Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN HOME VISITE

SKIZOFRENIA PARANOID

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian


Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada:
dr. Ida Rochmawati, M.Sc, Sp.KJ

Disusun Oleh:
Syahidatul Arifa 20120310272
Fatimatus Solekhah 20120310152

BAGIAN ILMU ILMU KEDOKTERAN JIWA RSUD WONOSARI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017

1
LAPORAN HOME VISITE

SKIZOFRENIA PARANOID

Disusun oleh:
Syahidatul Arifa 20120310272
Fatimatus Solekhah 20120310152

Disahkan dan disetujui oleh:


Dokter Pembimbing Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa RSUD Wonosari

dr. Ida Rochmawati, M.Sc, Sp.KJ

2
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

1. PASIEN (AUTOANAMNESIS)
Nama : Sdr. RD
Umur : 26 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Paliyan
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Status : Belum menikah
Pendidikan : SMA
Suku : Jawa
Tgl Periksa : 10 April 2017
Tgl home Visit : 10 April 2017

2. AYAH PASIEN (ALLOANAMNESIS)


Nama : Bp.M
Umur : 56 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Paliyan
Agama : Islam
Status : Menikah
Pendidikan : SMA
Suku : Jawa

B. ANAMNESIS

1. KELUHAN UTAMA
Dokter muda mengunjungi rumah pasien dengan riwayat pasien
menyendiri, dan mudah marah.

3
2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Dokter muda mengunjungi rumah pasien dengan riwayat paisen
suka menyendiri, suka keluar rumah dan mudah marah. Berdasarkan ayah
pasien, saat ini pasien sudah lebih baik. Pasien masih sering melamun
sendiri, terkadang tersenyum atau sendiri. Pasien lebih memilih untuk
menyendiri. Bila ada tetangganya yang berkumpul pasien tidak berinisiatif
untuk bergabung, lebih memilih menyendiri, kecuali bila diajak baru pasien
mau berkumpul meski tidak banyak bicara. Pasien memang memiliki
kepribadian yang menyendiri tidak banyak bicara, dan sangat tekun dalam
melakukan pekerjaannya.
Pasien tidak pernah marah-marah maupun bingung lagi. Menurut
pasien, ia sudah tidak pernah mendengar suara-suara yang menyuruh-
nyuruhnya untuk melakukan sesuatu. Pasien juga mengaku tidak merasa
ketakutan atau sedih terhadap suatu hal yang tidak nyata. Pasien sudah dapat
tidur dengan baik, namun berdasarkan keterangan keluarga terkadang
pasien masih merasa tidak tenang dan bingung. Pasien makan dengan baik.

3. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


a. Riwayat Psikiatrik: pasien pernah rawat inap di RSJ Grasia selama satu
bulan sekitar dua tahun yang lalu.
b.Riwayat Medis: Pasien belum pernah mondok di rumash sakit karena
sakit yang serius, hanya sakit biasa dan diberi obat dari warung dapat
sembuh dengan obat tersebut.
Riwayat penyakit gula : Disangkal
Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
Riwayat asma : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal
Riwayat Trauma : Disangkal

4
4. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pasien ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.
a. Prenatal dan perinatal : Pasien tidak ingat kejadian saat pasien
masih bayi. Dari ibu pasien dikatakan tidak ada kendala semasa
mengandung pasien.
b. Early Childhood : Pasien diasuh oleh kedua orangtuanya.
Riwayat imunisasi tidak didapatkan informasi yang spesifik.
c. Middle Childhood : Tidak didapatkan informasi
d. Late Childhood : Pasien sehari-hari melakukan aktivitas
rumah tangga. Pasien dan keluarganya pindah dari jakarta ke
wonosari.
e. Adult : setelah lulus SMA pasien pindah ke Jakarta
untuk bekerja. Saat itu ia tinggal di asrama sendirian, Sehingga merasa
kesepian dan tidak betah kemudian pindah bekerja di pekalongan
selama satu bulan. Selanjutnya pasien bekerja di Jogja selama 4 bulan,
namun keluar karena tidak nyaman dengan teman kerja barunya.
Setelah mendapatkan kerja yang baru pasien mulai menunjukkan
gejala bingung.
- Riwayat Hubungan : Pasien tidak menikah
- Riwayat pendidikan : Pasien lulus SMA
- Riwayat pekerjaan : Pasien tidak bekerja dan sampai saat ini
menjadi ibu rumah tangga
- Agama : Islam, pasien termasuk pribadi yang taat
beribadah
Aktivitas sosial : Pasien lebih senang menyendiri, tetapi mau
jika disuruh untuk ikut berkumpul bersama keluarga.

5. RIWAYAT KELUARGA
a. Riwayat keluhan serupa : Disangkal
b. Riwayat hipertensi : Disangkal
c. Riwayat penyakit gula : Disangkal

5
d. Riwayat asma : Disangkal
e. Riwayat alergi : Disangkal

6. RIWAYAT PERSONAL SOSIAL


a. Riwayat merokok : Disangkal
b.Riwayat Minum minuman keras : Disangkal
c. Riwayat Minum Obat obatan terlarang : Disangkal

7. SITUASI SEKARANG
Pasien tinggal satu atap bersama dengan Ayah, Ibu dan kedua
Adiknya. Situasi rumah bersih dan rapi. Sirkulasi rumah pasien juga baik.
Rumah pasien tergolong cukup karena bangunannya yang sudah permanen.
Pasien biasanya menghabiskan waktu dengan mengerjakan pekerjaan
rumah atau mengurus kambingnya. Sekeliling rumah pasien terdapat
banyak sawah dan ada kandang kambing dibelakang rumah.

C. STATUS PSIKIATRI

a. Gambaran Umum
Penampilan:
Pasien seorang laki laki, usia sekitar 25 tahun, berpenampilan sesuai
usia, berbadan proporsional, dengan postur membungkuk berambut
pendek dan rapi. Pasien menggunakan kaos berwarna biru dan
menggunakan hitam. Pasien menghindari tatapan saat diajak
komunikasi, terkadang tersenyum sendiri. Tampak sering melihat
curiga dan melotot terhadap sekelilingnya tiba-tiba, menggenggam
tangan, daya tangkap cukup, kooperatif, rawat diri baik.
Perilaku:
Tampak menggerak gerakkan kaki dan menremas tangan. Pasien
sering menunduk dan sebisa mungkin mengurangi kontak mata

6
dengan orang lain. Sering menatap curiga pada hal-hal yang tidak
spesifik secara tiba-tiba.
Sikap Terhadap Pemeriksa
Sikap pasien terhadap pemeriksa kooperatif
b.Sensorium & Kognitif
Tingkat Kesadaran
Compos Mentis
Orientasi
Orang : baik
Waktu : baik
Tempat: baik
Daya ingat
Jangka Panjang : Baik
Jangka Pendek : Baik
Segera : Baik
c. Emosi
Mood : eutimik
Afek : menyempit
Kesesuaian : Sesuai (apropiate)
d.Pikiran
Bentuk Pikir : Realistik
Isi Pikir : Waham curiga (-), Waham Bersalah (-), Waham
magic (-)
e. Gangguan Persepsi
Halusinasi Visual : Negatif
Halusinasi auditorik : Negatif
Halusinasi taktil : Negatf
Halusinasi Olfaktori : Negatif

7
f. Pembicaraan
Kecepatan : Cukup, Volume suara sedang
Kuantitas : produksi sedikit
Kualitas : Relevan
Hendaya berbahasa : Tidak ada

g.Psikomotor
Tampak tidak nyaman, menunduk
h.Insight (Tilikan)
Tilikan derajat 3.
i. Reliabilitas / Taraf tidak dapat dipercaya

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizen yang berarti
terpisah atau pecah, dan phren yang artinya jiwa. Pada skizofrenia
terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku.
Skizofrenia merupakan suatu sindrom psikotik kronis yang ditandai oleh
gangguan pikiran dan persepsi, afek tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta
dapat ditemukan uji kognitif yang buruk.1
Skizofrenia adalah istilah psikosis yang menggambarkan mispersepsi
pikiran dan persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi pasien sebagai
kenyataan, dan mencakup waham dan halusinasi.2 Emil Kraepelin membagi
skizofrenia dalam beberapa jenis, menurut gejala utama yang terdapat pada
pasien, salah satunya adalah skizofrenia paranoid.9 Skizofrenia paranoid
merupakan subtipe yang paling umum (sering ditemui) dan paling stabil,
dimana waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat.1,2,7 Pada pasien
skizofrenia paranoid, pasien mungkin tidak tampak sakit jiwa sampai muncul
gejala-gejala paranoid.6

2.2 SEJARAH
Besarnya masalah klinis skizofrenia, secara terus-menerus telah
menarik perhatian tokoh-tokoh utama psikiatri dan neurologi sepanjang
sejarah gangguan ini. Tokoh-tokoh tersebut, yaitu:3,4
Benedict Morel (1809-1926), seorang dokter psikiatrik dari Perancis,
menggunakan istilah dmence prcoce untuk pasien dengan penyakit
yang dimulai pada masa remaja yang mengalami perburukan.
Karl Ludwig Kahlbaum (1828-1899) menggambarkan gejala katatonia
Ewold Hacker (1843-1909) menulis mengenai perilaku aneh atau kacau
(bizzzare) pada pasien dengan hebefrenia.
Emil Kraepelin (1856-1926)

9
Emil Kraepelin merupakan seorang ahli kedokteran jiwa di kota
Munich (Jerman) dan ia mengumpulkan gejala-gejala serta sindrom,
menggolongkannya ke dalam satu kesatuan dan menerjemahkan istilah
dmence prcoce dari Morel menjadi demensia prekoks, suatu istilah yang
menekankan proses kognitif atau kemunduran inteligensi (demensia) dan
awitan dini atau sebelum waktunya (prekoks) yang nyata dari gangguan
ini.3,4,9 Pasien dengan demesia prekoks digambarkan memiliki perjalanan
penyakit yang memburuk dalam jangka waktu lama dan gejala klinis
umum berupa halusinasi dan waham. Dimana, demensia prekoks terkait
dengan konsep saat ini tentang skizofrenia.2 Emil Kraepelin membagi
skizofrenia dalam beberapa jenis. Penderita digolongkan ke dalam salah
satu jenis menurut gejala utama yang terdapat padanya.9
Eugen Bleuler (1857-1939)
Pada tahun 1911, Eugen Bleuler seorang psikiatri dari swiss
mengajukan istilah skizofrenia dan istilah tersebut menggantikan
demensia prekoks di dalam literatur, karena nama ini dengan tepat
sekali menonjolkan gejala utama penyakit ini, yaitu jiwa yang terpecah-
belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berpikir, perasaan,
dan perbuatan (schizos = pecah belah atau bercabang, phren = jiwa).9
Bleuler menggambarkan gejala fundamental (atau primer) spesifik
untuk skizofrenia, termasuk suatu gangguan asosiasi, khususnya
kelonggaran asosiasi. Gejala fundamental lainnya adalah gangguan
afektif, autisme, dan ambivalensi. Jadi terdapat empat A dari Bleuler yang
terdiri dari asosiasi, afek, autisme dan ambivalensi. Bleuler juga
menggambarkan gejala pelengkap (sekunder), yang termasuk halusinasi
dan waham, gejala yang telah menjadi bagian penting dari pengertian
Kraepelin tentang gangguan.
2.3 EPIDEMIOLOGI
Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan
angka insidens serta prevalensinya secara kasar merata di seluruh dunia.
Menurut DSM-IV-TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5

10
sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografik.3 Skizofrenia yang
menyerang kurang lebih 1 persen populasi, biasanya bermula di bawah usia
25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenai orang dari semua kelas
sosial.3,7
Skizofrenia terjadi pada 15 - 20/100.000 individu per tahun, dengan
risiko morbiditas selama hidup 0,85% (pria/wanita) dan kejadian puncak pada
akhir masa remaja atau awal dewasa.2 Awitan skizofrenia di bawah usia 10
tahun atau di atas usia 60 tahun sangat jarang. Laki-laki memiliki onset
skizofrenia yang lebih awal daripada wanita. Usia puncak onset untuk laki-
laki adalah 15 sampai 25 tahun, dan untuk wanita usia puncak onsetnya adalah
25 sampai 35 tahun.4,7
Sejumlah studi mengindikasikan bahwa pria lebih cenderung
mengalami hendaya akibat gejala negatif daripada wanita dan bahwa wanita
lebih cenderung memiliki kemampuan fungsi sosial yang lebih baik daripada
pria sebelum awitan penyakit. Secara umum, hasil akhir pasin skizofrenia
wanita lebih baik dibandingkan hasil akhir pasien skizofrenia pria.3

2.4 ETIOLOGI
Sampai saat ini, belum ditemukan etiologi pasti penyebab skizofrenia.1,7
Namun, skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh satu etiologi, melainkan
gabungan antara berbagai faktor yang dapat mendorong munculnya gejala
mulai dari faktor neurobiologis maupun faktor psikososial, diantaranya
sebagai berikut:
2.4.1 Faktor Neurobiologis
2.4.1.1 Faktor Genetika
Sesuai dengan penelitian hubungan darah
(konsanguinitas), skizofrenia adalah gangguan bersifat
keluarga.7 Penelitian tentang adanya pengaruh genetika atau
keturunan terhadap terjadinya skizofrenia tersebut telah
membuktikan bahwa terjadinya peningkatan risiko terjadinya
skizofrenia bila terdapat anggota keluarga lainnya yang

11
menderita skizofrenia, terutama bila hubungan keluarga
tersebut dekat (semakin dekat hubungan kekerabatan, semakin
tinggi risikonya).7
Diperkirakan bahwa sejumlah gen yang mempengaruhi
perkembangan otak memperbesar kerentanan menderita
skizofrenia.2 Pada penelitian anak kembar, terjadi peningkatan
resiko seseorang menderita skizofrenia akan lebih tinggi pada
kembar identik atau monozigotik (mempunyai risiko 4-6 kali
lebih sering dibandingkan kembar dizigotik).7
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk
mendapatkan skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui
gen resesif.9 Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah,
tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu
apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak. Angka
presentasi terjadinya skizofrenia dapat dilihat dari tabel
dibawah ini.

Hubungan Presentasi Terjadinya Skizofrenia


Populasi umum 1%
Kembar monozigotik 40 - 50 %
Kembar dizigotik 10 - 15 %
Saudara kandung skizofrenia 10 %
Orang tua 5%
Anak dari salah satu orang tua 10 - 15 %
skizofrenia
Anak dari kedua orang tua 30 - 40 %
skizofrenia
Tabel 1. Risiko Terjadinya Skizofrenia Selama Kehidupan.2,7

2.4.1.2 Faktor Neuroanatomi Struktural


Sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis
merupakan tiga daerah yang saling berhubungan, sehingga
disfungsi pada salah satu daerah mungkin melibatkan patologi
primer di daerah lainnya.4 Gangguan pada sistem limbik akan
mengakibatkan gangguan pengendalian emosi. Gangguan

12
pada ganglia basalis, akan mengakibatkan gangguan atau
keanehan pada pergerakan (motorik), termasuk gaya berjalan,
ekspresi wajah facial grimacing. Pada pasien skizofrenia dapat
ditemukan gangguan organik berupa pelebaran ventrikel tiga
dan lateral, atrofi bilateral lobus temporomedial dan girus
parahipokampus, hipokampus, dan amigdala.1,7
2.4.1.3 Faktor Neurokimia
Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmitter
juga diidentifikasi sebagai etiologi pada pasien skizofrenia.
Hipotesis yang paling banyak yaitu gejala psikotik pada pasien
skizofrenia timbul diperkirakan karena adanya gangguan
neurotransmitter sentral, yaitu terjadinya peningkatan aktivitas
dopaminergik atau dopamin sentral (hipotesis dopamin).1,4
Peningkatan ini merupakan akibat dari meningkatnya
pelepasan dopamin, terlalu banyak reseptor dopamin, atau
hipersensitivitas reseptor dopamin.
2.4.2 Faktor Psikososial
2.4.2.1 Faktor Keluarga dan Lingkungan
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan
penting dalam menimbulkan kekambuhan dan
mempertahankan remisi.7 Pasien skizofrenia sering tidak
dibebaskan oleh keluarganya. Beberapa peneliti
mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologi dan
aneh pada keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi sering
samar-samar atau tidak jelas dan sedikit tak logis.7 Penderita
skizofrenia pada keluarga dengan ekspresi emosi tinggi
(expressed emotion [EE], keluarga yang berkomentar kasar
dan mengkritik secara berlebihan) memiliki peluang yang
lebih besar untuk kambuh.2,7

13
2.4.2.2 Faktor Stressor
Skizofrenia juga berhubungan dengan penurunan sosio-
ekonomi dan kejadian hidup yang berlebihan pada tiga minggu
sebelum onset gejala akut.2
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Pada DSM-IV (Diagnostic and statistical manual) menyebutkan bahwa
tipe paranoid ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau lebih
waham atau halusinasi dengar yang sering, dan tidak ada perilaku spesifik lain
yang mengarahkan pada tipe terdisorganisasi atau katatonik.4 Skizofrenia
paranoid secara klasik ditandai oleh adanya waham persekutorik (waham
kejar) atau waham kebesaran.

Pada pasien skizofrenia tipe paranoid, menunjukkan regresi kemampuan


mental, respons emosional, dan perilaku yang lebih ringan dibandingkan
pasien skizofrenia tipe lain.(4) Pasien skizofrenia paranoid kadang-kadang
dapat menempatkan diri mereka sendiri secara adekuat di dalam situasi sosial.
Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka
dan tetap intak.4

Pada ICD-10, gambaran klinis pada pasien skizofrenia paranoid (F20.0)


didominasi oleh adanya gejala-gejala paranoid, seperti:6
Waham kejar (presecution), seperti memercayai bahwa orang lain
bersekutu melawan dia
Waham rujukan (reference), seperti bahwa orang asing atau televisi, radio
atau koran terutama mengarah kepada pasien; bila tidak mencapai
intensitas waham, isi pikiran tersebut dikenal sebagai ideas of reference
Waham merasa dirinya tinggi/istimewa (exalted birth), atau mempunyai
misi khusus; misalnya, keyakinan bahwa dirinya dilahirkan sebagai
Mesias
Waham perubahan tubuh
Waham cemburu

14
Suara-suara halusinasi yang bersifat mengancam atau memerintahkan
pasien
Halusinasi pendengaran non-verbal, seperti tertawa, bersiul, dan
bergumam
Halusinasi bentuk lainnya, seperti penghiduan, pengecapan, penglihatan,
sensasi somatik seksual atau sensasi somatik lainnya

2.6 PATOFISIOLOGI

Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmiter juga


diidentifikasi sebagai penyebab skizofrenia. Ketidakseimbangan terjadi
antara lain pada dopamin yang mengalami peningkatan dalam aktivitasnya.
Selain itu, terjadi juga penurunan pada serotonin, norepinefrin, dan asam amio
gamma-aminobutyric acid (GABA) yang pada akhirnya juga mengakibatkan
peningkatkan dopaminergik. Neuroanatomi dari jalur neuronal dopamin pada
otak dapat menjelaskan gejala-gejala skizofrenia.

Gambar 3. Terdapat 5 (lima) jalur dopamin pada otak.12

15
Terdapat lima jalur dopamin dalam otak, yaitu:12

a. Jalur Mesolimbik: berproyeksi dari area midbrain ventral tegmental ke


batang otak menuju nucleus akumbens di ventral striatum. Jalur ini
memiliki fungsi berhubungan dengan memori, indera pembau, efek
viseral automatis, dan perilaku emosional. Hiperaktivitas pada jalur
mesolimbik akan menyebabkan gangguan berupa gejala positif seperti
waham dan halusinasi;

Gambar 4. Jalur mesolimbik dopamin pada otak yang menyebabkan


gejala positif.12
b. Jalur Mesokortikal: berproyeksi dari daerah tegmental ventral ke
korteks prefrontal. Berfungsi pada insight, penilaian, kesadaran sosial,
menahan diri, dan aktifitas kognisi. Hipofungsi pada jalur mesokortikal
akan menyebabkan gangguan berupa gejala negatif dan kognitif pada
skizofrenia. Jalur mesokortikal terdiri dari mediasi gejala kognitif
(dorsolateral prefrontal cortex / DLPFC ) dan gejala afektif (ventromedial
prefrontal cortex / VMPFC) skizofrenia.12

16
Gambar 5. Jalur mesokortical dopamin pada otak 12
c. Jalur Nigrostriatal: sistem nigrostriatal mengandung sekitar 80% dari
dopamin otak. Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra ke basal ganglia
atau striatum (kauda dan putamen). Jalur ini berfungsi menginervasi
sistem motorik dan ekstrapiramidal. Dopamin pada jalur nigrostriatal
berhubungan dengan efek neurologis (Ekstrapiramidal / EPS) yang

17
disebabkan oleh obat-obatan antipsikotik tipikal / APG-I (Dopamin D2
antagonis).

Gambar 6. Jalur nigrostriatal dopamin pada otak.12

d. Jalur Tuberoinfundibular: organisasi dalam hipotalamus dan


memproyeksikan pada anterior glandula pituitari. Fungsi dopamin disini
mengambil andil dalam fungsi endokrin, menimbulkan rasa lapar, haus,
fungsi metabolisme, kontrol temperatur, pencernaan, gairah seksual, dan
ritme sirkardian. Obat- obat antipsikotik mempunyai efek samping pada
fungsi ini dimana terdapat gangguan endokrin.

Gambar 7. Jalur tuberoinfundibular dopamin pada otak.12


e. Jalur Thalamus : Jalur kelima berasal dari berbagai tempat, termasuk
periaqueductal gray, ventral mesencephalon, hypothalamus nukleus,

18
nukleus parabrachial lateral, yang berproyeksi ke thalamus. Namun,
fungsinya masih belum diketahui.12
Rumusan yang paling sederhana untuk mengungkapkan patofisiologi
dari skizofrenia adalah hipotesa dopamin. Hipotesa ini secara sederhana
menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan karena terlalu banyaknya aktivitas
dopaminergik. Hipotesis ini disokong dari hasil observasi pada beberapa obat
antipsikotik yang digunakan untuk mengobati skizofrenia dimana
berhubungan dengan kemampuannya menghambat dopamin (D2) reseptor.

Gambar 8. Hipotesis dopamin pada skizofrenia.12

19
2.7 KRITERIA DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi
kriteria DSM-IV-TR atau ICD-X. Berdasarkan DSM-IV, kriteria pasien
skizofrenia, yaitu:7
1. Berlangsung paling sedikit enam bulan
2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna, yaitu dalam bidang pekerjaan,
hubungan interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi
3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode
tersebut
4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan
mood mayor, autisme, atau gangguan organik.

Semua pasien skizofrenia mesti digolongkan ke dalam salah satu dari


subtipe yang telah disebutkan diatas. Subtipe ditegakkan berdasarkan atas
manifestasi perilaku yang paling menonjol.7 Berdasarkan PPDGJI-III, maka
pedoman diagnostik skizofrenia paranoid (F20.0), yaitu :5

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia


Sebagai tambahan :
Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi
pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa
(laughing);
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,
atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol;
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau passivity (delusion of passivity), dan keyakinan
dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas

20
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol

2.8 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding pada pasien skizofrenia paranoid adalah gangguan
psikotik lain, dapat berupa gangguan skizofreniform dan gangguan
skizoafektif. Pada gangguan skizofreniform, gejalanya sama dengan
skizofrenia, namun berlangsung sekurang-kurangnya 1 bulan, tetapi kurang
dari 6 bulan.3 Pada pasien dengan skizofreniform, akan kembali ke fungsi
normal ketika gangguan hilang. Bila suatu sindrom manik atau depresif terjadi
bersamaan dengan gejala utama skizofrenia, maka hal itu adalah gangguan
skizoafektif, yang mempunyai gambaran baik skizofrenia maupun gangguan
afektif (gangguan mood).3
2.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah didiagnosis,
sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan
penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk (kemunduran
mental).2,9 Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan
pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita dapat ditolong untuk dapat
berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau pun di luar rumah.9
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien skizofrenia paranoid dapat
berupa penatalaksanaan non-farmakologis dan farmakologis.
2.9.1 PENATALAKSANAAN NON-FARMAKOLOGIS
Rawat Inap / Hospitalisasi
Pasien yang mengalami gejala-gejala skizofrenia akut harus
dirawat di rumah sakit.6 Perawatan di rumah sakit menurunkan
stress pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas
harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung
pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas
pengobatan rawat jalan.4 Rawat inap diindikasikan terutama untuk
:1,3

21
1. Tujuan diagnostik
2. Stabilisasi pengobatan
3. Keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau
pembunuhan, maupun mengancam lingkungan sekitar
4. Untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada tempatnya,
termasuk, ketidakmampuan mengurus kebutuhan dasar, seperti
pangan, sandang dan papan
5. Tidak adanya dukungan dan motivasi sembuh dari keluarga
maupun lingkungan
6. Timbulnya efek samping obat yang membahayakan jiwa
Membangun hubungan yang efektif antara pasien dan sistem
pendukung komunitas merupakan tujuan utama rawat inap.3
Rawat inap dan layanan rehabilitasi masyarakat juga bertujuan
untuk memaksimalkan kemandirian pasien (contohnya dengan
melatih keterampilan hidup sehari-hari), karena pada pasien
dengan gejala sisa (contohnya gejala negatif dan kognitif)
mungkin tidak dapat hidup mandiri.2 Setelah keluar dari rumah
sakit, pasien tersebut perlu di follow-up teratur oleh ahli psikiatri.6

Terapi Psikologis (Psikoterapi) dan Dukungan Sosial (Sosioterapi)


Terapi yang dapat membantu penderita skizofrenia adalah
psikoterapi suportif individual atau kelompok, serta bimbingan
yang praktis dengan maksud mengembalikan penderita ke
masyarakat.9 Terapi perilaku kognitif (cognitive behavioural
therapy, CBT) seringkali bermanfaat dalam membantu pasien
mengatasi waham dan halusinasi yang menetap. Tujuannya adalah
untuk mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan, dan tidak
secara langsung menghilangkan gejala. Terapi keluarga dapat
membantu mereka megurangi ekspresi emosi yang berlebihan dan
terbukti efektif mencegah kekambuhan.2

22
Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita
bergaul lagi dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter.9
Hal ini dimaksudkan agar pasien tidak mengasingkan diri dan
terapi ini sangat penting dalam menjaga kepercayaan diri dan
kualitas hidupnya.2 Penting sekali untuk menjaga komunikasi
yang baik dengan pasien dan keluarga.1

2.9.2 PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS


Pemberian obat-obat anti-psikosis
Pemberian obat anti-psikosis pada pasien skizofrenia (sindrom
psikosis fungsional) merupakan penatalaksanaan yang utama.
Pengobatan anti-psikosis diperkenalkan awal tahun 1950-an.3
Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala
psikosis yang dominan (fase akut atau kronis) dan efek samping
obat.8,9 Fase akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru
dialami atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi.
Obat anti-psikosis tidak bersifat menyembuhkan, namun
bersifat pengobatan simtomatik.13 Obat anti-psikosis efektif
mengobati gejala positif pada episode akut (misalnya halusinasi,
waham, fenomena passivity) dan mencegah kekambuhan.2,9 Obat-
obat ini hanya mengatasi gejala gangguan dan tidak
menyembuhkan skizofrenia.3 Pengobatan dapat diberikan secara
oral, intramuscular, atau dengan injeksi depot jangka panjang.2
Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode
skizofrenia, pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu
memberikan efek samping, karena pengalaman yang buruk
dengan pengobatan akan mengurangi ketaatanberobatan
(compliance) atau kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan
untuk menggunakan antipsikosis atipikal atau antipsikosis tipikal,
tetapi dengan dosis yang rendah.9

23
Gambar 9. Sifat obat antipsikotik konvensional adalah kemampuan mereka
untuk memblokir reseptor dopamin D2 khususnya di jalur dopamin
mesolimbik. Sehingga akan mengurangi hiperaktivitas pada jalur dopamin
mesolimbik dan mengurangi gejala positif.
Mekanisme kerja obat anti-psikosis berkaitan dengan aktivitas
neurotransmitter dopamine yang meningkat (Hiperaktivitas sistem
dopaminergik sentral).8 Pada umumnya, pemberian obat anti-
psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun,
setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Efek obat anti-
psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari
setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis.8 Obat anti-
psikosis dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme
kerjanya, yaitu:3,4,7

24
1. Dopamine Receptor Antagonist (DRA) atau anti-psikosis
generasi I (APG-I)
Obat APG-I disebut juga obat anti-psikosis konvensional
atau tipikal. Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal
mempunyai afinitas tinggi dalam mem-blokade atau
menghambat pengikatan dopamin pada reseptor pasca-sinaptik
neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), hal inilah
yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang
kuat.13 Oleh karena kinerja obat APG-I, maka obat ini lebih
efektif untuk gejala positif, contohnya gangguan asosiasi
pikiran (inkoherensi), isi pikir yang tidak wajar (waham),
gangguan persepsi (halusinasi) dibandingkan untuk terapi
gejala negatif.1,8,10 Obat antipsikosis tipikal (APG-I) memiliki
dua kekurangan utama, yaitu :
a. Hanya sejumlah kecil pasien (kemungkinan 25 persen)
yang cukup tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah
fungsi mental yang cukup normal
b. Antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek
merugikan yang mengganggu dan serius. Efek menganggu
yang paling utama adalah akatisia dan gejala mirip
parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor.
Sebagian besar antagonis reseptor dopamin dapat
diberikan dalam satu dosis oral harian ketika orang tersebut
berada dalam kondisi yang stabil dan telah menyesuaikan
dengan efek samping apa pun.10 Prototip kelompok obat APG-
I adalah klorpromazin (CPZ), hal ini dikarenakan obat ini
sampai sekarang masih tetap digunakan sebagai antipsikosis,
karena ketersediannya dan harganya murah.13

25
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjurkan
Chlorpromazine Chlorpromazine Tab. 25 - 100 mg 150 - 600 mg/hari
Promactil Tab. 100 mg
Meprosetil Tab. 100 mg
Cepezet Tab. 100 mg
Perphenazine Perphenazine Tab. 4 mg
Trilafon Tab 2 - 4 - 8 mg
Trifluoperazine Stelazine Tab. 1 - 5 mg 10 - 15 mg/hari
Fluphenazine Anatensol Tab. 2,5 - 5 mg 10 - 15 mg/hari
Thioridazine Melleril Tab. 50 - 100 mg 150 - 300 mg/hari
Haloperidol Haloperidol Tab. 0,5 - 1,5 mg 5 - 15 mg/hari
Dores Tab. 1,5 mg
Serenace Tab. 0,5 - 1,5 mg
Haldol Tab. 2 - 5 mg
Govotil Tab. 2 - 5 mg
Lodomer Tab 2 - 5 mg
Pimozide Orap Forte Tab. 4 mg 2 - 4 mg/hari
Tabel 2. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi I dan Dosis Anjuran (yang beredar
di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).8
Obat CPZ merupakan golongan derivate phenothiazine
yang mempengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan
gejala parkinsonisme (efek esktrapiramidal / EPS).13 Semua
obat APG-I dapat menimbulkan efek samping EPS
(ekstrapiramidal), seperti distonia akut, akathisia, sindrom
Parkinson (tremor, bradikinesia, rigiditas).8 EFek samping ini
dibagi menjadi efek akut, yaitu efek yang terjadi pada hari-hari
atau minggu-minggu awal pertama pemberian obat, sedangkan
efek kronik yaitu efek yang terjadi setelah berbulan-bulan atau
bertahun-tahun menggunakan obat.7 Oleh karena itu, setiap
pemberian obat APG-I, maka harus disertakan obat
trihexyphenidyl 2 mg selama 2 minggu sebagai obat
antidotum.

2. Serotonin-dopamine Antagonist (SDA) atau anti-psikosis


generasi II (APG-II)
Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai
generasi pertama antipsikotik golongan atipikal. Disebut

26
atipikal karena golongan obat ini sedikit menyebabkan reaksi
ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal symptom).13 Obat
APG-II disebut juga obat anti-psikosis baru atau atipikal.
Standar emas terbaru untuk pemberian obat anti-psikosis bagi
pasien skizofrenia adalah APG-II. Obat APG-II memiliki efek
samping neurologis yang lebih sedikit dibandingkan dengan
antagonis reseptor dopamin dan efektif terhadap kisaran gejala
psikotik yang lebih luas.10
Mekanisme kerja obat anti-psikosis atipikal adalah
berafinitas terhadap Dopamine D2 Receptors (sama seperti
APG-I) dan juga berafinitas terhadap Serotonin 5 HT2
Receptors (Serotonin-dopamine antagonist), sehingga efektif
terhadap gejala positif (waham, halusinasi, inkoherensi)
maupun gejala negatif (afek tumpul, proses pikir lambat,
apatis, menarik diri).1,8
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjurkan
Sulpride Dogmatil Forte Tab. 200 mg 300 - 600 mg/hari
Clozapine Clorazil Tab. 25 - 100 mg 25 - 100 mg/hari
Sizoril Tab. 25 - 100 mg
Olanzapine Zyprexa Tab. 5 - 10 mg 10 - 20 mg/hari
Quetiapine Seroquel Tab. 25 - 100 mg 50 - 400 mg/hari
Zotepine Lodopin Tab. 25 - 50 mg 75 - 100 mg/hari
Risperidone Risperidone Tab 1 - 2 - 3 mg 2 - 6 mg/hari
Risperidal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Neripros Tab. 1 - 2 - 3 mg
Persidal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Rizodal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Zofredal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Aripiprazole Abilify Tab. 10 - 15 mg 10 - 15 mg/hari
Tabel 3. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi II dan Dosis Anjuran (yang beredar
di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).8

Apabila pada pasien skizofrenia, gejala negatif (afek tumpul,


penarikan diri, isi pikir miskin) lebih menonjol dari gejala positif
(waham, halusinasi, bicara kacau), maka obat anti-psikosis
atipikal perlu dipertimbangkan.8

27
2.10 PROGNOSIS
Dahulu, bila diagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini berarti bahwa
sudah tidak ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa
kepribadiannya selalu akan menuju ke kemunduran mental (deteriorasi
mental).9 Sekarang dengan pengobatan modern, ternyata bila penderita itu
datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira
sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali (full remission atau recovery).
Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih
didapati cacat sedikit yang mereka masih harus sering diperiksa dan diobati
selanjutnya (social recovery).9
Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama untuk
menghilangkan gejala.1,7 Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama, sehat
dalam waktu satu tahun, 80% mengalami episode selanjutnya dalam lima
tahun, dan 10% meninggal karena bunuh diri.2 Kira-kira 50 persen dari semua
pasien dengan skizofrenia mencoba bunuh diri sekurang satu kali selama
hidupnya, dan 10 sampai 15 persen pasien skizofrenik meninggal karena
bunuh diri selama periode follow-up 20 tahun.4 Pasien skizofrenik laki-laki
dan wanita sama-sama mungkin untuk melakukan bunuh diri.

Prognosis Baik Prognosis Buruk


Onset lambat Onset muda
Faktor pencetus yang jelas Tidak ada faktor pencetus
Onset akut Onset tidak jelas
Riwayat sosial, seksual, dan Riwayat sosial, seksual, dan
pekerjaan pramorbid yang baik pekerjaan pramorbid yang buruk
Gejala gangguan mood (terutama Perilaku menarik diri, autistik
gangguan depresif)
Menikah dan telah berkeluarga Tidak menikah, bercerai, atau
janda/duda
Riwayat keluarga gangguan mood Riwayat keluarga skizofrenia
(tidak ada keluarga yang menderita
skizofrenia)

28
Sistem pendukung yang baik Sistem pendukung yang buruk
(terutama dari keluarga) untuk untuk kesembuhan pasien
kesembuhan pasien
Gejala positif Gejala negatif
Jenis kelamin perempuan Tanda dan gejala neurologis
Riwayat trauma perinatal
Tidak ada remisi dalam tiga tahun
Sering timbul relaps
Riwayat penyerangan
Tabel 4. Menunjukkan Prognosis Baik dan Buruk dalam Skizofrenia.3

29
BAB III

PEMBAHASAN

Dokter muda mengunjungi pasien laki-laki berusia 26 tahun dengan riwayat


paisen suka menyendiri, suka keluar rumah dan mudah marah. Berdasarkan ayah
pasien, saat ini pasien sudah lebih baik. Pasien masih sering melamun sendiri,
terkadang tersenyum atau sendiri. Pasien lebih memilih untuk menyendiri. Bila ada
tetangganya yang berkumpul pasien tidak berinisiatif untuk bergabung, lebih
memilih menyendiri, kecuali bila diajak baru pasien mau berkumpul meski tidak
banyak bicara. Pasien memang memiliki kepribadian yang menyendiri tidak banyak
bicara, dan sangat tekun dalam melakukan pekerjaannya.
Setelah lulus SMA pasien pindah ke Jakarta untuk bekerja. Saat itu ia
tinggal di asrama sendirian, Sehingga merasa kesepian dan tidak betah kemudian
pindah bekerja di pekalongan selama satu bulan. Selanjutnya pasien bekerja di
Jogja selama 4 bulan, namun keluar karena tidak nyaman dengan teman kerja
barunya. Setelah mendapatkan kerja yang baru pasien mulai menunjukkan gejala
bingung.
Pasien pernah rawat inap di RSJ Grasia selama satu bulan sekitar dua tahun
yang lalu. Awal mula gejala pasien tampak bingung dan sering menyendiri.
Terkadang pasien suka keluar rumah sendiri pada malam hari dan marah-marah di
jalan kepada tetangganya.
Pasien tidak pernah marah-marah maupun bingung lagi. Menurut pasien, ia
sudah tidak pernah mendengar suara-suara yang menyuruh-nyuruhnya untuk
melakukan sesuatu. Pasien juga mengaku tidak merasa ketakutan atau sedih
terhadap suatu hal yang tidak nyata. Pasien sudah dapat tidur dengan baik, namun
berdasarkan keterangan keluarga terkadang pasien masih merasa tidak tenang dan
bingung. Pasien makan dengan baik.
Pasien seorang laki laki, usia sekitar 25 tahun, berpenampilan sesuai usia,
berbadan proporsional, dengan postur membungkuk berambut pendek dan rapi.

30
Pasien menggunakan kaos berwarna biru dan menggunakan hitam. Pasien
menghindari tatapan saat diajak komunikasi, terkadang tersenyum sendiri. Tampak
sering melihat curiga dan melotot terhadap sekelilingnya tiba-tiba, menggenggam
tangan, daya tangkap cukup, kooperatif, rawat diri baik. Tidak terdapat waham
maupun halusinasi auditorik.

Merujuk pada PPDGJ, kondisi pasien saat ini mengacu kepada gangguan
skizofrenia paranoid. Skizofrenia adalah istilah psikosis yang menggambarkan
mispersepsi pikiran dan persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi pasien sebagai
kenyataan, dan mencakup waham dan halusinasi.2

Skizofrenia terjadi pada 15 - 20/100.000 individu per tahun, dengan risiko


morbiditas selama hidup 0,85% (pria/wanita) dan kejadian puncak pada akhir masa
remaja atau awal dewasa.2 Awitan skizofrenia di bawah usia 10 tahun atau di atas
usia 60 tahun sangat jarang. Laki-laki memiliki onset skizofrenia yang lebih awal
daripada wanita. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun, dan
untuk wanita usia puncak onsetnya adalah 25 sampai 35 tahun.4,7

Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmiter juga diidentifikasi


sebagai penyebab skizofrenia. Ketidakseimbangan terjadi antara lain pada dopamin
yang mengalami peningkatan dalam aktivitasnya. Selain itu, terjadi juga penurunan
pada serotonin, norepinefrin, dan asam amio gamma-aminobutyric acid (GABA)
yang pada akhirnya juga mengakibatkan peningkatkan dopaminergik.
Neuroanatomi dari jalur neuronal dopamin pada otak dapat menjelaskan gejala-
gejala skizofrenia.

Rumusan yang paling sederhana untuk mengungkapkan patofisiologi dari


skizofrenia adalah hipotesa dopamin. Hipotesa ini secara sederhana menyatakan
bahwa skizofrenia disebabkan karena terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik.
Hipotesis ini disokong dari hasil observasi pada beberapa obat antipsikotik yang
digunakan untuk mengobati skizofrenia dimana berhubungan dengan
kemampuannya menghambat dopamin (D2) reseptor

31
Diagnosis Multiaxial
Axis 1 : F20.0 Skizofrenia Paranoid
Axis 2 : F60.1 Gangguan Kepribadian Skizoid
F60.5 Gangguan Kepribadian Anankastik
Axis 3 : Tidak ada (none)
Axis 4 : Masalah Pekerjaan
Tidak nyaman dengan teman dan lingkungan tempat bekerja
Axis 5 : GAF 60-51 (pada saat ini)
Diagnosis Banding
F20.9 Skizofrenia Yang Tak Terinci
F20.5 Skizofrenia Residual
Terapi
Farmakologi : Risperidon 2 x 2mg
Non Farmakologi : Terapi keluarga dan terapi psikososial

Pasien yang memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia sebaiknya


mendapatkan terapi farmakologi antipsikosis disamping terapi keluarga dan
psikososial. Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis
yang dominan (fase akut atau kronis) dan efek samping obat.8,9 Fase akut biasanya
ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh) yang perlu
segera diatasi.
Obat anti-psikosis tidak bersifat menyembuhkan, namun bersifat
pengobatan simtomatik.13 Obat anti-psikosis efektif mengobati gejala positif
pada episode akut (misalnya halusinasi, waham, fenomena passivity) dan mencegah
kekambuhan.2,9 Obat-obat ini hanya mengatasi gejala gangguan dan tidak
menyembuhkan skizofrenia.3 Pengobatan dapat diberikan secara oral,
intramuscular, atau dengan injeksi depot jangka panjang.2

Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode skizofrenia,


pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek samping,
karena pengalaman yang buruk dengan pengobatan akan mengurangi

32
ketaatanberobatan (compliance) atau kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan
untuk menggunakan antipsikosis atipikal atau antipsikosis tipikal, tetapi dengan
dosis yang rendah.9

Terapi psikososial juga perlu diberikan pada pasien gagal jantung kongestif
yang mengalami depresi. Terapi ini diharapkan membantu pasien menerima kondisi
fisiknya, mengajarkan strategi dan skill tertentu untuk memantau kondisi mereka
serta melatih hubungan interpersonal dengan orang yang merawat mereka sehingga
dapat bersama-sama mencegah terjadinya eksaserbasi dan meningkatkan kualitas
hidup pasien (Artinian, 2003).

Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam
Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama untuk
menghilangkan gejala.1,7 Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama, sehat dalam
waktu satu tahun, 80% mengalami episode selanjutnya dalam lima tahun, dan 10%
meninggal karena bunuh diri.2 Kira-kira 50 persen dari semua pasien dengan
skizofrenia mencoba bunuh diri sekurang satu kali selama hidupnya, dan 10 sampai
15 persen pasien skizofrenik meninggal karena bunuh diri selama periode follow-
up 20 tahun.4 Pasien skizofrenik laki-laki dan wanita sama-sama mungkin untuk
melakukan bunuh diri.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Psikiatri : Skizofrenia (F2). Editor : Chris Tanto, Frans Liwang, dkk. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius. 2014:910-
3.
2. Gangguan Jiwa : Skizofrenia - Fenomena, Etiologi, Penangan dan
Prognosis. Editor : Rina Astikawati. At A Glance Psikiatri - Cornelius
Katona, Claudia Cooper, dan Mary Robertson. Edisi 4. Jakarta : Erlangga.
2012:18-21.
3. Skizofrenia. Editor : Husny Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. Kaplan &
Sadock - Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC. 2014:147-68.
4. Skizofrenia. Editor : I. Made Wiguna S. Kaplan - Sadock, Sinopsis Psikiatri
- Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 1. Tanggerang : Binarupa
Aksara Publisher. 2010:699-744.
5. Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham : Skizofrenia
(F20). Editor : Rusdi Maslim. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas
dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-
Unika Atmajaya. 2013:46-8.
6. Skizofrenia dan Gangguan Waham (Paranoid). Editor : Husny Muttaqin dan
Frans Dany. Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
2013:147-50.
7. Skizofrenia. Editor : Sylvia D. Elvira dan Gitayanti Hadisukanto. Buku Ajar
Psikiatri. Edisi 2. Jakarta : Badan Penerbit FK UI. 2013:173-98.
8. Obat Anti-psikosis. Editor : Rusdi Maslim. Penggunaan Klinis Obat
Psikotropik (Psychotropic Medication). Edisi 3. Jakarta : Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya (PT. Nuh Jaya). 2007:14-22.
9. Skizofrenia. Editor : Willy F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya : Airlangga University Press. 2009:259-81.

34
10. Terapi Biologis - Antagonis Reseptor Dopamin : Antipsikotik Tipikal.
Editor : Husny Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. Kaplan & Sadock - Buku
Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2014:498-
502.
11. Antipsychotic Agents. Stahls Essential Psychopharmacology. 4th Edition.
Diunduh dari : http://stahlonline.cambridge.org/essential_4th_chapter.jsf
12. Psychosis and Schizophrenia. Editor : Stahl, Stephen M. Antipsychotics and
Mood Stabilizers : Stahls Essential Psychopharmacology. 3rd Edition.
England : Cambridge University Press. 2008:26-34.
13. Psikotropik. Editor : Sulistia Gan Gunawan, Rianto Setiabudy, dkk.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007:161-9.

35

Anda mungkin juga menyukai