Anda di halaman 1dari 27

2.

2 Feminisme

2.2.1 Pengertian Feminisme

Kata feminisme pertama kali diperkenalkan oleh aktivis sosialis utopis, Charles

Fourier pada tahun 1837 (Karim, 2014: 66). Dalam buku Encyclopedia of Feminism,

yang ditulis oleh Lisa Tuttle pada tahun 1986, feminisme dalam bahasa Inggrisnya

feminism, berasal dari bahasa Latin femina (woman), yang artinya having the qualities

of females. Istilah ini awalnya digunakan pada teori tentang persamaan seksual dan

gerakan hak-hak asasi perempuan, menggantikan womanism pada tahun 1980-an

(Suwastini, 2013 : 199)

Feminisme yang memiliki arti femina tersebut, memiliki arti sifat keperempuan,

sehingga feminisme diawali dengan anggapan bahwa posisi atau derajat laki-laki lebih

tinggi daripada perempuan dimasyarakat. Karna hal tersebut timbul berbagai cara untuk

mempelajari penyebab ketidaksetaraan antara hak perempuan dan laki-laki agar hak

perempuan dan laki-laki setara dalam segala bidang, sesuai dengan potensi yang mereka

miliki sebagai manusia.

Kalidjernih (2010 : 45) menyatakan bahwa :


Istilah feminisme ini mengacu kepada beberapa makna, antara lain : (1)
filosofi yang berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan secara politik,
ekonomi dan sosial sama, (2) teori (politik ) tentang penindasan terhadap
perempuan yang dilakukan oleh laki-laki dengan tujuan untuk membebaskan
perempuan dari eksploitasi laki-laki. (3) Pergerakan sosial yang mempromosikan
perubahan-perubahan spesifik kondisi perempuan dalam bidang hukum, ekonomi,
sosial budaya dan ekonomi, (4) Ideology yang menentang segala macam gagasan
dan perilaku yang merendahkan dan membenci perempuan.

Sedangkan Gamble (2004:1) menyatakan bahwa, Feminisme adalah sebuah

kepercayaan bahwa perempuan semata-mata karena mereka adalah perempuan


diperlakukan tidak adil dalam masyarakat yang dibentuk untuk memprioritaskan cara

pandang laki-laki serta kepetingannya.

Bagi Bahsin dan Night dalam bukunya Some Question of Feminism and its

Relevance in South Asia pada tahun 1986 menyatakan bahwa feminisme merupakan

suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan di masyarakat,

tempat kerja dan keluarga (Gamble, 2010:72). Jadi, dapat disimpulkan bahwa feminisme

adalah perjuangan untuk mencapai kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk

memilih dan mengelola kehidupannya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga.

Seiring dengan berjalannya waktu, feminisme bukan hanya sebuah wacana tetapi

telah menjadi sebuah idelogi yang mempunyai arti perlawanan, anti, dan bebas dari

penindasan, dominasi, hegemoni, ketidakadilan, dan kekerasan yang dialami perempuan.

Dengan adanya perlawanan ini dapat dinyatakan bahwa dalam feminisme harus ada aksi

untuk membebaskan perempuan dari semua ketidakadilan, sehingga feminisme juga

memiliki arti gerakan-gerakan yang muncul dan tumbuh dari perempuan ataupun upaya-

upaya politik dan sosial perempuan untuk mengakhiri penindasan yang telah mereka

alami (Gamble, 2010:2).

Oleh karena itu, feminisme saat ini bukan hanya sekedar idelogi dan kepercayaan

saja, akan tetapi merupakan suatu ajakan untuk bertindak atau gerakan pembebasan.

Dengan tindakan maka feminisme akan menjadi gerakan pembebasan perempuan yang

nyata dan dapat mengangkat derajat perempuan pada posisi yang sepantasannya. Jika

tidak, maka feminisme hanya akan menjadi retorika saja bahkan keberadaan pun juga

akan hilang.
2.2.2 Sejarah Feminisme di Barat

Feminisme mulai timbul pada abad ke-18 di Eropa, tepatnya di Perancis yang

didorong oleh adanya ideologi pencerahan (Aufklarung). Setelah terjadi revolusi sosial

dan politik di Amerika Serikat, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai

muncul. Dan gerakan feminisme ini pindah ke Amerika dan berkembang pesat disana

sejak John Stuart Mill mempublikasikan bukunya yang berjudul, The Subjection of

Women (1869). Feminisme dibarat ini mucul karena adanya pandangan meremehkan

atau membenci kaum perempuan (misogyny) serta adanya anggapan buruk yang melekat

pada perempuan (Karim, 2005:66).

Gerakan feminisme untuk pertama kalinya dicetuskan pada tahun 1785 oleh

Lady Mary Wortley Mantagu dan Marquis de Condorcet di Middelburg, sebuah kota di

Selatan Belanda (Kadarusman, 2005: 21). Pada awal abad ke-18 disebut sebagai titik

awal dalam sejarah feminisme. Walaupun sudah ada wanita yang melakukan debat untuk

mendapat posisi yang diakui masyarakat, feminisme belum terlalu banyak berkembang

pada saat itu. Pada saat itu hanya bermunculan para wanita yang menulis karya yang

menunjukkan tuntutan mereka untuk mendapatkan persamaan hak, khususnya di dalam

bidang pendidikan (Karim, 2014:65).

Gerakan feminisme awal merupakan usaha-usaha untuk menghadapi patriarki

antara tahun 1550-1700 di Inggris. Fokus perjuangan feminisme awal adalah melawan

pandangan patriarkis mengenai posisi subordinat perempuan karena dianggap sebagai

makhluk yang lebih lemah, lebih emosional dan tidak rasional (Gamble, 2010 : 5).
Menurut Gamble (2010: 3), Istilah patrialkal mengacu pada hubungan kekuatan

dimana kepentingan perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Hubungan

kekuatan ini memiliki banyak bentuk;mulai dari penggolongan pekerjaan menurut jenis

kelamin dan pemberdayaan dalam organisasi sosial, hingga norma feminitas yang

diinternalisasikan dalam kehidupan kita.

Perempuan yang telah menikah juga tidak memiliki kemerdekaan yang sah dari

suaminya. Karena setelah menikah, yang memegang kendali dalam rumah tangga adalah

laki-laki. Perempuan hanya menjadi ibu rumah tangga dan wajib melayani suaminya.

Melahirkan merupakan bagian terpenting dalam peran seorang istri, terutama untuk

mendapatkan ahli waris laki-laki atas kekayaan ayahnya sekaligus hak kepemilikannya.

Walaupun demikian, perempuan tidak memiliki hak atas anak-anaknya, baik itu

perkembangan dan pendidikan anak menjadi hak ayahnya. Dimata hukum saat itu, anak

menjadi milik ayahnya, dan jika orangtuanya bercerai, ayahnya pun bisa mencegah

ibunya untuk menghubungi anak-anakmya (Gamble, 2010:5).

Jadi, karena adanya peristiwa-peristiwa tersebut para perempuan sangat

menentang kekuasaan patriarkal. Pemikiran untuk melawan pandangan patriarkal ini

muncul karena berkembangnya pencerahan di Inggris yang mempengaruhi pemikiran

mengenai perempuan sebagai bagian dari masyarakat yang ikut berperan bagi

perkembangan masyarakat (Suwastini, 2013:199).

Menurut Hodgson-Wright, perjuangan feminisme awal melalui tiga cara, yaitu :

pertama melalui usaha untuk merevisi esensial subordinasi perempuan dalam ajaran

gereja, kedua dengan menentang berbagai buku panduan bersikap yang cenderung
mengekang perempuan pada jaman tersebut dan ketiga, dengan membangun solidaritas

antar penulis perempuan (Suwastini, 2013: 199). Solidaritas ini membangun

kepercayaan diri dan dukungan finansial di kalangan penulis perempuan.

Kondisi pendidikan pada tahun 1550-1700 sudah mengalami peningkatan.

Dimana saat itu pendidikan intelektual diberikan kepada anak-anak perempuan dalam

keluarga-keluarga. Akan tetapi, perempuan tetap dilarang untuk mendapat pendidikan

pada tingkat universitas. Selain itu, sebagian besar warga baik perempuan maupun laki-

laki tidak memiliki hak pilih. Mereka hanya memiliki sedikit akses untuk memperoleh

pendidikan dan posisi perwakilan pemerintahan. Oleh karena itu, pentingnya pendidikan

perempuan menjadi dasar bagi pergerakan feminisme gelombang pertama (Gamble,

2010 : 4).

1. Feminisme Gelombang Pertama

Feminisme gelombang pertama berlangsung pada tahun 1860-1920 (Hannam,

2007:8). Feminisme gelombang pertama ini, muncul dengan adanya tulisan Mary

Wollstonecraft The Vindication of the Rights of Woman (1792) hingga perempuan

mencapai hak pilih pada awal abad keduapuluh (Gamble, 2004 : 19). Tulisan

Wolstonecraft dilihat Sanders sebagai tonggak gerakan feminisme modern.

Wollstonecraft mengembangkan sisi rasional pada perempuan dan menuntut agar anak

perempuan dapat belajar di sekolah pemerintah sama dengan anak laki-laki (Suwastini,

2013:200).

Wolstonecraft menyerukan karyanya tersebut kepada perempuan-perempuan

kelas menengah, khususnya para ibu, sebagai kelas yang paling berpengaruh dalam
masyarakat. Dalam bukunya tersebut, Wolstonecfrat menekankan bahwa perlunya

membuat perempuan berpikir rasional, agar nalar perempuan menjadi lebih terdidik serta

meningatkan moralitas dan intelektual mereka. Selain itu, Wolstonecraft berharap

dengan dikembangkannya intelektualitas perempuan dapat membuat seorang perempuan

berkembang menjadi individu yang mandiri, terutama secara finansial (Gamble, 2010 :

20). Akan tetapi, karya Wolstonecfrat ini dirusak oleh suaminya. Dimana suaminya

menulis sebuah buku yang berjudul Memoirs (1798) tentang kisah hidup Wolstonecraft.

Dan dari buku tersebut, membuat pembaca tau tentang kisah hidupya yang tidak

bermoral, mereka pun menolak apa yang dikatakannya dalam Vindication (Gamble,

2010 :21).

Perjuangan Wollstonecraft ini dilanjutkan oleh pasangan Harriet Taylor dan John

Stuart. Mereka adalah pasangan suami istri. Pada tahun 1851, Taylor menerbitkan

karyanya yang berjudul Enfranchisement of Woman (pemberian hak suara kepada

perempuan) yang menyerang gagasan bahwa perempuan harus diperlakukan sebagai ibu

yang baik, dan menghimbau perluasan kesempatan kerja (Suwastini, 2013 :200). Saat

Hariet meninggal dunia pada tahun 1858, suaminya John Stuart Mill mengambil ide-

idenya dan berinisiatif untuk menerbitkan ide-ide istrinya (Gamble, 2010: 24). Mereka

memperjuangkan perluasan kesempatan kerja bagi perempuan dan hak-hak legal

perempuan dalam pernikahan maupun perceraian.

Pada tahun 1860an, terjadi perdebatan tentag hak-hak perempuan antara John

Ruskin (1819-1900) dengan John Stuart Mill (1806-1873). Dimana Mill bercerita
tentang realism politik seksual, sedangkan Ruskin tentag aspek romantisme dan sisi

mitologisnya yang positif (Gamble, 2010: 23).

Feminisme gelombang pertama juga diwarnai oleh usaha beberapa perempuan

untuk memperjuangkan hak perempuan setelah menikah dan hak asuh anak setelah

perceraian. Salah satu pejuang hak perempuan yang sudah menikah yang paling

menonjol adalah Caroline Norton yang memperjuangkan hak asuh atas anak-anaknya

setelah dia bercerai dengan suaminya (Gamble, 2004 : 25). Setelah bercerai dengan

suaminya, Caroline dijauhkan dengan ketiga anaknya. Dengan bantuan pengacara muda

yang juga merupakan anggota partai di Inggris, yaitu Thomas Talfourd. Caroline

membuat pamplet yang menyerang hukum yang berlaku tentang perlindungan anak. Dan

pengacaranya memperjuangkan biaya perlindungan anak dalam parlemen. Karena

usahanya belum berhasil, Caroline membuat pamplet keduanya yang meyerang

keganjilan hukum yang mencabut hak seoarang perempuan yang tidak berdosa atas

anaknya yang sah (Gamble, 2010:25). Sehingga dengan cara itu Caroline dan

pengacaranya berhasil menghasilkan Infant Custody Bill (Undang-undang Perlindungan

Anak) pada tahun 1839, yang mengizinkan istri yang sudah berpisah dari suaminya yang

memilki kepribadian yang baik dan tidak berselingkuh, mendapatkan hak pemeliharaan

anak dibawah 7 tahun (Gamble, 2010:25).

Tak berhenti disitu, Caroline kembali ke pengadilan untuk memperkarakan

perbaikan undang-undang mengenai kekayaan perempuan yang udah menikah. Karena

setelah bercerai, Caroline membiayai hidupnya sendiri dengan menulis, tetapi menurut

hukum saat itu, kekayaan perempuan yang sudah menikah, pendapatannya menjadi
milik suaminya (Gamble, 2010:26). Setelah 25.000 perempuan menandatangani sebuah

surat permohonan yang berkaitan dengan kepemilikan kekayaan perempuan sesudah

menikah, hak-hak sah tercantum dalam The Matrimonial Causes Act ( Undang-Undang

Perkara Perkawinan) tahun 1857. Undang-Undang ini memperbolehkan istri untuk

menyimpan penghasilannya dan mewarisi kekayaan pribadinya, sedangkan pendapatan

lainnya menjadi milik suaminya (Gamble, 2010:26).

Aktifitas para perempuan ini mengakibatkan tumbuhnya kesadaran mengenai

ketertindasan perempuan yang kemudian mendorong munculnya berbagai organisasi

untuk membela nasib kaum perempuan. Aktifitas kaum feminis di Amerika dimulai

dengan adanya konvensi Seneca Falls yang menuntut dihapuskannya semua

diskriminasi berdasarkan jenis kelamin (Gamble, 2010 : 29).

Pada feminisme gelombang pertama ini, hak pilih untuk perempuan juga dicapai

yaitu pada tahun 1918. Akan tetapi saat itu, hak pilih ini hanya berlaku bagi perempuan

yang berusia diatas 30 tahun. Pada tahun 1928, barulah perempuan mempunyai hak

pilih yang sama dengan laki-laki (Gamble, 2004: 33).

Menurut Sanders, feminisme gelombang pertama hanya memperjuangkan

perempuan lajang dari kelas menengah saja, terutama yang memiliki intelektualitas

tinggi (Suwastini, 2013 : 200). Sementara itu, gerakan mereka hanya ditujukan untuk

isu-isu tertentu saja dan belum ada kesadaran mengenai gerakan feminisme yang lebih

luas. Hanya perempuan kaya yang memiliki kesempatan untuk berkarir dan kehidupan

domestik karena mereka mampu membayar pelayan untuk melakukan pekerjaan rumah

tangga mereka. Dan kritik yang paling mencolok adalah para feminis ini masih
mengandalkan bantuan kaum laki-laki untuk mencapai tujuan-tujuan mereka (Suwastini,

2013 : 200).

2. Feminisme Gelombang Kedua

Feminisme gelombang kedua berlangsung pada tahun 1960-1970an (Hannam,

2007:8). Feminisme gelombang kedua muncul ditandai dengan terbitnya The Feminine

Mystique oleh Betty Friedan, diikuti dengan berdirinya National Organization for

Woman (NOW, 1966) yang didirikan oleh Betty Friedan dan munculnya kelompok-

kelompok conscious raising (CR) pada akhir tahun 1960an (Suwastini, 2013 : 201).

Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong

dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati

kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk

pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai

hak pilih secara penuh dalam segala bidang ( Hariarti, 2003: 149).

Feminisme gelombang kedua bertema womens liberation yang dianggap

sebagai gerakan kolektif yang revolusionis. Gelombang ini muncul sebagai reaksi

ketidakpuasan perempuan atas berbagai diskriminasi yang mereka alami meskipun

emansipasi secara hukum dan politis telah dicapai oleh feminisme gelombang pertama.

Untuk itu, feminisme gelombang kedua lebih memusatkan diri pada isu-isu yang

mempengaruhi hidup perempuan secara langsung: reproduksi, pengasuhan anak,

kekerasan seksual, seksualitas perempuan, dan masalah domestisitas (Suwastini, 2013 :

201).
Menurut Thornham, feminisme gelombang kedua di Amerika dapat

dikelompokkan menjadi dua aliran (Suwastini, 2013: 201). Kelompok pertama

merupakan aliran kanan yang bersifat liberal yang bertujuan untuk memperjuangkan

partisipasi perempuan di seluruh kehidupan sosial (di Amerika), dengan hak dan

kewajiban yang sama dengan laki-laki (Suwastini, 2013: 201). Aliran ini ada di bawah

organisasi NOW (National Organization for Women- Organisasi Perempuan Nasional)

yang didirikan oleh Betty Freidan pada 1966 (Hollows, 2010 :5)

Aliran ini percaya bahwa kekuasaan patriarki bekerja pada insitusi-institusi

personal seperti pernikahan, pengasuhan anak, dan kehidupan seksual (Hollows, 2010:

6). Menurut aliran ini, perempuan telah dipaksa oleh patriarki untuk bersikap mengalah,

dan lemah kembut. Aliran kedua sering disebut aliran kiri dan bersifat lebih radikal

(Suwastini, 2013:201). Feminisme radikal muncul karena adanya reaksi para feminis

yang merasa tidak terfasilitasi dalam feminisme liberal NOW karena perbedaan ras,

kelas, dan protes terhadap kekejaman Amerika dalam perang Vietnam (Kalidjernih, 2011

: 135).

Aliran kiri ini membentuk kelompok-kelompok conscious raising. Dimana

dengan adanya kelompok-kelompok conscious raising ini, membentuk pegerakan

Womans Liberation (Pembebasan Perempuan). Gerakan Womans Liberation ini, di

tunjukkan dalam aksi demonstrasi yang dilakukan pada bulan september 1968 untuk

menentang kontes kecantikkan Miss Amerika. Mereka menganggap kontes tersebut

sebagai pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan (Hariarti,

2013:151)
Di Inggris, kelompok kanan terbentuk kuat di kalangan perempuan pekerja.

Mereka melaksanakan pemogokan untuk menuntut persamaan upah. Sementara itu,

kelompok kiri sangat dipengaruhi oleh paham Sosialis Marxisme. Namun dalam The

British National Womens Liberation Conference pada bulan februari 1970, aliran kanan

dan kiri di Inggris bersatu dan menyerukan satu feminisme (Suwastini, 2013 : 201).

Secara kompak mereka menuntut persamaan upah, persamaan pendidikan dan

kesempatan kerja, tempat penitipan anak 24 jam, alat kontrasepsi gratis, dan aborsi

sesuai kebutuhan. Tuntutan-tuntutan ini menunjukan bahwa feminisme gelombang

kedua berfokus pada isu perempuan sebagai kelompok yang tertindas dan tubuh

perempuan sebagai situs utama penindasan tersebut (Gamble, 2010:38).

Feminisme gelombang kedua dikritik oleh para perempuan kulit hitam, lesbian,

dan perempuan pekerja yang kemudian membentuk gerakan radikal. Banyak pihak yang

menganggap womens liberation hanya mengutamakan perempuan kulit putih dan

gagal mencakup isu kelas dan ras, meski Thompson berpendapat feminisme sejak awal

selalu dipengaruhi oleh isu mengenai perempuan Afrika, Latina, dan Asia (Suwastini,

2013:202).

Kenyataan mengenai perbedaan tersebut, mendorong perkembangan feminisme

ke berbagai arah yang berbeda. Feminisme gelombang kedua dianggap berakhir pada

1975 (Hollows, 2004 : 15). Dan pada akhir 1980an, feminisme berkembang ke arah

feminisme gelombang ketiga dan lahirnya postfeminisme.


Kalidjernih (2011 : 136) menyatakan perjuangan feminis gelombang pertama

dan kedua menghasilkan berbagai perubahan sosial bagi kehidupan wanita, antara lain :

a) Persamaan hak dari segi pembayaran dan kesempatan kerja

b) Tantangan terhadap diskriminsi seksual dan pelecehan seksual

c) Penerimaan bahwa perempuan dapat bekerja dalam bidang pekerjaan apapun

d) Penerimaan bahwa memiliki anak tidak menghilangkan partisipasi penuh

ditempat kerja dan kehidupan public secara umum, karena mengasuh anak

bukan pekerjaan perempuan semata-mata, tetapi tanggung jawab bersama

orangtua dan sosial.

e) Peningkatan benefit maternal ( Cuti Hamil dan Melahirkan )

f) Kebebasan yang lebih luas dari sudut pernikahan dan perceraian

g) Pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan, keterampilan dan seksualitas

perempuan

3. Postfeminisme atau Feminisme Gelombang Ketiga

Berbagai kritik terhadap feminisme gelombang kedua mendorong terjadinya

pendefinisian kembali berbagai konsep dalam feminisme pada akhir tahun 1980an.

Brooks (1997: 8) menyatakan bahwa :

Setidaknya ada tiga hal yang mendorong terjadinya reartikulasi konsep-


konsep feminisme. Pertama, dari dalam feminisme sendiri yang mulai melihat
bahwa konsep mereka bersifat rasis dan etnosentris yang hanya mewakili
perempuan kulit putih kelas menengah dan memarginalkan perempuan dari
kelompok etnis dan kelas lainnya. Kedua, feminis gelombang kedua dianggap
belum cukup menyuarakan isu sexual difference. Sementara itu, di luar
feminisme, berkembang teori-teori postmodenrnisme, poststrukturalisme dan
postkolonialisme yang kemudian beririsan dengan perkembangan feminisme.
Antara feminisme gelombang ketiga dan postfeminisme dalam perkembangan

feminisme pasca gelombang kedua menjadi suatu permasalahan mendasar yang dialami

mengenai penamaan perkembangan feminisme pasca 1970an. Jika keduanya dianggap

sebagai perkembangan feminisme yang berbeda, maka keduanya merupakan

perkembangan yang berlangsung pada waktu yang hampir bersamaan. Jika keduanya

dianggap perkembangan yang sama, maka keduanya merupakan suatu hal yang pasti dan

tidak dapat diperdebatkan. Dengan kata lain, kedua istilah tersebut tidak hanya sering

dimaknai secara bertentangan, tetapi keduanya juga memiliki banyak pengertian yang

terkadang saling berkaitan dan saling bertentangan (Suwastini, 2013 : 203).

Istilah postfeminisme sebenarnya telah muncul dalam sebuah artikel pada 1920.

Istilah ini digunakan untuk menyatakan sikap pro perempuan namun tidak anti-laki-

laki, yang merayakan keberhasilan feminisme gelombang pertama dalam meraih hak

pilih (Gamble, 2010 : 54). Pada 1980an dengan makna yang sangat beragam. Gill dan

Scharff merangkum adanya empat pengertian postfeminisme. Pertama, postfeminisme

sebagai titik temu antara feminisme dengan postmodernisme, poststrukturalisme, dan

postkolonialisme yang berarti postfeminisme merupakan pengkajian yang lebih kritis

terhadap feminisme (Suwastini, 2013 : 203)

Pengertian postfeminisme berikutnya mengacu pada perayaan matinya

feminisme yang ditandainya dengan tercapainya tujuan-tujuan feminisme gelombang

kedua pada 1970an sehingga tujuan-tujuan tersebut tidak lagi relevan pada 1980an

(Suwastini, 2013 : 203). Pengertian post-feminisme sebagai perayaan atas matinya

feminisme ini diajukan oleh para pendukung feminisme gelombang kedua. Tania
Modleski, misalnya, melihat postfeminisme sebagai kajian yang menegasi dan

meruntuhkan perjuangan kaum feminis dan mengantar perempuan kembali ke jaman

pre-feminis (Gamble, 2010: 56).

Pengertian postfeminisme yang ketiga menurut Gill dan Scharff adalah

postfeminisme sebagai backlash. Susan Faludi merupakan salah satu proponen utama

perumusan definisi postfeminisme sebagai backlash. Dalam buku fenomenalnya

Backlash: The Undeclared War Against American Women (1991), Faludi merumuskan

postfeminisme sebagai perang terhadap feminisme melalui media masa dan budaya

populer (Gamble, 2010 :56).

Definisi postfeminisme keempat yang dirangkum Gill dan Scharff adalah

postfeminisme sebagai sensibility. Salah satu konsep feminis yang mengalami redefinisi

adalah peralihan femininitas sebagai bagian dari tubuh dan perubahan fokus dari

objektifikasi perempuan ke subjektifikasi yang lebih menekankan pada kemampuan

perempuan untuk membuat keputusan, pilihan, dan mempertanggungjawabkan diri

sendiri (Suwastini, 2013 : 204).

Feminisme gelombang ketiga juga memiliki banyak definisi yang berbeda dan

saling bertentangan. Para pencetus feminisme gelombang ketiga menyatakan diri mereka

sebagai reaksi atas postfeminisme. Mereka memiliki pandangan negatif terhadap

postfeminisme. Para pelopor feminisme gelombang ketiga seperti Iyvonne Tasker dan

Diane Negara memiliki pandangan negatif terhadap postfeminisme, dimana mereka

menganggap bahwa postfeminisme dinilai sebagai feminisme aras utama yang dimotori

berbagai kepentingan komersial tanpa aktivitas ataupun agenda feminis yang jelas.
Sedangkan feminisme gelombang ketiga menyatakan diri sebagai feminisme yang

berkembang di dunia akademik, bersifat sistematis, dan bersifat lebih kritis (Suwastini,

2013:204).

Kemudian, ada Gamble yang melihat feminisme gelombang ketiga sebagai

reaksi perempuan kulit berwarna terhadap dominasi perempuan kulit putih dalam

feminisme gelombang kedua dan menolak asumsi bahwa penindasan terhadap

perempuan bersifat seragam dan universal (Suwastini, 2013:204). Dengan kata lain,

feminisme gelombang ketiga juga terlibat berbagai aktivitas turun ke jalan. Gamble

menyerukan penggunaan istilah feminisme gelombang ketiga dan menolak penggunaan

istilah postfeminisme karena implikasi negatif yang melekat pada makna postfeminisme.

Selain itu, Tong mendefinisikan feminisme gelombang ketiga sebagai

perkembangan feminisme yang dimulai pada 1990an yang mendapat pengaruh dari

feminisme-feminisme sebelumnya (Suwastini, 2013:204). Feminisme ini memiliki

rumusan agenda feminisme yang berbeda dari feminisme sebelumnya karena feminisme

gelombang ketiga merayakan perbedaan. Berbeda dengan Gamble yang menentang

istilah postfeminisme, Tong menolak untuk menyebut istilah postfeminisme (Suwastini,

2013 :202).

Tercapainya tujuan-tujuan feminisme membuka jalan bagi perempuan untuk

mencapai tujuan-tujuan yang bersifat individual melalui gaya hidup yang menjadi ciri

khas postfeminisme. Menurut Zeisler, feminisme gelombang ketiga merupakan istilah

yang memayungi berbagai perkembangan feminisme pasca feminisme gelombang kedua

dengan berbagai definisi yang saling bertentangan (Suwastini, 2013 : 202).. Sementara
itu, postfeminisme merupakan bentuk protes dari generasi feminis non-akademis yang

melihat feminisme sebagai gerakan yang sudah mencapai tujuannya dan tidak boleh lagi

untuk dilanjutkan (Suwastini, 2013 : 202).

Namun terlepas dari berbagai pertentangan dalam pendefinisian feminisme pasca

gelombang ketiga, Genz dan Brabon melihat bahwa feminisme gelombang ketiga

maupun postfeminisme memiliki banyak persamaan. Keduanya menentang agenda anti

budaya populer dalam feminisme gelombang kedua dan mengakui budaya populer

sebagai situs yang subur untuk mengartikulasikan feminisme dan pemberdayaan

perempuan (Suwastini, 2013: 203).

2.3 Sejarah Feminisme Islam

Pada zaman pra-Islam terdapat beberapa kebudayaan zaman jahiliyyah, salah

satunya yaitu kebiasaan membunuh anak perempuan. Quraish Shihab menyebutkan tiga

alasan terjadinya pembunuhan pada zaman jahiliyyah. Pertama, orang tua pada masa

masyarakat jahiliyah takut jatuh miskin bila menanggung biaya hidup anak perempuan

yang dalam konteks zaman itu, tidak bisa mandiri dan produktif. Kedua, masa depan

anak-anak dikhawatirkan mengalami kemiskinan (jatuh miskin). Anak perempuan

dikubur karena orang tuanya khawatir anak-anak perempuan diperkosa atau berzina.

Ketiga, sesuai dengan seringnya konflik antar kabilah atau peperangan antarsuku, orang

tua khawatir anaknya akan ditawan musuh dalam peperangan itu (Mazaya, 2014:329)

Alasan mereka bahwa anak perempuan adalah biang dari petaka karena dari segi

fisik perempuan lebih lemah daripada laki-laki. Ketika lemah, secara otomatis akan
menjadi batu sandungan bagi sang ayah atau ketua kelompok dan tidak bisa diajak

berperang. Dan akan mengurangi pengaruh kabilahnya dalam percaturan dunia,

penghambat pembangunan, kurang bisa mandiri dan menggantungkan pada laki-laki dan

itu semua adalah aib bagi mereka maka harus ditutupi kalau perlu dibuang. Dengan

peristiwa tersebut, hak-hak perempuan tidak terpenuhi.

Menurut Quraish Shihab, catatan terpenting yang ingin ia sampaikan ialah bahwa

tradisi mengubur anak perempuan hidup-hidup bukan adat yang memperoleh restu dari

semua kabilah Arab Jahiliyyah karena kenyataannya, sebagian kabilah justru

memberikan tebusan berupa unta bagi orang tua yang bermaksud mengubur anak

perempuannya (Mazaya, 2014:329). Shashaah bin Najiah, kakek al-Farazdaq, penyair

kenamaan zaman Jahiliyyah, yang memberikan dua ekor unta hamil sepuluh bulan

kepada orang tua yang akan membunuh anak perempuannya. Konon, ia sempat

menyelamatkan sekitar 300-400 orang anak perempuan yang akan dikubur hidup-hidup

dengan tebusan unta (Monib & Bahrawi, 2011:134).

Walaupun masih ada kabilah yang kontra terhadap penguburan hidup-hidup bayi

perempuan tetapi kebiasaan tersebut sudah menjadi budaya bagi masyarakat Arab

Jahiliyyah pada masa itu. Adat-istiadat Jahiliyah yang berlaku pada masa itu, selain

mengubur hidup-hidup setiap bayi perempuan yang dilahirkan, yaitu mengawini

perempuan sebanyak yang disukai dan menceraikan mereka sesuka hati, sampai pernah

ada kepala suku yang mempunyai tujuh puluh hingga Sembilan puluh istri.

Musdah Mulia menambahkan, beribu tahun sebelum Islam diwahyukan, di

berbagai belahan dunia kaum perempuan dipandang tidak memiliki kemanusiaan yang
utuh dan oleh karenanya perempuan tidak berhak bersuara, tidak berhak berkarya, dan

tidak berhak memiliki harta. Bahkan, eksistensinya sebagai makhluk manusia pun

dipertanyakan (Mazaya, 2014:331)

Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa kaum perempuan pada masa pra-Islam

atau yang lebih dikenal dengan zaman Jahiliyyah terlihat jelas bahwa kehidupan yang

ada belum menunjukkan kesetaraan gender. Hal ini disebabkan kaum laki-laki Arab

jahiliyyah belum memahami hak-hak asasi manusia khususnya hak-hak perempuan.

Perempuan dianggap hina dengan alasan berbagai kelemahan-kelemahannya. Padahal

kelemahan perempuan itu bukan karena memang tidak mampu tetapi karena

keterbatasan para perempuan yang tidak diberi ruang gerak untuk mengaktualisasikan

diri.

Kesetaraan gender dalam perspektif sejarah Islam dapat dikategorikan dalam tiga

periode yakni, periode klasik, pertengahan, dan modern ( Mazaya, 2014:331)

2.3.1 Periode Klasik

Pada masa Rasulullah, kaum perempuan muslimah tampak dalam sosok

perempuan yang dinamis, sopan, dan terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam al Quan,

figur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian

politik, al-istiqll al-siysah (QS. al-Mumtahanah [60]: 12), seperti figur Ratu Bilqis

yang mempunyai kerajaan arsyun azhm (superpower), dan figur-figur yang lain

(Mulia, 2008:12)
Dalam sejarah Islam, peran perempuan dalam sektor publik dapat dibuktikan

dalam kisah istri-istri Nabi. Kita menemukan di dalam Shahih Bukhori, salah satu

kumpulan hadits yang otentik, menyebutkan bahwa perempuan muslim secara aktif

membantu mereka yang luka dalam perangUhud, termasuk di dalam kaum perempuan

ini adalah para istri Nabi sendiri. Satu orang menggambarkan bahwa ia melihat Aisyah

dan istri Nabi yang lain membawa air untuk kaum laki-laki di medan perang (Mulia,

2008:14).

Aisyah meriwayatkan hadits bahwa dia (Aisyah) menemani Nabi dalam sebuah

perang, dan ini terjadi setelah turunnya ayat tentang cadar. Azyumardi Azra

menyebutkan bahwa, pada zaman Nabi Muhammad SAW., belum ada larangan

perempuan menjadi pemimpin. Bahkan Aisyah (istri Nabi) saja pernah menjadi

pemimpin perang (Mazaya, 2014:333)

Maka sangat wajar jika dalam lintas sejarah umat Islam terdapat tokoh

perempuan yang berperan sebagai pemimpin, tokoh ulama dan meriwayatkan hadis.

Pada masa Nabi, tercatat ada 1.232 perempuan yang menerima dan meriwayatkan

hadits. Bahkan Ummul Mukminin Aisyah ra. tercatat sebagai salah seorang dari tujuh

bendaharawan hadits. Beliau meriwayatkan 2.210 hadits. Khadijah binti Khuwailid, istri

Nabi yang pertama, dikenal sebagai perempuan yang sukses dalam dunia bisnis. Al-

Syifa tercatat sebagai perempuan yang ditunjuk Khalifah Umar sebagai manajer pasar

di Madinah, sebuah pasar besar di ibu kota pada waktu itu. Zainab, istri Nabi,

menyamak kulit dan hasilnya disedekahkan. Zainab istri Ibn Masud dan Ama binti Abu

Bakar keluar rumah mencari nafkah untuk keluarga. Di Medan perang, banyak nama
sahabat perempuan yag tercatat sebagai pejuang, baik di garis belakang seperti

mengobati prajurit yang luka dan menyediakan logistik maupun di garis depan

memegang senjata berhadapan dengan lawan. Nusaibah binti Kaab tercatat sebagai

perempuan yang memanggul senjata melindungi Rasululah ketika perang Uhud. Al-

Rabi binti al-Muawwidz, Ummu Sinan, Ummu Sulaim, Ummu Athiyah, dan

sekelompok perempuan lain juga beberapa kali ikut turun ke medan laga. Catatan

mengenai keberanian mereka dapat kita jumpai dalam banyak hadits shahih dan buku-

buku sejarah yang terkenal (Mazaya, 2014 :333)

Setelah Nabi Muhammad saw meninggal, perempuan mukmin kembali

mengalami mengalami eksklusi dari ruang publik. Hal itu mengindikasikan bahwa umat

Islam pasca Nabi tak sepenuhnya berhasil menepis bias-bias patriarkhi yang secara kuat

mengakar dalam masyarakat Arab pra-Islam, dan di berbagai masyarakat lainnya dimana

Islam tersiar (Mazaya, 2014 :334).

Setelah ditelusuri dan diteliti lebih jauh, maka didapati bahwa ternyata kaum

wanita pada zaman Nabi Muhammad SAW lebih maju dan diakui hak-hak asasinya

ketimbang pada masa pra-Islam. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dikatakan

bahwa gerakan emansipasi perempuan dalam sejarah peradaban manusia sebenarnya

dipelopori oleh risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Kedatangan Islam telah

mengeliminasi budaya-budaya Jahiliyyah dan dihapuskan untuk selama-lamanya

(Mazaya, 2014:334)
Islam hadir membawa perubahan yang lebih baik yang dikemas dalam kitab suci

al-Quran. Menurut Nasaruddin Umar, ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai

standar dalam menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam al-Quran (Mazaya,

2014:335), yaitu :

a. Laki-laki dan Perempuan sama-sama sebagai Hamba

Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan,

sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Dzariyat: 56 Dan aku tidak menciptakan jin dan

manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

b. Laki-laki dan Perempuan sebagai Khalifah di Bumi

Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah, di samping

untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah SWT juga

untuk menjadi khalifah di bumi. Kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi ditegaskan

di dalam QS. al-Anam: 165 dan QS. al-Baqarah: 30.

c. Laki-laki dan Perempuan Menerima Perjanjian Primordial

Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah. Seperti diketahui,

menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus

menerima perjanjian dengan tuhannya. QS. al-Araf: 172.

d. Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi

Peluang untuk meraih prestasi tidak ada pembedaan antara laki-laki dan

perempuan. Dapat dilihat di QS. Ali Imran: 195, QS. al- Nisa: 124, QS. al-Nahl: 97,

QS. Ghafir: 40. Musdah Mulia, salah satu tokoh feminis muslim di Indonesia

menyebutkan bahwa kesamaan antara perempuan dan laki-laki, terutama dilihat dari tiga
dimensi. Pertama, dari segi hakikat kemanusiaannya. Dilihat dari hakikatnya sebagai

manusia, Islam memberikan kepada perempuan sejumlah hak untuk meningkatkan

kualitas kemanusiaannya, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, dan hak-

hak lain yang berkenaan dengan urusan public. Kedua, dari segi pelaksanaan ajaran

agama, Islam mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat pahala

atau amal saleh yang diperbuatnya dan sama-sama mendapat siksaan atas pelanggaran

yang mereka lakukan. Ketiga, dari segi hak-hak dalam keluarga, seperti hak waris. Islam

memberikan hak waris kepada perempuan, meskipun jumlahnya tidak sebanyak yang

diberikan kepada laki-laki. Sebelumnya, hak menerima warisan bagi perempuan tidak

dikenal dalam tradisi Arab. Bahkan perempuan merupakan bahagian dari harta yang

diwariskan. Islam juga memberikan hak kepada para istri untuk mengajukan tuntutan

cerai bilamana mereka menghendaki demikian. Hak meminta cerai itu sebelumnya tidak

dikenal dalam tradisi Arab ( Mulia, 2011:14)

2. Periode Pertengahan

Pada periode pertengahan ini membahas peran perempuan pada masa dinasti-

dinasti Islam. Dalam buku berjudul History of Arabs karya Philip K. Hitti menjelaskan

bahwa dalam sejarah kehidupan masyarakat dinasti Abbasiyah, ada budak yakni ibu

Harun yang dikenal sebagai al-Khayzuran, perempuan pertama yang memiliki pengaruh

penting dalam urusan kenegaraan Dinasti Abbasiyah ( Mazaya, 2014:337)

Pada masa awal Dinasti Ababasiyah, kaum wanita cenderung menikmati tingkat

kebebasan yang sama dengan kaum wanita pada masa Dinasti Umayyah; tapi menjelang

akhir abad ke-10, pada masa Dinasti Buwayhi, system pemingitan yang ketat
berdasarkan jenis kelamin menjadi fenomena umum. Pada masa itu, banyak perempuan

yang berhasil mengukir prestasi dan berpengaruh di pemerintahan, baik dari kalangan

atas, seperti Khayzuran, istri al-Mahdi dan ibu al-Rasyid; Ulayyah, anak perempuan al-

Mahdi; Zubaydah, istri al-Rasyid dan ibu al-Amin; dan Buran, istri al-Mamun, atau dari

kalangan awam, seperti wanita-wanita muda (Mazaya, 2014, 2014:337)

Arab yang pergi berperang dan memimpin pasukan, menggubah puisi dan

bersaing dengan laki-laki di bidang sastra, atau mencerahkan masyarakat dengan

kecerdasan, musik dan keindahan suara mereka. Di antaranya adalah Ubaydah al

Thunburiyah yahng kondang di seluruh negeru pada masa al-Mutashim sebagai

biduanita dan musisi yang cantik (Mulia, 2011:15)

Pada masa kemundurannya, yang ditandai dengan praktik perseliran yang

berlebihan, merosotnya moralitas seksual dan berfoya-foya dalam kemewahan, posisi

perempuan menukik tajam seperti yang disebutkan dalamkisah Seribu Satu Malam. Pada

masa itu, perempuan ditampilkan sebagaiperwujudan dari sikap licik dan khianat, serta

wadah bagi semua perilaku tercela dan pemikiran yang tidak berguna (Mazaya,

2014:337)

3. Periode Modern

Periode modern yang dimaksud adalah zaman kemerdekaan. Dalam pendahuluan

buku berjudul Perempuan dan Politik dalam Islam, dikatakan bahwa saat ini gerakan

perempuan sudah melewati fase kedua, yaitu dari fase pembebasan menuju fase

kepemimpinan (Subhan, 2004:1). Buktinya, dalam konteks kesejarahan perempuan dan

politik di Indonesia masa kini, keberadaan organisasi Pusat Reformasi Pemilu (Cetro-
Centre for Electoral reform) pada tahun 1999, yang dipimpin seorang perempuan antara

lain penulis buku, Ani Soetjipto, telah membuktikan bahwa perempuan Indonesia telah

menunjukkan keberadaannya secara konsisten sebagai agen pembaru di berbagai

aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk di bidang politik. Lebih jauh lagi Ani

mengungkapkan bahwa pemilu langsung 2004 merupakan kontribusi dari pemerintahan

(mantan) Presiden Megawati Soekarnoputri yang merupakan presiden perempuan

pertama di Indonesia (Mazay, 2014:338).

Di lingkungan NU, perhatian besar terhadap hak-hak perempuan sudah lama

bergulir. Dalam organisasi massa Islam terbesar di kawasanAsia Tenggara ini, lahirlah

organisasi Muslimat, Fatayat, serta IPPNU jelas diproyeksikan untuk lebih memberikan

peran kepada kaum perempuan. Sebelumnya di era sebelum kemerdekaan hingga awal

kemerdekaan, perempuan dianggap tidak lebih sebagai konco wingking (teman

belakang).

Kini, bisa dilihat bahwa dalam konteks sejarah Islam perempuan sudah

memperoleh kesetaraan dengan kaum laki-laki. Walaupun kadangmasih terjadi

ketidaksetaraan gender disebabkan oleh pihak yang memang tidak menghendaki

kesetaraan gender dengan memanfaatkan dalil-dalil agama sebagai legitimasi ataupun

yang sekedar memiliki pengetahuan yang kurang memadai tentang kesetaraan gender

(Mazaya, 2014:339)

Demikian pandangan Islam menempatkan wanita pada posisi yang terhormat.

Sehingga, apa pun peranannya baik sebagai anak, remaja, dewasa, ibu rumah tangga,

kaum professional, dan lain-lain mereka itu terhormat sejak kecil hingga usia lanjut.
Sementara, kaum feminis ala Barat, mereka benar-benar menderita, terutama pada usia

lanjut. Betapa tidak menderita, pada usia-usia menjelang akhir hayatnya mereka harus

berdiam di panti-panti jompo terpisah dari anak, cucu, keluarga, dan kerabat sendiri.

Hidup yang tersisa tiada berguna lagi. Makanya mereka mengadakan hari ibu agar

bertemu dengan keluarga setahun sekali (Hariarti, 2013:160)

.
Kalidjernih, Freddy K. 2011. Puspa raga, konsep dan isu kewarganegaraan. Bandung :

Widya aksara press.

Hollows, Joanne. 2010. Feminisme, Feminita & Budaya popular. Terjemahan oleh

Bethari Annissa Ismayasari. Yogyakarta : Jalasutra.

Gamble, Sarah. 2010. Feminisme dan Postfeminisme. Terjemahan oleh Tim Penerjemah

Jalasutra. Yogyakarta : Jalasutra.

Suwastini, Ni Komang Arie. 2013. Perkembangan Feminisme Barat dari Abad

Kedelapan Belas Hingga Postfeminisme. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora.

Vol. 2, No. 1.( http://portalgaruda.ilkom.unsri.ac.id,di akses 17 Juli 2017).

Brooks, A. 1997. Brooks, Ann, 1997. Postfeminism: Feminism, Cultural Theory and

Cultural Forms. London dan New York: Routledge

Karim, Abdul. 2014. Kerangka Studi Feminisme (Model Penelitian Kualitatif tentang

Perempuan dalam Koridor Sosial Keagamaan). Jurnal Fikrah. Vol. 2, No. 1.

( journal.stainkudus.ac.id/index.php/Fikrah/article/view/550, diakses 18 juli

2017).

Hariarti, Sri. 2003.Aliran Feminisme Modern dan Aliran Feminisme Menurut Islam.

Jurnal Hukum Jatiswara.Vol.15 No.1 (jatiswara.unram.ac.id/index.php/jurnal,

diakses 18 juli 2017)

Hannam, June.2007. Feminism : in Focus Short Histories of Big Ideas Serie. England :

Pearson/Longman.
Kadarusman.2005. Agama relasi gender dean feminism, Yogyakarta :Kreasi
Wacana.

Anda mungkin juga menyukai