policy of construction of 10,000.00 MWe to meet
electricity demand in Indonesia by 2014. Consideration of environment impact will be taken.
Enviroment consideration will be concerned in existing power plant and under construction one.
Badan Tenaga Atom Internasional have developed a model in elaborating its air emision impact and
estimating externality cost in term of human health due to pollutants such as PM10, SO2, NO2. This
model was known as SIMPACTs (Simulation Impact). It shows the calculation the externality cost in
Chronical Morbidity, Acute Mortality and Respiratory Health Admission. The larger of power plant
capacicy and newer of power plant opertion will lower externality cost. Application of externality cost
in many countries made it efficient, feasible, insentive and applicable. Application of externalitiy cost
will hopefully be introduced in the future for Indonsian Power Plants.
Keywords: externality cost, emission, power generating cost

1. PENDAHULUAN
Data tingkat kematian dini (premature death) di dunia pada umumnya akibat polusi
udara pada tiap tahunnya semakin meningkat. Apabila tidak ada usaha untuk
mengendalikan pencemaran udara tersebut diperkirakan akan bertambah, oleh karena itu
diperlukan kerjasama antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat. Perusahaan dalam

ISSN 1979-1208 335


Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011
Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional

mengelola usahanya tidak terlepas dari kondisi konsumen atau masyarakat dan lingkungan
yang terkena dampak dari kegiatan tersebut. Namun apabila ada suatu produk yang
digunakan secara bebas tanpa mengeluarkan biaya atau membelinya, maka hal tersebut
akan menimbulkan faktor eksternalitas dalam perhitungannya. Faktor eksternalitas akan
menimbulkan masalah tersendiri khususnya bagi masyarakat yang mengkonsumsi atau
yang terkena dampak dari kegiatan tersebut. Pemecahan masalahnya tergantung dari
kesepakatan antara pemilik perusahaan dengan masyarakat di sekitar perusahaan tersebut,
yaitu dengan memasukkan kedalam biaya, artinya pemilik perusahaan akan membayar
biaya yang sudah disepakati dengan masyarakat akibat dampak yang ditimbulkannya,
dalam kasus ini disebut biaya eksternalitas. Oleh karena itu perlu ukuran yang akan
berdampak menguntungkan baik pemilik perusahaan tersebut maupun bagi masyarakat.
Pembangkitan listrik mengeluarkan berbagai macam polusi yang menyebabkan
terjadinya kerusakan pada kesehatan manusia, ekosistem alam, pertanian dan bahan
bangunan. Apabila biaya setiap kerusakan tidak dihitung dalam harga listrik, maka hal ini
disebut biaya eksternalitas. Estimasi biaya eksternalitas sangat penting digunakan dalam
pengambilan keputusan. International Atomic Energy Agency (IAEA) tahun 1998 telah
mengembangkan metodologi untuk menghitung biaya kesehatan manusia akibat kegiatan
pembangkitan listrik, model tersebut dinamakan B-GLAD. Kemudian pada tahun 2002
model ini telah disempurnakan menjadi model SIMPACTS yang merupakan model yang
telah disempurnakan dan menjadi versi windows yang telah dikembangkan dinegara Eropa.
Model ini mempunyai rincian model diantaranya model AIRPACT yang akan menghitung
dampak kerusakan lingkungan akibat polusi udara yang disebabkan oleh beberapa emisi,
pada kasus ini yaitu Particulate (PM10), SO2 dan NO2 yang merupakan akibat dari kegiatan
pembangkitan listrik. Kerusakan dampak lingkungan akan menimbulkan dampak
kesehatan manusia, hasil pertanian dan bangunan. Dampak tersebut akan dinilai secara
ekonomi dengan memperhitungkan GDP (Gross Domestic Product) dan daya beli masyarakat
(Power Purchasing Parity), sehingga hasil perhitungannya mencerminkan keadaan yang
sesungguhnya terjadi.
Pada beberapa negara maju, perhitungan biaya eksternalitas sudah dilakukan dan
perhitungan tersebut bermanfaat untuk kepentingan semua pihak baik pemerintah,
masyarakat maupun perusahaan itu sendiri. Di negara berkembang seperti Indonesia
penggunaan biaya eksternalitas pada umumnya belum ada yang melakukan, akan tetapi
seiring dengan pertumbuhan ekonomi, juga tuntutan globalisasi tentang pembangunan
yang berwawasan lingkungan maka untuk masa yang akan datang akan sangat diperlukan.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar fosil khususnya batubara,
adalah salah satu kegiatan pembangkitan tenaga listrik milik Perusahaan Umum Listrik
Negara (PLN) yang sekarang bernama Indonesia Power dan Pembangkitan Jawa Bali, yang
berada di Pulau Jawa, dan Bali juga tidak lepas dari masalah lingkungan, khususnya dalam
menangani permasalahan pencemaran udara yang ditimbulkannya, letaknya yang berada di
Pulau Jawa khususnya propinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur belum
diterapkannya perhitungan biaya eksternalitas pada perusahaan pembangkitan listrik
tersebut, merupakan salah satu alasan untuk mengambil kasus ini.

2. METODOLOGI
Analisis dalam penelitian ini menggunakan Impact Pathways Assessment (IPA)[1] yaitu:
menentukan Sumber Karakteristik. Pada tahap ini memasukkan data yang berhubungan
antara emisi dan pembangkit listrik, karakteristik bahan bakar, perubahan penyebab
pencemaran udara dari pembangkit listrik serta efisiensi dari alat pengendali polusi. Tujuan
menentukan sumber karakteristik pembangkit listrik adalah memasukkan faktor-faktor

ISSN 1979-1208 336


Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011
Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional

yang diduga mempengaruhi pencemaran udara akibat kegiatan pembangkit listrik tersebut.
Ada empat sumber karakteristik yang akan dipertimbangkan, yaitu sumber lokasi, jenis
sumber emisi, parameter cerobong, dan emisi polutan.
2.1. Polutan Yang Terdispersi Udara
Daerah lokal yang dianalisis adalah wilayah lokal yang berjarak radius 50 km x 50 km
dari sumber emisi. Model penyebaran udara yang digunakan adalah Gaussian Plume
Atmospheric Dispersion yang dipakai untuk memperkirakan konsentrasi pada tempat atau
jarak tertentu. Pada prediksi ini dilakukan dengan asumsi bahwa konsentrasi diukur pada
kondisi maksimum di tanah. Pendekatan Model Gaussian ini menggunakan rumus sebagai
berikut:

Ct
Q exp
0,5( H / z )2 (1a)
y z
z = 0,36 X0,86 (1b)
z = 0,33 X0,86 (1c)
h = {7,4{h0,52) (FB) 0,52)]/[u] (1d)
Vs = [FL]/[( )(D/2)2(60)] (1e)
FB = 9,8(Vs)(D2/4)(Ts-Ta)/(273 + Ts) (1f)

H = h + h (2)

Keterangan:
Ct = Konsentrasi polutan rata-rata kurun waktu tertentu (t, jam) pada posisi (X, 0, 0)
(g/m3).
Q = Tingkat emisi polutan (g/detik)
= Rata-rata kecepatan angin yang dihitung pada ketinggian cerobong (meter/det).
u = Kecepatan angin rata-rata ditempat emisi (m/det).
y = Koefisien simpangan baku dispersi ke arah y (meter).
z = Koefisien simpangan baku dispersi ke arah z (meter).
H = Tinggi efektif plume center line (meter).
h = Tinggi kepulan asap, (meter).
h = Tinggi cerobong asap sesungguhnya, (meter).
u1 = Kecepatan angin (meter/det), pada ketinggian z1 (meter).
Vs = Kecepatan gas hasil pembakaran keluar dari cerobong (meter/det).
D = Diameter dalam bagian atas cerobong (meter).
FL = Laju alir gas hasil pembakaran (m3/menit).
FB = Buoyancy flux parameter Briggs.
Ts = Suhu gas keluar cerobong asap ( C).
Ta = Suhu udara ambient rata-rata ( C).

2.2. Menentukan Exposure-Response Function (ERF)


Untuk perhitungan ERF[1] dapat digunakan rumus sebagai berikut:

ERF Slope = IRR x Incidence rate x F pop (3)

Atau juga bisa dirumuskan

ERF Slope = IRR x Base Line (4)

ISSN 1979-1208 337


Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011
Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional

dimana :
a. ERF (Exposure Response Function) Slope adalah hubungan konsentrasi ambient
polutan yang menyebabkan dampak pencemaran udara pada penduduk
(kasus/(tahun.orang .g/m3))
b. IRR (Increased Risk Ratio) adalah perubahan (prosentase) pada suatu kasus dalam
suatu keterangan penyakit yang ada di kalangan penduduk pada tingkat nominal
keterangan penyakit per unit perubahan dalam konsentrasi ambient (prosentase
/g/m3).
c. Base line adalah tingkat nominal kasus dalam suatu keterangan penyakit pada
setiap jumlah kasus per orang ( kasus/ (tahun. orang).
d. Incident rate adalah tingkat setiap kasus per penduduk (kasus/(tahun.
penduduk)).
e. F pop adalah bagian dari jumlah total penduduk yang dipengaruhi oleh kesehatan.
(orang).

2.3. Perhitungan Dampak Kerusakan Lingkungan (Kesehatan Manusia)


Untuk menghitung dampak kerusakan lingkungan, dihitung dengan menggunakan
rumus[2].

D = P x C x ERF (5)

dimana:
D : Kerusakan lingkungan oleh emisi polutan dari Pembangkit Listrik (kasus/tahun)
P : Jumlah penduduk pada lokasi (orang)
C : Tambahan konsentrasi emisi polutan pada lokasi (g/m3)
ERF: Koefisien fungsi Exposure-Response, (jumlah kasus kejadian per kapita per 1 g/m3)

2.4. Perhitungan Biaya Eksternalitas Dampak Kerusakan Lingkungan


Dengan adanya hasil perhitungan kerusakan lingkungan (dampak kesehatan bagi
manusia), maka kemudian akan dihitung dalam bentuk uang (monetary valuation) berupa
biaya eksternalitas. Pada kasus ini perhitungan biaya eksternalitas [2] ini dirumuskan sebagai
berikut:
WTP = E (DM , Y) (6)

Atau bisa juga digunakan perhitungan biaya eksternalitas

MD = D x B x (DM Y1 / DM Y2) (7)


dimana:
WTP : Willingnes to Pay atau kesediaan untuk membayar.
E : fungsi pengeluaran.
D : Kerusakan lingkungan oleh emisi polutan dari Pembangkit Listrik (kasus/tahun).
DM : Daya Beli Masyarakat (US$).
Y : Pendapatan Individu (US$).
B : Biaya Kesehatan (US$)
Y1 : Pendapatan Propinsi 1 (US$)
Y2 : Pendapatan Propinsi 2 (US$)
MD : Monetary Damage (Biaya eksternalitas) Daerah penelitian dan sekitarnya
(US$/kasus/tahun)
: elastisitas yang digunakan

ISSN 1979-1208 338


Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011
Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional

2.5. Asumsi dan Data untuk Biaya Eksternalitas


Sebelum data penelitian ini dianalisis maka perlu dilakukan pengelompokkan
meliputi jenis dan sumber data yang digunakan pada model, hal ini dapat disajikan pada
Tabel 1.

Tabel 1. Jenis Dan Sumber Data Dalam Menentukan Biaya Eksternalitas


No Jenis Data Satuan PLTU PLTU PLTU PLTU
Banten [3] Rembang [4] Tuban, [6] Indramayu, [5]
1 Parameter Cerobong:
Titik koordinat () 10549 BT 110 BT 11200 BT 11159 BT
623 LS 630 LS 648 LS 648 LS
Sumber lokasi Kode 2 2 2 2
Tinggi cerobong m 215 215 215 215
Diameter cerobong m 7,5 7,5 7,5 7,5
Kecepatan aliran gas m/det 25 25 25 25
Suhu gas ( K) 407 407 407 407
2 Data Meteorologi:
Arah angin Dominan Dominan Dominan Dominan
dari utara barat laut- tenggara- selatan-barat
dan barat tenggara timur daya
Kecepatan angin rata- m/det 2,40 2,22 2,50 2,00
rata
Suhu udara ambient ( C) 31,91 27,50 34,74 27,50
Pasquill Stability Class Kelas C Kelas C Kelas C Kelas C
Rural Mixing Height m 200-560 200-560 200-560 200-560
Urban Mixing Height m 200-560 200-560 200-560 200-560
3 Tingkat Emisi Polutan:
Partikulat ton/ thn 126.262 168.349 147.306 208.332
NO2 ton/ thn 19.728 26.305 23.016 32.552
SO2 ton/ thn 12.370 16.493 20.554 21.647
4 Depletion Velocity
Partikulat cm/det 231,1 222 251 400
NO2 cm/det 231,1 222 251 400
SO2 cm/det 231,1 222 251 400
Keternangan: thn = tahun, det. = detik

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Setelah dilakukan pengolahan data dengan menggunakan model, maka hasil dan
pembahasannya adalah sebagai berikut:

3.1. Mengidentifikasi Parameter yang Berhubungan dengan PLTU yang Diduga


Mempengaruhi Pencemaran Udara.
Parameter yang diduga mempengaruhi kualitas udara yang berhubungan dengan
pembangkit listrik sesuai dengan model yang digunakan, diantaranya adalah sumber lokasi,
parameter cerobong, kecepatan aliran gas, jenis sumber emisi dan emisi polutan. Sumber
koordinat, yaitu berupa berapa derajat () letak atau posisi sumber lokasi yang menjadi
penelitian akan menentukan tingkat pencemaran udara, hal ini disebabkan pengaruh
kecepatan angin, arah angin, suhu udara, curah hujan, kelembaban nisbi udara yang pada
tiap-tiap wilayah akan berbeda-beda hasilnya.
Pencemaran udara yang terjadi dipengaruhi ketinggian cerobong, hal ini disebabkan
semakin tinggi cerobong, emisi polutan akan semakin terdispersi ke udara dan bergerak
semakin menjauh dari sumber lokasi sehingga dampak kerusakan yang terjadi pada
penduduk disekitar lokasi juga akan semakin kecil. Sedangkan semakin lebar diameter
cerobong maka emisi polutan yang dikeluarkan cerobong akan semakin terdispersi di dalam

ISSN 1979-1208 339


Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011
Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional

cerobong tersebut dan akan dikeluarkan cerobong dalam keadaan sudah tersebar sehingga
akan semakin terdispersi saat dikeluarkan dicerobong, sehingga dapat mengurangi dampak
pencemaran udara diwilayah sekitar. Sementara kecepatan aliran gas semakin tinggi, maka
emisi polutan yang dikeluarkan akan semakin tinggi dan terdispersi ke udara sehingga
menyebabkan turunnya dampak pencemaran udara ke wilayah sekitar. Adapun suhu
udara, yang semakin tinggi maka akan lebih cepat menguraikan partikel dan gas ke udara
sehingga dampak kerusakan di wilayah sekitar juga dapat dikurangi.

3.2. Menghitung Emisi Polutan yang Terdispersi Udara


Emisi polutan yang terdispersi udara dihitung dengan menggunakan data
meteorologi berupa data arah angin, kecepatan angin, suhu udara ambient, pasquill stability
class, rural mixing height, urban mixing height. Data meteorologi tersebut diambil dalam
setahun dan terperinci dari setiap jam, setiap hari, setiap bulan. Setelah didapatkan dan
dimasukkan data meteorologi tersebut pada model, maka dengan model Gaussian yang
sudah diprogram pada model bersama data lain akan dihitung rata-rata konsentrasi emisi
polutan yang digunakan untuk mendapatkan dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh
emisi polutan akibat kegiatan PLTU tersebut.
Dampak kerusakan lingkungan yang terjadi disebabkan oleh emisi polutan yang
terdispersi udara dapat menimpa penduduk (local population), untuk local population dihitung
dari jumlah penduduk, luas area wilayah dan kepadatan penduduk (local density) di sekitar
sumber lokasi PLTU tersebut dihitung dari 50 km dari sumber lokasi, pada tahun 2010.
Pada parameter ini juga dianalisis inventory pollutant yaitu spesifikasi data polutan berupa
tingkat emisi polutan (ton/tahun) terdiri atas particulate (debu), gas SO2 dan NO2, selanjutnya
dihitung pula depletion velocity (cm/detik). Kemudian hasilnya dikonversi sehingga bisa
masuk ke dalam model. Pada studi ini menggunakan data inventory polutant tahun 2008
(Tabel 2)
Tabel 2. Perhitungan Emisi PLTU
PLTU PLTU PLTU PLTU
Keterangan Satuan Indramayu Rembang Tuban Labuhan
Kadar Nitrogen % 1,10 1,10 1,10 1,10
Kadar Abu % 8,00 5,00 8,00 8,00
Kadar Sulfur % 0,35 0,33 0,47 0,33
Nilai Kalor BTU/Lb 11000 11000 11000 11000
Daya MWe 990 800 700 600
Efisiensi Thermal % 34 34 34 34
Besar emisi
Partikulat (abu) Ton/tahun 208332 105218 147306 126262
NO2 Ton/tahun 32552 26305 23016 19728
SO2 Ton/tahun 21647 16493 20554 12370

3.3. Biaya Eksternalitas Dari Pembangkitan Listrik


Dalam upaya pengendalian pencemaran udara secara efektif melalui kebijakan
lingkungan oleh Pemerintah, maka perlu memasukkan biaya eksternalitas. Pembebanan
biaya eksternalitas ini terbukti efisien, wajar, insentif, dapat dilaksanakan dan pertimbangan
moral dari berbagai kebijakan pengendalian polusi yang diterapkan.
Apabila digunakan biaya eksternalitas pada setiap perusahaan, khususnya
Perusahaan Pembangkit, maka efisiensi perusahaan dapat terwujud baik dari tenaga, biaya
dan waktu, baik Pemerintah maupun Perusahaan tidak perlu mengkaji dan membuat
perencanaan secara rumit, dengan ditentukan biaya eksternalitas dapat dengan cepat

ISSN 1979-1208 340


Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011
Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional

memutuskan berapa biaya yang harus dikeluarkan kepada masyarakat apabila PLTU
dioperasikan. Disamping itu memasukkan biaya eksternalitas kedalam biaya pembangkit
juga dapat memperkecil pembebanan kewajiban lainnya seperti pajak. Sementara pihak
masyarakat dapat menghitung berapa dana yang harus diterima, sehingga dalam kegiatan
operasional PLTU tidak ada kecurigaan dan konflik diantara berbagai pihak. Dari Tabel 3
dapat dilihat bahwa biaya eksternalitas PLTU percepatan menunjukkan rata-rata sebesar
0,088 cent.$/kWh sampai dengan 0,110 cent.$/kWh. Biaya rata-rata eksternalitas tertinggi
dihasilkan oleh PLTU Rembang selanjutnya PLTU Tuban dan PLTU Banten serta PLTU
Indramayu.

Tabel 3. Perbandingan Biaya Eksternalitas Pada Pembangkit Listrik Berbahan Bakar


Fosil dari Studi Kasus (cents/kWh)
Parameter Satuan PLTU PLTU PLTU PLTU
Banten Indramayu Rembang Tuban
Kapasitas MWe 600 990 630 700
Pembangkit
Jam Operasi Jam 7.008 7.008 7.008 7.008
Faktor kapasitas % 80% 80% 80% 80%
Biaya Eksternalitas (juta US$) 3,689 6,087 4,872 4,334
Biaya Eksternalitas US$/kWh 0,001 0,001 0,001 0,001
Biaya Eksternalitas cents/kWh 0,088 0,088 0,110 0,088
Biaya Eksternalitas mills/kWh 0,8775 0,8774 1,1036 0,8835

Tabel 4 menunjukkan biaya eksternalitas terendah sebesar 0,182 cents$/kWh dan


biaya eksternalitas tertinggi sebesar 2,34 cents.$/kWh serta biaya rata-rata eksternalitas PLTU
Suralaya sebesar 0.646 cent.$/kWh, sedangkan pada Tabel 3 rata-rata biaya ekseternalitas
PLTU percepatan berkisar antara 0,088 cent.$/kWh sampai dengan 0,11 cent.$/kWh. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata biaya eksternalitas PLTU Suralaya lebih besar 7
kali dibandingkan hasil perhitungan studi kasus yang diteliti. Hal ini disebabkan PLTU
percepatan belum beroperasi dan hanya berdasarkan data asumsi sehingga wajar jika biaya
eksternalitasnya jauh lebih kecil dibandingkan biaya eksternalitas PLTU Suralaya yang telah
lama beroperasi
Tabel 4. Biaya Eksternalitas PLTU Suralaya[7]
Biaya Eksternal (cent.$/kWh)
Batas Bawah 68% Batas Atas 68%
Polutan Dampak Fisik
Rata-rata confidence confidence
internal interval
PM10 Kematian 0.0434 0.0109 0.174
Keadaan tidak
sehat 0.0186 0.00620 0.0558
SO2 Kematian 0.00615 0.00103 0.0369
Keadaan tidak
sehat 0.000125 0.000042 0.000375
NOx Kematian 0.00274 0.000457 0.0164
Keadaan tidak
sehat 0.000056 0.000019 0.000168
Sulfat Kematian 0.163 0.0408 0.652
Keadaan tidak
sehat 0.167 0.0557 0.501
Nitrat Kematian 0.171 0.0428 0.684
Keadaan tidak
sehat 0.0735 0.0245 0.221
Total 0.646 0.182 2.34
Sumber : Wilde dkk (2003)

ISSN 1979-1208 341


Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011
Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional

Nilai insentif bagi perusahaan dapat dilihat dari penetapan biaya eksternalitas yang
dilakukan oleh setiap perusahaan, yang bagi perusahaan dapat menimbulkan rangsangan
untuk hati-hati terhadap tingkat emisi polutan yang dihasilkan agar selalu terkendali,
dengan demikian sekaligus dapat membantu untuk terwujudnya pembangunan yang
berwawasan lingkungan. Biaya eksternalitas dapat dilaksanakan diberbagai negara, terbukti
dengan diterapkannya biaya eksternalitas di negara-negara maju seperti USA, Uni Eropa
dan negara maju lainnya, dan tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan biaya
eksternalitas ini di negara Indonesia. Untuk data biaya eksternalitas dari beberapa Negara
dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Biaya Eksternalitas Pembangkit (minimum) di Berbagai Negara[8]


External Cost for Electricity (cent 97 / kWh.)
Country Coal &
Peat Oil Gas Nuclear Biomass Hydro PV Wind
Lignite
AT 1 2 0.1
BE Belgia 4 1 0.5
DE Denmark 3 5 1 0.2 1 0.6 0.05
DK 4 2 1 0.1
ES Eslandia 5 1 2 0.2
FI Finlandia 2 2 1
FR France 7 8 2 0.3 1 1
GR German 5 3 1 0 1 0.25
IE 8 3
IT Italy 3 2 0.3
NL Netherlands 3 1 0.7 0.5
NO Norway 1 0.2 0.2 0
PT 4 1 1.2 0.03
SE 2 0.3 0
UK England 4 3 1 0.25 1 0.15
AVERAGE 4.25 2.5 4.4 1.25 0.39 0.91 0.38 0.6 0.125

3.4. Menentukan Biaya Pembangkitan Listrik dengan Aspek Eksternalitas


Dalam penelitian ini dihitung electricity generating cost PLTU batubara dengan
mempertimbangkan aspek lingkungan. Secara realita perhitungan biaya pembangkitan
listrik tidak memperhitungkan aspek lingkungan, namun hanya memperhitungan total
jumlah biaya dari investasi, operasi dan perawatan serta biaya bahan bakar. Namun dengan
kebijakan pemerintah yang mengharuskan pembangkit listrik mempertimbangkan aspek
lingkungan, maka dalam penelitian ini biaya pembangkitan listrik dihitung dengan
mempertimbangkan aspek lingkungan. Aspek lingkungan ini yang diperhitungkan
diantaranya adalah biaya eksternalitas. Biaya eksternalitas terdiri atas biaya kerusakan
akibat pencemaran (polusi seperti PM10, SOx dan NOx) yang dikeluarkan pembangkit listrik,
mengingat dampak kesehatan, pertanian dan lainnya merupakan dampak yang merugikan
bagi manusia, terutama bagi penduduk disekitar pembangkit listrik tersebut. Juga aspek
lingkungan lain seperti dampak pemanasan global akibat pembakaran bahan bakar fosil
menjadi faktor yang dipertimbangkan juga dalam menghitung biaya pembangkitan listrik.
Carbon Tax merupakan salah satu cara mengurangi pemanasan global, oleh karena itu carbon
tax akan dipertimbangkan pula dalam perhitungan biaya pembangkit.
Dengan menggunakan data teknis dan ekonomi pembangkit listrik, dengan tahun
dasar 2010 dihitung biaya pembangkitan listrik PLTU batubara yang telah

ISSN 1979-1208 342


Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011
Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional

mempertimbangkan biaya eksternalitas. Model yang digunakan untuk menghitung biaya


pembangkitan listrik ini adalah mini G4Econs Model dari IAEA (International Atomic Energy
Agency) tahun 2008. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa biaya pembangkitan listrik jika
tanpa biaya eksternalitas pada PLTU batubara (Coal Power Plant) adalah CPP-1 57,61
mills$/kWh, CPP-2 61,25 mills.$/kWh, dan CPP-3 64,90 mills $/kWh. Berdasarkan referensi
dari beberapa Negara maju tentang nilai biaya eksternalitas (biaya yang dikeluarkan akibat
polusi yang dikeluarkan pembangkit listrik dan biaya karbon), maka nilai menunjukkan
rata-rata sebesar 46,33 mills US$/kWh atau 4.633 cents.$/kWh. Hasil perhitungan biaya
pembangkitan listrik jika telah mempertimbangkan biaya eksternalitas berdasarkan
referensi negara-negara maju adalah dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Biaya PLTU Batubara (mills.$/kWh) dengan Biaya Eksternalitas


46.33 mills.$/kWh
Jika berdasarkan referensi tahun 2003 biaya kerusakan akibat polusi yang dikeluarkan
oleh PM10, SOx dan NOx untuk kasus Indonesia, dalam hal ini diambil kasus di PLTU
Suralaya, Banten. Nilai biaya kerusakan akibat polusi menunjukkan sebesar 2,34 cents.$/kWh
atau 23,40 mills.$/kWh. Jika pada penelitian ini diasumsikan bahwa Carbon tax atau C biaya
capture/sequestration (Cost of carbon) adalah 110 $/MT C dan setara dengan pajak atau biaya
capture/sequestration dalam $/MT CO2 sebesar 30 $/MT CO2 dengan faktor yang berhubungan
dengan biaya per MT C ke biaya per MT CO2 sebesar 3,7 carbon tax. Hasil perhitungan
menunjukkan carbon tax untuk Indoensia sebesar 25,47 mills.U$/kWh. Dan jika ditambahkan
biaya kerusakan akibat polusi yang dikeluarkan oleh PM 10, SOx dan NOx maka biaya
pembangkitan listrik PLTU batubara (Coal Power Plant) adalah CPP-1 106,5 mills $/kWh,
CPP-2 110,1 mills $/kWh, dan CPP-3 113,8 mills $/kWh.

Gambar 2. Biaya PLTU Batubara (Mills$/Kwh) dengan Biaya Eksternalitas


48,87 Mills$/kWh

ISSN 1979-1208 343


Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011
Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan dapat dikemukakan
kesimpulan dan saran sebagai berikut;
4.1. Kesimpulan
a. Parameter yang berpengaruh terhadap pencemaran udara yang menghasilkan biaya
eksternalitas tidak hanya berasal dari dalam PLTU sendiri seperti sumber lokasi,
parameter cerobong, kecepatan aliran gas, jenis sumber emisi, emisi polutan,
kapasitas pembangkit listrik tetapi juga berasal dari luar PLTU seperti parameter
meteorologi seperti kecepatan angin, suhu udara, Exposure Response Function seperti
jumlah kasus penyakit pada penduduk, tingkat konsentrasi dampak pencemaran
udara pada emisi polutan dan biaya kesehatan seperti biaya rawat, biaya inap, biaya
gawat darurat dan lainnya.
b. Semakin besar kapasitas pembangkit listrik dan semakin baru operasi pembangkit
listrik maka akan semakin kecil biaya eksternalitasnya. Hasil perhitungan biaya
eksternalitas studi kasus kesehatan yang diteliti menunjukkan nilainya berkisar
antara 0,088 cent$/kWh sampai dengan 0,110 cent$/kWh, nilai ini lebih kecil apabila
dibandingkan dengan studi ExternE (Uni Eropa, 1998) yang menunjukkan nilai
sebesar 0,124 cents$/kWh sampai dengan 0,843 cents$/kWh. Jika dibandingkan
dengan studi biaya eksternalitas PLTU Suralaya tahun 2003, maka biaya
eksternalitas pada penelitian ini mendekati batas bawah biaya eksternalitas sebesar
0,182 cents$/kWh.
c. Berdasarkan studi yang pernah dilakukan di beberapa negara dan pengalaman
berbagai negara dalam menerapkan biaya eksternalnya, maka penerapan biaya
eksternalitas ini terbukti efisien, wajar, insentif, dapat dilaksanakan, dan
pertimbangan moral dari berbagai kebijakan pengendalian polusi yang akan
diterapkan di Indonesia.
4.2. Saran
a. Penentuan biaya eksternal sebaiknya tidak hanya pada kasus kesehatan saja, tetapi
diperluas lagi pembahasannya seperti dampak terhadap kualitas bangunan dan
pertanian sehingga hasilnya bisa lebih sempurna dan menyeluruh
b. Dalam penetapan biaya eksternalitas sebaiknya dibentuk peraturan yang bersifat
mengikat, dan melibatkan semua pihak mengingat peraturan di Indonesia sangat
longgar terutama dalam kesadaran para warga negaranya maupun dari
ketidaktegasan dalam hukumnya.

DAFTAR PUSTAKA
[1] SPADARO J.V, Airpacts Manual, International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria,
2002.
[2] THANH, B.D, Thailand Externality Study, Planning and Economic Studies Section
International Atomic Energy Agency, 2000.
[3] BMG, Data Meteorologi Dalam Satu Tahun PLTU Banten, 2010.
[4] BMG, Data Meteorologi Dalam Satu Tahun PLTU Indramayu, 2010.
[5] BMG, Data Meteorologi Dalam Satu Tahun PLTU Rembang, 2010.
[6] BMG, Data Meteorologi Dalam Satu Tahun PLTU Tuban, 2010.
[7] AGUS, SUGIYONO, Biaya Eksternal dari Pembangkit Listrik Batubara, 2005.
[8] EUR, External Costs of Electricity Generation, 2003.

ISSN 1979-1208 344


Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011
Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional

DISKUSI
1. Pertanyaan dari Sdr. Sahala (PPEN-BATAN):
a. Harga eksternalitas 48 mills/kWh (4,8 cent$/kWh) kalau dibandingkan dengan PLTU
dan pembangkit lain, PLTU tidak akan bersaing.
b. Apa beda carbon tax dan eksternalitas?

Jawaban:
a. Benar, harga eksternalitas 48 mills/kWh tersebut berasal dari studi kasus PLTU
Suralaya. Dimana biaya tersebut terbagi 2 yaitu biaya emisi sebesar 2,34 mills/kWh
dan biaya/pajak karbon sebesar 2,55 cent/kWh. Sehingga total biaya eksternalitas
ialah 4,89 cent/kWh. Hasil ini relatif sama dengan studi di negara-negara Eropa
dimana biaya eksternalitas sebesar 4,633 cent/kWh
b. Sebenarnya biaya eksternalitas ada 2 yaitu biaya emisi dan biaya karbon. Biaya
emisi dihitung dari polutan seperti PM10, SOx, dan NOx. Sementara emisi karbon
berasal dari polusi CO2 yang ditandai dengan pengenaan pajak karbon. Jadi carbon
tax adalah bagian dari eksternalitas.

ISSN 1979-1208 345

Anda mungkin juga menyukai