Home Visit Mas Robi
Home Visit Mas Robi
SKIZOFRENIA PARANOID
Diajukan Kepada:
dr. Ida Rochmawati, M.Sc, Sp.KJ
Disusun Oleh:
Syahidatul Arifa 20120310272
Fatimatus Solekhah 20120310152
1
LAPORAN HOME VISITE
SKIZOFRENIA PARANOID
Disusun oleh:
Syahidatul Arifa 20120310272
Fatimatus Solekhah 20120310152
2
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
1. PASIEN (AUTOANAMNESIS)
Nama : Sdr. RD
Umur : 26 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Paliyan
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Status : Belum menikah
Pendidikan : SMA
Suku : Jawa
Tgl Periksa : 10 April 2017
Tgl home Visit : 10 April 2017
B. ANAMNESIS
1. KELUHAN UTAMA
Dokter muda mengunjungi rumah pasien dengan riwayat pasien
menyendiri, dan mudah marah.
3
2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Dokter muda mengunjungi rumah pasien dengan riwayat paisen
suka menyendiri, suka keluar rumah dan mudah marah. Berdasarkan ayah
pasien, saat ini pasien sudah lebih baik. Pasien masih sering melamun
sendiri, terkadang tersenyum atau sendiri. Pasien lebih memilih untuk
menyendiri. Bila ada tetangganya yang berkumpul pasien tidak berinisiatif
untuk bergabung, lebih memilih menyendiri, kecuali bila diajak baru pasien
mau berkumpul meski tidak banyak bicara. Pasien memang memiliki
kepribadian yang menyendiri tidak banyak bicara, dan sangat tekun dalam
melakukan pekerjaannya.
Pasien tidak pernah marah-marah maupun bingung lagi. Menurut
pasien, ia sudah tidak pernah mendengar suara-suara yang menyuruh-
nyuruhnya untuk melakukan sesuatu. Pasien juga mengaku tidak merasa
ketakutan atau sedih terhadap suatu hal yang tidak nyata. Pasien sudah dapat
tidur dengan baik, namun berdasarkan keterangan keluarga terkadang
pasien masih merasa tidak tenang dan bingung. Pasien makan dengan baik.
4
4. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pasien ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.
a. Prenatal dan perinatal : Pasien tidak ingat kejadian saat pasien
masih bayi. Dari ibu pasien dikatakan tidak ada kendala semasa
mengandung pasien.
b. Early Childhood : Pasien diasuh oleh kedua orangtuanya.
Riwayat imunisasi tidak didapatkan informasi yang spesifik.
c. Middle Childhood : Tidak didapatkan informasi
d. Late Childhood : Pasien sehari-hari melakukan aktivitas
rumah tangga. Pasien dan keluarganya pindah dari jakarta ke
wonosari.
e. Adult : setelah lulus SMA pasien pindah ke Jakarta
untuk bekerja. Saat itu ia tinggal di asrama sendirian, Sehingga merasa
kesepian dan tidak betah kemudian pindah bekerja di pekalongan
selama satu bulan. Selanjutnya pasien bekerja di Jogja selama 4 bulan,
namun keluar karena tidak nyaman dengan teman kerja barunya.
Setelah mendapatkan kerja yang baru pasien mulai menunjukkan
gejala bingung.
- Riwayat Hubungan : Pasien tidak menikah
- Riwayat pendidikan : Pasien lulus SMA
- Riwayat pekerjaan : Pasien tidak bekerja dan sampai saat ini
menjadi ibu rumah tangga
- Agama : Islam, pasien termasuk pribadi yang taat
beribadah
Aktivitas sosial : Pasien lebih senang menyendiri, tetapi mau
jika disuruh untuk ikut berkumpul bersama keluarga.
5. RIWAYAT KELUARGA
a. Riwayat keluhan serupa : Disangkal
b. Riwayat hipertensi : Disangkal
c. Riwayat penyakit gula : Disangkal
5
d. Riwayat asma : Disangkal
e. Riwayat alergi : Disangkal
7. SITUASI SEKARANG
Pasien tinggal satu atap bersama dengan Ayah, Ibu dan kedua
Adiknya. Situasi rumah bersih dan rapi. Sirkulasi rumah pasien juga baik.
Rumah pasien tergolong cukup karena bangunannya yang sudah permanen.
Pasien biasanya menghabiskan waktu dengan mengerjakan pekerjaan
rumah atau mengurus kambingnya. Sekeliling rumah pasien terdapat
banyak sawah dan ada kandang kambing dibelakang rumah.
C. STATUS PSIKIATRI
a. Gambaran Umum
Penampilan:
Pasien seorang laki laki, usia sekitar 25 tahun, berpenampilan sesuai
usia, berbadan proporsional, dengan postur membungkuk berambut
pendek dan rapi. Pasien menggunakan kaos berwarna biru dan
menggunakan hitam. Pasien menghindari tatapan saat diajak
komunikasi, terkadang tersenyum sendiri. Tampak sering melihat
curiga dan melotot terhadap sekelilingnya tiba-tiba, menggenggam
tangan, daya tangkap cukup, kooperatif, rawat diri baik.
Perilaku:
Tampak menggerak gerakkan kaki dan menremas tangan. Pasien
sering menunduk dan sebisa mungkin mengurangi kontak mata
6
dengan orang lain. Sering menatap curiga pada hal-hal yang tidak
spesifik secara tiba-tiba.
Sikap Terhadap Pemeriksa
Sikap pasien terhadap pemeriksa kooperatif
b.Sensorium & Kognitif
Tingkat Kesadaran
Compos Mentis
Orientasi
Orang : baik
Waktu : baik
Tempat: baik
Daya ingat
Jangka Panjang : Baik
Jangka Pendek : Baik
Segera : Baik
c. Emosi
Mood : eutimik
Afek : menyempit
Kesesuaian : Sesuai (apropiate)
d.Pikiran
Bentuk Pikir : Realistik
Isi Pikir : Waham curiga (-), Waham Bersalah (-), Waham
magic (-)
e. Gangguan Persepsi
Halusinasi Visual : Negatif
Halusinasi auditorik : Negatif
Halusinasi taktil : Negatf
Halusinasi Olfaktori : Negatif
7
f. Pembicaraan
Kecepatan : Cukup, Volume suara sedang
Kuantitas : produksi sedikit
Kualitas : Relevan
Hendaya berbahasa : Tidak ada
g.Psikomotor
Tampak tidak nyaman, menunduk
h.Insight (Tilikan)
Tilikan derajat 3.
i. Reliabilitas / Taraf tidak dapat dipercaya
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizen yang berarti
terpisah atau pecah, dan phren yang artinya jiwa. Pada skizofrenia
terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku.
Skizofrenia merupakan suatu sindrom psikotik kronis yang ditandai oleh
gangguan pikiran dan persepsi, afek tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta
dapat ditemukan uji kognitif yang buruk.1
Skizofrenia adalah istilah psikosis yang menggambarkan mispersepsi
pikiran dan persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi pasien sebagai
kenyataan, dan mencakup waham dan halusinasi.2 Emil Kraepelin membagi
skizofrenia dalam beberapa jenis, menurut gejala utama yang terdapat pada
pasien, salah satunya adalah skizofrenia paranoid.9 Skizofrenia paranoid
merupakan subtipe yang paling umum (sering ditemui) dan paling stabil,
dimana waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat.1,2,7 Pada pasien
skizofrenia paranoid, pasien mungkin tidak tampak sakit jiwa sampai muncul
gejala-gejala paranoid.6
2.2 SEJARAH
Besarnya masalah klinis skizofrenia, secara terus-menerus telah
menarik perhatian tokoh-tokoh utama psikiatri dan neurologi sepanjang
sejarah gangguan ini. Tokoh-tokoh tersebut, yaitu:3,4
Benedict Morel (1809-1926), seorang dokter psikiatrik dari Perancis,
menggunakan istilah dmence prcoce untuk pasien dengan penyakit
yang dimulai pada masa remaja yang mengalami perburukan.
Karl Ludwig Kahlbaum (1828-1899) menggambarkan gejala katatonia
Ewold Hacker (1843-1909) menulis mengenai perilaku aneh atau kacau
(bizzzare) pada pasien dengan hebefrenia.
Emil Kraepelin (1856-1926)
9
Emil Kraepelin merupakan seorang ahli kedokteran jiwa di kota
Munich (Jerman) dan ia mengumpulkan gejala-gejala serta sindrom,
menggolongkannya ke dalam satu kesatuan dan menerjemahkan istilah
dmence prcoce dari Morel menjadi demensia prekoks, suatu istilah yang
menekankan proses kognitif atau kemunduran inteligensi (demensia) dan
awitan dini atau sebelum waktunya (prekoks) yang nyata dari gangguan
ini.3,4,9 Pasien dengan demesia prekoks digambarkan memiliki perjalanan
penyakit yang memburuk dalam jangka waktu lama dan gejala klinis
umum berupa halusinasi dan waham. Dimana, demensia prekoks terkait
dengan konsep saat ini tentang skizofrenia.2 Emil Kraepelin membagi
skizofrenia dalam beberapa jenis. Penderita digolongkan ke dalam salah
satu jenis menurut gejala utama yang terdapat padanya.9
Eugen Bleuler (1857-1939)
Pada tahun 1911, Eugen Bleuler seorang psikiatri dari swiss
mengajukan istilah skizofrenia dan istilah tersebut menggantikan
demensia prekoks di dalam literatur, karena nama ini dengan tepat
sekali menonjolkan gejala utama penyakit ini, yaitu jiwa yang terpecah-
belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berpikir, perasaan,
dan perbuatan (schizos = pecah belah atau bercabang, phren = jiwa).9
Bleuler menggambarkan gejala fundamental (atau primer) spesifik
untuk skizofrenia, termasuk suatu gangguan asosiasi, khususnya
kelonggaran asosiasi. Gejala fundamental lainnya adalah gangguan
afektif, autisme, dan ambivalensi. Jadi terdapat empat A dari Bleuler yang
terdiri dari asosiasi, afek, autisme dan ambivalensi. Bleuler juga
menggambarkan gejala pelengkap (sekunder), yang termasuk halusinasi
dan waham, gejala yang telah menjadi bagian penting dari pengertian
Kraepelin tentang gangguan.
2.3 EPIDEMIOLOGI
Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan
angka insidens serta prevalensinya secara kasar merata di seluruh dunia.
Menurut DSM-IV-TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5
10
sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografik.3 Skizofrenia yang
menyerang kurang lebih 1 persen populasi, biasanya bermula di bawah usia
25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenai orang dari semua kelas
sosial.3,7
Skizofrenia terjadi pada 15 - 20/100.000 individu per tahun, dengan
risiko morbiditas selama hidup 0,85% (pria/wanita) dan kejadian puncak pada
akhir masa remaja atau awal dewasa.2 Awitan skizofrenia di bawah usia 10
tahun atau di atas usia 60 tahun sangat jarang. Laki-laki memiliki onset
skizofrenia yang lebih awal daripada wanita. Usia puncak onset untuk laki-
laki adalah 15 sampai 25 tahun, dan untuk wanita usia puncak onsetnya adalah
25 sampai 35 tahun.4,7
Sejumlah studi mengindikasikan bahwa pria lebih cenderung
mengalami hendaya akibat gejala negatif daripada wanita dan bahwa wanita
lebih cenderung memiliki kemampuan fungsi sosial yang lebih baik daripada
pria sebelum awitan penyakit. Secara umum, hasil akhir pasin skizofrenia
wanita lebih baik dibandingkan hasil akhir pasien skizofrenia pria.3
2.4 ETIOLOGI
Sampai saat ini, belum ditemukan etiologi pasti penyebab skizofrenia.1,7
Namun, skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh satu etiologi, melainkan
gabungan antara berbagai faktor yang dapat mendorong munculnya gejala
mulai dari faktor neurobiologis maupun faktor psikososial, diantaranya
sebagai berikut:
2.4.1 Faktor Neurobiologis
2.4.1.1 Faktor Genetika
Sesuai dengan penelitian hubungan darah
(konsanguinitas), skizofrenia adalah gangguan bersifat
keluarga.7 Penelitian tentang adanya pengaruh genetika atau
keturunan terhadap terjadinya skizofrenia tersebut telah
membuktikan bahwa terjadinya peningkatan risiko terjadinya
skizofrenia bila terdapat anggota keluarga lainnya yang
11
menderita skizofrenia, terutama bila hubungan keluarga
tersebut dekat (semakin dekat hubungan kekerabatan, semakin
tinggi risikonya).7
Diperkirakan bahwa sejumlah gen yang mempengaruhi
perkembangan otak memperbesar kerentanan menderita
skizofrenia.2 Pada penelitian anak kembar, terjadi peningkatan
resiko seseorang menderita skizofrenia akan lebih tinggi pada
kembar identik atau monozigotik (mempunyai risiko 4-6 kali
lebih sering dibandingkan kembar dizigotik).7
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk
mendapatkan skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui
gen resesif.9 Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah,
tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu
apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak. Angka
presentasi terjadinya skizofrenia dapat dilihat dari tabel
dibawah ini.
12
pada ganglia basalis, akan mengakibatkan gangguan atau
keanehan pada pergerakan (motorik), termasuk gaya berjalan,
ekspresi wajah facial grimacing. Pada pasien skizofrenia dapat
ditemukan gangguan organik berupa pelebaran ventrikel tiga
dan lateral, atrofi bilateral lobus temporomedial dan girus
parahipokampus, hipokampus, dan amigdala.1,7
2.4.1.3 Faktor Neurokimia
Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmitter
juga diidentifikasi sebagai etiologi pada pasien skizofrenia.
Hipotesis yang paling banyak yaitu gejala psikotik pada pasien
skizofrenia timbul diperkirakan karena adanya gangguan
neurotransmitter sentral, yaitu terjadinya peningkatan aktivitas
dopaminergik atau dopamin sentral (hipotesis dopamin).1,4
Peningkatan ini merupakan akibat dari meningkatnya
pelepasan dopamin, terlalu banyak reseptor dopamin, atau
hipersensitivitas reseptor dopamin.
2.4.2 Faktor Psikososial
2.4.2.1 Faktor Keluarga dan Lingkungan
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan
penting dalam menimbulkan kekambuhan dan
mempertahankan remisi.7 Pasien skizofrenia sering tidak
dibebaskan oleh keluarganya. Beberapa peneliti
mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologi dan
aneh pada keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi sering
samar-samar atau tidak jelas dan sedikit tak logis.7 Penderita
skizofrenia pada keluarga dengan ekspresi emosi tinggi
(expressed emotion [EE], keluarga yang berkomentar kasar
dan mengkritik secara berlebihan) memiliki peluang yang
lebih besar untuk kambuh.2,7
13
2.4.2.2 Faktor Stressor
Skizofrenia juga berhubungan dengan penurunan sosio-
ekonomi dan kejadian hidup yang berlebihan pada tiga minggu
sebelum onset gejala akut.2
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Pada DSM-IV (Diagnostic and statistical manual) menyebutkan bahwa
tipe paranoid ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau lebih
waham atau halusinasi dengar yang sering, dan tidak ada perilaku spesifik lain
yang mengarahkan pada tipe terdisorganisasi atau katatonik.4 Skizofrenia
paranoid secara klasik ditandai oleh adanya waham persekutorik (waham
kejar) atau waham kebesaran.
14
Suara-suara halusinasi yang bersifat mengancam atau memerintahkan
pasien
Halusinasi pendengaran non-verbal, seperti tertawa, bersiul, dan
bergumam
Halusinasi bentuk lainnya, seperti penghiduan, pengecapan, penglihatan,
sensasi somatik seksual atau sensasi somatik lainnya
2.6 PATOFISIOLOGI
15
Terdapat lima jalur dopamin dalam otak, yaitu:12
16
Gambar 5. Jalur mesokortical dopamin pada otak 12
c. Jalur Nigrostriatal: sistem nigrostriatal mengandung sekitar 80% dari
dopamin otak. Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra ke basal ganglia
atau striatum (kauda dan putamen). Jalur ini berfungsi menginervasi
sistem motorik dan ekstrapiramidal. Dopamin pada jalur nigrostriatal
berhubungan dengan efek neurologis (Ekstrapiramidal / EPS) yang
17
disebabkan oleh obat-obatan antipsikotik tipikal / APG-I (Dopamin D2
antagonis).
18
nukleus parabrachial lateral, yang berproyeksi ke thalamus. Namun,
fungsinya masih belum diketahui.12
Rumusan yang paling sederhana untuk mengungkapkan patofisiologi
dari skizofrenia adalah hipotesa dopamin. Hipotesa ini secara sederhana
menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan karena terlalu banyaknya aktivitas
dopaminergik. Hipotesis ini disokong dari hasil observasi pada beberapa obat
antipsikotik yang digunakan untuk mengobati skizofrenia dimana
berhubungan dengan kemampuannya menghambat dopamin (D2) reseptor.
19
2.7 KRITERIA DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi
kriteria DSM-IV-TR atau ICD-X. Berdasarkan DSM-IV, kriteria pasien
skizofrenia, yaitu:7
1. Berlangsung paling sedikit enam bulan
2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna, yaitu dalam bidang pekerjaan,
hubungan interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi
3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode
tersebut
4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan
mood mayor, autisme, atau gangguan organik.
20
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol
21
1. Tujuan diagnostik
2. Stabilisasi pengobatan
3. Keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau
pembunuhan, maupun mengancam lingkungan sekitar
4. Untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada tempatnya,
termasuk, ketidakmampuan mengurus kebutuhan dasar, seperti
pangan, sandang dan papan
5. Tidak adanya dukungan dan motivasi sembuh dari keluarga
maupun lingkungan
6. Timbulnya efek samping obat yang membahayakan jiwa
Membangun hubungan yang efektif antara pasien dan sistem
pendukung komunitas merupakan tujuan utama rawat inap.3
Rawat inap dan layanan rehabilitasi masyarakat juga bertujuan
untuk memaksimalkan kemandirian pasien (contohnya dengan
melatih keterampilan hidup sehari-hari), karena pada pasien
dengan gejala sisa (contohnya gejala negatif dan kognitif)
mungkin tidak dapat hidup mandiri.2 Setelah keluar dari rumah
sakit, pasien tersebut perlu di follow-up teratur oleh ahli psikiatri.6
22
Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita
bergaul lagi dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter.9
Hal ini dimaksudkan agar pasien tidak mengasingkan diri dan
terapi ini sangat penting dalam menjaga kepercayaan diri dan
kualitas hidupnya.2 Penting sekali untuk menjaga komunikasi
yang baik dengan pasien dan keluarga.1
23
Gambar 9. Sifat obat antipsikotik konvensional adalah kemampuan mereka
untuk memblokir reseptor dopamin D2 khususnya di jalur dopamin
mesolimbik. Sehingga akan mengurangi hiperaktivitas pada jalur dopamin
mesolimbik dan mengurangi gejala positif.
Mekanisme kerja obat anti-psikosis berkaitan dengan aktivitas
neurotransmitter dopamine yang meningkat (Hiperaktivitas sistem
dopaminergik sentral).8 Pada umumnya, pemberian obat anti-
psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun,
setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Efek obat anti-
psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari
setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis.8 Obat anti-
psikosis dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme
kerjanya, yaitu:3,4,7
24
1. Dopamine Receptor Antagonist (DRA) atau anti-psikosis
generasi I (APG-I)
Obat APG-I disebut juga obat anti-psikosis konvensional
atau tipikal. Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal
mempunyai afinitas tinggi dalam mem-blokade atau
menghambat pengikatan dopamin pada reseptor pasca-sinaptik
neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), hal inilah
yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang
kuat.13 Oleh karena kinerja obat APG-I, maka obat ini lebih
efektif untuk gejala positif, contohnya gangguan asosiasi
pikiran (inkoherensi), isi pikir yang tidak wajar (waham),
gangguan persepsi (halusinasi) dibandingkan untuk terapi
gejala negatif.1,8,10 Obat antipsikosis tipikal (APG-I) memiliki
dua kekurangan utama, yaitu :
a. Hanya sejumlah kecil pasien (kemungkinan 25 persen)
yang cukup tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah
fungsi mental yang cukup normal
b. Antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek
merugikan yang mengganggu dan serius. Efek menganggu
yang paling utama adalah akatisia dan gejala mirip
parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor.
Sebagian besar antagonis reseptor dopamin dapat
diberikan dalam satu dosis oral harian ketika orang tersebut
berada dalam kondisi yang stabil dan telah menyesuaikan
dengan efek samping apa pun.10 Prototip kelompok obat APG-
I adalah klorpromazin (CPZ), hal ini dikarenakan obat ini
sampai sekarang masih tetap digunakan sebagai antipsikosis,
karena ketersediannya dan harganya murah.13
25
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjurkan
Chlorpromazine Chlorpromazine Tab. 25 - 100 mg 150 - 600 mg/hari
Promactil Tab. 100 mg
Meprosetil Tab. 100 mg
Cepezet Tab. 100 mg
Perphenazine Perphenazine Tab. 4 mg
Trilafon Tab 2 - 4 - 8 mg
Trifluoperazine Stelazine Tab. 1 - 5 mg 10 - 15 mg/hari
Fluphenazine Anatensol Tab. 2,5 - 5 mg 10 - 15 mg/hari
Thioridazine Melleril Tab. 50 - 100 mg 150 - 300 mg/hari
Haloperidol Haloperidol Tab. 0,5 - 1,5 mg 5 - 15 mg/hari
Dores Tab. 1,5 mg
Serenace Tab. 0,5 - 1,5 mg
Haldol Tab. 2 - 5 mg
Govotil Tab. 2 - 5 mg
Lodomer Tab 2 - 5 mg
Pimozide Orap Forte Tab. 4 mg 2 - 4 mg/hari
Tabel 2. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi I dan Dosis Anjuran (yang beredar
di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).8
Obat CPZ merupakan golongan derivate phenothiazine
yang mempengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan
gejala parkinsonisme (efek esktrapiramidal / EPS).13 Semua
obat APG-I dapat menimbulkan efek samping EPS
(ekstrapiramidal), seperti distonia akut, akathisia, sindrom
Parkinson (tremor, bradikinesia, rigiditas).8 EFek samping ini
dibagi menjadi efek akut, yaitu efek yang terjadi pada hari-hari
atau minggu-minggu awal pertama pemberian obat, sedangkan
efek kronik yaitu efek yang terjadi setelah berbulan-bulan atau
bertahun-tahun menggunakan obat.7 Oleh karena itu, setiap
pemberian obat APG-I, maka harus disertakan obat
trihexyphenidyl 2 mg selama 2 minggu sebagai obat
antidotum.
26
atipikal karena golongan obat ini sedikit menyebabkan reaksi
ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal symptom).13 Obat
APG-II disebut juga obat anti-psikosis baru atau atipikal.
Standar emas terbaru untuk pemberian obat anti-psikosis bagi
pasien skizofrenia adalah APG-II. Obat APG-II memiliki efek
samping neurologis yang lebih sedikit dibandingkan dengan
antagonis reseptor dopamin dan efektif terhadap kisaran gejala
psikotik yang lebih luas.10
Mekanisme kerja obat anti-psikosis atipikal adalah
berafinitas terhadap Dopamine D2 Receptors (sama seperti
APG-I) dan juga berafinitas terhadap Serotonin 5 HT2
Receptors (Serotonin-dopamine antagonist), sehingga efektif
terhadap gejala positif (waham, halusinasi, inkoherensi)
maupun gejala negatif (afek tumpul, proses pikir lambat,
apatis, menarik diri).1,8
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjurkan
Sulpride Dogmatil Forte Tab. 200 mg 300 - 600 mg/hari
Clozapine Clorazil Tab. 25 - 100 mg 25 - 100 mg/hari
Sizoril Tab. 25 - 100 mg
Olanzapine Zyprexa Tab. 5 - 10 mg 10 - 20 mg/hari
Quetiapine Seroquel Tab. 25 - 100 mg 50 - 400 mg/hari
Zotepine Lodopin Tab. 25 - 50 mg 75 - 100 mg/hari
Risperidone Risperidone Tab 1 - 2 - 3 mg 2 - 6 mg/hari
Risperidal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Neripros Tab. 1 - 2 - 3 mg
Persidal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Rizodal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Zofredal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Aripiprazole Abilify Tab. 10 - 15 mg 10 - 15 mg/hari
Tabel 3. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi II dan Dosis Anjuran (yang beredar
di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).8
27
2.10 PROGNOSIS
Dahulu, bila diagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini berarti bahwa
sudah tidak ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa
kepribadiannya selalu akan menuju ke kemunduran mental (deteriorasi
mental).9 Sekarang dengan pengobatan modern, ternyata bila penderita itu
datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira
sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali (full remission atau recovery).
Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih
didapati cacat sedikit yang mereka masih harus sering diperiksa dan diobati
selanjutnya (social recovery).9
Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama untuk
menghilangkan gejala.1,7 Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama, sehat
dalam waktu satu tahun, 80% mengalami episode selanjutnya dalam lima
tahun, dan 10% meninggal karena bunuh diri.2 Kira-kira 50 persen dari semua
pasien dengan skizofrenia mencoba bunuh diri sekurang satu kali selama
hidupnya, dan 10 sampai 15 persen pasien skizofrenik meninggal karena
bunuh diri selama periode follow-up 20 tahun.4 Pasien skizofrenik laki-laki
dan wanita sama-sama mungkin untuk melakukan bunuh diri.
28
Sistem pendukung yang baik Sistem pendukung yang buruk
(terutama dari keluarga) untuk untuk kesembuhan pasien
kesembuhan pasien
Gejala positif Gejala negatif
Jenis kelamin perempuan Tanda dan gejala neurologis
Riwayat trauma perinatal
Tidak ada remisi dalam tiga tahun
Sering timbul relaps
Riwayat penyerangan
Tabel 4. Menunjukkan Prognosis Baik dan Buruk dalam Skizofrenia.3
29
BAB III
PEMBAHASAN
30
Pasien menggunakan kaos berwarna biru dan menggunakan hitam. Pasien
menghindari tatapan saat diajak komunikasi, terkadang tersenyum sendiri. Tampak
sering melihat curiga dan melotot terhadap sekelilingnya tiba-tiba, menggenggam
tangan, daya tangkap cukup, kooperatif, rawat diri baik. Tidak terdapat waham
maupun halusinasi auditorik.
Merujuk pada PPDGJ, kondisi pasien saat ini mengacu kepada gangguan
skizofrenia paranoid. Skizofrenia adalah istilah psikosis yang menggambarkan
mispersepsi pikiran dan persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi pasien sebagai
kenyataan, dan mencakup waham dan halusinasi.2
31
Diagnosis Multiaxial
Axis 1 : F20.0 Skizofrenia Paranoid
Axis 2 : F60.1 Gangguan Kepribadian Skizoid
F60.5 Gangguan Kepribadian Anankastik
Axis 3 : Tidak ada (none)
Axis 4 : Masalah Pekerjaan
Tidak nyaman dengan teman dan lingkungan tempat bekerja
Axis 5 : GAF 60-51 (pada saat ini)
Diagnosis Banding
F20.9 Skizofrenia Yang Tak Terinci
F20.5 Skizofrenia Residual
Terapi
Farmakologi : Risperidon 2 x 2mg
Non Farmakologi : Terapi keluarga dan terapi psikososial
32
ketaatanberobatan (compliance) atau kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan
untuk menggunakan antipsikosis atipikal atau antipsikosis tipikal, tetapi dengan
dosis yang rendah.9
Terapi psikososial juga perlu diberikan pada pasien gagal jantung kongestif
yang mengalami depresi. Terapi ini diharapkan membantu pasien menerima kondisi
fisiknya, mengajarkan strategi dan skill tertentu untuk memantau kondisi mereka
serta melatih hubungan interpersonal dengan orang yang merawat mereka sehingga
dapat bersama-sama mencegah terjadinya eksaserbasi dan meningkatkan kualitas
hidup pasien (Artinian, 2003).
Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam
Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama untuk
menghilangkan gejala.1,7 Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama, sehat dalam
waktu satu tahun, 80% mengalami episode selanjutnya dalam lima tahun, dan 10%
meninggal karena bunuh diri.2 Kira-kira 50 persen dari semua pasien dengan
skizofrenia mencoba bunuh diri sekurang satu kali selama hidupnya, dan 10 sampai
15 persen pasien skizofrenik meninggal karena bunuh diri selama periode follow-
up 20 tahun.4 Pasien skizofrenik laki-laki dan wanita sama-sama mungkin untuk
melakukan bunuh diri.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Psikiatri : Skizofrenia (F2). Editor : Chris Tanto, Frans Liwang, dkk. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius. 2014:910-
3.
2. Gangguan Jiwa : Skizofrenia - Fenomena, Etiologi, Penangan dan
Prognosis. Editor : Rina Astikawati. At A Glance Psikiatri - Cornelius
Katona, Claudia Cooper, dan Mary Robertson. Edisi 4. Jakarta : Erlangga.
2012:18-21.
3. Skizofrenia. Editor : Husny Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. Kaplan &
Sadock - Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC. 2014:147-68.
4. Skizofrenia. Editor : I. Made Wiguna S. Kaplan - Sadock, Sinopsis Psikiatri
- Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 1. Tanggerang : Binarupa
Aksara Publisher. 2010:699-744.
5. Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham : Skizofrenia
(F20). Editor : Rusdi Maslim. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas
dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-
Unika Atmajaya. 2013:46-8.
6. Skizofrenia dan Gangguan Waham (Paranoid). Editor : Husny Muttaqin dan
Frans Dany. Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
2013:147-50.
7. Skizofrenia. Editor : Sylvia D. Elvira dan Gitayanti Hadisukanto. Buku Ajar
Psikiatri. Edisi 2. Jakarta : Badan Penerbit FK UI. 2013:173-98.
8. Obat Anti-psikosis. Editor : Rusdi Maslim. Penggunaan Klinis Obat
Psikotropik (Psychotropic Medication). Edisi 3. Jakarta : Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya (PT. Nuh Jaya). 2007:14-22.
9. Skizofrenia. Editor : Willy F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya : Airlangga University Press. 2009:259-81.
34
10. Terapi Biologis - Antagonis Reseptor Dopamin : Antipsikotik Tipikal.
Editor : Husny Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. Kaplan & Sadock - Buku
Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2014:498-
502.
11. Antipsychotic Agents. Stahls Essential Psychopharmacology. 4th Edition.
Diunduh dari : http://stahlonline.cambridge.org/essential_4th_chapter.jsf
12. Psychosis and Schizophrenia. Editor : Stahl, Stephen M. Antipsychotics and
Mood Stabilizers : Stahls Essential Psychopharmacology. 3rd Edition.
England : Cambridge University Press. 2008:26-34.
13. Psikotropik. Editor : Sulistia Gan Gunawan, Rianto Setiabudy, dkk.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007:161-9.
35