Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI AGUSTUS 2017

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

MANUAL PLASENTA

OLEH:
HANNA DEWI ROSALINA
C111 12 064

PEMBIMBING:
Dr. dr. Siti Maisuri T. Chalid, Sp.OG (K)
dr. Andi Cakra Juanda

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Hanna Dewi Rosalina
Stambuk : C111 12 064
Judul : Manual Plasenta
Telah menyelesaikan tugas referat dengan judul tersebut di atas dalam
rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Makassar, Agustus 2017

Supervisor Pembimbing, Residen Pembimbing,

Dr. dr. Siti Maisuri T. Chalid, Sp.OG (K) dr. Andi Cakra Juanda

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan ....................................................................................... 1
BAB II Tinjauan Pustaka ................................................................................ 3
BAB III Penutup ............................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Perdarahan masih merupakan penyebab utama kematian ibu hamil di tengah


kemajuan teknologi yang pesat di bidang medis. Perdarahan tercatat sebagai 13,4%
penyebab langsung dari seluruh jumlah kematian ibu hamil di Amerika Serikat dan
di negara dengan sumber daya terbatas kontribusi perdarahan terhadap tingkat
mortalitas ibu hamil bahkan lebih tinggi (30-35%). (Cunningham, 2010) Sekitar
140.000 wanita di dunia meninggal akibat dari perdarahan pascapersalinan (PPP)
setiap tahunnya yaitu 1 kematian setiap 4 menit. Perdarahan pascapersalinan
diperkirakan merupakan 25% penyebab dari kematian ibu hamil di seluruh dunia.
Sebuah studi sistematis yang dilaksanakan oleh World Health Organization
(WHO) menunjukan bahwa PPP merupakan penyebab utama dari kematian ibu
hamil di Asia dan Afrika, yaitu mencapai hampir setengah etiologi mortalitas ibu
hamil pada daerah tersebut. (Beckmann, 2010)
Perdarahan pascapersalinan bukanlah sebuah diagnosis, namun merupakan
sebuah tanda yang sangat penting yang umumnya terjadi tanpa peringatan dan
seringkali tanpa adanya faktor-faktor resiko tertentu. (Beckmann, 2010)
Pengetahuan mengenai etiologi, patofisiologi, dan tatalaksana yang sesuai
diperlukan secara mutlak oleh tenaga kesehatan untuk dapat mencapai Millennium
Development Goal (MDG) kelima yang berhubungan dengan ibu hamil yang sehat
yaitu menurunkan MMR sebesar 75% antara tahun 1990 dan 2015, oleh karena latar
belakang tersebut penulisan literatur ini akan berusaha secara spesifik hal tersebut
supaya pengetahuan yang diperlukan dapat terpenuhi. (Snelgrove, 2009)
Retensio plasenta adalah kondisi mengancam jiwa dan merupakan penyebab
tersering kematian ibu karena perdarahan pascapersalinan. Keadaan tersebut
mempengaruhi 0,5% - 3,3% pada persalinan pervaginam. Perdarahan selama
kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan terhitung sebanyak 25% dari jumlah
kematian ibu di negara-negara Afrika dan Asia Tenggara. Sekitar 15% - 20% dari
kematian ibu tersebut dikarenakan perdarahan pascapersalinan akibat retensio
plasenta yang membutuhkan tatalaksana pelepasan plasenta secara manual dan

1
pengeluarannya secara normal. Tingginya angka kematian ibu berkaitan erat
dengan ketidaktersediaannya tenaga terampil yang dapat melakukan manual
plasenta, utamanya di negara berkembang. (Akinola, 2013)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Perdarahan post partum adalah
Manual plasenta adalah prosedur Obstetri yang dilakukan pada kala III
persalinan untuk menangani retensio plasenta, pada umumnya pelepasan plasenta
ditunggu hingga 30 menit menurut WHO. Beberapa kepustakaan
merekomendasikan manual plasenta mulai dapat dilakukan dalam 20 menit hingga
1 jam pada persalinan kala III. Hal tersebut didasari pertimbangan bahwa pelepasan
plasenta secara sendirinya sangat jarang terjadi setelah melewati 60 menit.
(Akinola, 2013) Keadaan retensio plasenta merupakan komplikasi dari 2%
kehamilan. (NWHCG, 2015)

B. Indikasi Manual Plasenta


Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan perdarahan
pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak dapat dihentikan dengan
uterotonika dan masase, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah
persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan
dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir dan tali pusat putus. Hampir sebagian besar
gangguan pelepasan plasenta disebabkan oeh gangguan kontraksi uterus. (Akinola,
2013)
Manual plasenta dilakukan karena indikasi retensio plasenta yang berkaitan
dengan: (Garmi, 2012)
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus dikarenakan:
a. Plasenta adhesive yaitu kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan
plasenta
b. Plasenta akreta yaitu implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki
sebagian lapisan miometrium
c. Plasenta inkreta, yaitu implantasi jonjot korion placenta hingga
mencapai/memasuki miometrium

3
d. Plasenta perkreta, yaitu implantasi jonjot korion plasenta yang menembus
lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus. (Garmi, 2012)
e. Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta di dalam kavum uteri yang
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.
2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan dan dapat terjadi perdarahan
yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya
3. Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.
4. Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan
5. Darah penderita terlalu banyak hilang
6. Kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam.

Manual plasenta dapat segera dilakukan apabila :


a. Terdapat riwayat perdarahan postpartum berulang.
b. Terjadi perdarahan postpartum melebihi 400 cc
c. Pada pertolongan persalinan dengan narkosa.
d. Plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam.

Manual plasenta dalam keadaan darurat dengan indikasi perdarahan di atas


400 cc dan terjadi retensio plasenta (setelah menunggu jam). Seandainya masih
terdapat kesempatan, penderita retensio plasenta dapat dikirim ke rumah sakit
sehingga mendapat pertolongan yang adekuat. Dalam melakukan rujukan penderita
dilakukan persiapan dengan memasang infus dan memberikan cairan dan dalam
persalinan diikuti oleh tenaga yang dapat memberikan pertolongan darurat.
(Akinola, 2013)

C. Kontraindikasi Manual Plasenta


Pelepasan plasenta secara manual tidak dianjurkan pada kondisi di atas karena
dapat membuat perlukaan paksa sehingga mengakibatkan perdarahan lebih hebat.
Keadaan tersebut misalnya pada kondisi plasenta inkreta dan perkreta. (Garmi,
2012)

4
D. Tanda dan Gejala Retensio Plasenta (Garmi, 2012)
1. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta
informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas,
serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum
sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan
aktif setelah bayi dilahirkan.
2. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis
servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
3. Perdarahan yang lama > 400 cc setelah bayi lahir.
4. Placenta tidak segera lahir > 30 menit.

E. Persiapan Sebelum Tindakan (Depkes RI, 2008)


1. Pasien
a) Cairan dan selang infuse sudah terpasang. Perut bawah dan lipat paha
sudah dibersihkan.
b) Uji fungsi dan kelengkapan peralatan resusitasi
c) Siapkan kain alas bokong, sarrung kaki dan penutup perut bawah
d) Medikamentosa
Analgetika (Phetidin 1-2 mg/kg BB, Ketamin Hcl 0,5 mg/kg BBT,
Tramadol 1-2 mg/kg BB)
Sedative (Diazepam 10 mg)
Atropine Sulfas 0,25-0,55 mg/ml
Uteretonika (Oksitosin,Ergometrin, Prostaglandin)
Cairan NaCl 0,9% dan RL
Infuse Set
Larutan Antiseptik (Povidon Iodin 10%)
Oksigen dengan regulator

2. Penolong
a) Baju kamar tindakan, pelapis plastic, masker dan kaca mata : 3 set
b) Sarung tangan DTT/steril : sebaiknya sarung tangan panjang

5
c) Alas kaki (sepatu boot karet) : 3 pasang
d) Instrument
Kocher: 2, Spuit 5 ml dan jarum suntik no 23G
Mangkok tempat plasenta : 1
Kateter karet dan urine bag : 1
Benang kromk 2/0 : 1 rol
Partus set

F. Pencegahan Infeksi Sebelum Tindakan (DEPKES RI, 2008)


Sebelum melakukan tindakan sebaiknya mencuci tangan terlebih dahulu
dengan sabun dan air yang mengalir untuk mencegah infeksi. Mengeringkan tangan
dengan handuk bersih lalu pasang sarung tangan DTT/ steril.

G. Teknik Manual Plasenta


Beberapa metode manual plasenta menggunakan oksitosin sistemik seperti
injeksi oksitosin profilaksis, ergometrin, misoprostol, injeksi oksitosin pada vena
umbilikalis, dan lain-lain, namun penggunaan obat tersebut belum tampak efektif
pada beberapa penelitian dengan metode percobaan acak terkontrol. Namun kini
penggunaan injeksi oksitosin pada vena umbilikalis memiliki bukti yang kuat pada
penggunaannya. (Akinola, 2013)
Untuk mengeluarkan plasenta yang belum lepas jika masih ada waktu dapat
mencoba teknik menurut Crede yaitu uterus dimasase perlahan sehingga
berkontraksi baik, dan dengan meletakkan 4 jari di belakang uterus dan ibu jari
didepannya, uterus dipencet di antara jari-jari tersebut dengan maksud untuk
melepaskan plasenta dari dinding uterus dan menekannya keluar. Tindakan ini
tidaklah selalu berhasil dan tidak boleh dilakukan secara kasar. (Akinola, 2013)
Sebelum mengerjakan manual plasenta, penderita disiapkan pada posisi
litotomi. Keadaan umum penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus NaCl
atau Ringer Laktat. Anestesi diperlukan kalau ada constriction ring dengan
memberikan suntikan diazepam 10 mg intramuskular. Anestesi ini berguna untuk
mengatasi rasa nyeri. Operator berdiri atau duduk dihadapan vulva dengan salah

6
satu tangannya (tangan kiri) meregang tali pusat, tangan yang lain (tangan kanan)
dengan jari-jari dikuncupkan membentuk kerucut. (Kemenkes RI, 2013)

Gambar 1. Meregang tali pusat dengan jari-jari membentuk kerucut


(Cunningham, 2010)
Dengan ujung jari menelusuri tali pusat sampai plasenta. Jika pada waktu
melewati serviks dijumpai tahanan dari lingkaran kekejangan (constrition ring), ini
dapat diatasi dengan mengembangkan secara perlahan-lahan jari tangan yang
membentuk kerucut tadi. Sementara itu, tangan kiri diletakkan di atas fundus uteri
dari luar dinding perut ibu sambil menahan atau mendorong fundus itu ke bawah.
Setelah tangan yang di dalam sampai ke plasenta, telusurilah permukaan fetalnya
ke arah pinggir plasenta. Pada perdarahan kala tiga, biasanya telah ada bagian
pinggir plasenta yang terlepas. (Kemenkes RI, 2013)

7
Gambar 2. Ujung jari menelusuri tali pusat, tangan kiri diletakkan di atas fundus
(Cunningham, 2010)

Melalui celah tersebut, selipkan bagian ulnar dari tangan yang berada di
dalam antara dinding uterus dengan bagian plasenta yang telah terlepas itu. Dengan
gerakan tangan seperti mengikis air, plasenta dapat dilepaskan seluruhnya (kalau
mungkin), sementara tangan yang di luar tetap menahan fundus uteri supaya jangan
ikut terdorong ke atas. Dengan demikian, kejadian robekan uterus (perforasi) dapat
dihindarkan. (Kemenkes RI, 2013)

Gambar 3. Mengeluarkan plasenta (Cunningham, 2010)

8
Setelah plasenta berhasil dikeluarkan, lakukan eksplorasi untuk mengetahui
kalau ada bagian dinding uterus yang sobek atau bagian plasenta yang tersisa. Pada
waktu ekplorasi sebaiknya sarung tangan diganti yang baru. Setelah plasenta keluar,
gunakan kedua tangan untuk memeriksanya, segera berikan uterotonik (oksitosin)
satu ampul intramuskular, dan lakukan masase uterus. Lakukan inspeksi dengan
spekulum untuk mengetahui ada tidaknya laserasi pada vagina atau serviks dan
apabila ditemukan segera di jahit. (Kemenkes RI, 2013)
Jika setelah plasenta dikeluarkan masih terjadi perdarahan karena atonia
uteri maka dilakukan kompresi bimanual sambil mengambil tindakan lain untuk
menghetikan perdarahan dan memperbaiki keadaan ibu bila perlu. Jika tindakan
manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan tang
(cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa
plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit
dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase
pada abortus. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan
dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per-oral. Pemberian
antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi sekunder.
(Kemenkes RI, 2013)

H. Komplikasi
Komplikasi dalam pengeluaran plasenta secara manual selain infeksi/
komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan, multiple
organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan perfusi
organ dan sepsis, ialah apabila ditemukan plasenta akreta. Dalam hal ini villi
korialis menembus desidua dan memasuki miometrium dan tergantung dari
dalamnya tembusan itu dibedakan antara plasenta inakreta dan plasenta perkreta.
Plasenta dalam hal ini tidak mudah untuk dilepaskan melainkan sepotong demi
sepotong dan disertai dengan perdarahan. Jika disadari adanya plasenta akreta
sebaiknya usaha untuk mengeluarkan plasenta dengan tangan dihentikan dan segera
dilakukan histerektomi dan mengangkat pula sisa-sisa dalam uterus. Komplikasi

9
yang dapat terjadi pada tindakan manual plasenta diantaranya adalah perdarahan,
infeksi, trauma jalan lahir, perforasi uterus, inversio uteri, dan resiko lain yang
berhubungan dengan tindakan anestesi. (Akinola, 2013)

I. Prosedur Klinik Manual Plasenta (Depked RI, 2008)


1. Persetujuan Tindakan Medik
Informed consent merupakan persetujuan dari pasien dan keluarga
terhadap tindakan medic yang akan dilakukan terhadap dirinya oleh
dokter/bidan. Persetujuan diberikan setelah pasien diberikan penjelasan yang
lengkap dan objektif tentang diagnosis retensio plasenta, upaya
penyembuhan, tujuan dan pilihan tindakan yang akan dilakukan.
a. Sapa pasien dan keluarganya, perkenalkan bahwa Anda petugas yang
akan melakukan tindakan medik.
b. Jelaskan tentang diagnosis dan penatalaksanaan pada retensio plasenta.
c. Jelaskan bahwa setiap tindakan medik mengandung risiko, baik yang
telah diduga sebelumnya, maupun tidak
d. Pastikan bahwa pasien dan keluarganya telah mengerti dan jelas tentang
penjelasan tersebut di atas
e. Beri kesempatan kepada pasien dan keluarganya untuk mendapat
penjelasan ulang apabila ragu dan belum mengerti
f. Setelah pasien dan keluarganya mengerti dan memberikan persetujuan
untuk dilakukan tindakan ini, minta persetujuan secara tertulis dengan
mengisi dan menandatangani formulir yang telah disediakan.
g. Masukkan lembar persetujuan tindakan yang telah ditandatangani ke
dalam rekam medik pasien

2. Tindakan Penetrasi Ke Kavum Uteri


a. Intruksikan asisten untuk memberikan sedatif dan analgetik melalui karet
infuse.
b. Lakukan kateterisasi kandung kemih.
Pastikan kateter masuk kedalam kandung kemih dengan benar.

10
Cabut kateter setelah kandung kemih dikosongkan.
c. Jepit tali pusat dengan kocher kemudian tegakan tali pusat sejajar lantai.
d. Secara obstetrik masukkan satu tangan (punggung tangan ke bawah)
kedalam vagina dengan menelusuri tali pusat bagian bawah.
e. Setelah tangan mencapai pembukaan serviks, minta asisten untuk
memegang kocher kemudian tangan lain penolong menahan fundus uteri.
f. Sambil menahan fundus uteri, masukan tangan ke dalam kavum uteri
sehingga mencapai tempat implantasi plasenta.
g. Buka tangan obstetric menjadi seperti memberi salam (ibu jari merapat
ke pangkal jari telunjuk).
h. Melepas Plasenta dari Dinding Uterus
1) Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling
bawah
Bila berada di belakang, tali pusat tetap di sebelah atas. Bila
dibagian depan, pindahkan tangan ke bagian depan tal pusat
dengan punggung tangan menghadap ke atas.
Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan plasenta dari tempat
implantasinya dengan jalan menyelipkan ujung jari di antara
plasenta dan dinding uterus, dengan punggung tangan
mengahadap ke dinding dalam uterus.
Bila plasenta di bagian depan, lakukan hal yang sama (dinding
tangan pada dinding kavun uteri) tetapi tali pusat berada di
bawah telapak tangan kanan.
2) Kemudian gerakan tangan kanan menyusuri plasenta dengan bagian
ulnar sambil bergeser ke cranial sehingga semua permukaan maternal
plasenta dapat dilepaskan
Catatan : Sambil melakukan tindakan, perhatikan keadaan ibu
(pasien), lakukan penanganan yang sesuai bila terjadi penyuliit.
i. Mengeluarkan Plasenta

11
Sementara satu tangan masih berada di kavum uteri, lakukan
eksplorasi ulangan untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang
masih melekat pada dinding uterus.
Pindahkan tangan luar ke supra simfisis untuk menahan uterus pada
saat plasenta dikeluarkan.
Instruksikan asisten yang memegang kocher untuk menarik tali pusat
sambil tangan dalam menarik plasenta ke luar (hindari percikan
darah).
Letakan plasenta ke dalam tempat yang telah disediakan.
Lakukan sedikit pendorongan uterus (dengan tangan luar) ke
dorsokranial setelah plasenta lahir.
Perhatikan kontraksi uterus dan jumlah perdarahan yang keluar

3. Dekontaminasi Pasca Tindakan


Alat-alat yang digunakan untuk menolong di dekontaminasi, termasuk
sarung tangan yang telah di guanakan penolong ke dalam larutan antiseptik.
a. Sementara masih menggunakan sarung tangan, masukkan bahan dan
instrumen yang akan dipergunakan lagi ke dalam wadah yang
mengandung klorin 0,5% dan rendam selama 10-20 menit.
b. Buang bahan habis pakai ke dalam tempat sampah yang tersedia
(mengandung larutan klorin 0,5%)
c. Bersihkan bagian-bagian yang tercemar oleh darah atau cairan tubuh
dengan larutan klorin 0,5%
d. Bersihkan sarung tangan dengan larutan klorin 0,5%, kemudian lepaskan
secara terbalik dan rendam dalam larutan tersebut

4. Cuci Tangan Pascatindakan


Mencuci kedua tangan setelah tindakan untuk mencegah infeksi.
a. Setelah melepas sarung tangan, cuci tangan dengan sabun dibawah air
mengalir
b. Keringkan tangan dengan handuk yang bersih.

12
5. Perawatan Pascatindakan
a. Periksa kembali tanda vital pasien, segera lakukan tindakan dan
instruksi apabila masih diperlukan.
b. Catat kondisi pasien dan buat laporan tindakan di dalam kolom yang
tersedia.
c. Buat instruksi pengobatan lanjutan dan hal-hal penting untuk dipantau.
d. Jelaskan pada pasien dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai
dilaksanakan dan pasien masih memerlukan perawatan.
e. Beritahukan pada pasien dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai
tetapi pasien masih memerlukan perawatan.
f. Jelaskan pada petugas tentang perawatan apa yang masih diperlukan,
lama perawatan dan apa yang perlu dilaporkan (di Rumah Sakit).
g. Tegaskan pada petugas yang merawat untuk menjalankan instruksi
perawatan dan pengobatan serta laporkan bila pada pemantauan lanjut
ditemukan perubahan-perubahan.

13
BAB III
PENUTUP

Perdarahan masih merupakan penyebab utama kematian ibu hamil di tengah


kemajuan teknologi yang pesat di bidang medis. Perdarahan tercatat sebagai 13,4%
penyebab langsung dari seluruh jumlah kematian ibu hamil di Amerika Serikat dan
di negara dengan sumber daya terbatas kontribusi perdarahan terhadap tingkat
mortalitas ibu hamil bahkan lebih tinggi (30-35%). (Cunningham, 2010)
Manual plasenta adalah prosedur Obstetri yang dilakukan pada kala III
persalinan untuk menangani retensio plasenta, pada umumnya pelepasan plasenta
ditunggu hingga 30 menit menurut WHO. Beberapa kepustakaan
merekomendasikan manual plasenta mulai dapat dilakukan dalam 20 menit hingga
1 jam pada persalinan kala III. Hal tersebut didasari pertimbangan bahwa pelepasan
plasenta secara sendirinya sangat jarang terjadi setelah melewati 60 menit.
(Akinola, 2013)

14
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. 2010.
Williams Obstetrics. 24th edition. The McGraw-Hill Companies
Akinola, O.I, et. Al, 2013. Manual removal of the placenta: Evaluation of some risk
factors and management outcome in a tertiary maternity unit. A case
controlled study. Open Journal of Obstetrics and Gynecology 3, 279-284
Beckmann CRB, Ling FW, Barzansky BM, Herbert WNP, Laube DW, Smith RP.
Chapter 12. Postpartum Hemorrhage. In: Beckmann CRB, Ling FW,
Barzansky BM, Herbert WNP, Laube DW, Smith RP. Obstetrics and
Gynecology. 6th edition. Lippincott Williams & Wilkins, 2010. p. 133-9
Snelgrove JW. 2009. Postpartum Hemorrhage in the Developing World A
Review of Clinical Management Strategies. MJM ;12(2):61-6
DEPKES RI, 2008. Buku Panduan Pelatihan Klinik Pelayanan Obstetri
Emergensi Dasar. Jakarta: Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan
Reproduksi; p43-45
National Womens Health Clinical Guideline. 2015. Retained Placenta
Management. Auckland; p1-3
Garmi, Gali, Salim, Raed. 2012. Epidemiology, Etiology, Diagnosis, and
Management of Placenta Accreta. Hindawi Publishing Corporation,
Obstetrics and Gynecology International Vol 2012;p1-5

15

Anda mungkin juga menyukai