Anda di halaman 1dari 3

Pengertian dan Standar Jamban Sehat

Banyak orang menyindir, bahwa sementara di banyak negara masalah sanitasi dan kesehatan
lingkungan sudah berkutat pada upaya intens menurunkan dan mengadaptasi dampak rumah
kaca, sementara kita masih sibuk mengurusi jamban. Akses pada sanitasi khususnya pada
penggunaan jamban sehat, saat ini memang masih menjadi masalah serius di banyak negara
berkembang, seperti Indonesia. Masih tingginya angka buang air besar pada sebarang tempat
atau open defecation, menjadi salah satu indikator rendahnya akses ini.

Dampak serius yang ditimbulkan kondisi diatas sangat diyakini banyak pihak, berpengaruh
baik secara ekonomi maupun kesehatan masyarakat. Menurut studi yang dilakukan Wordl
Bank, Indonesia kehilangan lebih dari Rp 58 triliun, atau setara dengan Rp 265.000 per orang
per tahun karena sanitasi yang buruk. Dan sebagai akibat dari sanitasi yang buruk ini,
diperkirakan menyebabkan angka kejadian diare sebanyak 121.100 kejadian dan
mengakibatkan lebih dari 50.000 kematian setiap tahunnya. Sebuah fakta yang seharusnya
mampu menyengat kita para pemerhati dan praktisi kesehatan masyarakat.

Jamban keluarga merupakan suatu bangunan yang digunakan untuk tempat membuang dan
mengumpulkan kotoran/najis manusia yang lazim disebut kakus atau WC, sehingga kotoran
tersebut disimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar
penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman. Kotoran manusia yang dibuang dalam
praktek sehari-hari bercampur dengan air, maka pengolahan kotoran manusia tersebut pada
dasarnya sama dengan pengolahan air limbah. Oleh sebab itu pengolahan kotoran manusia,
demikian pula syarat-syarat yang dibutuhkan pada dasarnya sama dengan syarat pembuangan
air limbah (Depkes RI, 1985.

Sementara menurut Kusnoputranto (1997), terkait dengan pengolahan ekskreta manusia dan
aspek kesehatan masyarakat, terdapat dua sistem pengolahan yang digunakan, yaitu: a).
Sistem kering (night soil) seperti Pit Latrine, composting toilets, cartage systems,
composting; b). Sistem basah (sewage), seperti aquaprivy dan septick tank.

Sedangkan syarat jamban sehat menurut Depkes RI (1985), antara lain :

1. Tidak mencemari sumber air minum. Letak lubang penampungan kotoran paling
sedikit berjarak 10 meter dari sumur air minum (sumur pompa tangan, sumur gali, dan
lain-lain). Tetapi kalau keadaan tanahnya berkapur atau tanah liat yang retak-retak
pada musim kemarau, demikian juga bila letak jamban di sebelah atas dari sumber air
minum pada tanah yang miring, maka jarak tersebut hendaknya lebih dari 15 meter;
2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus. Untuk itu
tinja harus tertutup rapat misalnya dengan menggunakan leher angsa atau penutup
lubang yang rapat;
3. Air seni, air pembersih dan air penggelontor tidak mencemari tanah di sekitarnya,
untuk itu lantai jamban harus cukup luas paling sedikit berukuran 11 meter, dan
dibuat cukup landai/miring ke arah lubang jongkok;
4. Mudah dibersihkan, aman digunakan, untuk itu harus dibuat dari bahan-bahan yang
kuat dan tahan lama dan agar tidak mahal hendaknya dipergunakan bahan-bahan yang
ada setempat;
5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna terang;
6. Cukup penerangan;
7. Lantai kedap air;
8. Luas ruangan cukup, atau tidak terlalu rendah;
9. Ventilasi cukup baik;
10. Tersedia air dan alat pembersih.

Berdasarkan bentuknya, terdapat beberapa macam jamban menurut beberapa ahli. Menurut
Azwar (1983), jamban mempunyai bentuk dan nama sebagai berikut :

1. Pit privy (Cubluk): Kakus ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah
sedalam 2,5 sampai 8 meter dengan diameter 80-120 cm. Dindingnya diperkuat dari
batu bata ataupun tidak. Sesuai dengan daerah pedesaan maka rumah kakus tersebut
dapat dibuat dari bambu, dinding bambu dan atap daun kelapa. Jarak dari sumber air
minum sekurang-kurangnya 15 meter.
2. Jamban cemplung berventilasi (ventilasi improved pit latrine): Jamban ini hampir
sama dengan jamban cubluk, bedanya menggunakan ventilasi pipa. Untuk daerah
pedesaan pipa ventilasi ini dapat dibuat dari bambu.
3. Jamban empang (fish pond latrine): Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di
dalam sistem jamban empang ini terjadi daur ulang (recycling) yaitu tinja dapat
langsung dimakan ikan, ikan dimakan orang, dan selanjutnya orang mengeluarkan
tinja, demikian seterusnya.
4. Jamban pupuk (the compost privy): Pada prinsipnya jamban ini seperti kakus
cemplung, hanya lebih dangkal galiannya, di dalam jamban ini juga untuk membuang
kotoran binatang dan sampah, daun-daunan.
5. Septic tank: Jamban jenis septic tank ini merupakan jamban yang paling memenuhi
persyaratan, oleh sebab itu cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan.
Septic tank terdiri dari tangki sedimentasi yang kedap air, dimana tinja dan air
buangan masuk mengalami dekomposisi.

Jamban bentuk septic tank sebagai bentuk jamban yang paling memenuhi syarat, tinja
mengalami beberapa proses didalamnya, sebagai berikut :

1. Proses kimiawi: Akibat penghancuran tinja akan direduksi sebagian besar (60- 70%),
zat-zat padat akan mengendap di dalam tangki sebagai sludge Zat-zat yang tidak dapat
hancur bersama-sama dengan lemak dan busa akan mengapung dan membentuk
lapisan yang menutup permukaan air dalam tangki tersebut. Lapisan ini disebut scum
yang berfungsi mempertahankan suasana anaerob dari cairan di bawahnya, yang
memungkinkan bakteri-bakteri anaerob dan fakultatif anaerob dapat tumbuh subur,
yang akan berfungsi pada proses selanjutnya.
2. Proses biologis: Dalam proses ini terjadi dekomposisi melalui aktivitas bakteri
anaerob dan fakultatif anaerob yang memakan zat-zat organik alam sludge dan scum.
Hasilnya selain terbentuknya gas dan zat cair lainnya, adalah juga pengurangan
volume sludge, sehingga memungkinkan septic tank tidak cepat penuh. Kemudian
cairan influent sudah tidak mengandung bagian-bagian tinja dan mempunyai BOD
yang relatif rendah. Cairan influent akhirnya dialirkan melalui pipa.

Reference, antara lain : Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Azwar, A. 1983. Mutiara,
Jakarta. dan Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat, Direktorat Jenderal PPM & PL. 2003,

Anda mungkin juga menyukai