Anda di halaman 1dari 12

EBN

PENINGKATAN FUNGSI VENTILASI PARU PADA KLIEN PENYAKIT PARU


OBSTRUKSI KRONIS DENGAN POSISI HIGH FOWLER DAN ORTHOPNEIC

Disusun Guna Memenuhi Tugas:

MATA AJAR SISTEM RESPIRASI

Pembimbing/Koordinator :

KUNTY UTAMI DEWI, S.Kep.,Ns

Oleh:

MARTHA CAROLINS (11151026)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA

2016
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Salah satu tindakan mandiri keperawatan guna mempertahankan pertukaran


gas adalah mengatur posisi klien. Pengaturan posisi ini dapat membantu paru
mengembang secara maksimal sehingga membantu meningkatkan pertukaran gas.
Posisi yang tepat juga dapat meningkatkan relaksasi otot-otot tambahan sehingga
dapat mengurangi usaha bernafas/dispnea. Kadangkala klien dengan kondisi
dispnea diatur posisinya dalam posisi yang beragam. Umumnya mereka akan
diposisikan dalam keadaan duduk tegak (high fowler position), setengah duduk
(semi fowler position), posisi duduk menelungkup (sitting forward leaning/
orthopneic position), bahkan kepala yang hanya disangga beberapa bantal saja
(ekstensi kepala 30-40). Saat ini belum diketahui mana posisi yang efektif untuk
mempengaruhi kemampuan pernapasan dan tentu saja kenyamanan klien.
Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) sering mengalami
peningkatan tahanan aliran udara, air trapping, dan hiperinflasi paru. Hiperinflasi paru
menyebabkan kerugian pada otot inspiratori secara mekanik, sehingga terjadi
peningkatan ketidakseimbangan antara mekanisme pernapasan, kekuatan dan
kemampuan usaha bernafas untuk memenuhi volume tidal (Smeltzer & Bare, 2005).
Kondisi di atas dapat menyebabkan penurunan fungsi ventilasi paru, dimana fungsi
ventilasi paru adalah kemampuan dada dan paru untuk mengerakkan udara masuk dan
keluar alveoli (Hudak & Gallo, 2005). Guyton dan Hall (2001) mengatakan bahwa
fungsi ventilasi paru ini dipengaruhi oleh latihan dan penyakit (faktor eksternal) serta
usia, jenis kelamin, dan tinggi badan (faktor internal).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah salah satu keprihatinan terbesar di
dunia kesehatan dan ancaman terus memburuk setiap tahun. Populasi pasien PPOK di
tujuh pasar utama meningkat dari 28,1 juta pada perkiraan 2005 dan 32 juta pada
tahun 2015, mewakili peningkatan 14% yang luar biasa. Memang, dalam laporan
yang dirilis pada bulan Desember 2010 oleh CDC, COPD terdaftar sebagai penyebab
keempat kematian utama di AS. "Penyakit ini juga ada bawah diagnosis dan
undertreated di AS, yang ditunjukkan oleh 24 juta orang Amerika yang hidup dengan
tidak terdiagnosis COPD."
"Sayangnya tingkat PPOK akan terus meningkat secara konsisten dalam waktu dekat.
Ada kekhawatiran yang besar akan perkembang penyakit ini terus muncul selama 5
sampai 10 tahun mendatang," tambah Walsh.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Dengan menyusun makalah telaah jurnal Evidence Based Nursing dengan
tema Peningkatan Fungsi Ventilasi Paru Pada Klien Penyakit Paru Obstruksi
Kronik Dengan Posisi High Fowler dan Orthopneic menambah referensi
tindakan mandiri perawat berdasarkan ilmu dan fakta (evidence based) yang
dapat dilakukan pada lahan praktek untuk meningkatkan asuhan keperawatan
pada pasien penyakit paru obstruksi kronik.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami manfaat posisi high fowler dan
orthopneic untuk meningkatkan fungsi ventilasi paru berdasarkan studi
literatur.
b. Mahasiswa mampu membuat rencana penatalaksanaan posisi high
fowler dan orthopneic dalam meningkatkan fungsi ventilasi paru.
C. Manfaat
Setelah menyelesaikan telaah jurnal evidence based nursing : Peningkatan Fungsi
Ventilasi Paru Pada Klien Penyakit Paru Obstruksi Kronik Dengan Posisi High
Fowler dan Orthopneic mahasiswa atau perawat dapat :
1. Menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan pasien dengan penyakit paru obstruksi
kronik.
2. Didapatkan suatu panduan aplikasi dalam melakukan posisi high fowler dan
orthopneic untuk meningkatkan fungsi ventilasi paru.
D. Sistematika
Bab I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, tujuan dan sistematika
penulisan, bab II tinjauan pustaka, bab III hasil analisa jurnal, bab IV penutup.
BAB II
KONSEP DASAR

A. Posisi High Fowler dan Orthopneic


Posisi high fowler merupakan posisi dalam keadaan tegak atau duduk, di mana
bagian kepala tempat tidur dalam keadaan tegak atau dinaikkan 90o. Posisi ini
dilakukan untuk mampu mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi
pernapasan pasien. Bertujuan Meningkatkan rasa nyaman, mengurangi komplikasi
akibat immobilisasi, meningkatkan dorongan pada diafragma sehingga meningkatnya
ekspansi dada & ventilasi paru serta mengurangi kemungkinan tekanan pada tubuh
akibat posisi yg menetap. Sedangkan posisi orthopneic atau posisi duduk
menelungkup adalah posisi pasien duduk dengan menyandarkan kepala pada
penampang yang sejajar dada, seperti pada meja. Bertujuan memudahkan melakukan
ekspansi paru untuk pasien dengan kesulitan bernafas yang ekstrim dan tidak bisa
tidur terlentang atau posisi kepala hanya dapat pada elevasi sedang.
B. Ventilasi Paru
Ventilasi adalah proses keluar masuknya udara dari dan ke paru. Ventilasi
paru mencakup gerakan dasar atau kegiatan bernafas atau inspirasi dan ekspirasi.
Udara yang masuk dan keluar terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara
intrapleura dengan tekanan atmosfer, dimana pada saat inspirasi tekanan intrapleural
lebih negatif (752 mmHg) dari pada tekanan atmosfer (760 mmHg) sehingga udara
akan masuk ke alveoli.
Hukum Boyles :
Jika volume meningkat maka tekanan menurun
Jika volume menurun maka tekanan meningkat
1. Inspirasi bersifat aktif
Selama inspirasi terjadi kontraksi otot diafragma dan intercosta eksterna, hal
ini akan meningkatkan volume intrathorak menurunkan tekanan intratorak
tekanan intrapleural makin negatif paru berkembang tekanan
intrapulmonary menjadi makin negatif udara masuk paru.
2. Ekspirasi bersifat pasif
Selama ekspirasi terjadi relaksasi otot diafragma dan interkosta eksterna, hal
ini akan menurunkan volume intratorak meningkatkan tekanan intratorak
tekanan intrapleural makin positif paru mengempis tekanan
intrapulmonal menjadi makin positif udara keluar paru.

Kepatenan ventilasi tergantung pada faktor :


1. Kebersihan jalan nafas, adanya sumbatan atau obstruksi jalan nafas akan
menghalangi masuk dan keluarnya udara dari dan ke paru.
2. Adekuatnya sistem saraf pusat dan pusat pernafasan.
3. Adekuatnya pengembangan dan pengempisan paru-paru.
4. Kemampuan otot-otot pernafasan seperti diafragma, eksternal interkosta,
internal interkosta, otot abdominal.

Ventilasi dipengaruhi oleh :


1. Kadar oksigen pada atmosfer
2. Kebersihan jalan nafas
3. Daya recoil & complience (kembang kempis) dari paru-paru
4. Pusat pernafasan

Fleksibilitas paru sangat penting peranannya dalam proses ventilasi.


Fleksibilitas paru dijaga oleh surfaktan. Surfaktan merupakan campuran lipoprotein
yang dikeluarkan sel sekretori alveoli pada bagian epitel alveolus dan berfungsi
menurunkan tegangan permukaan alveolus yang disebabkan karena daya tarik
menarik molekul air & mencegah kolaps alveoli dengan cara membentuk lapisan
monomolekuler antara lapisan cairan dan udara. Energi yang diperlukan untuk
ventilasi adalah 2 3% energi total yang dibentuk oleh tubuh. Kebutuhan energi ini
akan meningkat ketika kita melakukan olah raga berat, dan ini bisa mencapai 25 kali
lipat.

C. Persiapan Pasien
Tindakan pemberian posisi high fowler dan posisi orthopneic adalah tindakan
yang aman dan dapat dilakukan pada orang dewasa dan anak-anak (yang tidak disertai
dengan kontra indikasi). Kontra indikasi untuk dilakukan tindakan ini adalah apabila
terdapat fraktur tulang pelvis, post oprasi abdomen, fraktur tulang belakang (vetebra
lumbalis), contusion serebri atau gegar otak. Idealnya pasien akan mendapatkan hasil
yang lebih baik bila dilakukan latihan teknik relaksasi otot setelah melakukan
pemberian posisi karena mencegah sesak napas yang akan timbul dan mengalami
kekakuan pada otot-otot bantu pernapasan. Teknik relaksasi selain bertujuan untuk
mengurangi ketegangan otot bantu pernapasan, menurunkan penggunaan energi
dalam bernapas yang dapat meningkatkan kerja pernapasan, juga untuk menurunkan
kecemasan pasien PPOK akibat sesak napas yang dialaminya.
Hal yang perlu diperhatikan pada saat akan melaksanakan kegiatan ini antara
lain:
1. Status tanda-tanda vital pasien dalam keadaan atau batas normal
2. Perubahan pada batas-batas normal tanda-tanda vital yang patut dicurigai pada
pasien emfisema, bronkitis kronik maupun asma. Dan pengetahuan benar
tentang pengobatan yang sedang dijalanin.
3. Pastikan juga riwayat kesehatan pasien tidak beresiko untuk dilakukannya
tindakan ini, seperti injury tulang belakang yang kontra indikasi terhadap
posisi-posisi yang akan dilakukan.

D. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)


Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah istilah umum yang digunakan
untuk menggambarkan penyakit paru yang memburuk seperti asma refrakter (tidak
ada perubahan atau perbaikan yang sangat singkat), bronkitis menahun/kronis, dan
emfisema (kondisi kantung udara di paru-paru mengalami kerusakan yang
memburuk). Penyakit ini memiliki ciri kesulitan bernafas yang tidak dapat dijelaskan
serta rasa lelah berlebihan. PPOK terutama dapat dikenali dari ciri-ciri kesulitan
bernafas. Hal ini diakibatkan oleh menurunnya aliran udara yang masuk dan keluar
dari saluran bronkus di paru-paru. Saluran bronkial yang lebih tipis dan kecil biasa
disebut bronkiolus. Bronkiolus mengandung kantung udara (alveoli), yang
didalamnya terjadi pertukaran udara (oksigen dan sisa karbondioksida) dengan
pembuluh darah. Ketika seseorang menderita PPOK, kantung udara tidak dapat
menampung aliran udara yang cukup untuk masuk dan keluar dari paru-paru,
mengurangi kebutuhan tubuh akan oksigen. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
beberapa hal:
1. Kantung udara dan jalur nafas (bronkiolus) kehilangan kelenturan untuk
menampung udara
2. Dinding antara kantung udara rusak atau hancur
3. Dinding dari jalur nafas menjadi radang
4. Terdapat sangat banyak lendir/mukus yang menutupi jalur nafas
Ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam timbulnya PPOK. Walaupun merokok
bisa menyebabkan PPOK, namun orang yang bukan perokok juga dapat terkena
penyakit ini. Tiga faktor resiko tertinggi pada perkembangan PPOK adalah:

1. Merokok: PPOK paling sering terjadi pada orang yang berumur 40 atau lebih
dan yang memiliki riwayat merokok, baik sebagai kebiasaan lama ataupun
masih hingga sekarang. Sekitar 90% kasus PPOK berhubungan dengan
merokok.
2. Faktor lingkungan: PPOK juga dapat timbul pada orang yang memiliki
hubungan dengan perokok (perokok pasif) atau polutan berbahaya meliputi zat
kimia, bahan bakar, uap atau debu.
3. Faktor keturunan: Penelitian telah menemukan bahwa kekurangan protein
Antitripsin (kondisi yang disebut Alpha-1 Antitripsin Deficiency, AATD)
meningkatkan kemungkinan seseorang terkena PPOK. Tanpa protein ini,
sistem kekebalan alami tubuh akan melawan sel paru-paru dan berujung pada
kemerosotan fungsi paru. Penelitian terbaru telah menetapkan faktor
keturunan lainnya dan kecenderungan yang berhubungan dengan PPOK.

Gejala utama PPOK adalah batuk yang berkepanjangan/kronis dan


berlangsung lama disertai dengan lendir/mukus dan dahak. Sering juga disertai
dengan kesulitan bernafas yang memburuk dengan meningkatnya kegiatan fisik.
Seiring berjalannya PPOK, kesulitan bernafas akan terjadi ketika melakukan kegiatan
yang paling sederhana seperti memakai pakaian atau membersihkan tempat tidur.
Akan semakin berat untuk melakukan kegiatan dan bergerak dengan adanya
pernafasan yang memakan energi lebih.

Saat ini, tidak ada obat pasti untuk PPOK. Pengobatan penyakit ini ditujukan
hanya untuk menurunkan perkembangan penyakit, menangani gejala, mencegah
serangan atau kekambuhan, dan mendukung kesehatan secara keseluruhan. Perawatan
dapat berbentuk obat-obatan seperti bronkodilator untuk menangani batuk dan
masalah pernapasan, kortikosteroid untuk mengobati kekambuhan, penghambat PDE4
untuk mencegah eksaserbasi, dan metilxanthine untuk kasus PPOK yang berat.
BAB III

PEMECAHAN MASALAH MELALUI ANALISIS JURNAL

A. Analisa PICO
1. Problem
Sesak napas sering kali merupakan gejala yang dirasakan paling mengganggu.
Hal ini sering kali digambarkan sebagai: "Saya membutuhkan usaha untuk
bernapas," atau "Saya tidak dapat menghirup cukup udara". Istilah berbeda
mungkin digunakan di budaya yang berbeda. Umumnya, sesak napas
bertambah buruk dalam tekanan, yang berlangsung lama, dan bertambah parah
seiring waktu. Pada tahap lanjutan, hal ini berlangsung saat beristirahat dan
mungkin berlangsung terus menerus. Hal ini merupakan sumber dari
kegelisahan dan kualitas hidup yang rendah yang dialami pasien. Banyak
pasien gangguan pernapasan lanjutan mengalami bernapas melalui bibir yang
tertutup rapat dan tindakan ini dapat meredakan sesak napas bagi sebagian
orang. Eksaserbasi akut dari gangguan itu didefinisikan sebagai sesak napas
bertambah parah, produksi sputum semakin banyak, dan perubahan warna
sputum dari bening menjadi hijau atau kuning, atau batuk semakin parah yang
dialami pasien. Hal ini dapat disertai dengan tanda-tanda bertambah besarnya
usaha untuk bernapas seperti napas cepat, detak jantung cepat, berkeringat,
penggunaan otot leher secara aktif, kulit membiru, serta kebingungan atau
prilaku agresif pada eksaserbasi parah.
2. Intervention
Pemberian posisi merupakan salah satu tindakan mandiri perawat yang sangat
memungkinkan untuk dilaksanakan secara mandiri dan terbukti efektif dalam
membantu mempertahankan pertukaran gas sehingga dapat mencegah
terjadinya kesulitan bernafas serta dapat meningkatkan fungsi ventilasi paru.
3. Comparison
Berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk membantu dalam peningkatan
fungsi ventilasi paru, yaitu pemberian posisi high fowler dan posisi orthopneic
serta pemberian breathing retraining. Berdasarkan hasil penelitian ternyata
pemberian posisi orthopneic merupakan tindakan yang paling efektif untuk
meningkatkan fungsi ventilasi paru.
4. Outcome
Setelah dilakukan pemberian posisi orthopneic diharapkan pasien dapat
memenuhi dan mempertahankan pertukaran gas sehingga dapat meningkatkan
fungsi ventilasi paru.

B. Analisa Jurnal
1. Jurnal pendukung
Pengaruh Breathing Retraining Terhadap Peningkatan Fungsi Ventilasi Paru
Pada Asuhan Keperawatan Pasien PPOK. Penelitian ini dilakukan oleh tiga
penelitih, penelitih utama adalah Faridah Aini dibantu oleh Ratna Sitorus dan
Budiharto. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2008 di rumah sakit di Jakarta.
Penelitian ini menggunakan desain kuasi eksperimen dengan rancangan
control group pretest-posttest dengan jumlah sample 34 pasien. Penelitian ini
adalah penelitian mengenai pengaruh breathing retraining terhadap
peningkatan fungsi ventilasi paru dengan beberapa intervensi lainnya yaitu
atur posisi tidur semi fowler, monitor frekuensi pernapasan, dan kedalaman
pernapasan. Penelitian menyimpulkan bahwa breating retraining memberikan
pengaruh dalam meningkatkan fungsi ventilasi paru.
2. Pembahasan
a. Importance
Mempertahankan pertukaran gas yang baik merupakan prioritas utama
pada pasien dengan gangguan pada sistem pernapasan. Berbagai usaha
dilakukan untuk membantu pertukaran gas pada pasien baik untuk
mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut(infeksi paru dan gagal
nafas). Pertukaran gas yang baik dapat meningkatkan fungsi vemtilasi
paru dan memungkinkan frekuensi pernapasan yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan tubuh. Oksigen merupakan salah satu senyawa
yang sangat penting bagi tubuh untuk membantu proses metabolisme.
b. Applicability
Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk membantu
peningkatan fungsi ventilasi paru adalah dengan pemberian posisi
orthopneic. Tindakan ini sudah terbukti lebih efisien dan efektif
dibandingkan dengan altenatif tidakan-tindakan yang lain melalui
berbagai penelitian (EBN).
Pemberian posisi orthopneic merupakan salah satu tindakan mandiri
perawat yang amat sanget efektif untuk dilakukan oleh perawat tanpa
harus menunggu instruksi dari profesi lain. Tindakan ini relatif mudah
untuk dilakukan oleh perawat dengan segala jenjang, karena pada
dasarnya pemberian posisi orthopneic merupakan satu tindakan yang
harus diajarkan dalam kurikulum pendidikan keperawatan.
c. Rencana Penerapan
Setelah seluruh hasil studi dan literatur yang mendukung dianalisis dan
disintesis, tahap selanjudnya adalah melakukan uji coba
intervensi/prosedur baru. Berikut ini beberapa kegiatan dalam tahap uji
coba EBN:
1) Menetukan tujuan
2) Mengumpulkan data dasar
3) Membuat desain/petunjuk pada unit percontohan
4) Mengimplementasikan EBN pada unit percontohan
5) Melakukan evaluasi proses dan evaluasi hasil
6) Memodifikasi pedoman yang ada di lahan praktik.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh posisi orthopneic terhadap
fungsi ventialsi paru klien PPOK. Frekuensi nafas memiliki nilai yang sama baik pada
posisi high fowler maupun orthopneic. Posisi high fowler dan orthopneic dapat
meningkatkan nilai APE, tetapi posisi orthopneic dapat meningkatkan nilai APE lebih
baik dibandingkan high fowler. Dan pemberian posisi merupakan tindakan yang
palimh efektif dan efisien.

B. Saran
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan klien PPOK dengan dispnea
sebaiknya memberikan posisi orthopneic sehingga fungsi ventilasi paru klien dapat
ditingkatkan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/196/pdf_61

http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/54/54

http://askep33.com/2016/03/13/mengenal-macam-macam-posisi-pasien/

http://fungsi.web.id/2015/11/sistem-respirasi-ventilasi-difusi-transfortasi-regulasi-
dan-pengertiannya.html

Yunus, F. (1997). Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruksi. Cermin Dunia


Kedokteran. 114. 20-32.

Aditama, T.Y. (2005). Paru kita masalah kita. Diperoleh dari


http://tempointeraktif.com/medika/ arsip/1120002/top-1.htm.

Nanda NIC-NOC. (2015). Nusing Diagnoses : Definition & classification.

http://www.news-medical.net/news/20110305/8864/Indonesian.aspx

https://www.docdoc.com/id/info/condition/penyakit-paru-obstruktif-kronis

http://www.klikparu.com/2013/02/penyakit-paru-obstruktif-kronik-ppok.html

Anda mungkin juga menyukai