Anda di halaman 1dari 7

Terbenamnya Matahari

Matahari menatap ke luar jendela kamarnya dengan pandangan kosong. Ia baru saja
kehilangan orang yang ia sayangi, Gian. Gian adalah tunangannya. Jika Gian masih
hidup, hari itu mereka akan menikah. Matahari menangis. Ia sudah menyerah dalam
langkahnya.

Aku merindukanmu, Gian. Aku takut aku tak sanggup tanpamu. Kaubilang aku
sanggup, tapi aku terluka. Katanya dalam hati.

Matahari menatap langit. Langit mulai menggelap. Binatang seakan tidak ada yang
bersinar, hanya lampu lamlu sekeliling rumah menyapa namun tidak bisa menghapus
luka hati. Matahari masih menangis.

Matahari. Panggil Bu Linda dari luar kamarnya. Makan, yuk, Sayang. Nanti kamu
sakit. Besok kan kamu kerja.

Matahari tidak ingin membalas. Ia hanya terdiam walau mendengar. Ia sedang ingin
sendirian ditemani malam. Tiada bintang terlihat.

Gian, aku ingin nelihatmu lagi. Tapi, kau tak kunjung datang. Kaubilang padaku kau
akan hadir lewat bintang. Tidak ada. Apa kaulupa akan aku setelah kaupergi? Dalam
mimpi kita, itu hanya sesaat dan ketika aku bangun kau sudah tidak hadir.

Matahari, ayo makan. Nanti kita setelah ini keluar, ya? Papa juga ikut. kata Bu Linda
dengan pikiran pesimis tapi tetap berjuang untuk mengembalikan keceriaan putri satu
satunya itu.

Matahari hanya tersenyum pahit. Ia mengerti bahwa Sang Bunda ingin ia tetap bangkit.
Sayangnya, ia masih butuh waktu sendirian dan berduka. Ia capek untuk pura pura
tegar di depan orang orang yang ia sayangi.

Ia tahu ia sering menutup dukanya saat acara di rumah duka dan pemakaman Gian
karena ia tahu orang lainlah yang membutuhkan dia untuk tegar saat itu. Ia kasian
kepada keluarga Gian yang kehilangan dan ia harus jadi perempuan tegar untuk menjadi
sandaran dan menghibur mereka. Namun, saat itu, ia merasa ini waktunya dia untuk
berduka. Ia lelah menahan dukanya. Ia ingin waktunya sendiri dan meluapkan semua
kekecewaannya atas kematian Gian. Gian meninggal karena kecelakaan. Ia masih
sempat bertemu Matahari sebelum ajalnya menjemput.

Sang Bunda akhirnya menyerah. Ia sadar bahwa selama ini Matahari berjuang untuk
menghibur keluarga Gian. Ia belum menemukan orang yang bisa menghibur dirinya
atas kehilangan Gian. Akhirnya Bu Linda pun makan malam bersama suaminya.

Matahari belum mau keluar.

Sudahlah. Anak itu memang sedang berduka. Kita juga tidak bisa apa apa. Nanti
juga, lama lama bisa kembali normal. Kata Pak Krisna, Sang Ayah.

Melihat dia kayak gitu rasanya miris, Pa. Saya pingin nangis sekarang. Dia sebelum
Gian baru meninggal tidak sampai sebegininya kalau ada masalah. Masih mau makan
bareng. Sekarang malah dia jadi tertutup.

Harusnya mereka menikah hari ini, kan. Jadi, ya, mungkin dia butuh waktu sendirian.
Ia harus belajar melepaskan Gian.

Sanggupkah?

Sanggup, tapi berat. Tidak mudah.

Memangnya Papa pernah? Kok tahu?

Kalau pernah aku pasti cerita sama kamu. Temannya aku dulu pernah kayak gitu juga
sampai niat bunuh diri. Untung masih bisa selamat dan hidup.

Waduh, kalau Matahari gitu?

Sudah. Papa percaya Matahari tidak akan bunuh diri. Dia sifatnya kuat dan tegar, kok.
Cuma memang ga bisa selamanya tegar.

Sepasang suami istri itu melanjutkan makan malamnya. Mereka juga membahas
pekerjaan Pak Krisna yang semakin menumpuk. Pak Krisna juga tidak mengeluh. Ia
berencana membagi tugas ke bawahannya agar ia sanggup bekerja dengan efektif.

Matahari memang melewatkan makan malam. Saat pagi, ia kembali beraktivitas. Bu


Linda sudah memasak sarapan untuknya dan ia hanya bisa makan sedikit. Selera
makanya masih hilang. Tapi, ia masih berniat kerja. Pekerjaannya adalah staf
administrasi di sebuah bimbingan belajar bernama Bintang Bersama. Ia menyukai anak
kecil. Jadi, ia senang dengan pekerjaannya.

Hanya saja, saat ia bekerja, pikirannya tidak fokus. Ia sering mengecek dari awal karena
ketidakyakinannya atas kinerjanya hari itu. Ia sering kembali mengingat Gian dan
mengenangnya. Beberapa murid lama menyadarinya. Beberapa anak kecil sering
meminta perhatiannya namun saat itu Matahari tampak tidak mau peduli. Orang tua
murid yang datang juga merasakannya. Salah satu dari mereka memarahi Matahari
karena Matahari tidak bisa fokus dengan apa yang mereka bicarakan saat itu.

Manajer Bintang Bersama, Haris keluar menemui orang tua murid yang marah, Pak
Lukman. Ia meminta maaf atas kesalahan Matahari. Ia juga menjelaskan bahwa
Matahari baru saja sakit dan tidak ada staf yang bisa menggantikannya. Pak Lukman
memang tipikal pemarah dan tegas. Ia tidak peduli. Ia hanya bisa tetap marah dan Haris
pun menjelaskan dengan terperinci tentang segala pertanyaan Pak Lukman saat itu.

Matahari memang tidak terlalu memperhatikan. Ia tidak sanggup. Orang tua yang lain
juga menyadari itu. Mereka kasian kepada Matahari karena mereka tahu kinerja
Matahari sebenarnya jauh lebih baik. Pak Lukman akhirnya pergi dari tempat bimbel
setelah anaknya selesai belajar.

Matahari. Ikut aku ke dalam, ya? kata Haris.

Iya, Pak.

Bagaimana kabarmu? tanya Haris dengan tenang.

Aku

Kamu kalau butuh cuti bilang saja. Jangan takut atau merasa bersalah kalau butuh. Aku
bisa bantu di depan kok kalau memang dibutuhkan.

Maaf, tadi aku memang tidak bisa fokus.

Kamu itu masih dalam suasana duka. Aku masih mengerti, kok. Aku bukan pemimpin
yang tidak mau peduli dengan kondisi rekan kerja. Tapi, memang kita harus sadar, kalau
dari kita juga tidak maksimal, kita juga bisa mencemarkan nama baik sendiri.

Iya, Pak. Maaf.


Besok kamu cuti saja dulu, ya? Pergilah ke tempat yang kamu suka. Kalau kamu perlu
dua hari juga tidak apa apa, kok. Aku ikhlas.

Tapi, Pak. Nanti

Matahari, kamu butuh Hei, kita bukan manusia sempurna.

Iya, Pak. Terima kasih.

Kamu belum pernah pakai masa cuti kamu, kok. Jadi pakailah. Kata Haris tersenyum.
Ambillah dan terserah kamu mau pakai buat apa. Asal pas kamu kembali ke sini, kamu
harus bisa maksimal lagi seperti biasa.

Matahari mengangguk. Mungkin memang benar, ia lupa kalau dirinya sendiri juga
belum sekuat itu melawan dukanya. Ia memahami itikad Haris.

Baiklah, Pak. Saya ambil marah cuti saya dua hari dulu.

OK. Kalau kamu butuh lebih, kabari aku, ya. Masih ada lima hari lagi.

Nanti saja, Pak.

Matahari pun mengambil cuti. Ia hanya bisa lega karena Haris tidak memarahinya. Ia
malah disuruh mengambil cuti. Setelah keluar dari kantor, Matahari dibantu Haris
dalam pekerjaannya. Mereka pun membagi tugas. Setelah itu, Matahari pulang ke
rumahnya. Beberapa orang tua murid menanyakan Haris mengapa Matahari ke kantor.
Mereka khawatir Matahari akan diberhentikan.

Tunangan Matahari baru saja meninggal. Kalau masih hidup, mereka harusnya
menikah kemarin. Matahari jadi sering melamun setelah pemakaman tunangannya itu,
Bu. Jadi, saya suruh ambil cuti dulu.

Iya, ya. Aku juga dengar katanya tunangannya meninggal. Kasian, ya? Belum sempat
bilang turut berduka cita buat dia. Kata seorang ibu murid.

Di rumah, Matahari pun makan malam bersama keluarga. Mereka tidak berbicara
banyak. Matahari hanya bilang kalau ia dusuruh cuti. Ia pun mengambil cuti selama dua
hari. Ia pun memutuskan untuk mengunjungi makam Gian dan entah untuk berapa lama.
Esok paginya, ia berangkat sendirian ke makam. Bu Linda ingin menemaninya namun
Matahari menolak. Ia ingin hanya berdua dengan Gian waktu itu. Sang Bunda khawatir
Matahari akan tenggelam lagi dalam kesedihannya. Namun, ia berusaha optimis walau
firasatnya mengatakan ia harus menahan Matahari.

Matahari pun memesan taksi online. Ia pergi ke makam dengan dandanan yang cantik.
Ia tampak seperti mau berkencan bukan melayat. Supir taksi, Pak Ahmad, hanya bisa
kaget melihat dandanan Matahari yang elegan padahal mereka akan pergi ke tempat
pemakaman.

Matahari pun berangkat ke pemakaman. Ia pergi dengan hati yang mantap. Ia harus
bersama dengan Gian. Jalanan waktu itu cukup sepi. Matahari pun tertidur di dalam
taksi. Dalam mimpinya, muncullah Gian.

Gian! Gian, aku senang melihatmu.

Gian begitu tampan di matanya. Cahaya putih mengelilingi raganya. Gian bahkan
memiliki sepasang sayap seperti malaikat. Ia terlihat begitu bahagia. Matahari langsung
memeluknya. Ia menangis bahagia.

Aku tidak mau bangun lagi. Aku ingin bersamamu. Aku harus bersamamu, Gian.
Kata Matahari. Kenapa kau tidak pernah hadir? Kau janji kau tidak akan pergi. Tiap
kali dalam mimpiku, kau selalu jadi bayangan dan menghilang.

Matahariku, kau tahu kau harusnya bisa sendiri tanpa diriku.

Aku tidak sanggup. Kamu salah.

Kamu ini selalu pura pura kuat. Tapi, kamu tidak sekuat itu. Bangkitlah kembali
seperti dulu.

Aku tidak mau. Aku lelah.

Kamu ini selalu menyemangati orang lain tapi menyemangati diri sendiri malah tidak
bisa.

Bawa aku terbang bersamamu. Gian, aku tidak mau terpisah lagi. Rasanya sakit.

Baiklah. Tapi itu karena Ia memintaku menjemputmu.


Gian pun membawa Matahari terbang. Sayap Gian begitu lebar melindunginya. Langit
begitu pindah dan Matahari melihat lorong dengan cahaya pelangi. Ia melihat apa ia
yang ia bayangkan sebagai surga. Banyak mahluk luar biasa ada di sekitarnya. Para
malaikat terlihat menyambut dan menyapa mereka berdua.

Sementara itu, di rumah Matahari. Sang Bunda mulai merasa gelisah. Ketika ia melihat
Matahari hari ini, ia melihat ada cahaya yang mengikuti Matahari waktu itu. Ia hanya
bisa terdiam. Ia merasa Gian ada di sisi Matahari atau setidaknya ia berharap Tuhan
menemani dia waktu itu. Air matanya menetes tanpa alasan yang jelas.

Ia menelepon Krisna memintanya menjemput Matahari. Namun, Krisna saat itu tidak
mengangkat panggilan teleponnya. Saat pulang, ia baru menyadari bahwa putrinya
menghilang. Mereka mencari di pemakaman, namun mereka tidak menemukan
Matahari. Seorang penjaga makam mengatakan ia memang melihat Matahari. Namun,
Matahari tidak peduli dengan panggilannya. Wajah Matahari saat itu cerah, tapi yang
membuat beberapa orang bingung adalah dia tidak menghiraukan sapaan atau guyonan
orang lain tentang pakaiannya yang berbeda. Keluarga Matahari mencari ke area sekitar
makan. Mereka memanggil nama Matahari berulang kali. Jika mereka bertemu dengan
seseorang, mereka langsung bertanya apakah mereka pernah melihat Matahari.

Seorang wanita tua pun mengatakan bahwa ia melihat Matahari. Hanya saja, Anehnya,
ia mengatakan bahwa Matahari waktu itu sudah bukan milik bumi lagi. Dunianya sudah
berbeda walau raganya masih di bumi. Wanita itu hanya bisa mengatakan bahwa itu
cuma Tuhan yang tahu.

Saat malam tiba, Matahari sudah terbenam. Ia memang akan bangkit lagi. Sayangnya,
bukan di bumi. Tuhan menghendaki mengambil Matahari. Saat malam, Matahari
ditemukan meninggal karena alasan yang mereka belum ketahui. Pak Ahmad, supir
taksi yang mengantarkannya, hanya bisa mengatakan sebagai salah satu orang yang
terakhir melihatnya, Matahari pergi ke makam tapi ia tidak menyapa Pak Ahmad sama
sekali. Di mobil, selama perjalanan, Matahari tertidur pulas. Saat ia sampai, ia langsung
terbangun dan meninggalkan taksi. Matahari memang tidak perlu membayar tunai. Pak
Ahmad sendiri langsung pergi meninggalkan Matahari tanpa bertanya lebih lanjut. Ia
merasa Matahari memang bersifat cuek dan tidak senang bergaul dengan orang lain.
Matahari dimakamkan di samping makam Gian. Sang Ayah dan Bunda
mempertanyakan kepergian Matahari. Matahari tidak sakit, tidak ada racun di dalam
tubuhnya. Kematiannya masih mengundang berbagai pertanyaan. Kedua orang tuanya
pun memutuskan untuk tidak menyelidikinya lebih lanjut. Kepergian Matahari adalah
kehendak Yang Maha Kuasa. Bagaimanapun cara-Nya, nafas Matahari sudah diambil.
Ia akan terbit kembali di sisi Yang Termuliakan bersama dengan cintanya, Gian.

Biodata

Penulis yang bernama Vicynthia Tjahjadi sebenarnya adalah seorang guru piano. Selain
bermusik, ia juga suka menulis. Ia pernah belajar menulis dengan Indari Mastuti
beberapa tahun yang lalu. Dalam bidang penulisan, ia pernah menulis beberapa buku
non fiksi, di antaranya adalah mengenai osteoporosis dan diabetes. Saat ini, ia ikut serta
event menulis Satu Minggu Satu Cerita sebagai penyaluran hobi menulisnya. Lewat
akun Facebooknya, Vicynthia Tj, ia senang sharing hal hal yang ia rasa bermanfaat
untuk orang lain.

Anda mungkin juga menyukai