Total Sulfur pada batubara adalah jumlah kandungan sulfur yang terdapat dalam abu batubara (disebut
pula noncombustible sulfur) dengan combustible sulfur. Atau definisi lainnya menyebutkan, total sulfur
adalah jumlah inorganic sulfur dengan organic sulfur.
Definisi 1:
Combustible sulfur didapat dari pengurangan total sulfur dengan noncombustible sulfur yang terdapat
dalam abu batubara.
Berdasarkan definisi ISO, sulfur yang terdapat di dalam batubara untuk keperluan analisis ada 3, yaitu
sulfate sulfur, pyritic sulfur, dan organic sulfur.
Sulfate sulfur adalah sulfur yang terdapat dalam batubara, berbentuk sebagai sulfat.
Pyritic sulfur sulfur yang terdapat dalam batubara, berbentuk sebagai pyrite atau marcasite.
Organic sulfur adalah sulfur yang berikatan dengan material batubara, nilainya didapat dari pengurangan
total sulfur dengan jumlah sulfate sulfur dan pyritic sulfur.
Pada saat pembakaran batubara di boiler, sulfur yang terdapat dalam batubara akan berubah menjadi
SO2 dan SO3 yang mencemari udara. Selain itu, sulfur tersebut juga menimbulkan korosi pada
permukaaan pemanas boiler. Oleh karena itu, total sulfur pada steam coal diharapkan tidak lebih dari 1%.
Sedangkan pada pengolahan besi baja, total sulfur pada kokas diharapkan tidak lebih dari 0.6%. Bila
lebih dari nilai ini, kualitas pemrosesan akan turun, seperti mudah rapuhnya besi atau baja tersebut.
https://imambudiraharjo.wordpress.com/2009/03/11/sulfur-dalam-batubara/
Sulfur organik pada batubara dikelompokkan berdasarkan tipe gugus fungsionalnya antara lain :
Penggabungan unsur sulfur pada batubara dapat terjadi melalui empat mekanisme (Tsai, 1982)
yaitu :
Pada mulanya, komponen organik (rombakan tumbuhan) kontak dengan air payau atau air laut
yang mengandung rata-rata 0,6% sulfat terutama MgSO4. Sulfat dari air laut diyakini
merupakan sumber utama sulfur pada batubara.
Besi adalah komponen kedua yang membentuk mineral pirit. Unsur ini disuplai oleh air tawar
yang mengalir masuk ke dalam rawa gambut ataupun melalui perkolasi air tanah pada rekahan-
rekahan (cleats) batubara. Akses aliran air tersebut ditentukan oleh keadaan batuan samping
seperti permiabilitas dan komposisi mineralnya.
Tahap selanjutnya adalah reaksi antara besi dengan sulfat menghasilkan besi sulfat, seperti
reaksi berikut ini :
Konversi besi sulfat menjadi pirit harus terjadi pada kondisi reduksi dalam medium alkali. Reaksi
diawali oleh adanya aksi bakteri anaerobik (Desulfovibrio dan Desulfotomaculum) yang
mereduksi sulfat sulfur menjadi hidrogen sulfida. Reaksi ini hampir sempurna pada pH medium
yang lebih kecil dari 5. H2S lalu bereaksi dengan besi sulfat membentuk pirit dan sulfur
elemental. Reaksi ini dapat diformulasikan sebagai berikut :
Sulfur elemental yang dihasilkan akan bereaksi dengan komponen batubara membentuk ikatan
C-S. Contoh reaksinya adalah sbb :
Berdasarkan reaksi di atas, maka parameter penting yang menentukan pembentukan sulfur
pada batubara adalah :
1. Tersedianya komponen utama untuk membentuk pirit : sulfat dari air laut dan besi dari
air tawar.
2. Kemungkinan adanya larutan yang mengandung ion besi yang berasal dari batuan atap
(roof).
3. Intensitas kondisi reduksi selama pembentukan batubara
4. Tingkat keasaman medium selama pembatubaraan.
Sulfur primer (S) pada batubara, dapat berasal dari air laut, air tawar, tumbuhan, dan
extraneous mineral matter. Sedangkan sulfur sekunder di bawah oleh air tanah baik selama
atau setelah pembentukan batubara.
Air tanah mengandung 0 10 ppm S dan vegetasi umumnya berkisar antara 0,01 0,5% S
(db). Spesis tanaman yang tumbuh pada air payau kadar sulfurnya lebih tinggi dibanding
dengan spesies air tawar. Sejumlah ahli menyebutkan bahwa tumbuhan tingkat tinggi
memerlukan S sebanyak 0,1 %, bahkan tumbuhan angiosperma memiliki kadar sulfur rata-rata
0,4 %. Dengan demikian, maka suplai sulfur pada batubara yang berasal tumbuhan
diperkirakan paling tinggi 0,5%.
Jika suatu lapisan batubara mengandung >0,5% S, maka sebagian sulfur tersebut
kemungkinan berasal dari air laut yang mengandung 0,265% SO4 atau 885 ppm S (SO4
mengandung 33,4% S). Bila rawa digenangi air laut sebanyak 40 %, maka jumlah S yang
disuplai adalah 0,4 x 0,265 x 0,334 = 0,035%.
Gambut yang jenuh air akan mengalami kompaksi 5x atau lebih menjadi bituminous. Bila
semua sulfur dari air dikonsumsi oleh batubara, maka konsentrasi sulfur akan meningkat
menjadi 0,2%. Nilai ini setara dengan 0,37 % pirit bila semua S digunakan untuk membentuk
pirit.
Kebanyakan batubara yang mengandung >1%S terbentuk pada rawa yang dipengaruhi oleh air
laut. Air laut densitasnya lebih tinggi dari air tawar, sehingga menarik untuk ditinjau mengapa
bisa masuk pada rawa. Satu kemungkinan adalah terjadinya pasang menyebabkan influx air
laut pada bagian atas rawa yang jenuh air tawar. Dengan adanya perbedaan densitas, maka air
laut akan mudah bercampur dengan air tawar membentuk lingkungan rawa yang bersifat payau.
Pada periode tahunan, pasang yang terjadi berkali-kali mampu mensuplai SO4 yang cukup ke
dalam rawa yang dapat menjelaskan adanya kadar sulfur batubara >1%. Karena influx hanya
terjadi satu atau dua kali setahun, maka hal ini tidak menghambat pertumbuhan tanaman.
Skenario lain mengenai intervensi air laut ke dalam rawa yaitu perkolasi melalui batuan
pengapit yang permeabel. Model-model hidrologi percampuran antara air laut dan air tawar
dapat menjelaskan mengapa kadar sulfur memiliki variasi secara lateral pada suatu seam
batubara.
Air laut selain mengandung S, juga mempunyai konsentrasi unsur alkali yang tinggi seperti Na
(10500 ppm), Mg (1350 ppm), K (380 ppm), Ca (400 ppm), dan Cl (1900 ppm). Unsur-unsur
yang berlebih ini akan tertinggal dalam rawa. Dengan meningkatnya rank, maka sebagian unsur
ini akan keluar dari sistem, sebagian lainnya terperangkap membentuk fasa mineral seperti
karbonat.
Sulfur sekunder meliputi remobilisasi sulfur selama pembatubaraan, membentuk pirit epigenetik
terutama pada cleat. Sulfur ini bisa berasal dari senyawa sulfur organik yang kurang stabil atau
dari air pori yang kaya sulfat.
Chou (1990) menyebutkan bahwa, kebanyakan sulfur pada batubara yang kurang dari 1 %
berasal dari tumbuhan asal. Sedangkan penambahan sulfur kemungkinan berasal dari air laut.
Price dan Shieh (1979) menggunakan data isotop sulfur dan menyimpulkan bahwa 63 % sulfur
pada batubara yang memiliki kandungan sulfur tinggi berasal dari air laut dan sisanya dari
material tumbuhan.
Pirit (FeS2) mempunayi densitas 5,01 gr/cc atau sekitar 3,5 kali lebih padat dari batubara. Jadi
1 % volume pirit pada lapisan batubara dapat diartikan 3,5 % berat FeS2 atau sekitar 1,9 %
berat sulfur.
Pembentukan pirit pada batubara terjadi akibat reaksi antara H2S dan Fe dalam larutan. Proses
ini melibatkan bakteri yang mereduksi SO4 menjadi H2S pada pH 4.5 7 yang diikuti oleh
penggabungan H2S, sulfur elemental dan FeO membentuk pirit dan air (Gambar 1). Hanya
dengan cara ini pirit dapat terbentuk pada gambut dan batubara low-rank. Dengan demikian,
kehadiran bakteri dan pH rawa merupakan faktor yang sangat menentukan pembentukan pirit.
SO4 bisa berasal dari air laut atau vegetasi, sedangkan Fe kemungkinan berasal dari
dekomposisi mineral lempung atau terdapat dalam larutan sebagai koloid organik yang stabil.
Gambar 1. Mekanisme pembentukan pirit framboidal dan sulfur organik pada batubara yang
dipengaruhi oleh air laut (Speight, 1994).
Ketersediaan Fe dapat mempengaruhi jumlah pirit dan sulfur organik sekunder yang terbentuk.
Sulfur dari H2S lebih mudah dikonvensi menjadi pirit dibanding sulfur organik. Dengan
demikian, jika besi tidak tersedia maka sebagian H2S tetap dalam larutan dan keluar dari rawa.
Sumber-sumber besi dapat berasal dari luar rawa terutama pada saat terjadi banjir. Flokulasi
besi terjadi pada pH rendah atau pada air yang bersifat payau karena muatan listriknya akan
bertambah.
Eh dan pH lingkungan yang diperlukan oleh bakteri untuk membentuk H2S akan menentukan
jumlah pirit yang terbentuk. Hal ini juga berpengaruh terhadap pengawetan tumbuhan dan
pembentukan vitrinit dan inertinit.
Gambar 2. Model pembentukan Pirit Menurut Robert (1988), Price & Shieh (1979)
Gambar 3. Model Lingkungan Pengendapan Batubara berdasarkan kandungan sulfur dan
komposisi petrografi lainnya (Ryan, B & Ledda, A ., 1997).
Bentuk lain juga dijumpai adanya cauliflower pyrite yang berkembang dari pirit framboid dan
dendritik (Foto 1 dan 2). Love, 1957 menyebutkan bahwa ada kaitan antara pirit framboidal dan
mikroba dan kemungkinan bahwa pirit sebenarnya mengganti struktur bakteri.
Pirit euhedral seringkali dijumpai pada ronga-rongga desmocollinite atau mengisi sel pada
semifusinite, juga dapat berasosiasi dengan mineral matter. Pirit euhedral dapat terbentuk dari
presipitasi langsung FeS2 yang berasal dari sulfur elemental dan ferrous iron.
Foto 1 & 2. Kenampakan mikroskopis pirit cauliflower & frambodal (sinar pantul 200 x)
Foto 3 & 4. Fotomikrografi Late Pirite yang mengisi rekahan (cleat) pada vitrinit
Refensi :
http://www.tukangbatu.com/2015/11/tipe-tipe-sulfur-pada-batubara-sulfur.html
Sulfur adalah salah satu komponen dalam batubara, yang terdapat sebagai sulfur organik maupun
anorganik. Umumnya komponen sulfur dalam batubara terdapat sebagai sulfur syngenetik yang
erat hubungannya dengan proses fisika dan kimia selama proses penggambutan (Meyers, 1982)
dan dapat juga sebagai sulfur epigenetik yang dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada
batubara akibat proses presipitasi kimia pada akhir proses pembatubaraan (Mackowsky, 1968).
Sulfur walaupun secara relatif kandungannya rendah, merupakan salah satu elemen penting pada
batubara yang mempengaruhi kualitas. Terdapat berbagai cara terbentuknya sulfur dalam
batubara, diantaranya adalah berasal dari pengaruh lapisan pengapit yang terendapkan dalam
lingkungan laut (Horne et.al,1978), pengaruh air laut selama proses pengendapan tumbuhan,
proses mikrobial dan perubahan pH (Casagrande et.al, 1987).
Di lingkungan laut, pH umumnya berkisar antara 4 8 (netral basa) dan Eh cukup rendah,
kecuali pada beberapa centimeter dari permukaan. Sulfat berlimpah & umumnya cukup banyak
ion Fe yang hadir baik sebagai unsur terlarut dalam air laut atau penguraian dari bahan tumbuhan
& mineral. Keadaan ini menyebabkan aktifitas bakteri sangat berperan untuk terbentuknya
sulfur. Sedangkan lingkungan pengendapan batubara pada air tawar (lacustrine dan rawa) pH
umumnya rendah. Sulfat terlarut juga rendah ( < 40 ppm), sehingga sulfur yang terbentuk
sedikit karena aktifitas bakteri rendah. Dengan demikian jumlah sulfur yang dihasilkan
tergantung pada kondisi pH, Eh, konsentrasi sulfat dan untuk pirit khususnya perlu kehadiran ion
Fe dan aktivitas bakteri. Pada lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan
laut akan menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi, sedangkan batubara yang
terendapkan di lingkungan darat / air tawar umumnya didominasi oleh sulfur organik dengan
persentase pirit yang rendah.
Dari hasil penelitian mengenai pembentukan dan keberadaan sulfur pada batubara dan gambut,
Casagrande (1987) membuat beberapa kesimpulan, yaitu :
a. Secara umum batubara bersulfur rendah (<1%) mengandung lebih banyak sulfur organik
daripada piritik. Sebaliknya batubara dengan kandungan sulfur tinggi mengandung lebih banyak
sulfur piritik daripada organik.
b. Batubara bersulfur tinggi biasanya berasosiasi dengan batuan penutup yang berasal dari
lingkungan laut.
c. Kandungan sulfur pada batubara umumnya paling tinggi pada bagian roof dan pada bagian
floor lapisan batubara.
Proses paling penting dalam pembentukan unsur dan senyawa sulfur adalah reaksi reduksi sulfat
oleh aktivitas bakteri. Berikut adalah skema yang menunjukkan urutan proses pembentukan
sulfur dalam batubara :
Gambar III.3 Skema pembentukan sulfur dalam batubara (modifikasi dari Suits & Arthur, 2000)
Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah biasanya terendapkan pada lingkungan
darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup dan lapisan dibawahnya berupa sedimen
klastik yang terendapkan pada lingkungan darat juga. Sedangkan untuk batubara dengan
kandungan abu dan sulfur yang tinggi, berasosiasi dengan sedimen yang terendapkan pada
lingkungan payau atau laut (Cecil et.al, 1979).
1. Sulfur Piritik
Pirit (dan Markasit) merupakan mineral sulfida yang paling umum dijumpai pada batubara.
Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2) tetapi berbeda pada sistem
kristalnya. Pirit berbentuk isometrik sedangkan Markasit berbentuk orthorombik (Taylor G.H,
et.al., 1998).
Pirit (FeS2) merupakan mineral yang memberikan kontribusi besar terhadap kandungan sulfur
dalam batubara, atau lebih dikenal dengan sulfur piritik (Mackowsky, 1943 dalam Organic
petrology, 1998). Berdasarkan genesanya, pirit pada batubara dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Pirit Syngenetik, yaitu pirit yang terbentuk selama proses penggambutan (peatification). Pirit
jenis ini biasanya berbentuk framboidal dengan butiran sangat halus dan tersebar dalam material
pembentuk batubara (Demchuk, 1992 dalam international journal of coal geology, 1992).
2. Pirit Epigenetik, yaitu pirit yang terbentuk setelah proses pembatubaraan. Pirit jenis ini
biasanya terendapkan dalam kekar, rekahan dan cleat pada batubara serta biasanya bersifat masif.
(Mackowsky, 1968; Gluskoter, 1977; Frankie and Howe, 1987 dalam international journal of
coal geology, 1992). Umumnya pirit jenis ini dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada
batubara.
Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh organisme dan air tanah yang
mengandung ion besi. Bentuk pirit hasil reduksi ini biasanya framboidal dengan sumber sulfur
yang tereduksi kemungkinan terdapat dalam material yang terendapkan bersama batubara.
Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan frekuensi cleat / rekahan karena
kation-kation yang terlarut (dalam hal ini ion Fe) akan terbawa ke dalam batubara oleh aliran air
tanah melalui cleat tersebut dan selanjutnya bereaksi dengan sulfur yang telah tereduksi untuk
kemudian membentuk pirit (Demchuk T.D, dalam International Journal of Coal Geology, 1992).
Pembentukan pirit epigenetik sangat dipengaruhi oleh keterdapatan sulfur primer yang telah
tereduksi, ion besi dan tempat yang cocok bagi pembentukannya (Casagrande et.al,1987).
Persamaan umum pembentukan pada pirit (Leventhal, 1983 and Berner, 1984 dalam Organic
Petrology, 1998) adalah :
Hidrogen sulfida yang terbentuk selanjutnya dioksidasi oleh goethite (FeO.OH), atau hidrogen
sulfida yang terbentuk dapat mereduksi ferric iron (FeIII) menjadi ferrous iron (FeII). Oksigen
seringkali mampu menembus sedimen anaerob dan mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi unsur
sulfur (S0). Proses oksidasi sulfur ini dapat juga berlangsung dengan media ferric iron (FeIII).
Selain membentuk pirit, unsur sulfur tersebut dapat juga bereaksi dengan sulfida membentuk
polisulfida (SSn), yang selanjutnya mungkin akan diperlukan untuk proses pembentukan pirit.
Larutan polisulfida ini dapat bereaksi dengan FeS atau Fe3S4 untuk membentuk pirit. Proses
terbentuknya sulfur piritik ini sangat dipengaruhi oleh kondisi pH, yaitu semakin tinggi harga pH
maka akan mempercepat reaksi karena dalam suasana basa akan banyak ion besi yang
terlepaskan. Disamping itu unsur sulfur atau polisulfida juga bisa bereaksi dengan komponen
organik batubara membentuk senyawa sulfur organik.
Pirit framboidal berasosiasi dengan batuan penutup yang terendapkan pada lingkungan laut
sampai payau. Gambut yang mengandung sulfur tinggi (dalam bentuk pirit framboidal) terbentuk
pada lingkungan pengendapan yang dipengaruhi oleh transgresi air laut atau payau, kecuali
apabila terdapat dalam batuan sedimen yang cukup tebal dan terendapkan sebelum fase
transgresi (Cohen A.D dalam Organic Petrology, Taylor G.H, 1998).
Sulfur organik merupakan suatu elemen pada struktur makromolekul dalam batubara yang
kehadirannya secara parsial dikondisikan oleh kandungan dari elemen yang berasal dari material
tumbuhan asal. Dalam kondisi geokimia dan mikrobiologis spesifik, sulfur inorganik dapat
terubah menjadi sulfur organik. (Wiser W.H, 2000).
Secara umum sebagian besar sulfur dalam batubara berupa sulfur syngenetik yang keterdapatan
dan distribusinya dikontrol oleh kondisi fisika dan kimia selama proses pembentukan gambut.
Sulfur organik dalam batubara dapat berasal dari material kayu dan pepohonan. Disamping itu
sebagian sulfur juga mungkin terjadi dari sisa-sisa organisme yang hidup selama perkembangan
gambut.
Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik oleh proses penghancuran
biokimia dan oksidasi. Namun secara umum, penghancuran biokimia merupakan proses yang
paling penting dalam pembentukan sulfur organik, yang pembentukannya berjalan lebih lambat
pada lingkungan yang basah atau jenuh air (A.C. Cook, 1982).
Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga mendominasi dalam
menentukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya melimpah dalam lingkungan
marin atau payau kemungkinan besar akan terubah membentuk hidrogen sulfida dan senyawa
sulfat dalam kondisi dan proses geokimia. Reaksi yang terjadi adalah reduksi sulfat oleh material
organik menjadi hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri
desulfovibrio dan desulfotomaculum (Trudinger et.al, dalam Meyers, 1982).
Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan unsur atau molekul organik
dari gambut menjadi sulfur organik. Unsur sulfur (S0) kemungkinan muncul dari proses oksidasi
hidrogen sulfida yang terkena kontak dengan oksigen terlarut dalam kisi kisi air, di samping itu
S0 juga bisa muncul karena adanya aktivitas bakteri. Unsur sulfur (S0) dapat bereaksi dengan
asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan (Meyers,1982).
Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H2S juga dapat bereaksi dengan asam humik
yang terbentuk selama proses penggambutan. Jenis interaksi antara H2S dengan asam humik
inilah yang mempunyai peranan paling penting dalam menentukan kandungan sulfur organik
dalam batubara (Meyers, 1982). Disamping itu kandungan sulfur organik yang tinggi hanya akan
berasosiasi dengan lingkungan rawa gambut yang minim suplai Fe (Gransh & Postuma, 1974 ;
Bein et.al, 1990 ; Zaback & Pratt dalam Suits and Arthur, 2000).
Sulfat dalam batubara umumnya ditemui dalam bentuk sulfat besi, kalsium dan barium.
Kandungan sulfat tersebut biasanya rendah sekali atau tidak ada kecuali jika batubara telah
terlapukkan dan beberapa mineral pirit teroksidasi akan menjadi sulfat. (Meyers, 1982 and
Kasrai et.al, 1996).
Sulfur sulfat juga dapat berasal dari reaksi garam laut atau air payau yang mengisi lapisan dasar
yang jaraknya tidak jauh dan berada di atas atau di bawah lapisan batubara. Pada umumnya
kandungan sulfur organik lebih tinggi pada bagian bawah lapisan, sedangkan kandungan sulfur
piritik dan sulfat akan tinggi pada bagian atas dan bagian bawah lapisan batubara.
By : Aditya Resmawan
http://infodunia-4u.blogspot.co.id/2009/06/genesa-sulfur-pada-batubara.html