Tabiat dakwah ini berkembang dan menyebar ke berbagai pelosok dunia. Karena misi
dakwah ini adalah menyebarkan rahmat bagi dunia untuk seluruh umat manusia (Al-Anbiya:
107). Dengan begitu dakwah menjadi hak semua orang agar mereka meraih hidayah Allah.
Amatlah pantas semua kalangan mendapatkan nikmat dakwah. Paling tidak, semua manusia
dapat merasakan rahmat Islam. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh kepribadian dai dan
aktivis dakwah. Aktivis dakwah yang memikul tugas mengembangkan ajaran Islam ke
segenap pelosok bumi seyogianya adalah orang yang mampu meningkatkan integritas diri
dari masa ke masa. Peningkatan diri aktivis dakwah selaras dengan perkembangan dakwah.
Peningkatan integritas diri secara mandiri inilah yang disebut dengan tarbiyah dzatiyah.
Kemampuan tarbiyah dzatiyah menjadikan dai mampu bertahan dalam berbagai ujian dan
cobaan dakwah. Ia tidak futur (malas dan lesu), tidak kendur semangat dakwahnya,
pemikirannya tidak jumud dan tidak akan bimbang dan ragu menjawab berbagai tuduhan
miring serta yang sangat diharapkan dari efek tarbiyah dzatiyah adalah seorang dai mampu
menyelesaikan persoalan yang menghadangnya.
Dengan sikap itu aktivis dakwah tidak sangat bergantung pada bayanat pusat atau
qararat qiyadah. Melainkan ia mampu mengembangkan dakwah sebagaimana mestinya. Dan
dapat mengambil keputusan yang tepat. Utusan-utusan Rasulullah saw. telah membuktikan
dirinya dalam mengembangkan dakwah di berbagai tempat. Mereka dapat bertahan sekalipun
jauh dari Rasulullah saw. dan komunitas muslim lainnya. Jafar bin Abi Thalib di antaranya.
Dia dan sahabat lainnya dapat tinggal di Habasyah dalam waktu yang cukup lama. Sekalipun
mereka sangat merindukan berkumpul bersama dengan saudara muslim lainnya, mereka
dapat mempertahankan dirinya dalam keimanan dan ketaqwaan. Begitu kuatnya daya tahan
mereka hidup bersama dakwah jauh dari saudara-saudaranya yang lain dalam waktu yang
cukup lama. Hingga Rasulullah saw. begitu bangga terhadap mereka di saat mereka pulang
ke Madinah. Beliau menyatakan, Aku bingung apa yang membuat senang diriku, apakah
karena menangnya kita di Khaibar ataukah kembalinya kaum muslimin dari Habasyah.
Demikian pula Mushab bin Umair sebagai duta Islam pertama dapat
mengembangkan dakwah di Madinah dan berhasil membangun masyarakat di sana. Mushab
sebagai guru pertama di Madinah dapat memperluas jaringan dakwah dan aktivisnya.
Sehingga tempat itu menjadi basis komunitas umat Islam di kemudian hari. Dan menjadi
mercusuar peradaban Islam. Begitulah kepribadian aktivis dakwah yang mumpuni dalam
mengemban amanah mulia. Mereka dapat menunaikan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya.
Lantaran tarbiyah dzatiyah yang ada pada diri mereka. Malah banyak tugas-tugas lain dapat
diselesaikan dengan nilai cumlaude. Sebaliknya aktivis dakwah yang tidak mampu
meningkatkan integritas dirinya cenderung linglung. Bahkan mungkin akan menimbulkan
kegaduhan dalam kerja dakwah. Sebagaimana ungkapan pujangga lama Al-askarul ladzi
tasuduhul bithalah yujidul musyaghabati, aktivis yang tidak punya kemampuan untuk berbuat
sesuatu sangat potensial membuat kegaduhan dalam kerja dakwah.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui. (Al-Anfal: 27)
Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Al-Mutaharikah (Kepribadian Aktivis Islam)
Tidak dipungkiri bahwa Tarbiyah Dzatiyah menjadi kepribadian aktivis Islam.
Bahkan Rasulullah saw. menilai hal ini sebagai prasyarat untuk para duta Islam dalam
mengembangkan dakwah. Karenanya hal ini menjadi point dalam fit and profer-test bagi
mereka yang akan menjalani tugasnya. Sehingga seseorang yang diutus ke suatu tempat, Nabi
saw. mempertimbangkan kemampuannya dalam pengembangan integritas dirinya.
Hal ini sebagaimana yang dipertanyakan Rasulullah saw. pada Muadz bin Jabal saat
akan diutus ke Yaman. Wahai Muadz, bila kamu berada di tempat yang baru nanti, jika
menemukan suatu persoalan apa yang akan kamu putuskan? Muadz menjawab, Aku akan
putuskan berdasarkan Kitab Allah. Rasulullah saw. pun melanjutkan, Bila tidak kamu
temukan pada Kitab Allah, dengan apa kau putuskan? Jawab Muadz, Aku akan tetapkan
berdasarkan Sunnah Rasulullah. Nabi saw. kemudian menanyakan kembali, Bila tidak juga
kamu dapati di dalamnya, apa yang akan kamu lakukan? Muadz menjawab, Aku akan
putuskan dengan akal pikiranku (ijtihadku). Ternyata jawaban Muadz sangat memuaskan
hati Rasulullah saw. Malah beliau memandang bahwa kualitas Muadz sudah memadai untuk
mengemban tugas mulia tersebut.
Kapabilitas yang semacam itu diharapkan mampu menyelesaikan setiap permasalahan
yang selalu muncul di lapangan dakwah. Sehingga ia tidak selalu menyerahkan masalah itu
pada qiyadah dakwah ataupun aktivis lainnya. Dengan kemampuan itu aktivis dakwah tidak
gamang dalam menyikapi berbagai urusan yang terkait dengan tanggung jawabnya. Karena
tanpa sikap itu persoalan dakwah akan bertambah pelik dan menambah beban qiyadah. Telah
sering kita dengar qiyadah dakwah mengarahkan agar aktivis tidak selalu mengandalkan
jawaban dari pusat atau menunggu bayanatnya. Melainkan mereka perlu menyikapi dengan
cepat apa yang mesti diambil sikapnya untuk menuntaskan suatu permasalahan.
Meski demikian kita pun perlu melihat koridornya agar tidak terjebak dalam membebaskan
diri untuk selalu bersikap di luar kendali qiyadah. Karena ini pun akan menimbulkan
kekisruhan dalam struktural kendali dakwah. Seperti sikap Hudzaifah ibnul Yaman sewaktu
ditugaskan Rasulullah saw. masuk ke barisan musuh. Hudzaifah mendapati Abu Sufyan
sedang memanaskan tubuhnya karena udara dingin. Saat itu Hudzaifah mampu untuk
membunuhnya, akan tetapi ia teringat pesan Rasulullah saw. bahwa tugasnya waktu itu
adalah memperhatikan kondisi musuh dan mengabarinya kepada Rasul. Sehingga ia urung
untuk membunuhnya walau kesempatan itu ada di hadapannya.
Karena itu perlu menempatkan secara imbang terhadap permasalahan ini. Peningkatan
integritas diri dan mematuhi rambu-rambu qiyadah. Yang lebih berbahaya lagi bagi aktivis
dakwah adalah bila tidak memiliki keduanya. Syaikh Hamid Asykariyah menegaskan,
mereka yang sudah tidak punyai kebaikan (peningkatan integritas diri dan mematuhi rambu-
rambu qiyadah), mereka telah kehilangan kesadaran terhadap kemuliaan dakwah dan
kepunahan perilaku taat pada qiyadah. Siapa yang telah kehilangan dua hal ini, maka mereka
tidak ada gunanya tetap berada dalam barisan dakwah bersama kita.
Adau Mutathallibatil Manhaj (Menyelesaikan Tuntutan Manhaj)
Manhaj dakwah memberikan ruang yang banyak untuk sarana tarbiyah agar dapat
merealisasikannya seoptimal mungkin. Baik melalui liqaat tarbawiyah, daurah, seminar,
mukhayyam ataupun tarbiyah dzatiyah. Untuk mengaplikasikan manhaj dakwah yang begitu
banyak dan padat tidaklah memadai dengan sarana tarbiyah regular. Karena keterbatasan
alokasi waktu maupun keterbatasan Murabbi dalam menyelesaikan tuntutan manhaj. Maka
tarbiyah dzatiyah menjadi sarana untuk menyelaraskan tuntutan manhaj tersebut.
Oleh karena itu perlu dipahami dengan benar pada setiap aktivis dakwah agar dapat
melakukan tarbiyah dzatiyah dalam dirinya. Hal ini akan sangat membantu mengaplikasikan
nilai-nilai tarbawiyah secara maksimal. Dan dapat mencapai arahan manhaj yang menjadi
acuan dakwah untuk mewujudkan dai yang siap meringankan perjalanan dakwah ini. Bila
masing-masing aktivis sibuk untuk merealisasikan manhaj dalam dirinya sebagaimana
tuntutan manhaj maka semua aktivis akan aktif dengan berbagai program dan kegiatannya.
Syaikh Abdul Halim Mahmud menyatakan bahwa tarbiyah dzatiyah merupakan tuntutan
manhaj dakwah ini. Baik dalam arahannya agar menjadi aktivis dakwah yang sigap dan
tanggap dalam menyambut tugas dakwah. Juga dalam muatannya yang tidak dapat diberikan
secara kolektif karena berbagai pertimbangan. Namun dituntaskan secara personal dengan
peningkatan kemampuan tarbiyah dzatiyah. Sehingga tampil aktivis yang siap go publik
dengan Allah di jalan dakwah.
2. Al-Fikriyah (Pemikiran)
Pada dasarnya pemikiran manusia senantiasa menuntut konsumsinya agar tidak mengalami
kejumudan berpikir. Untuk memenuhi tuntutan tersebut tidaklah cukup mengandalkan
muatan pemikiran dari majelis liqaat tarbiyah semata. Akan tetapi dapat mencari berbagai
sumber penggalian berpikir. Bisa melalui penelaahan kitab, menghadiri acara kajian ilmiah
ataupun kegiatan peningkatan wawasan lainnya.
Telah banyak paparan nash dari Al-Quran ataupun Hadits yang menyuruh untuk
memberdayakan kemampuan berpikir dengan melakukan pengamatan dan pengkajian.
Sehingga pemikiran dai senantiasa dalam pencerahan bahkan ia selalu dapat mencari solusi
yang pas. Bila demikian halnya pemikiran aktivis senantiasa berkembang dan menjadi pintu
gerbang kemajuan intelektual. Maka, adalah wajib bagi aktivis dakwah untuk membaca buku
beberapa jam dalam setiap hari serta memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya sekalipun
kecil.
3. Al-Maliyah (Material)
Dakwah juga dipengaruhi oleh kekuatan material. Tidak terkecuali para pengembannya.
Karena itu setiap aktivis harus memiliki kemampuan interpreneurshipnya agar tidak menjadi
beban orang lain. Ini harus menjadi muwashafat dai. Dai harus memiliki kemampuan mencari
penghidupan bagi dirinya (qadirun alal kasabi).
Para sahabat yang diridhai Allah swt. telah memberikan pelajaran pada kita semua bahwa
mereka tidak menjadi beban bagi saudara. Kaum Muhajirin yang datang ke Madinah tidak
membawa apa-apa, namun mereka tidak mengandalkan bantuan kaum Anshar. Kaum
Muhajirin mampu mengembangkan potensi maaliyah dirinya. Mereka pun akhirnya dapat
hidup sebagaimana layaknya malah ada yang lebih baik dari kehidupannya di Mekkah.
Sasaran yang hendak dicapai dari tarbiyah dzatiyah bagi seorang aktivis dan
perkembangan dakwah adalah sebagai berikut:
Kedua, setelah menentukan fokusnya maka mulailah memperhatikan sisi prioritas amal yang
hendak dilakukan. Aspek mana saja yang akan dilakukan dengan segera. Hal ini tentu melihat
pertimbangan kebutuhan saat ini. Misalnya aspek ruhiyah yang diprioritaskan, maka buatlah
program yang jelas untuk segera dikerjakan.
Ketiga, sesudah itu mulailah melaksanakan dari hal yang ringan dan mudah dari program
yang telah ditetapkan agar dapat dilakukan secara berkesinambungan. Keempat, agar dapat
menjadi program kegiatan yang jelas, tekadkan untuk memulainya dari saat ini dan berdoalah
pada Allah swt. agar dimudahkan dalam menjalankan ikrarnya. Kelima, untuk dapat bertahan
terus melakukannya, upayakan untuk memberikan sanksi bila melanggar ketentuan yang
telah diikrarkan.